Jumat, 27 Oktober 2023

Trunyan

Desa Adat Trunyan, antara Kubur Angin dan Kubur Tanah
  
Masyarakat Trunyan tak hanya mengenal satu upacara dan satu model penguburan. Selain kubur angin (exposure), mereka juga mengenal kubur tanah (inhumation). Bicara upacara kematian, selain Ngutang Mayit sesungguhnya mereka juga mengenal ritus Ngaben, sekalipun dilakukan secara berbeda yaitu dengan tirta (air).

Sekiranya sempat berkunjung ke Kintamani di Pulau Bali, alangkah sayang jika kita tidak sekalian mampir ke Desa Trunyan, Bali.  Pasalnya, lokasi ini merupakan salah satu desa adat sekaligus desa tertua di Pulau Dewata. Berlokasi di tepi timur Danau Batur, untuk menuju lokasi desa ini kita harus menggunakan perahu menyusuri lereng Bukit Abang, di tepi Danau Batur sekitar 45 menit.

Sepanjang perjalanan berperahu motor kecil menuju lokasi kita disuguhi panorama yang nisbi indah. Terlihat membentang keindahan gunung-gemunung sebagai penopang Gunung Batur. Di kakinya tampak membiru air Danau Batur nan mempesona. Ditambah sapuan halimun tipis dan usapan semilir hawa dingin, pemandangan alam jadi terlihat asri namun sekaligus terpencil, seolah menciptakan nuansa misteri tersendiri atas desa adat tersebut.

Ya, beranjangsana ke Desa Trunyan, bukan saja bisa disaksikan adanya praktik keagamaan Hindu-Trunyan sebagai variant Hindu-Bali, namun di sini pun bisa disaksikan tradisi pemakaman yang unik. Sohor disebut Mepasah, model pemakaman ini telah dilakukan turun-temurun.

Di Desa Trunyan, mayat tidaklah pernah dibakar melalui ritual Ngaben seperti umumnya masyarakat di Pulau Bali. Di sini mayat sengaja dibiarkan membusuk di permukaan tanah dangkal berbentuk cekungan panjang di bawah udara terbuka.

Bicara fenomena Mepasah, sebenarnya penggunaan kata pemakaman atau penguburan ialah sebuah contradictio in terminis. Pasalnya, kata makam atau kubur selalu memiliki konotasi, dimasukkan ke dalam tanah. Sedangkan, tradisi masyarakat Trunyan jelas tidaklah demikian. Untuk mudahlah di sini sebutlah fenomena Mepasah sebagai “kubur angin”; sedangkan Ngaben yang umum dilakukan oleh masyarakat di Pulau Dewata ialah sebagai “kubur api” (cremation). Seorang antropolog asal Indonesia, James Danandjaya dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali menyebut fenomena Mepasah ini dengan istilah “exposure”.

Sayangnya potret antropologi seputar seluk beluk ritual atau upacara penguburan masyarakat di Desa Trunyan seringkali dilukiskan secara tidak utuh. Pasalnya masyarakat Trunyan sebenarnya tidak hanya mengenal satu upacara dan satu model penguburan. Sebagai rangkaian upacara kematian, selain Ngutang Mayit sesungguhnya juga dikenal upacara Ngaben. Hanya saja, Ngaben atau Pengabenan di sini dipraktikkan secara berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat Hindu-Bali.

Selain itu, di Desa Trunyan sesungguhnya bukan hanya mengenal Mepasah sebagai bentuk kubur angin, melainkan juga mengenal tradisi “kubur tanah” (inhumation) seperti lazimnya masyarakat Indonesia.

Bentuk Pemakaman dan Upacara

Seperti telah dipaparkan dalam tulisan sebelumnya, Lokalisasi Hindu menjadi Hindu-Trunyan, kisah folklore atau mite masyarakat Trunyan bermula dari keberadaan pohon taru menyan. Legenda penguasa Danau Batur, yaitu Ratu Pingit Dalam Dasar, bermula dari kisah Dewi yang turun dari langit ke bumi untuk mencari tahu sumber bau harum yang berasal dari pohon tersebut. Pun tibanya seorang pangeran dari Jawa (Dalem Solo), yang secara legenda menjadi Dewa Tertinggi bagi pemeluk Hindu-Trunyan, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat, latar belakang kisahnya juga sama.

Tak kecuali, bicara asal usul penguburan ala Mepasah ini, konon juga bermula dari perintah Ratu Sakti Pancering Jagat saat masih menjadi raja di Trunyan dahulu. Sengaja diniatkan untuk mengurangi dampak harum pohon taru menyan yang menyebar ke mana-mana. Konon, dari keberadaan nama pohon taru menyan ini pulalah nama Desa Truyan berasal.

Merujuk penelitian etnografis Danandjaja, cara pemakaman orang Trunyan sebenarnya ada dua macam. Pertama, diletakkan di atas tanah di bawah udara terbuka (exposure) atau kubur angin. Kedua, masyarakat Trunyan juga mengenal pemakaman dengan cara dikebumikan atau kubur tanah (inhumation).

Istilah Mepasah sendiri, merujuk riset lapangan Danandjaja ialah istilah yang diberikan oleh masyarakat Hindu-Bali dan bukan berasal dari pemberian nama oleh masyarakat Trunyan sendiri. Sayangnya Danandjaja tidak menemukan istilah lokal di Trunyan untuk menyebut fenomena penguburan khas tersebut.

Menariknya, adanya perbedaan teknik penguburan tersebut bersumber dari adanya perbedaan kategori umur, status, cara kematian, dan kondisi jasad saat warga Trunyan meninggal. Mereka yang di-mepasah-kan ialah orang-orang yang saat meninggal telah berstatus berumah tangga, atau masih bujangan (teruna), perawan (debunga), dan anak kecil yang telah tanggal gigi susunya (mekutus). Selain itu, proses kematian orang-orang ini juga dianggap normal atau wajar, entah karena sakit biasa atau usia tua.

Sedangkan yang dikebumikan ialah mereka yang saat meninggal jasadnya rusak, cacat, terdapat luka yang belum sembuh karena sakit tertentu seperti sakit cacar atau lepra. Selain itu, juga bagi orang-orang yang proses kematiannya dianggap tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri.

Terkait pemilahan di atas, maka di Desa Trunyan terdapat tiga kategori pemakaman: yaitu Sema Wayah, Sema Nguda, dan Sema Bantas. Pada lokasi Sema Wayah, tempat ini dikhususkan bagi orang-orang yang termasuk pada kategori kubur angin atau Mepasah. Berada di sebelah utara desa induk, Belongan Trunyan, naik sampan kecil dibutuhkan waktu sepuluh menit menuju lokasi pemakaman Sema Wayah.

Menarik dicatat, tempat pemakaman di Sema Wayah hanya terdiri dari tujuh petak saja. Artinya, setiap ada penduduk Trunyan meninggal dan hendak dimakamkan secara kubur angin, maka akan dipilihlah petak yang jenazahnya sudah paling lama diletakkan di sana. Setelah dilakukan sembahyang untuk memohon izin kepada penghuni lama, dan semua tulang-belulang penghuni lama telah disingkirkan ke samping di luar petak, maka barulah jenazah baru itu akan ditempatkan di petak kosong tersebut.

Sedangkan di lokasi Sema Bantas, tempat ini dipergunakan bagi orang-orang yang pemakamannya dilakukan dengan cara kubur tanah. Awalnya lokasinya terletak di perbatasan Belongan Cimelandung dan Desa Abang. Namun dalam perkembangan kemudian kompleks pemakaman ini diperluas ke Tempek Puseh, tepatnya di sebelah tenggara desa induk Trunyan. Di sana juga dibuat sebuah Sema Bantas baru.

Lain lagi peruntukan di Sema Nguda. Tempat ini ialah pemakaman khusus bagi orang-orang yang berstatus belum menikah dan anak-anak meketus. Mereka semua dimakamkan secara Mepasah. Namun di sini juga jadi tempat penguburan bagi anak-anak bayi yang belum memasuki fase meketus dan dimakamkan dengan cara kubur tanah. Lokasi kompleks pemakaman terbilang susah dicapai karena pantainya curam, berada di antara desa induk Belongan Trunyan dan lokasi kompleks makam Sema Wayah.

Seperti telah disinggung di muka, orang Hindu-Trunyan sendiri memiliki dua upacara kematian: Ngutang Mayit dan Ngaben atau Pengabenan. Bagi mereka ritual Ngutang Mayit saja belumlah cukup. Pasalnya, jiwa atau roh si mati belum dapat dibebaskan sepenuhnya dari ikatan badan kasarnya. Si mati belum bisa menuju ke Dalem (dunia orang mati) untuk dari sana bereinkarnasi dan terlahir kembali di Trunyan. Oleh karena itu, kewajiban bagi keluarga ialah melakukan upacara kematian atau penyucian tahap kedua bagi mereka yang telah meninggal.

Menurut keyakinan eskatologis Hindu-Trunyan, bagi orang-orang yang dimakamkan di Sema Nguda, maka keluarga yang ditinggalkan tidak perlu mengadakan upacara Ngaben. Orang-orang yang belum menikah, teruna (bujangan) maupun debunga (perawan) dan anak-anak kecil yang telah masuk fase meketus maupun belum, dianggap masih suci. Mereka bisa serta merta kembali ke kawah (surga), tanpa harus disucikan kembali melalui Ngaben. Mereka ialah golongan yang disayangi Ratu Sakti Pancering Jagat, sehingga tidak perlu mengalami reinkarnasi lagi ke bumi (Trunyan).

Lain halnya mereka yang dimakamkan di Sema Wayah. Sekalipun orang-orang ini meninggal secara wajar seperti usia tua dan di-mepasah-kan, namun karena pernah menikah mereka tidak bisa langsung kembali ke surga. Jiwa atau roh mereka ini harus gentayangan terlebih dulu di sekitar desa, hingga upacara penyucian kembali melalui Pengabean dilakukan. Setelah ritual ini selesai, barulah ia boleh masuk ke dalam Dalem (dunia orang mati). Kemudian dari sinilah ia bisa menitis kembali sebagai manusia melalui tubuh anak keturunan mereka yang dalam satu garis kerabat (dadia).

Lebih-lebih, bagi yang dimakamkan di Sema Bantas. Khusus bagi yang meninggal karena kasus yang tak wajar, seperti bunuh diri, dibunuh, atau saat meninggal jasadnya rusak karena penyakit tertentu, maka menurut keyakinan Hindu-Trunyan bukan hanya Ngutang Mayit dan Ngaben, tapi pada mereka juga harus dilakukan upacara penyucian tambahan.

Jikalau ritual itu tidak dilakukan, jiwa atau roh mereka akan selalu gentayangan di tempat-tempat kotor seperti di lokasi buang hajat; mengganggu sanak kerabat untuk mengingatkan, bahwa kewajiban yang hidup kepada yang sanak kerabat yang mati belum selesai. Jiwa atau roh yang frustasi sehingga menjadi jahat inilah, seturut keyakinan orang Trunyan, disebut hantu.

Sasih Jiyestha, yaitu bulan kesebelas menurut kalender Bali, ialah satu-satunya momentum waktu di sepanjang setahun di mana ritual ini boleh dilakukan. Seperti pada upacara Ngutang Mayit, ritual Ngaben atau Pengabenan juga sepenuhnya urusan kaum laki-laki. Kaum perempuan hanya mengerjakan pekerjaan sampingan atau hal-hal kecil saja. Bahkan pekerjaan memasak sesajen untuk sembahyang yang utama juga dilakukan kaum pria.

Untuk keperluan ritual Pengabenan, dibuatlah lambang-lambang jenasah. Disebut prerai, ialah semacam representasi simbolik dari mereka yang hendak di-aben-kan. Bentuknya ialah boneka terbuat dari kayu cendana dan boneka terbuat daun lontar. Selain itu, juga dibuat alat pengangkutnya yang disebut wadah. Berbentuk sebuah bangunan bertingkat dua, diberi hiasan atau simbol kepala raksasa (kala) yang disebut boma. Prerai dari kayu cendana diletakkan pada wadah bagian tingkat atas; prerai dari daun lontar diletakkan pada wadah di bagian bawah.

Setelah melalui serangkaian ritual panjang sebagaimana pada sesi ritual Ngutang Mayit, maka prerai berbahan kayu cendana ini kemudian dibawa menuju ke Sema Wayah. Di sana prerai ini juga di-mepasah-kan, yang bermakna dia yang di-aben-kan ini telah dimakamkan kembali untuk kedua kalinya. Sedangkan prerai berbahan daun lontar dibawa pulang oleh keluarga masing-masing. Prerai ini kemudian diletakkan di bagian ruangan rumah yang disebut amben tengah untuk selalu didoakan di sana selama setahun.

Berbeda dari masyarakat Hindu-Bali pada umumnya, setelah upacara pemakaman kedua ini katakanlah selesai, maka wadah-nya itu tidaklah dibakar melainkan lantas ditenggelamkan ke Danau Batur. Danadjaja mengutip informan dari masyarakat Trunyan, menulis bahwa fenomena Ngaben atau Pengabenan di Desa Trunyan ini merupakan bentuk Pengabenan dengan Tirta (air). (W-1)

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar