Jumat, 18 Agustus 2023

Tattwa Pemangku

KATATTWANING PAMANGKU

Kehadiran Pamangku merupakan suatu kebutuhan bagi umat Hindu di manapun ia berada. Kapasitas dan fungsinya menjadi sangat penting atau vital seperti halnya kehadiran Pandita. Keberadaan dan perannya sangat dibutuhkan tatkala umat Hindu melaksanakan kehidupan keberagamaan dalam dimensi sosial atau keberagamaan dalam aspek komunal. Dalam tindakan ritual yang bersifat vertikal,ia hadir sebagai media perantara bagi umat untuk berkomunikasi dengan Hyang Widhi dengan kata lain sebagai Imam Upacara atau Manggala Upacara. Kemudian dalam aspek sosial horisontal perannya diharapkan dapat menjadi panutan dapat memberi teladan serta contoh yang baik bagi masyarakat sekitarnya, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk dapat melakoni kehidupan dan mencapai kemuliaan sekaligus pembebasan sesuai dengan petunjuk sastra. agama.
Sama halnya dengan Pandita, untuk menjadi Pamangku yang idial tidaklah mudah, ia merupakan ikon dari realitas yang suci, yang hidupnya selalu melaksanakan urusan dengan mengikuti pola-pola yang telah diietapkan oleh Tuhan. Semua prilakunya dikontrol oleh otoritas yang sakral, artinya struktur dan kontruksi dari Pamangku dibangun di atas fondasi yang sakral/kesucian. Hanya dengan cara demikian keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya akan dicapai.
Seorang Pamangku sebagai media perantara sekaligus tangga penghubung ataupun poros dunia (axis mundi) merupakan "simbol kenaikan dan menurunkan" Yang vertical, yang menghubungkan Hyang Widhi dengan umat Hindu, yang sacral dengan yang profan, dan sekaligus sebagai "simbol perjumpaan" untuk menyatu dengan Tuhan.
Untuk itu sosok Pamangku merupakan sebuah cosmos atau hierofani yakni pusat keteraturan dimana Tuhan merealisasi dan sekaligus sebagai teofani atau manusia dewa.
KONSEP PAMANGKU
Secara etimologi, kata Pamangku berasal dari bahasa Jawa Kuna dari kata"Pangku" yang artinya menyangga atau menopang. Kata menyangga atau menopang rupanya parallel dengan arti kata dharma dari kata "dhr" menjadi "dhara" yang artinya juga menyangga. Kata pangku ini mendapat awalan "pa" mengalami nasalisasi menjadi Pamangku dalam lidah Bali diucapkan Pemangku. Dihubungkan dengan kata dharma yang memiliki arti sama, maka seorang Pamangku adalah penyangga dharma sekaligus figur dari perwujudan dharma itu sendiri (Sang Paragan Dharma).
Merturut Lontar Widhisastra kata Pamangku diuraikan menjadi "PA"
bermakna "Pastika pasti" yang artinya paham akan hakekat kesucian diri. "MANG" bermakna "Wruh ring tata-titining Agama" artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran agama. "MANG" juga merupakan aksara suci untuk "Iswara" atau Siwa. Menurut pustaka Purgamasasana, Dewa Iswara merupahan Guru Niskala bagi warga desa pakraman, Baliau Sang Hyang Iswara juga dijuluki Sang Hyang Ramadesa. "KU" bermakna "kukuh ring Widhi" yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada aturan-aturan kebenaran yang berasal dari Tuhan atau Hyang Widhi Wasa.
Kemudian Lontar Sukretaning Pamangku, menguraikan bahwa, Pamangku adalah perwujudan I Rare Angon, yakni manifestasi, personal dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai Dewa Gembala, seperti dinyatakan sebagai berikut:
"Iki sukretaning Pamangku ring kahyangan, wenang tegesing Pamangku kawruhakna kang mawak Pamangku ring sariranta, I Rare Angon mawak Pamangku ring sariranta. "
Terjemahannya :
"Ini tata tertib tentang Pamangku di suatu pura, yang dimaksud dengan Pamangku untuk diketahui, yang berwujud Pamangku dalam dirimu, sesungguhnya I Rare Angonlah yang berwujud Pamangku. dalam dirimu".
Sesuai dengan ketetapan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pamangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yajna Pawintenan sampai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amari aran. Dengan demikian pamangku adalah rohaniawan yang statusnya masih tergolong ekajati.
Selain itu rohaniawan yang masih berstatus ekajati adalah Wasi, Mangku Balian, Mangku Dalang, Pengemban, Dharma Acarya,. Beliau-beliau ini tidak memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tettentu. Oleh karena itu rohaniawan ini dalam melaksanakan tugasnya lebih bersifat umum, seperti; menyelesaikan upacara: perkawinan, upacara manusa yadnya lainnya, upacara kematian. Semua rohaniawan yang tergolong, ekajati ini diberi sebutan Pinandita, yang artinya dipanditakan atau wakil dari Pandita.
PROSEDUR MENJADI PAMANGKU
Eksistensi seorang Pamangku" sangat ditentukan oleh suatu kebutuhan atau tuntutan. Apakah itu kebutuhan pribadi, kelompok maupun umum. Untuk kebutuhan pribadi seseorang menjadi Pamangku tidak didasarkan pada pemilihan public, melainkan atas dasar kesadaran pribadi yang bersangkutan untuk menjadi Pamangku. Kesadaran pribadi sering dilatar belakangi oleh sakit yang mendahului karena dipilih oleh kekuatan niskala walaupun yang bersangkutan tidak ngemong suatu Pura.
Untuk memenuhi kebutuhan kelompok atau umum prosedur pemilihannya atau pengangkatannya dapat mengikuti beberapa cara:
1. Pemilihan Pamangku secara langsung dan demokratis berdasarkan penunjukkan atas dasar suara terbanyak dari suatu komunitas tertentu yang mernbutuhkan adanya Pamangku tersebut. Cara inipun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Kemudian calon dipilih secara demokratis dalam suatu paruman. Calon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang ditetapkan. menjadi Pamangku.
2. Pemilihan Pamangku berdasarkan keturunan. Pemilihan model ini tidak banyak mengalami hambatan, mengingat para keturunan dari Pamangku itu telah menyadari sebelumnya pada waktunya nanti akan melanjutkan pengabdian Leluhurnya/orang tuanya untuk ngayah sebagai Pamangku. Walaupun pemilihan ini tinggal menunjuk saja dari keturunan seorang Pamangku oleh masyarakat, namun dernikian siapa yang ditunjuk tidak boleh tergolong ke dalam ceda angga atau carat fisik maupun cacat moralitas dan kepribadiannya.
3. Pemilihan Pamangku dengan cara nyanjaan, yakni dengan menggunakan mediator seorang Mangku Lancuban atau Balian Katakson. Prosesinya diawali dengan matur piuning di Pura. dimana Pamangku tersebut akan melaksanakan tugasnya. Kemudian mediator tersebut akan kerauhan, jika tidak ada hambatan, maka mediator tersebut akan menyebut nama seseorang vang dipilih untuk jadi Pamangku.
Pemilihan dengan cara ini bisa diulang bilamana dipandang kurang tepat dan tidak sesuai dengan harapan.
4. Pemilihan dengan membagikan lekesan, cara seperti ini lebih mendekati seperti undian yang dilakukan secara tradisional. Lekesan yang akan dibagi atau diundi terlebih dahulu dipermaklumkan melalui penyucian kepada Hyang Widhi yang.berstana di pura yang memerlukan Pamangku. Dari sekian banyak lekesan tersebut ada satu yang diberi kode berbeda di dalamnya. Setelah dibagikan, bagi yang memperoleh kode berbeda di dalamnya ialah terpilih menjadi Pamangku. Setelah calon Pamangku ditetapkan maka dilanjutkan dengan pengukuhan, melalui upacara pawitenan Pamangku. Yakni upacara ritual penyucian diri secara lahir dan batin bagi seseorang untuk memasuki swadharmanya sebagai Pamangku atau Pinandita, dan memiliki konsekwensi kewenangan untuk memimpin pelaksanaan upacara. Mengenai upacara pawintenan ini dinyatakan dalam lontar, "Tatwa Sivapurana" sebagai berikut:
"Iti tingkahing krama desa, banjar, dadya ngadegang pamangku mangda maupakara rumuhun patut tingkahing, pangupakaraning pamangku. Apang tetep parikramanya mawinten, pawintenannya marajah Ghana, kajaya-jaya olih pandita Buddha yadyapin Siwa... "
Terjemahannya.
Ini tatacara masyarakat desa, banjar, pura keluarga mengangkat pamangku, supaya diupacarai terlebih dahulu sesuai dengan upacara pengangkatan pamangku, agar lengkap upacara pawintenannya. Pawintenannya digambar Ghana, dipuput/diselesaikan oleh pandita Buddha dan Siva.
Walaupun secara institusi formal seorang Pamangku tidak memasuki sila kramaning aguron-guron, namun agar tidak terjadi pelanggaran dalam melaksanakan tugas, sebaiknya seorang Pamangku mengangkat Guru Pembimbing, dalam hal ini siapa yang menyelesaikan upacara pawintenan tersebut, seperti yang dinyatakan dalam lontar Purwagamasasana sebagai berikut:
"Iki ling ing Purwwa-Gama-Sesana" Yan hana wwang kengin kumew,ruha ri kahananing Sanghyang aji Aksara, yogya ngupadhyaya awak sariranta ruhun, lamakana tan keharananing letuh, lamakana weruh rijatining manusa, wenang sira Mawinten rumuhun mwang katapak denira Sang Guru Nabe, apan sira Sang Guru Nabe bipraya angupadhyaya nuntun sang sisya kayeng kawekas, mawastu mijil sakeng, aksara ngaranya.
Yan hana wwang kumewruha rikahananing sanghyang aji-aksara, tan pangupadyaya utawi maupacara mwah tan katapak, tan paguru, papa ikang wwang yan mangkana, babinjat wwang mangkana ngaranya, apan mijilnya tan paguru, kweh prabhedanva idennya dawak, yan benjangan padhem wwang mangkna, atmanya manados entiping kawah candra ghomukha. Yan manresti malih matemahan tiryak yoni, amangguhaken kasangsaran.
Malih hana piteketku ri kita kabeh, sang mahyun kumawruha ring kahananing Aji-aksara mwang kapemangkuan, yan hana wwang durung Dwijati utawi abhodgala, tan kawenang wehana gumelaraken Sodasa-Mudra, kopadrawa sira denira Sang Hyang, Asta Dewata. Kewala ikang amusthijuga kawenangan wehana ri wwang durung Adhiksa Dwijati, ri sang harep anembah Dewa, amreyogakna Sang Hyang ri daleming sarira. Mangkana piteket-Ku ri wwang kabeh, haywa marlupa, hila-hila dahat.
Terjemahannya.
Ini ucapan sastra Adhi Purwwagama sasana: " Jika ada seseorang bermaksud mengetahui segala keberadaan ilmu pengetahuan kesucian, sebaiknya terlebih dahulu bergurulah kamu, agar tidak disebut cemar, agar tahu hakikat sebagai manusia, wajib kamu melaksanakan pawintenan, serta mendapat pengesahan/pembaptisan oleh Guru Rohani, karena Guru Rohanilah yang akan memberi pelajaran serta menuntun siswa rohani sampai di kemudian hari, yang menyebabkan dirimu lahir dalam dunia spiritual.
Jika ada seseorang bermaksud mengetahui segala keberadaan ilmu pengetahuan kesucian, namun tidak berguru, tanpa upacara pengesahan tanpa dibaptis serta tanpa pembimbing spiritual, ternodalah orang yang demikian itu, ibarat anak jadahlah orang yang demikian itu, karera lahir tanpa bimbingan guru rohani tanpa upacara penyucian, banyak cacatnya orang yang demikian itu, pikiran pendek, prilakunya tidak terpuji tak ubahnya seperti binatang termasuk kecerdasannya. Saat kematiannya nanti roh orang yang demikian itu. akan disiksa oleh algojo naraka menjadi kerak.kawah naraka, jika menjelma dikemudian menjadilah ia binatang rendahan serta senantiasa menemui penderitaan.
Sekarang ada nasehat-Ku. lagi kepadamu jika ada seseorang belum dibaptis menjadi Pandita, jangan diberikan memperagakan Sodasa Mudra, akan kena kutuk mereka oleh Sanghyang Astadewata, hanya dengan mamusti saja hakmu bagi yang belum menjadi Pandita pada saat kamu hendak memuja Tuhan, dan menyatukan Nya dalam dirimu. Demikian nasihat-Ku kepada manusia semua, jangan sampai lupa sangat berbahaya hukumnya.

JENIS PAMANGKU
Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku ini dibedakan menjadi 12 ( dua belas ) jenis, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:
1. Pamangku Kahyangan ( Pemangku Kusuma Dewa )
Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.
2. Pamangku Pamongomong ( Pembantu Pemangku Kusuma Dewa)
Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.
3. Pamangku Jan Banggul
Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.
4. Pamangku Cungkub
Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.

5. Pamangku Nilarta
Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.
6. Pamangku Pandita
Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.
7. Pamangku Bhujangga
Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.
8. Pamangku Balian
Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.
9. Pamangku Dalang
Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.
10. Pamangku Tapakan / lancuban
Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.
11. Pamangku Tukang
Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.
12. Pamangku Sang Kulputih
Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.
13. Pamangku Sang Kulpine
Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.
14. Pamangku Kortenu,
Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.
Selain Pamangku di atas di beberapa daerah di Bali di kenal pula yang namanya Pamangku Sonteng atau Balian Sonteng. Pamangku ini tidak tergolong ke dalam Pamangku Tapakan Widhi vang bertugas di tempat suci atau pura . Tugasnya menyelesaikan upacara yang biasa diselenggarakan di luar pura, seperti manusa yajna dari macolongan sampai dengan wiwaha.
Kemudian sesuai dengan basil Sabha II Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat tahun 1968, diperkenalkan isitilah Pinandita selaku pembantu mewakili Pandita. Walaupun Pinandita ini ditetapkan selaku pembantu mewakili Pandita namun wewenangnya tidaklah menyamai wewenang Pandita. Hanya dalam keadaan tertentu khususnya di luar daerah Bali Pinandita diperkenankan mewakili Pandita untuk mengantar semua jenis yajna dengan cara yang berlaku bagi seorang Pamangku.
ATRIBUT PAMANGKU
Pamangku sebagai rohaniawan yang masih tergolong ekajati atau walaka, dalam hal berbusana hanya diatur pada saat melaksanakan tugas kepemangkuannya saja. Sedangkan dalam keadaan sehari-hari tidak diatur secara khusus. Hal ini disebabkan karena tidak terjadi perubahaan atau penagantian wesa seperti. yang berlaku pada seorang Pandita. Pamangku masih dibenarkan untuk agotra atau bercukur sebagai walaka umumnya. Hanya saja saat Pamangku melaksanakan tugasnya sesuai. dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu VI tahun 1980, Pamangku diwajibkan berbusana lengkap serba putih, dari bentuk destar mongkos nangka, baju, kain dan kampuh. Bagi yang mernelihara rambut dimasukkan ke dalam destar dengan cara dikonde, sehingga tidak terurai. Kemudian tidak dibenarkan mengenakan busana pada waktu memuja seperti busana Pandita, termasuk juga dalam hal tatanan dandanan rambut.
Perlengkapan Pamangku dalam melaksanakan tugasnya tidak memakai, perlengkapan sebagaimana yang dipergunakan oleh Pandita. Yang dipergunakan oleh Pamangku adalah genta, dupa sastrat, sangku atau payuk, serta dulang sebagai alasnya.
FUNGSI PAMANGKU
1. FUNGSI SPIRITUAL
Pamangku, adalah rohaniawan dan sekaligus seorang spiritualis. Sebagai seorang rohaniawan dia dituntut melaksanakan fungsi manifesnya. Fungsi manifest ini akan dapat berjalan secara maksimal apabila pamangku memiliki spiritualitas yang mantap. Spiritualitas yang mantap akan terwujud apabila pamangku melaksanakan fungsi latennya, artinya dimana setiap langkah dan tindakannya harus mencerminkan pribadi yang dilandasi oleh kesucian itu. Sebagai media bagi umat untuk Tuhan, pelembagaan kesucian itu tidak hanya mengalir dari luar dalam bentuk prilaku dan yang paling penting adalah bagaimana Pamangku itu membangun kualitas Jiwanya dengan terus menerus membangun kesucian itu. Hanya dengan kesucian, tugas dan pelayanan paripurna dapat terlaksana. Hanya dengan kesucian spiritualitas akan dibangun. Sehubungan dengan kesucian ini Lontar Kusumadewa menyatakan.
"Satingkahe dadi pamangku kari undakan Widhi, sabran dina rahayu patut I pamangku mapeningan manyucian dewek. Satingkahe nyuci laksana, saparikramaning apening pelajahin tur nunas tirta ring pura panyiwiania makadi ring Ida Pandita maka panelah-nelah reged ring sarira; luir tirta sune patut tunas; panglukatan, pabersihan, wus mapeningan mangda ke pura mererisak "
Tejemahannya.
Prilaku sebagai Pamangku Pura setiap hari baik patut menyucikan diri. Tatacara menyucikan diri. Tatacara menyucikan diri, aturan tatacara menyucikan diri patut dipelajari dan mohon air suci di pura tempatnya bertugas dan juga kepada pandita sebagai penyucian atas segala noda dan kotoran dirinya. Adapun tirta yang patut dimohonkan adalah tirta panglukatan, pabersihan, setelah selesai menyucikan diri, agar ke pura untuk melaksanakan tugas menyapu membersihkan halaman pura.
Lebih lanjut "Puja Pancaparamartha menyatakan.
"Agni madhye ravis caiva, Ravi madhye 'stu candramah
Candra madhye bhavec suklah, z-u, sukla madhye sthitah sivah.
Tejemahaannya.
Di dalam api ada matahari, di dalam matahari ada bulan
Di dalam bulan ada kesucian , dalam kesucian Siva berstana
2. FUNGSI RITUAL
Pamangku memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat Hindu, fungsinya menjadi sangat vital tatkala umat menyelenggarakan upacara yaina. Sepanjang, tidak menggunakan Pandita, maka Pamangkulah yang diminta jasa layanannya sebagai manggala dari upacara yajna tersebut yang lazim disebut dengan nganteb. Terkait fungsinya sebagai pemimpin ritual maka kompentensi yang harus dikuasai walaupun tidak sepenuhnya kecuali Pandita terkait dengan upacara tersebut meliputi:
a. Yantra
Yantra dimaksud adalah seorang Pamangku seyogyanya memahami arti dan makna simbolis dari berbagai sarana yang dipergunakan dalam kegiatan upacara yang, dipimpinnya, lebih lanjut mengoprasionalkan simbol-simbol tersebut sehingga tercapai suatu tujuan sesuai dengan goal, untuk maksud dan tujuan apa upacara yajna itu dilaksanakan. Dalam hal ini tubuh seorang Pamangkupun merupakan yantra seperti dinyatakan berikut ini:
"Iki ngaran Kusunwdewa, penganggen nira Sang Mangku Kulputih, iki kawruhakna Sang Hyang Rare-Angon maka dewaning Pemangku, maka ngaran Mangku Jagat, kawenang nyuci-adnyana nirmala, ngaran, Nare pinaka raga, Bahu pinaka tripada, Sirah pinaka Siwambha medaging toya/tirtha, selaning Lelata Ong-kara sumungsang pinaka cendana, Citta pinaka wija, sucining awakta pinaka Dipa, Netra manis pinaka dhupa, ujar tuwi rahayu. mangenakin pangrenga pinaka gandha, Agni ring nabhi, pinaka sekar tunjung, kuncuping tangan kalih pinaka ghanta, tutuk pinaka Hyang ngaran. Ika maka tingkahing Mangku amuja, samangkana sang Mangku jagat, kadi ling nig Kusumadewa.
Teriemahannya.
Ini. namanya Kusumadewa, atribut Pamangku Sangkulputih, Ini pengetahuan tentang Sanghyang Rare Angon sebagai istadewatanya Pamangku, yang disebut dengan Pamangku Jagat, kewajiban menyucikan rohani, tubuhnya Pamangku ibarat talam, bahunya ibaratkan Tripada, kepalanya sebagai siwamba berisi air suci, Omkara terbalik di antara kedua alis sebagai cendana, pikiran murni sebagai wija, sucinya tubuh sebagai lampu penerang, sorot mata yang menyejukkan ibaratkan dupa, wacana yang lembut sebagai wangi-wangian, panasnya nabi/pusar sebagai bunga padma, bersatunya kedua tangan ibarat ghanta, ujungnya ghanta sebagai Yang dipuja, itulah simbol saat Pamangku memuja, demikianlah Pamangku jagat, sesuai petunjuk sastra Kusumadewa.
Yantra lain yang dipergunakan sebagai piranti adalab Genta atau lazim disebut Kleneng Dalam kapasitasnya sebagai manggala upacara seorang Pamangku ditengkapi dengan Genta. Lontar Widhisastra menyebutkan sebagai berikut.
Yan sampun Adhiksa Widhi katapak dening Sang Pandita putus, wenang sang Mangku mabebajran, mwah ngaloka palasraya, maka walining yadnya, wenang Pamangku nyirating sawangsania ring pakrarnan, sang Mangku wenang ngawalinin yadnya manut panugrahan sang Guru utawi sang maraga Sulinggih.
Terjemahannya :
Jika telah melalui pawintenan adhiksa Widhi mendapat pengesahan dari Pandita, saat memuja berkewajiban Pamangku menyurakan suara ghanta, serta melakukan layanan di bidang upacara yajna, berkewajiban Pamangku mencipratkan air suci terhadap warganya di desa, Pakraman, Pamangku patut menyelesaikan upacara sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Guru selaku Pandita.
Lebih jauh dalam lontar Suk-retaning, Pamangku disebutkan sebagai berikut.
"Hana pawekasing Bhatara ring Pamangku, yan rawuh patatoyan Ida Bhatara ring madhyapada, raris angicen bajra patatoyan, maka wruh ikang Pamangku, kawit kretaning Pamangku. Yang nora angagem bajra, nora wruh ring kretaning Kapamangkuan, angaru-hara dadi Pamangku, angiya-ngiya sira ngaran, kena sapaning Bhatara, meh tumbuh edan, karoga,-rogan, anyolong, angedih ring pisaga.

Terjemahannya :
Ada pemberitahuan Bhatara kepada Pamangku, pada saat Pujawali di pura, kemudian patut mempersernbahkan suara ghanta pemujaan, sebagai suatu pengetahuan bagi Pamangku awal mula ketertiban bagi Pamangku. Tika tidak memakai bajra/ghanta, tidak mengetahui aturan tentang kepamangkuan, membuat huru-haralah Pamangku itu, membenarkan diri namanya itu, kena kutuk oleh Tuhan, bahkan mungkin menimbulkan kegilaan, kehancuran, mencuri, mengemis pada tetangga.
b. Mantra atau pujastawa
Pamangku wajib memahami doa-doa yang patut dirafalkan sebagai media pengantar atau komunikasi kepada Hyang Widhi saat upacara berlangsung sehingga upacara itu menjadi tepat guna, berdaya guna serta berhasil guna. Lebih jauh. lontar, Sukretaning Pamangku menyebutkan sebagai berikut:
"Yan ngastawa Bhatara aseha-seha nora turun Ida Bhatara, apan sira tan eling kawit kandaning Pamangku,,anganggo lobha angkara, anduracara kita, kalinganya tan merge,t ring agamaning Bhatara, tuhu sira dusun anggen Ida Pamongmong, ngaran.
Terjemahannya.
Jika memuja Tuhan dengan menggunakan dengan bahasa sehari-hari tidak akan turun Ida Bhatara, karena Pamangku tidak mengetahui prosedur menjadi Pamangku, menerapkan keserakahan, angkara murka, melakukan tindakan tidak tepuji Pamangku itu, sesungguhnya tidak ingat pada prilaku memuja Bhatara, sunguh sangat kolot Pamangku itu dijadikan hamba pelayan oleh Tuhan.
Selanjutnya Lontar Sangkulpinge menyatakan.
"lki panugrahan sira Mpu Kuturan, kaunggahang ring Lontar Sang Kulpinge, tingkahing dadi Pamangku, wenang angaduhaken weda ikang Kusumadewa kawruhakna dening pascat.
Terjemahannya
Inilah pemberian Mpu Kuturan, dicantumkan dalam pustaka Sangkulpinge, tatacara menjadi Pamangku, berkewajiban memiliki puja pangastawan, sesungguhnya Kusumadewalah harus, diketahui dengan tuntas.
3. FUNGSI SOSIAL RELIGIUS.
Bertitik tolak dari konsep yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa seorang Pamangku adalah Penyangga Dharma, sekaligus pelaksana dharma pada front terdepan.. Jika dharma diterapkan dharma pula yang akan melindunginya (dharma raksati raksitah) . Lebih jauh Atharvaveda XII, 1. 1, menyatakan bahwa, dharma itu terdiri atas.
"Satyam brhad rtam ugram diksa tapo
Brahma yajnah prthivim dharayanti."
Terjemahannya
Sesungguhnya kebenaran, hukum, inisiasi, disiplin,
doa serta persembahan yang menyangga dunia.
Apa yang menjadi isi atau contain dari dharma itu seperti terjabar di atas, seorang Pamangku wajib merealisasikannya. Lebih lanjut kitab Slokantara sloka 3. menyatakan.
"Kalingannya, tan hana dharma lewiha sangkeng kasatyan,
Matangyan haywa lupa ring kasatyan ikang wwang
Terjemahannya:
Tidak ada dharma yang lebih tinggi dari Satya (kebenaran),
Oleh karena itu manusia jangan lupa melaksanakan Satya itu.
Maka dalam konteks ini scorang, Pamangku adalah pemegang satya atau kebenaran. Realisasl dari satya ini bermuara pada "katakan kebenaran lakukan kebajikan"
Dengan merujuk satra di atas, bahwa seorang Pamangku tugas pokoknya tidaklah cukup memberikan pelayanan di bidang ritual dalam bentuk -menyelesaikan/nganteb upacara yadnya saja. Beliau wajib melembagakan kesucian setiap hari baik untuk diri pribadi maupun untuk orang lain, mengingat Pamangku adalah perwujudan Siva Sakala atau Siwaning Pakraman, sekaligus Sebagai Gembala umat yang bertugas menuntun urnat setiap hari dalam rangka pencarian hakekat Sang Diri demi terwujudnya karahayuan jagat.

BRATA SEORANG PAMANGKU:
Dalam rangka melembagakan kesucian dalam diri, seorang Pamangku wajib melaksanakan brata atau disiplin yang ketat sebagai landasan untuk mencapai Tuhan, sesuai pernyatuan Yajurveda XIX.35 sebagai berikut:
Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam,
Daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Terjemahannya.
Dengan menjalankan brata (disiplin) seseorang mencapai diksa (penyucian) Dengan dhiksa seseorang memperoleh daksina (kemuliaan), dengan daksina seseorang membangun sraddha (keyakinan). melalui sraddha seseorang memperoleh satya (Hyang Widhi).
Selanjutnya tentang bebratan Pemangku dalam rangka menjaga kesucian diri pribadinya selain diupayakan dengan senantiasa berbuat kebajikan dilandasi oleh budhi. luhur atau susila ambeking budhi serta menghindari perbuatan yang dursila maupun yang dipandang mencemari dirinya secara lahir dan bathin. Selain itu memahami komponen pembangun kehidupan ini yang membutuhkan cara penyucian yang berbeda-beda sesuai ucap Manawa Dharmasastra.V.109. sebagai berikut:
"Adbhirgatrani suddhyanti, Manah satyena suddhyanti,
Widya tapobhyam bhutanam, Budhir jnana suddhyanti"
Terjemahannya:
Tubuh disucikan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran (satya), Atma disucikan dengan Tapa Brata, Budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan.
Kemudian secara konsisten melaksanakan ajaran yama nyarna brata, trikaya parisudha dan ajaran catur paramita sebagai landasan moralitas dan mentalitas membangun kersucian batin.
Yama Brata:
a. Ahimsa :Tidak menyakiti atau membunuh mahluk lain.
b. Brahmacarya :Tekun memperdalam. ilmu keagamaan.
c. Awyawahara :Tidak suka bertengkar tidak pamer dan dapat mengekang nafsu
d. Asteya :Tidak suka mencuri, korupsi mengambil milik hak orang lain.
e. Satya :Taat dan jujur selalu menjunjung tinggi kebenaran.
Niyama Brata :
a. Akrodha :Mengekang amarah serta mampu mengendalikan diri
b. Gurususrusa :Selalu taat kepada perintah Guru serta mengikuti semua ajarannya
c. Sauca :Senantiasa melembagakan kesucian dalam kehidupan.
d. Aharalagawa :Mengatur pola makan secara benar.
e. Apramada :Tidak menghina atau mencela serta melecehkan pendapat orarg lain
Trikaya Parisudha:
a. Manacika : Selalu menjaga kesucian dalam berpikir.
b. Wacika : Selalu menjaga kesucian dalam berkata-kata.
c. Kayika : Selalu menjga kesucian dalam segala perbuatan.
Catur Paramitta
a. Metri :Mempunyai si fat bersahabat dengan semua mahluk.
b. Karuna :Mempunyai sifat welas asih terhadap sesamanya.
c. Mudita :Mempunyai rasa simpati terhadap sesamanya dalam suka dan duka.
d. Upeksa :Mempunyai sifat waspada dan teliti didalam segala hal, tidak gegabah.
Secara khusus bebratan tentang kepemangkuan ini juga termuat dalam lontar Tatwadewa yang berbuwnyi sebagai berikut:
Pamangku tan amisesa gelah anakke juang, tembe-tembe ring niskala.
Terjemahannya.
Pamangku tidak dibenarkan mengambil milik orang lain, lebih-lebih milik pura
Hal ini mengingatkan agar para Pemangku tidak rakus terhadap drewe pura seperti sesari maupun barang-barang lainnya yang dipersembahkan oleh umat.
Selanjutnya tentang babratan pamangku dalam rangka menjaga kesucian diri secara khusus dituangkan dalam lontar Tattwadewa yang disebut dengan Brata Amurti Wisnu yang berbunyi sebagai berikut:
"Nihan aji kreta ngaran, tingkahe mamangku, asuci purnama tilem, ika maka wenang adunging abrata, kawasa mangan sekul kacang-kacang garem aywa mangan ulam bawi lonia satahun. Malih abrata amangan sekul iwaknia tasik lonia solas dina. Malih abrata mangan sekul iwaknia sarwa sekar lonia tigang dina. Nihau brata Amurti Wisnu ngaran , kawasa mangan sekul iwaknia sambeda, aywa nginum toya solas dina lonia. Brata ning abrta ngaran.
Terjemahannya.
Initah haji kreta namanya prilaku. menjadi Pamangku, menyucikan diri pada hari purnama tilem, itulah sebagai kelengkapan melaksanakan brata, dibenarkan untuk makan nasi kacang-kacangan dan garam, jangan makan daging babi lamanya setahun. Dan dibenarkan makan nasi dengan lauk garam selama sebelas hari, dan berikutnya makan nasi lauknya bunga wangi lamanya tiga hari. Itulah yang disebut brata Arnurti Wisnu namanya, berhasil makan nasi lauk-nya sembarangan jangan minurn air seblas hari, puncak brata namanya.
Selain itu brata yang tidak boleh ditinggalkan adalah senantiasa mapeningan atau menyucikan diri dan yang tidak kalah pentingnya adalah mendalarni ajaran agama terutama yang berhubungan dengan tugasnya sebagai Pamangku. Mengingat kapasitas Pamangku sebagai gembala umat, ia tidak hanya memiliki keyakinan yang mantap untuk mengantarkan umat mencapai Tuhan dengan landasan cara hidup moralitas dan mentalitas yang benar, kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki pengetahuan keagamaan yang benar. Sebab tanpa pengetahuan keagaman yang benar niscaya apa yang menjadi misi kepamangkuan tidak akan terwujud. Untuk itu Lontar Kusumadewa mengatakan:
"Apan kramaning dadi Pamangku, patut uning ring Tatwa dewa, Dewa tatwa, Kusumadewa, Rajapurana, Puranadewa, Dharma Kahyangan, Purana tattwa, I Pamangku wenang anrestyang pamargin agamane ngastiti Dewa Bhatara Hyang Widhi, kasungkemin olih 1 Krama Desa makadi karma pura sami, awinan mamuatang pisan I Pamangku mangda tatas ring sastra, mangda wruh katattwaning paindikan mwang katuturan, makadi kadharmam, mangda patut pangambile mwang pamargine. "
Tegemahannya:
Adapun prilaku seorang Pamangku hendaknya mengerti serta memahami tentang Tattwadewa, Dewa Tattwa, Kusumadewa, Raja purana, Purana Dewa Dharma kahyangan Pamangku patut menjadi pelopor pelaksanaan agama serta memuja Tuhan, dipatuhi oleh warga masyarakat desa maupun warga penyungsung pura. Oleh karena itu sangat diharapkan agar Pamangku paham akan hakikat segala hal seperti, paham dalam kesusilaan agar tidak salah dalam melaksanakan tugasnya.
Larangan:
Dalam upaya memelihara kesucian diri sebagai Pamangku, berdasarkan sumber sastra Kusumadewa ada beberapa larangan yang patut dijauhi oleh seorang Pamangku.
"Yan hana. Pamangku Widhi tampak tali, cuntaka dadi Pamangku, wenang malih maprayascitta kadi nguni upakaranya, wenang dadi Pamangku Widhi malih. Yan nora samangkana phalanya tan mahyun Bhatara mahyang ring, kahyangan.
Terjemahan:
Bilamana ada Pamangku pura yang pernah diikat / diborgol, di pandang tidak suci Pamangku tersebut, diwajibkan melaksanakan upacara penyucian kembali seperti sediakala. Di benarkar ditetapkan menjadi Pamangku kembali. Bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Ida Bhatara turun di pura.
Yang dimaksud dengan tampak tali di sini adalah bilamana pamangku itu pernah dituduh berbuat kejahatan sehingga dihukum atau diikat. Terbukti atau tidak kesalahan pamngaku itu, karena pernah dihukurn atau dituduh berbuat salah sehingga
diikat, maka akibat dari itu kesuciannya dipandang telah ternoda sehingga perlu direhabilitasi melalui upacara prayascita. Untuk dapat bertugas kembali. Bila ternyata pamangku itu memang terbukti bersalah maka otomatis Kepamangkuannya dicabut/digugurkan. Bahkan diwajibkan untuk mengembalikan biaya pawintenan yang pernah dikeluarkan oleh desa. Tetapi jika tidak bersalah semua biaya upacara reabilitasi akan ditanggung desa.
"Yan hana pamangku Widhi sampun putus madiksa Widhi mapawintenan Eka jati, mapahayu agung, tekaning, antaka haywa pinendhem, tan wenang, hila-hila dahat ikang bhumi kena upadrawa de Sang Panenggeking Bhumi. "
Terjemahannya:
Apabila seorang pamangku pura yang telah melaksanakan upacara pawintenan hingga tingkat mapahayu agung, tatkala kematiannya tidak boleh ditanam/dikubur, bahaya akan mengancam, dunia kena kutuk oleh penguasa jagat.
Larangan untuk mengubur bagi pamangku yang meninggal dunia disebabkan karena seorang Pamangku telah mengalami penyucian diri baik lahir maupun batin, maka rohnya wajib segera disucikan dengan pengabenan untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Maka jazadnya tidak dibenarkan untuk dikebumikan.
"Aja sira pati pikul-pikulan, aja sira kaungkulan ring warung banijakarma, aja sira mungguh ring soring tatarub camarayudha, salwiring pajudian mwang aja sira parek ri salwiring naya dusta.
Terjemahannya:
Pamangku jangan sembarang memikul, janganlah masuk ke lapak tempat berjualan, jangan duduk di arena sabungan ayam, semua jenis perjudian, dan jangan dekat atau bergaul dengan orang-orang yang berniat jahat.
Larangan bagi Pamangku untuk tidak sembarang memikul adalah untuk menjaga kesucian lahir maupun batin Pamangku. Tetapi memikul benda-benda yang telah disucikan tidaklah merupakan pantangan, bahkan merupakan suatu kewajiban untuk dikerjakan. Kemudian larangan untuk memasuki lapak tempat berjualan bukanlah berarti pamangku tidak boleh berbelanja, tetapi akan lebih baik jlka pamangku tidak mengambil tugas rangkap sebagai dagang. Demikian juga tentang duduk di bawah atap tempat judi, jangankan berjudi duduk saja tidak dibolehkan, ini menandakan. bahwa Hindu tidak membenarkan adanya perjudian.
"Yan Pamangku mawyawahara, tan wenang kita anayub cor teka wenang adewasaksi. "
Terjemahannya.
Bilamana pamangku bersengketa tidak patut mengangkat sumpah dengan cor, yang patut-dilakukan adalah mohon persaksian kehadapan Hyang Widhi.
Yang dimaksud dengan anayub cor adalah melaksanakan sumpah yang mengandung kutukan dan dilanjutkan dengan meminum air suci dalam rangkaian sumpah itu. Untuk proses hukum mengangkat sumpah dipengadilan masih diperkenankan.
"Samalih tingkahing Pamangku, tan kawasa keneng sebelan sire, pamangku, yan hana wwang namping babatang tan kawasa sira mangku marika, tur tan kawasa amukti dreweniong namping babatang.
Tejemahannya.
Dan lagi prilaku menjadi pamangku, tidak dibenarkan dinodai oleh kacuntakan, bila ada orang yang punya kematian tidak dibenarkan parrqangku mengunjungi orang yang kedukaan tersebut, apalagi menikmati makannan dan minuman di tempat tersebut.
Larangan tersebut di atas bersifat anjuran, bila pamangku menghendaki agar dirinya tidak terkena cuntaka. Tetapi bilamana karena sesuatu hal yang mati adalah kerabat dekat sehingga akan dirasa kurang enak bile tidak datang melayat, sesungguhnya pamangku itu masih diperkenankan. Hanya saja setelah melayat pamangku wajib melakukan mapeheningan Kemudian untuk menetralisir pikiran yang cuntaka dapat pula dilakukan dengan mengucapkan mantra Aji Panusangan yang tersurat dalam lontar Sodasiwikarana yang berbunyi.
Iki Sanghyang Hayi Panusangan, ngaran pangeleburan letuhing, sarira, palania tan keneng sebelan, saluiring mageleh ring, prajamandala, wenang sakama-kama, apan sanghyang mantra luwih utama, yan tasak dening ngrangsukang mantra iki, saksat mawinten, ping telu, gelarakna siang ratri.
Terjemahannya.
Ini ajian Panusangan namanya, pembasmi kekotoran diri, pahalanya tidak terkena sebelan, segala noda di dunia, bisa diucapkan dimana-mana, karena ajian sangat utama, apabila mantap dan matang dalam pelembagaannya, ibaratnya mawinten tiga kali, ucapkan siang malam.
Pujanya.
Idep aku anganggo aji katomah, amangsa amungsung aku tan pabresiltan,aku pawaking setra, suka kang akasa, suka kang prethiwi, tan ana aku keneng sebelan, apan aku teka amresihin awak sariranku, teka bresih 3X
Kemudian dalam lontar Tattwa Siwa Purana membuka tambahan tentang filsafat bali Pamangku sebagai berikut.
"SamaIih yang sampun madeg pamangku tan wenang ngambil banterg, mikul tenggala mwang lampit, tan palangkahan sawa, sarwa sato, saluiring sane kinucap cemer.
Terjemahannya.
Dan apa bila sudah menjadi Pamangku, tidak patut mengambil sapi, memikul alat bajak, tidak dilangkahi jenasah, binatang maupun segala yang tergolong cemer
Dalam praktek yang telah berlaku di masyarakat, yang dipantangkan oleh Pamangku adalah melangkahi tali sapi dan tidak boleh memukul sapi. Untuk memikul alat bajak larangannya didasarkan pada pertimbangan, bahwa alat bajak pada umumnya dalam pemakaiannya biasa diduduki, sehingga akan dipandang cemer bila sesuatu yang biasanya diduduki itu dipikul oleh pamangku. Tidak ada larangan yang jelas bahwa pamangku tidak boleh membajak.
Larangan bagi Pamangku dilangkihi jenazah, sudah jelas karena jenazah dalam pandangan agama Hindu tergolong cemer, demikian pula semua bentuk binatang (sarwa sato). Kesimpulannya pamangku tidak patut dilangkahi oleh sesuatu yang tergolong cemer.
Dalan, Paruman Sulinggih Tingkat Prop. Bali tahun 1992 telah diambil suatu kesimpulan, yaitu pamangku tan pati pikul-pikulan, tidak dibenarkan ikut ngarap sawa, tan wenang cemer, bilamana terbukti cemer pamangku patut melaksanakan prayascitta atau nyepuh.
CUNTAKA BAGI PAMANGKU:
Pamangku pada dasarnya tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain, (pamangku tan milu keneng cuntakaning len). Hal ini dimaksudkan bahwa bilamana ada salah seorang warga masyarakat di desanya atau keluarga dekat yang meninggal, pamangku tidak kena cuntaka. Oleh karenanya pamangku masih dapat melanjutkan tugasnya di pura. Tetapi bila pamangku mengalami musibah kematian, diantara anggota keluarga di rumahnya sendiri, pamangku tersebut terkenacuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya- Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan.
‘’’yan pamangku kahalangan pati ngarep ring,, pahumahania, tigang, dina cuntakania yan sang Brahmana Pandita, tan hana cuntakania.
Malih I Pamangku tan milu keneng cuntaka Wong len, Yan arep anak lan putunia pejah, pitung dina cuntakania. Tutugning sengkerning cuntakania teke wenang I Pamangku aprayascita.
Terjemahannya:
Bilamana Pamangku mendapat halangan kematian di rumahnya, tiga hari cuntakanya. Kalau pendeta tidak ada cuntakanya. Dan lagi Pamangku tidak ikut terkena cuntaka orang lain. Kalau terhadap anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakannya. Setelah tiba berakhir cuntakanya sepatutnya Pamangku itu melaksanakan upacara prayascitta.
Masih dalam lingkungan kematian, bagi Pamangku yang rumahnya berdampingan dengan pura tempatnya bertugas, maka bilamana di rumah itu ada kematian dianjurkan bila akan menyimpan jenazah di rumah agar dipindahkan ketempat lain. Untuk jelasnya berikut ini akan kami kutipkan dari lontar Widhi Sastra Satya Mandala sebagai berikut:
"Mwah yan hana kahyangan panyiwian sang ratu, yadyan prasadha ring kahyangan ika, masanding umahnia maparek, tan pabelat marga, ri tekaning kaparekan de Mangku Bhatara, hageakna prateka haywa ngaliwari salek suwenya.
Yan hana halangan bhumi bhaya kinwan de sang ratu dohaken anyekah wangke ika, yan prahimba marep juga same anyekeh wangke, yang anti amreteka, wenang mulih ring dunungania nguni, haywa nyekeh sawa ring dunungan de Alangku sasuwe-suwenia Imeh ikang parahvangan sang Rathu phalania sang ratu gering, reh de Mangku cemer.
Yan doh anyekeh wangke selat marga rurung, limang dina de Mangku kacuntakan dadi de Mangku ulah ulih ring kahyangan, ngaturang pasucian. Yan de Mangku nyekeh wangke ring umahnia, salaiwase tan kawasa de Mangku ka kahyangan, sapuputan sawa mabhasmi luwar cuntakania"
Terjemahannya:
Dan lagi bila ada pura pemujaan. Raja maupun prasadha di pura itu, berdampingan rumahnya berdekatan tidak dibatasi jalan, tat-kala Pamangku kematian, agar secepatnva diupacarakan jangan melewati waktu sebulan. Bilamana karena suatu halangan wabah, (agar) disuruh oleh sang Raja untuk menjauhkan menyimpan jenazah itu, (bila berkehendak menyimpan jenazah itu). Pada waktunya akan mengupacarai boleh untuk di bawa pulang ketempatnya semula janganlah menyimpan jenazah itu di rumah Pamangku, (oleh karena) selamanya akan tercemar aura tempat persembahyangan Raja yang akan berakibat sang Raja akan tertimpa penyakit oleh karena Pamangku menyimpan yang menyebabkan leteh.
Bila jauh tempatnya menyimpan jenazah itu, dibatasi jalan lima hari lamanya Pamangku terkena cuntaka, Pamangku diperkenankan keluar masuk ke pura untuk menghaturkan pesucian
Bila Pamangku menyimpan jenazah itu dirumahnya, selama itu tidak diperkenankan Pamangku itu pergi ke pura, setelah selesainya jenazah itu dibakar, saat itu berakhirlah cuntakanya pamangku itu.
Demikianlah Pamangku karena tugasnya ditempat suci dan karena tingkat penyucianya tidak sama dengan sulinggih patut menjauhi hal-hal yang dipandang dapat menyebabkan leteh dan cemer. Bila karena suatu keadaan yang tidak terhindarkan seperti karena kematian salah seorang anggota keluarganya disatu rumah, maka upaya penyucian diri Pamangku dilakukan dengan upacara prayascitta. Kecuntakan bagi Pamangku selain disebabkan karena kematian salah satu anggota keluarganya, atau karena nyekeh sawa ( menyimpan mayat dirumahnya) juga terjadi karena Pamangku mengambil istri baru. Dalam hal serupa itu lontar Tatwa Siwa Purana memberi petunjuk sebagai berikut:
... yan sampun madeg Pamangku, tan kawenang cemer, yan wenten Pamangku malih mengambil rabi, ri wusnia mapawarangan, wenang sire mangku manyepuh pawintenan nguni. Mwah ngaturang pasapuh ring pura mwah wadone punika wenang nyepuh. Apang tan kari kareketan letuh, yan tan nawur penyapuh, tan kawenang ka pura. Yan marabi saking paiccan nabe, mwang guru wisesa, kalih saking pakramane ngaturin marabi, punika dados ngaturang pangerebu alit, ring pura pura nenten ja masepuh.
Terjemahannya:
... kalau sudah menjadi Pamangku, tidak boleh cemer, kalau ada Pamangku beristri baru, setelah selesai upacara perkawinannya patut Pamangku itu melaksanakan upacara nyepuh pawintenannya yang lalu dan lagi menghaturkan upacara pasasapuh di pura, dan istrinya itu patut melaksanakan. upacara nyepuh. Supaya tidak terkena letuh (cemar), kalau tidak melaksanakan upacara penyapuh tidak diperkenankan ke pura. Kalau mengambil istri karena pemberian guru atau pemerintah maupun dan warga masyarakat yang memberikan, atau menyuruh beristri, diperkenankan hanya menghaturkan upacara pangrebu yang sederhana di pura, tidaklah dengan upacara penyapuh.
Bagi Pamangku wanita yang cuntaka karena kotor lain juga berlaku sebagaimana umumnya. Dan setelahnya mabersih diri (mandi berkeramas) masih diperlukan tingkat pembersihan lebih lanjut seperti prayascitta atau setidak-tidaknya dengan matirta sebelum akan melaksanakan tugas ke pura. Demikian halnya cuntaka karena melahirkan atau keguguran kandungan, batas cuntakanya sesuai dengan cuntaka yang berlaku bagi masyarakat umum. Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Agama Hindu VI Tahun, 1980 ditetapkan sebagai berikut:
1. Sabel atau cuntaka karena melahirkan yang terkena cuntaka adalah diri pribadi dan suaminya beserta rumah yang di tempatinya. Batas waktunya sekurang kurangnya: 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirta pabersihan dan suaminya sekurang-kurangnya sampai dengan putusnya tali pusar si bayi.
2. Sebel karena wanita keguguran kandungan adalah diri pribadi dan suaminya beserta dengan rumah yang di tempati. Batas waktu sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah dapat tirta pabersihan.
Bilamana dalam kegiatan upacara piodalan di pura Pamangku mendapat halangan kematian salah seorang anggota keluarganya, maka agar Pamangku tersebut tidak terhalang dalam melaksanakan tugasnya di pura, dianjurkan agar tidak pulang kerumah yang ada kematian, bilamana Pamangku tersebut pulang maka ia akan terkena cuntaka sehingga tidak diperkenankan masuk ke pura sebelum melakukan upacara prayascitta.
WEWENANG
Seorang Pamangku memiliki batas kewenangan yang berbeda dengan Sulinggih dalam mengantarkan yadnya. Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu IX tahun 1986. Tugas dan wewenang Pamangku dalam mengantarkan yadnya adalah sebagai berikut:
1. Menyelesaikan/nganteb upacara rutin atau pujawali/piodalan pada pura yang, di emongnya serta mohon tirtha kehadapan Istadewata yang disthanakan di pura tersebut termasuk upacara pembayaran kaul / sesangi.
2. Bila menyelasaikan tugas di luar pura yang di emongnya, Pamangku / Pinandita tidak diperkenankan muput melainkan Nganteb, dengan tirtha pamuput dari sulinggih.
3. Dalam penyelesaian upacara, Pamangku di beri wewenang, Bhuta yadnya sampai tingkat Panca sata Ayaban sampai tingkat Pulagembal, Manusa yadnya dari Bayi lahir sampai dengan otonan biasa, Pitra yadnya wewenang diberikan sampai pada memdem sawa di sesuaikan dengan desa mawacara.
TUGAS DAN KEWAJIBAN
Secara rinci tugas dan kewajiban Pamangku telah di atur dalam awig-awig Desa pakraman, untuk Pamangku Kahyangan Desa, Jika Pamangku kawitan atau Pamangku Pura Keluarga di atur berdasarkan kesepakatan pangempon atau penyungsung. Namun secara umum tugas dan kewajiban Pamangku adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas kepemangkuan dengan konsekwen dimana yang bersangkutan ditetapkan menjadi pamangku.
2. Menjaga artha milik pura dan memelihara kebersihan serta kesucian pura dan segala hal yang dipandang dapat menodai kesucian pura.
3. Melakukan layanan kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu menyelesaikan upacara sesuai dengan kewenangannya.
4. Menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kekhidmatan pelaksanaan upacara.
5. Sebagai Duta Dharma yang senantiasa memberikan tuntunan kepada umat menyangkut pelembagaan ajaran-ajaran Agama.
PENGHARGAAN ATAU HAK.
Sebagai wujud penghargaan terhadap tugas dan kewajiban pamangku yang cukup berat, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek--aspek Agama Hindu VI tahun 1980 ditetapkan Sebagai berikut:
1.Bebas dari ayah-ayahan desa, atau sesuai dengan tingkat kepemangkuannya.
2. Dapat menerima, bagian sesari aturan atau sesangi.
3. Dapat menerima bagian hasil pelaba pura (bagi pura yang memiliki pelaba)
4. Apabila Pamangku meninggal dunia upacara pengabenannya di tanggung oleh pangempon di mana Pamangku itu bertugas.
Walau telah di atur seperti diatas, palaksanaannya tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat maupun awig-awig yang telah di sepakati, baik yang berlaku di lingkungan suatu pura maupun desa adat. Pamangku Kahyangan Desa (Pamangku Desa, Puseh, Bale agung, Dalem dan sebagainya), menjadi tanggungan Desa Pakranian.
Bagi Pamangku yang bertugas di luar Kahyangan Desa, mendapat penghargaan dan hak dari kelompok pangempon pura tempatnya bertugas. Sedangkan kewajiban terhadap Desa Pakraman dan Pura Kahyangan Desa masih di bebani dalam tingkat tertentu sesuai dengan awig-awig setempat.
Sedangkan pamangku jenis Pinandita, pamangku Dalang, Pamangku Tukang tidak mendapatkan leluputan, karena tugasnya tidak terkait secara langsung dengan suatu Pura tertentu.
puput
OM SANTHI SANTHI SANTHI OM
SUKRETTANING PAMANGKU

Kehadiran Pamangku merupakan suatu kebutuhan bagi umat Hindu di manapun ia berada. Kapasitas dan fungsinya menjadi sangat penting atau vital seperti halnya kehadiran Pandita. Keberadaan dan perannya sangat dibutuhkan tatkala umat Hindu melaksanakan kehidupan keberagamaan dalam dimensi sosial atau keberagamaan dalam aspek komunal. Dalam tindakan ritual yang bersifat vertikal,ia hadir sebagai media perantara bagi umat untuk berkomunikasi dengan Hyang Widhi dengan kata lain sebagai Imam Upacara atau Manggala Upacara. Kemudian dalam aspek sosial horisontal perannya diharapkan dapat menjadi panutan dapat memberi teladan serta contoh yang baik bagi masyarakat sekitarnya, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk dapat melakoni kehidupan dan mencapai kemuliaan sekaligus pembebasan sesuai dengan petunjuk sastra. agama.

Sama halnya dengan Pandita, untuk menjadi Pamangku yang idial tidaklah mudah, ia merupakan ikon dari realitas yang suci, yang hidupnya selalu melaksanakan urusan dengan mengikuti pola-pola yang telah diietapkan oleh Tuhan. Semua prilakunya dikontrol oleh otoritas yang sakral, artinya struktur dan kontruksi dari Pamangku dibangun di atas fondasi yang sakral/kesucian. Hanya dengan cara demikian keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya akan dicapai.

Seorang Pamangku sebagai media perantara sekaligus tangga penghubung ataupun poros dunia (axis mundi) merupakan "simbol kenaikan dan menurunkan" Yang vertical, yang menghubungkan Hyang Widhi dengan umat Hindu, yang sacral dengan yang profan, dan sekaligus sebagai "simbol perjumpaan" untuk menyatu dengan Tuhan.

Untuk itu sosok Pamangku merupakan sebuah cosmos atau hierofani yakni pusat keteraturan dimana Tuhan merealisasi dan sekaligus sebagai teofani atau manusia dewa.

KONSEP PAMANGKU

Secara etimologi, kata Pamangku berasal dari bahasa Jawa Kuna dari kata"Pangku" yang artinya menyangga atau menopang. Kata menyangga atau menopang rupanya parallel dengan arti kata dharma dari kata "dhr" menjadi "dhara" yang artinya juga menyangga. Kata pangku ini mendapat awalan "pa" mengalami nasalisasi menjadi Pamangku dalam lidah Bali diucapkan Pemangku. Dihubungkan dengan kata dharma yang memiliki arti sama, maka seorang Pamangku adalah penyangga dharma sekaligus figur dari perwujudan dharma itu sendiri (Sang Paragan Dharma).

Merturut Lontar Widhisastra kata Pamangku diuraikan menjadi "PA"
bermakna "Pastika pasti" yang artinya paham akan hakekat kesucian diri. "MANG" bermakna "Wruh ring tata-titining Agama" artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran agama. "MANG" juga merupakan aksara suci untuk "Iswara" atau Siwa. Menurut pustaka Purgamasasana, Dewa Iswara merupahan Guru Niskala bagi warga desa pakraman, Baliau Sang Hyang Iswara juga dijuluki Sang Hyang Ramadesa. "KU" bermakna "kukuh ring Widhi" yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada aturan-aturan kebenaran yang berasal dari Tuhan atau Hyang Widhi Wasa.

Kemudian Lontar Sukretaning Pamangku, menguraikan bahwa, Pamangku adalah perwujudan I Rare Angon, yakni manifestasi, personal dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai Dewa Gembala, seperti dinyatakan sebagai berikut:

"Iki sukretaning Pamangku ring kahyangan, wenang tegesing Pamangku kawruhakna kang mawak Pamangku ring sariranta, I Rare Angon mawak Pamangku ring sariranta. "

Terjemahannya
"Ini tata tertib tentang Pamangku di suatu pura, yang dimaksud dengan Pamangku untuk diketahui, yang berwujud Pamangku dalam dirimu, sesungguhnya I Rare Angonlah yang berwujud Pamangku. dalam dirimu".

Sesuai dengan ketetapan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pamangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yajna Pawintenan sampai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amari aran. Dengan demikian pamangku adalah rohaniawan yang statusnya masih tergolong ekajati.

 Selain itu rohaniawan yang masih berstatus ekajati adalah Wasi, Mangku Balian, Mangku Dalang, Pengemban, Dharma Acarya,. Beliau-beliau ini tidak memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tettentu. Oleh karena itu rohaniawan ini dalam melaksanakan tugasnya lebih bersifat umum, seperti; menyelesaikan upacara: perkawinan, upacara manusa yadnya lainnya, upacara kematian. Semua rohaniawan yang tergolong, ekajati ini diberi sebutan Pinandita, yang artinya dipanditakan atau wakil dari Pandita.

PROSEDUR MENJADI PAMANGKU

Eksistensi seorang Pamangku" sangat ditentukan oleh suatu kebutuhan atau tuntutan. Apakah itu kebutuhan pribadi, kelompok maupun umum. Untuk kebutuhan pribadi seseorang menjadi Pamangku tidak didasarkan pada pemilihan public, melainkan atas dasar kesadaran pribadi yang bersangkutan untuk menjadi Pamangku. Kesadaran pribadi sering dilatar belakangi oleh sakit yang mendahului karena dipilih oleh kekuatan niskala walaupun yang bersangkutan tidak ngemong suatu Pura.

Untuk memenuhi kebutuhan kelompok atau umum prosedur pemilihannya atau pengangkatannya dapat mengikuti beberapa cara:

1. Pemilihan Pamangku secara langsung dan demokratis berdasarkan penunjukkan atas dasar suara terbanyak dari suatu komunitas tertentu yang mernbutuhkan adanya Pamangku tersebut. Cara inipun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Kemudian calon dipilih secara demokratis dalam suatu paruman. Calon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang ditetapkan. menjadi Pamangku.

2. Pemilihan Pamangku berdasarkan keturunan. Pemilihan model ini tidak banyak mengalami hambatan, mengingat para keturunan dari Pamangku itu telah menyadari sebelumnya pada waktunya nanti akan melanjutkan pengabdian Leluhurnya/orang tuanya untuk ngayah sebagai Pamangku. Walaupun pemilihan ini tinggal menunjuk saja dari keturunan seorang Pamangku oleh masyarakat, namun dernikian siapa yang ditunjuk tidak boleh tergolong ke dalam ceda angga atau carat fisik maupun cacat moralitas dan kepribadiannya.

3. Pemilihan Pamangku dengan cara nyanjaan, yakni dengan menggunakan mediator seorang Mangku Lancuban atau Balian Katakson. Prosesinya diawali dengan matur piuning di Pura. dimana Pamangku tersebut akan melaksanakan tugasnya. Kemudian mediator tersebut akan kerauhan, jika tidak ada hambatan, maka mediator tersebut akan menyebut nama seseorang vang dipilih untuk jadi Pamangku. 
Pemilihan dengan cara ini bisa diulang bilamana dipandang kurang tepat dan tidak sesuai dengan harapan.

4. Pemilihan dengan membagikan lekesan, cara seperti ini lebih mendekati seperti undian yang dilakukan secara tradisional. Lekesan yang akan dibagi atau diundi terlebih dahulu dipermaklumkan melalui penyucian kepada Hyang Widhi yang.berstana di pura yang memerlukan Pamangku. Dari sekian banyak lekesan tersebut ada satu yang diberi kode berbeda di dalamnya. Setelah dibagikan, bagi yang memperoleh kode berbeda di dalamnya ialah terpilih menjadi Pamangku. Setelah calon Pamangku ditetapkan maka dilanjutkan dengan pengukuhan, melalui upacara pawitenan Pamangku. Yakni upacara ritual penyucian diri secara lahir dan batin bagi seseorang untuk memasuki swadharmanya sebagai Pamangku atau Pinandita, dan memiliki konsekwensi kewenangan untuk memimpin pelaksanaan upacara. Mengenai upacara pawintenan ini dinyatakan dalam lontar, "Tatwa Sivapurana" sebagai berikut:
"Iti tingkahing krama desa, banjar, dadya ngadegang pamangku mangda maupakara rumuhun patut tingkahing, pangupakaraning pamangku. Apang tetep parikramanya mawinten, pawintenannya marajah Ghana, kajaya-jaya olih pandita Buddha yadyapin Siwa... "

Terjemahannya.
Ini tatacara masyarakat desa, banjar, pura keluarga mengangkat pamangku, supaya diupacarai terlebih dahulu sesuai dengan upacara pengangkatan pamangku, agar lengkap upacara pawintenannya. Pawintenannya digambar Ghana, dipuput/diselesaikan oleh pandita Buddha dan Siva. 

Walaupun secara institusi formal seorang Pamangku tidak memasuki sila kramaning aguron-guron, namun agar tidak terjadi pelanggaran dalam melaksanakan tugas, sebaiknya seorang Pamangku mengangkat Guru Pembimbing, dalam hal ini siapa yang menyelesaikan upacara pawintenan tersebut, seperti yang dinyatakan dalam lontar Purwagamasasana sebagai berikut:

"Iki ling ing Purwwa-Gama-Sesana" Yan hana wwang kengin kumew,ruha ri kahananing Sanghyang aji Aksara, yogya ngupadhyaya awak sariranta ruhun, lamakana tan keharananing letuh, lamakana weruh rijatining manusa, wenang sira Mawinten rumuhun mwang katapak denira Sang Guru Nabe, apan sira Sang Guru Nabe bipraya angupadhyaya nuntun sang sisya kayeng kawekas, mawastu mijil sakeng, aksara ngaranya.

Yan hana wwang kumewruha rikahananing sanghyang aji-aksara, tan pangupadyaya utawi maupacara mwah tan katapak, tan paguru, papa ikang wwang yan mangkana, babinjat wwang mangkana ngaranya, apan mijilnya tan paguru, kweh prabhedanva idennya dawak, yan benjangan padhem wwang mangkna, atmanya manados entiping kawah candra ghomukha. Yan manresti malih matemahan tiryak yoni, amangguhaken kasangsaran.

Malih hana piteketku ri kita kabeh, sang mahyun kumawruha ring kahananing Aji-aksara mwang kapemangkuan, yan hana wwang durung Dwijati utawi abhodgala, tan kawenang wehana gumelaraken Sodasa-Mudra, kopadrawa sira denira Sang Hyang, Asta Dewata. Kewala ikang amusthijuga kawenangan wehana ri wwang durung Adhiksa Dwijati, ri sang harep anembah Dewa, amreyogakna Sang Hyang ri daleming sarira. Mangkana piteket-Ku ri wwang kabeh, haywa marlupa, hila-hila dahat.
Terjemahannya.
Ini ucapan sastra Adhi Purwwagama sasana: " Jika ada seseorang bermaksud mengetahui segala keberadaan ilmu pengetahuan kesucian, sebaiknya terlebih dahulu bergurulah kamu, agar tidak disebut cemar, agar tahu hakikat sebagai manusia, wajib kamu melaksanakan pawintenan, serta mendapat pengesahan/pembaptisan oleh Guru Rohani, karena Guru Rohanilah yang akan memberi pelajaran serta menuntun siswa rohani sampai di kemudian hari, yang menyebabkan dirimu lahir dalam dunia spiritual.

Jika ada seseorang bermaksud mengetahui segala keberadaan ilmu pengetahuan kesucian, namun tidak berguru, tanpa upacara pengesahan tanpa dibaptis serta tanpa pembimbing spiritual, ternodalah orang yang demikian itu, ibarat anak jadahlah orang yang demikian itu, karera lahir tanpa bimbingan guru rohani tanpa upacara penyucian, banyak cacatnya orang yang demikian itu, pikiran pendek, prilakunya tidak terpuji tak ubahnya seperti binatang termasuk kecerdasannya. Saat kematiannya nanti roh orang yang demikian itu. akan disiksa oleh algojo naraka menjadi kerak.kawah naraka, jika menjelma dikemudian menjadilah ia binatang rendahan serta senantiasa menemui penderitaan.
Sekarang ada nasehat-Ku. lagi kepadamu jika ada seseorang belum dibaptis menjadi Pandita, jangan diberikan memperagakan Sodasa Mudra, akan kena kutuk mereka oleh Sanghyang Astadewata, hanya dengan mamusti saja hakmu bagi yang belum menjadi Pandita pada saat kamu hendak memuja Tuhan, dan menyatukan Nya dalam dirimu. Demikian nasihat-Ku kepada manusia semua, jangan sampai lupa sangat berbahaya hukumnya.

JENIS PAMANGKU

Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku ini dibedakan menjadi 12 ( dua belas ) jenis, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu: 

1. Pamangku Kahyangan ( Pemangku Kusuma Dewa )
Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.

2. Pamangku Pamongomong ( Pembantu Pemangku Kusuma Dewa)
Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.

3. Pamangku Jan Banggul
Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.

4. Pamangku Cungkub
Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.

5. Pamangku Nilarta
Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.

6. Pamangku Pandita
Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.

7. Pamangku Bhujangga
Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.

8. Pamangku Balian
Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.

9. Pamangku Dalang
Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.

10. Pamangku Tapakan / lancuban
Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjut, dari dunia niskala.

11. Pamangku Tukang
Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.

12. Pamangku Sang Kulputih
Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.

13. Pamangku Sang Kulpine
Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih. 

14. Pamangku Kortenu,
Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya. 

Selain Pamangku di atas di beberapa daerah di Bali di kenal pula yang namanya Pamangku Sonteng atau Balian Sonteng. Pamangku ini tidak tergolong ke dalam Pamangku Tapakan Widhi vang bertugas di tempat suci atau pura . Tugasnya menyelesaikan upacara yang biasa diselenggarakan di luar pura, seperti manusa yajna dari macolongan sampai dengan wiwaha.

Kemudian sesuai dengan basil Sabha II Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat tahun 1968, diperkenalkan isitilah Pinandita selaku pembantu mewakili Pandita. Walaupun Pinandita ini ditetapkan selaku pembantu mewakili Pandita namun wewenangnya tidaklah menyamai wewenang Pandita. Hanya dalam keadaan tertentu khususnya di luar daerah Bali Pinandita diperkenankan mewakili Pandita untuk mengantar semua jenis yajna dengan cara yang berlaku bagi seorang Pamangku.

ATRIBUT PAMANGKU

Pamangku sebagai rohaniawan yang masih tergolong ekajati atau walaka, dalam hal berbusana hanya diatur pada saat melaksanakan tugas kepemangkuannya saja. Sedangkan dalam keadaan sehari-hari tidak diatur secara khusus. Hal ini disebabkan karena tidak terjadi perubahaan atau penagantian wesa seperti. yang berlaku pada seorang Pandita. Pamangku masih dibenarkan untuk agotra atau bercukur sebagai walaka umumnya. Hanya saja saat Pamangku melaksanakan tugasnya sesuai. dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu VI tahun 1980, Pamangku diwajibkan berbusana lengkap serba putih, dari bentuk destar mongkos nangka, baju, kain dan kampuh. Bagi yang mernelihara rambut dimasukkan ke dalam destar dengan cara dikonde, sehingga tidak terurai. Kemudian tidak dibenarkan mengenakan busana pada waktu memuja seperti busana Pandita, termasuk juga dalam hal tatanan dandanan rambut.
Perlengkapan Pamangku dalam melaksanakan tugasnya tidak memakai, perlengkapan sebagaimana yang dipergunakan oleh Pandita. Yang dipergunakan oleh Pamangku adalah genta, dupa sastrat, sangku atau payuk, serta dulang sebagai alasnya.

FUNGSI PAMANGKU

1. FUNGSI SPIRITUAL
Pamangku, adalah rohaniawan dan sekaligus seorang spiritualis. Sebagai seorang rohaniawan dia dituntut melaksanakan fungsi manifesnya. Fungsi manifest ini akan dapat berjalan secara maksimal apabila pamangku memiliki spiritualitas yang mantap. Spiritualitas yang mantap akan terwujud apabila pamangku melaksanakan fungsi latennya, artinya dimana setiap langkah dan tindakannya harus mencerminkan pribadi yang dilandasi oleh kesucian itu. Sebagai media bagi umat untuk Tuhan, pelembagaan kesucian itu tidak hanya mengalir dari luar dalam bentuk prilaku dan yang paling penting adalah bagaimana Pamangku itu membangun kualitas Jiwanya dengan terus menerus membangun kesucian itu. Hanya dengan kesucian, tugas dan pelayanan paripurna dapat terlaksana. Hanya dengan kesucian spiritualitas akan dibangun. Sehubungan dengan kesucian ini Lontar Kusumadewa menyatakan.

"Satingkahe dadi pamangku kari undakan Widhi, sabran dina rahayu patut I pamangku mapeningan manyucian dewek. Satingkahe nyuci laksana, saparikramaning apening pelajahin tur nunas tirta ring pura panyiwiania makadi ring Ida Pandita maka panelah-nelah reged ring sarira; luir tirta sune patut tunas; panglukatan, pabersihan, wus mapeningan mangda ke pura mererisak "

Tejemahannya.
Prilaku sebagai Pamangku Pura setiap hari baik patut menyucikan diri. Tatacara menyucikan diri. Tatacara menyucikan diri, aturan tatacara menyucikan diri patut dipelajari dan mohon air suci di pura tempatnya bertugas dan juga kepada pandita sebagai penyucian atas segala noda dan kotoran dirinya. Adapun tirta yang patut dimohonkan adalah tirta panglukatan, pabersihan, setelah selesai menyucikan diri, agar ke pura untuk melaksanakan tugas menyapu membersihkan halaman pura.

Lebih lanjut "Puja Pancaparamartha menyatakan.
"Agni madhye ravis caiva, Ravi madhye 'stu candramah
Candra madhye bhavec suklah, z-u, sukla madhye sthitah sivah.

Tejemahaannya.
Di dalam api ada matahari, di dalam matahari ada bulan
Di dalam bulan ada kesucian , dalam kesucian Siva berstana

2. FUNGSI RITUAL
Pamangku memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat Hindu, fungsinya menjadi sangat vital tatkala umat menyelenggarakan upacara yaina. Sepanjang, tidak menggunakan Pandita, maka Pamangkulah yang diminta jasa layanannya sebagai manggala dari upacara yajna tersebut yang lazim disebut dengan nganteb. Terkait fungsinya sebagai pemimpin ritual maka kompentensi yang harus dikuasai walaupun tidak sepenuhnya kecuali Pandita terkait dengan upacara tersebut meliputi:

a. Yantra 

Yantra dimaksud adalah seorang Pamangku seyogyanya memahami arti dan makna simbolis dari berbagai sarana yang dipergunakan dalam kegiatan upacara yang, dipimplanya, lebih lanjut mengoprasionalkan simbol-simbol tersebut sehingga tercapai suatu tujuan sesuai dengan goal, untuk maksud dan tujuan apa upacara yajna itu dilaksanakan. Dalam hal ini tubuh seorang Pamangkupun merupakan yantra seperti dinyatakan berikut ini:
"Iki ngaran Kusunwdewa, penganggen nira Sang Mangku Kulputih, iki kawruhakna Sang Hyang Rare-Angon maka dewaning Pemangku, maka ngaran Mangku Jagat, kawenang nyuci-adnyana nirmala, ngaran, Nare pinaka raga, Bahu pinaka tripada, Sirah pinaka Siwambha medaging toya/tirtha, selaning Lelata Ong-kara sumungsang pinaka cendana, Citta pinaka wija, sucining awakta pinaka Dipa, Netra manis pinaka dhupa, ujar tuwi rahayu. mangenakin pangrenga pinaka gandha, Agni ring nabhi, pinaka sekar tunjung, kuncuping tangan kalih pinaka ghanta, tutuk pinaka Hyang ngaran. Ika maka tingkahing Mangku amuja, samangkana sang Mangku jagat, kadi ling nig Kusumadewa.

Teriemahannya.
Ini. namanya Kusumadewa, atribut Pamangku Sangkulputih, Ini pengetahuan tentang Sanghyang Rare Angon sebagai istadewatanya Pamangku, yang disebut dengan Pamangku Jagat, kewajiban menyucikan rohani, tubuhnya Pamangku ibarat talam, bahunya ibaratkan Tripada, kepalanya sebagai siwamba berisi air suci, Omkara terbalik di antara kedua alis sebagai cendana, pikiran murni sebagai wija, sucinya tubuh sebagai lampu penerang, sorot mata yang menyejukkan ibaratkan dupa, wacana yang lebut sebagai wangi-wangian, panasnya nabi/pusar sebagai bunga padma, bersatunya kedua tangan ibarat ghanta, ujungnya ghanta sebagai Yang dipuja, itulah simbol saat Pamangku memuja, demikianlah Pamangku jagat, sesuai petunjuk sastra Kusumadewa.
Yantra lain yang dipergunakan sebagai piranti adalab Genta atau lazim disebut Kleneng Dalam kapasitasnya sebagai manggala upacara seorang Pamangku ditengkapi dengan Genta. Lontar Widhisastra menyebutkan sebagai berikut.

Yan sampun Adhiksa Widhi katapak dening Sang Pandita putus, wenang sang Mangku mabebajran, mwah ngaloka palasraya, maka walining yadnya, wenang Pamangku nyirating sawangsania ring pakrarnan, sang Mangku wenang ngawalinin yadnya manut panugrahan sang Guru utawi sang maraga Sulinggih.
Terjemahannya
Jika telah melalui pawintenan adhiksa Widhi mendapat pengesahan dari Pandita, saat memuja berkewajiban Pamangku menyurakan suara ghanta, serta melakukan layanan di bidang upacara yajna, berkewajiban Pamangku mencipratkan air suci terhadap warganya di desa, Pakraman, Pamangku patut menyelesaikan upacara sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Guru selaku Pandita.

Lebih jauh dalam lontar Suk-retanim, Pamangku disebutkan sebagai berikut.
"Hana pawekasing Bhatara ring Pamangku, yan rawuh patatoyan Ida Bhatara ring madhyapada, raris angicen bajra patatoyan, maka wruh ikang Pamangku, kawit kretaning Pamangku. Yang nora angagem bajra, nora wruh ring kretaning Kapamangkuan, angaru-hara dadi Pamangku, angiya-ngiya sira ngaran, kena sapaning Bhatara, meh tumbuh edan, karoga,-rogan, anyolong, angedih ring pisaga.

Terjemahannya
Ada pemberitahuan Bhatara kepada Pamangku, pada saat Pujawali di pura, kemudian patut mempersernbahkan suara ghanta pemujaan, sebagai suatu pengetahuan bagi Pamangku awal mula ketertiban bagi Pamangku. Tika tidak memakai bajra/ghanta, tidak mengetahui aturan tentang kepamangkuan, membuat huru-haralah Pamangku itu, membenarkan diri namanya itu, kena kutuk oleh Tuhan, bahkan mungkin menimbulkan kegilaan, kehancuran, mencuri, mengemis pada tetangga.

b. Mantra atau pujastawa

Pamangku wajib memahami doa-doa yang patut dirafalkan sebagai media pengantar atau komunikasi kepada Hyang Widhi saat upacara berlangsung sehingga upacara itu menjadi tepat guna, berdaya guna serta berhasil guna. Lebih jauh. lontar, Sukretaning Pamangku menyebutkan sebagai berikut:

"Yan ngastawa Bhatara aseha-seha nora turun Ida Bhatara, apan sira tan eling kawit kandaning Pamangku,,anganggo lobha angkara, anduracara kita, kalinganya tan merge,t ring agamaning Bhatara, tuhu sira dusun anggen Ida Pamongmong, ngaran.

Terjemahannya.
Jika memuja Tuhan dengan menggunakan dengan bahasa sehari-hari tidak akan turun Ida Bhatara, karena Pamangku tidak mengetahui prosedur menjadi Pamangku, menerapkan keserakahan, angkara murka, melakukan tindakan tidak tepuji Pamangku itu, sesungguhnya tidak ingat pada prilaku memuja Bhatara, sunguh sangat kolot Pamangku itu dijadikan hamba pelayan oleh Tuhan.

Selanjutnya Lontar Sangkulpinge menyatakan.
"lki panugrahan sira Mpu Kuturan, kaunggahang ring Lontar Sang Kulpinge, tingkahing dadi Pamangku, wenang angaduhaken weda ikang Kusumadewa kawruhakna dening pascat.
Terjemahannya
Inilah pemberian Mpu Kuturan, dicantumkan dalam pustaka Sangkulpinge, tatacara menjadi Pamangku, berkewajiban memiliki puja pangastawan, sesungguhnya Kusumadewalah harus, diketahui dengan tuntas.

3. FUNGSI SOSIAL RELIGIUS.
Bertitik tolak dari konsep yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa seorang Pamangku adalah Penyangga Dharma, sekaligus pelaksana dharma pada front terdepan.. Jika dharma diterapkan dharma pula yang akan melindunginya (dharma raksati raksitah) . Lebih jauh Atharvaveda XII, 1. 1, menyatakan bahwa, dharma itu terdiri atas.

"Satyam brhad rtam ugram diksa tapo
Brahma yajnah prthivim dharayanti."
Terjemahannya
Sesungguhnya kebenaran, hukum, inisiasi, disiplin,
doa serta persembahan yang menyangga dunia.

 Apa yang menjadi isi atau contain dari dharma itu seperti terjabar di atas, seorang Pamangku wajib merealisasikannya. Lebih lanjut kitab Slokantara sloka 3. menyatakan.

"Kalingannya, tan hana dharma lewiha sangkeng kasatyan,
Matangyan haywa lupa ring kasatyan ikang wwang
Terjemahannya
Tidak ada dharma yang lebih tinggi dari Satya (kebenaran),
Oleh karena itu manusia jangan lupa melaksanakan Satya itu.

Maka dalam konteks ini scorang, Pamangku adalah pemegang satya atau kebenaran. Realisasl dari satya ini bermuara pada "katakan kebenaran lakukan kebajikan"

Dengan merujuk satra di atas, bahwa seorang Pamangku tugas pokoknya tidaklah cukup memberikan pelayanan di bidang ritual dalam bentuk -menyelesaikan/nganteb upacara yadnya saja. Beliau wajib melembagakan kesucian setiap hari baik untuk diri pribadi maupun untuk orang lain, mengingat Pamangku adalah perwujudan Siva Sakala atau Siwaning Pakraman, sekaligus Sebagai Gembala umat yang bertugas menuntun urnat setiap hari dalam rangka pencarian hakekat Sang Diri demi terwujudnya karahayuan jagat.

BRATA SEORANG PAMANGKU

Dalam rangka melembagakan kesucian dalam diri, seorang Pamangku wajib melaksanakan brata atau disiplin yang ketat sebagai landasan untuk mencapai Tuhan, sesuai pernyatuan Yajurveda XIX.35 sebagai berikut:

Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam,
Daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate.

Terjemahannya.
Dengan menjalankan brata (disiplin) seseorang mencapai diksa (penyucian) Dengan dhiksa seseorang memperoleh daksina (kemuliaan), dengan daksina seseorang membangun sraddha (keyakinan). melalui sraddha seseorang memperoleh satya (Hyang Widhi).

Selanjutnya tentang bebratan Pemangku dalam rangka menjaga kesucian diri pribadinya selain diupayakan dengan senantiasa berbuat kebajikan dilandasi oleh budhi. luhur atau susila ambeking budhi serta menghindari perbuatan yang dursila maupun yang dipandang mencemari dirinya secara lahir dan bathin. Selain itu memahami komponen pembangun kehidupan ini yang membutuhkan cara penyucian yang berbeda-beda sesuai ucap Manawa Dharmasastra.V.109. sebagai berikut:

"Adbhirgatrani suddhyanti, Manah satyena suddhyanti,
Widya tapobhyam bhutanam, Budhir jnana suddhyanti"

Terjemahannya
Tubuh disucikan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran (satya), Atma disucikan dengan Tapa Brata, Budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan.

Kemudian secara konsisten melaksanakan ajaran yama nyarna brata, trikaya parisudha dan ajaran catur paramita sebagai landasan moralitas dan mentalitas membangun kersucian batin.
Yama Brata:
a. Ahimsa :Tidak menyakiti atau membunuh mahluk lain.
b. Brahmacarya :Tekun memperdalam. ilmu keagamaan.
c. Awyawahara :Tidak suka bertengkar tidak pamer dan dapat mengekang nafsu
d. Asteya :Tidak suka mencuri, korupsi mengambil milik hak orang lain.
e. Satya :Taat dan jujur selalu menjunjung tinggi kebenaran. 

Niyama Brata :
a. Akrodha :Mengekang amarah serta mampu mengendalikan diri
b. Gurususrusa :Selalu taat kepada perintah Guru serta mengikuti semua ajarannya
c. Sauca :Senantiasa melembagakan kesucian dalam kehidupan.
d. Aharalagawa :Mengatur pola makan secara benar.
e. Apramada :Tidak menghina atau mencela serta melecehkan pendapat orarg lain

Trikaya Parisudha:
a. Manacika : Selalu menjaga kesucian dalam berpikir.
b. Wacika : Selalu menjaga kesucian dalam berkata-kata.
c. Kayika : Selalu menjga kesucian dalam segala perbuatan.

Catur Paramitta
a. Metri :Mempunyai si fat bersahabat dengan semua mahluk. 
b. Karuna :Mempunyai sifat welas asih terhadap sesamanya. 
c. Mudita :Mempunyai rasa simpati terhadap sesamanya dalam suka dan duka.
d. Upeksa :Mempunyai sifat waspada dan teliti didalam segala hal, tidak gegabah.

Secara khusus bebratan tentang kepemangkuan ini juga termuat dalam lontar Tatwadewa yang berbuwnyi sebagai berikut:

Pamangku tan amisesa gelah anakke juang, tembe-tembe ring niskala. 

Terjemahannya.
Pamangku tidak dibenarkan mengambil milik orang lain, lebih-lebih milik pura
Hal ini mengingatkan agar para Pemangku tidak rakus terhadap drewe pura seperti sesari maupun barang-barang lainnya yang dipersembahkan oleh umat.

Selanjutnya tentang babratan pamangku dalam rangka menjaga kesucian diri secara khusus dituangkan dalam lontar Tattwadewa yang disebut dengan Brata Amurti Wisnu yang berbunyi sebagai berikut:

"Nihan aji kreta ngaran, tingkahe mamangku, asuci purnama tilem, ika maka wenang adunging abrata, kawasa mangan sekul kacang-kacang garem aywa mangan ulam bawi lonia satahun. Malih abrata amangan sekul iwaknia tasik lonia solas dina. Malih abrata mangan sekul iwaknia sarwa sekar lonia tigang dina. Nihau brata Amurti Wisnu ngaran , kawasa mangan sekul iwaknia sambeda, aywa nginum toya solas dina lonia. Brata ning abrta ngaran.
Terjemahannya.
Initah haji kreta namanya prilaku. menjadi Pamangku, menyucikan diri pada hari purnama tilem, itulah sebagai kelengkapan melaksanakan brata, dibenarkan untuk makan nasi kacang-kacangan dan garam, jangan makan daging babi lamanya setahun. Dan dibenarkan makan nasi dengan lauk garam selama sebelas hari, dan berikutnya makan nasi lauknya bunga wangi lamanya tiga hari. Itulah yang disebut brata Arnurti Wisnu namanya, berhasil makan nasi lauk-nya sembarangan jangan minurn air seblas hari, puncak brata namanya.
Selain itu brata yang tidak boleh ditinggalkan adalah senantiasa mapeningan atau menyucikan diri dan yang tidak kalah pentingnya adalah mendalarni ajaran agama terutama yang berhubungan dengan tugasnya sebagai Pamangku. Mengingat kapasitas Pamangku sebagai gembala umat, ia tidak hanya memiliki keyakinan yang mantap untuk mengantarkan umat mencapai Tuhan dengan landasan cara hidup moralitas dan mentalitas yang benar, kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki pengetahuan keagamaan yang benar. Sebab tanpa pengetahuan keagaman yang benar niscaya apa yang menjadi misi kepamangkuan tidak akan terwujud. Untuk itu Lontar Kusumadewa mengatakan:

"Apan kramaning dadi Pamangku, patut uning ring Tatwa dewa, Dewa tatwa, Kusumadewa, Rajapurana, Puranadewa, Dharma Kahyangan, Purana tattwa, I Pamangku wenang anrestyang pamargin agamane ngastiti Dewa Bhatara Hyang Widhi, kasungkemin olih 1 Krama Desa makadi karma pura sami, awinan mamuatang pisan I Pamangku mangda tatas ring sastra, mangda wruh katattwaning paindikan mwang katuturan, makadi kadharmam, mangda patut pangambile mwang pamargine. "
Tegemahannya:
Adapun prilaku seorang Pamangku hendaknya mengerti serta memahami tentang Tattwadewa, Dewa Tattwa, Kusumadewa, Raja purana, Purana Dewa Dharma kahyangan Pamangku patut menjadi pelopor pelaksanaan agama serta memuja Tuhan, dipatuhi oleh warga masyarakat desa maupun warga penyungsung pura. Oleh karena itu sangat diharapkan agar Pamangku paham akan hakikat segala hal seperti, paham dalam kesusilaan agar tidak salah dalam melaksanakan tugasnya.

Larangan:
Dalam upaya memelihara kesucian diri sebagai Pamangku, berdasarkan sumber sastra Kusumadewa ada beberapa larangan yang patut dijauhi oleh seorang Pamangku.

"Yan hana. Pamangku Widhi tampak tali, cuntaka dadi Pamangku, wenang malih maprayascitta kadi nguni upakaranya, wenang dadi Pamangku Widhi malih. Yan nora samangkana phalanya tan mahyun Bhatara mahyang ring, kahyangan.

Terjemahan:
Bilamana ada Pamangku pura yang pernah diikat / diborgol, di pandang tidak suci Pamangku tersebut, diwajibkan melaksanakan upacara penyucian kembali seperti sediakala. Di benarkar ditetapkan menjadi Pamangku kembali. Bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Ida Bhatara turun di pura.

Yang dimaksud dengan tampak tali di sini adalah bilamana pamangku itu pernah dituduh berbuat kejahatan sehingga dihukum atau diikat. Terbukti atau tidak kesalahan pamngaku itu, karena pernah dihukurn atau dituduh berbuat salah sehingga
diikat, maka akibat dari itu kesuciannya dipandang telah ternoda sehingga perlu direhabilitasi melalui upacara prayascita. Untuk dapat bertugas kembali. Bila ternyata pamangku itu memang terbukti bersalah maka otomatis Kepamangkuannya dicabut/digugurkan. Bahkan diwajibkan untuk mengembalikan biaya pawintenan yang pernah dikeluarkan oleh desa. Tetapi jika tidak bersalah semua biaya upacara reabilitasi akan ditanggung desa.

"Yan hana pamangku Widhi sampun putus madiksa Widhi mapawintenan Eka jati, mapahayu agung, tekaning, antaka haywa pinendhem, tan wenang, hila-hila dahat ikang bhumi kena upadrawa de Sang Panenggeking Bhumi. "

Terjemahannya:
Apabila seorang pamangku pura yang telah melaksanakan upacara pawintenan hingga tingkat mapahayu agung, tatkala kematiannya tidak boleh ditanam/dikubur, bahaya akan mengancam, dunia kena kutuk oleh penguasa jagat.

Larangan untuk mengubur bagi pamangku yang meninggal dunia disebabkan karena seorang Pamangku telah mengalami penyucian diri baik lahir maupun batin, maka rohnya wajib segera disucikan dengan pengabenan untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Maka jazadnya tidak dibenarkan untuk dikebumikan.

"Aja sira pati pikul-pikulan, aja sira kaungkulan ring warung banijakarma, aja sira mungguh ring soring tatarub camarayudha, salwiring pajudian mwang aja sira parek ri salwiring naya dusta. 
Terjemahannya:
Pamangku jangan sembarang memikul, janganlah masuk ke lapak tempat berjualan, jangan duduk di arena sabungan ayam, semua jenis perjudian, dan jangan dekat atau bergaul dengan orang-orang yang berniat jahat.
Larangan bagi Pamangku untuk tidak sembarang memikul adalah untuk menjaga kesucian lahir maupun batin Pamangku. Tetapi memikul benda-benda yang telah disucikan tidaklah merupakan pantangan, bahkan merupakan suatu kewajiban untuk dikerjakan. Kemudian larangan untuk memasuki lapak tempat berjualan bukanlah berarti pamangku tidak boleh berbelanja, tetapi akan lebih baik jlka pamangku tidak mengambil tugas rangkap sebagai dagang. Demikian juga tentang duduk di bawah atap tempat judi, jangankan berjudi duduk saja tidak dibolehkan, ini menandakan. bahwa Hindu tidak membenarkan adanya perjudian. 

"Yan Pamangku mawyawahara, tan wenang kita anayub cor teka wenang adewasaksi. "

Terjemahannya.
Bilamana pamangku bersengketa tidak patut mengangkat sumpah dengan cor, yang patut-dilakukan adalah mohon persaksian kehadapan Hyang Widhi.

Yang dimaksud dengan anayub cor adalah melaksanakan sumpah yang mengandung kutukan dan dilanjutkan dengan meminum air suci dalam rangkaian sumpah itu. Untuk proses hukum mengangkat sumpah dipengadilan masih diperkenankan.

"Samalih tingkahing Pamangku, tan kawasa keneng sebelan sire, pamangku, yan hana wwang namping babatang tan kawasa sira mangku marika, tur tan kawasa amukti dreweniong namping babatang.
Tejemahannya.
Dan lagi prilaku menjadi pamangku, tidak dibenarkan dinodai oleh kacuntakan, bila ada orang yang punya kematian tidak dibenarkan parrqangku mengunjungi orang yang kedukaan tersebut, apalagi menikmati makannan dan minuman di tempat tersebut.

Larangan tersebut di atas bersifat anjuran, bila pamangku menghendaki agar dirinya tidak terkena cuntaka. Tetapi bilamana karena sesuatu hal yang mati adalah kerabat dekat sehingga akan dirasa kurang enak bile tidak datang melayat, sesungguhnya pamangku itu masih diperkenankan. Hanya saja setelah melayat pamangku wajib melakukan mapeheningan Kemudian untuk menetralisir pikiran yang cuntaka dapat pula dilakukan dengan mengucapkan mantra Aji Panusangan yang tersurat dalam lontar Sodasiwikarana yang berbunyi.

Iki Sanghyang Hayi Panusangan, ngaran pangeleburan letuhing, sarira, palania tan keneng sebelan, saluiring mageleh ring, prajamandala, wenang sakama-kama, apan sanghyang mantra luwih utama, yan tasak dening ngrangsukang mantra iki, saksat mawinten, ping telu, gelarakna siang ratri. 

Terjemahannya.
Ini ajian Panusangan namanya, pembasmi kekotoran diri, pahalanya tidak terkena sebelan, segala noda di dunia, bisa diucapkan dimana-mana, karena ajian sangat utama, apabila mantap dan matang dalam pelembagaannya, ibaratnya mawinten tiga kali, ucapkan siang malam.

Pujanya.

Idep aku anganggo aji katomah, amangsa amungsung aku tan pabresiltan,aku pawaking setra, suka kang akasa, suka kang prethiwi, tan ana aku keneng sebelan, apan aku teka amresihin awak sariranku, teka bresih 3X

Kemudian dalam lontar Tattwa Siwa Purana memb,uka tambahan tentang filsafat bali Pamangku sebagai berikut.
"SamaIih yang sampun madeg pamangku tan wenang ngambil banterg, mikul tenggala mwang lampit, tan palangkahan sawa, sarwa sato, saluiring sane kinucap cemer.
Terjemahannya.
Dan apa bila sudah menjadi Pamangku, tidak patut mengambil sapi, memikul alat bajak, tidak dilangkahi jenasah, binatang maupun segala yang tergolong cemer 
Dalam praktek yang telah berlaku di masyarakat, yang dipantangkan oleh Pamangku adalah melangkahi tali sapi dan tidak boleh memukul sapi. Untuk memikul alat bajak larangannya didasarkan pada pertimbangan, bahwa alat bajak pada umumnya dalam pemakaiannya biasa diduduki, sehingga akan dipandang cemer bila sesuatu yang biasanya diduduki itu dipikul oleh pamangku. Tidak ada larangan yang jelas bahwa pamangku tidak boleh membajak.

Larangan bagi Pamangku dilangkihi jenazah, sudah jelas karena jenazah dalam pandangan agama Hindu tergolong cemer, demikian pula semua bentuk binatang (sarwa sato). Kesimpulannya pamangku tidak patut dilangkahi oleh sesuatu yang tergolong cemer.

Dalan, Paruman Sulinggih Tingkat Prop. Bali tahun 1992 telah diambil suatu kesimpulan, yaitu pamangku tan pati pikul-pikulan, tidak dibenarkan ikut ngarap sawa, tan wenang cemer, bilamana terbukti cemer pamangku patut melaksanakan prayascitta atau nyepuh.

CUNTAKA BAGI PAMANGKU

Pamangku pada dasarnya tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain, (pamangku tan milu keneng cuntakaning len). Hal ini dimaksudkan bahwa bilamana ada salah seorang warga masyarakat di desanya atau keluarga dekat yang meninggal, pamangku tidak kena cuntaka. Oleh karenanya pamangku masih dapat melanjutkan tugasnya di pura. Tetapi bila pamangku mengalami musibah kematian, diantara anggota keluarga di rumahnya sendiri, pamangku tersebut terkenacuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya- Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan.
yan pamangku kahalangan pati ngarep ring,, pahumahania, tigang, dina cuntakania yan sang Brahmana Pandita, tan hana cuntakania.
Malih I Pamangku tan milu keneng cuntaka Wong len, Yan arep anak lan putunia pejah, pitung dina cuntakania. Tutugning sengkerning cuntakania teke wenang I Pamangku aprayascita.
Terjemahannya:
Bilamana Pamangku mendapat halangan kematian di rumahnya, tiga hari cuntakanya. Kalau pendeta tidak ada cuntakanya. Dan lagi Pamangku tidak ikut terkena cuntaka orang lain. Kalau terhadap anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakannya. Setelah tiba berakhir cuntakanya sepatutnya Pamangku itu melaksanakan upacara prayascitta.

Masih dalam lingkungan kematian, bagi Pamangku yang rumahnya berdampingan dengan pura tempatnya bertugas, maka bilamana di rumah itu ada kematian dianjurkan bila akan menyimpan jenazah di rumah agar dipindahkan ketempat lain. Untuk jelasnya berikut ini akan kami kutipkan dari lontar Widhi Sastra Satya Mandala sebagai berikut:

"Mwah yan hana kahyangan panyiwian sang ratu, yadyan prasadha ring kahyangan ika, masanding umahnia maparek, tan pabelat marga, ri tekaning kaparekan de Mangku Bhatara, hageakna prateka haywa ngaliwari salek suwenya.

Yan hana halangan bhumi bhaya kinwan de sang ratu dohaken anyekah wangke ika, yan prahimba marep juga same anyekeh wangke, yang anti amreteka, wenang mulih ring dunungania nguni, haywa nyekeh sawa ring dunungan de Alangku sasuwe-suwenia Imeh ikang parahvangan sang Rathu phalania sang ratu gering, reh de Mangku cemer.

Yan doh anyekeh wangke selat marga rurung, limang dina de Mangku kacuntakan dadi de Mangku ulah ulih ring kahyangan, ngaturang pasucian. Yan de Mangku nyekeh wangke ring umahnia, salaiwase tan kawasa de Mangku ka kahyangan, sapuputan sawa mabhasmi luwar cuntakania"

Terjemahannya:
Dan lagi bila ada pura pemujaan. Raja maupun prasadha di pura itu, berdampingan rumahnya berdekatan tidak dibatasi jalan, tat-kala Pamangku kematian, agar secepatnva diupacarakan jangan melewati waktu sebulan. Bilamana karena suatu halangan wabah, (agar) disuruh oleh sang Raja untuk menjauhkan menyimpan jenazah itu, (bila berkehendak menyimpan jenazah itu). Pada waktunya akan mengupacarai boleh untuk di bawa pulang ketempatnya semula janganlah menyimpan jenazah itu di rumah Pamangku, (oleh karena) selamanya akan tercemar aura tempat persembahyangan Raja yang akan berakibat sang Raja akan tertimpa penyakit oleh karena Pamangku menyimpan yang menyebabkan leteh.
Bila jauh tempatnya menyimpan jenazah itu, dibatasi jalan lima hari lamanya Pamangku terkena cuntaka, Pamangku diperkenankan keluar masuk ke pura untuk menghaturkan pesucian 
Bila Pamangku menyimpan jenazah itu dirumahnya, selama itu tidak diperkenankan Pamangku itu pergi ke pura, setelah selesainya jenazah itu dibakar, saat itu berakhirlah cuntakanya pamangku itu.
Demikianlah Pamangku karena tugasnya ditempat suci dan karena tingkat penyucianya tidak sama dengan sulinggih patut menjauhi hal-hal yang dipandang dapat menyebabkan leteh dan cemer. Bila karena suatu keadaan yang tidak terhindarkan seperti karena kematian salah seorang anggota keluarganya disatu rumah, maka upaya penyucian diri Pamangku dilakukan dengan upacara prayascitta. Kecuntakan bagi Pamangku selain disebabkan karena kematian salah satu anggota keluarganya, atau karena nyekeh sawa ( menyimpan mayat dirumahnya) juga terjadi karena Pamangku mengambil istri baru. Dalam hal serupa itu lontar Tatwa Siwa Purana memberi petunjuk sebagai berikut:
... yan sampun madeg Pamangku, tan kawenang cemer, yan wenten Pamangku malih mengambil rabi, ri wusnia mapawarangan, wenang sire mangku manyepuh pawintenan nguni. Mwah ngaturang pasapuh ring pura mwah wadone punika wenang nyepuh. Apang tan kari kareketan letuh, yan tan nawur penyapuh, tan kawenang ka pura. Yan marabi saking paiccan nabe, mwang guru wisesa, kalih saking pakramane ngaturin marabi, punika dados ngaturang pangerebu alit, ring pura pura nenten ja masepuh.
Terjemahannya:
... kalau sudah menjadi Pamangku, tidak boleh cemer, kalau ada Pamangku beristri baru, setelah selesai upacara perkawinannya patut Pamangku itu melaksanakan upacara nyepuh pawintenannya yang lalu dan lagi menghaturkan upacara pasasapuh di pura, dan istrinya itu patut melaksanakan. upacara nyepuh. Supaya tidak terkena letuh (cemar), kalau tidak melaksanakan upacara penyapuh tidak diperkenankan ke pura. Kalau mengambil istri karena pemberian guru atau pemerintah maupun dan warga masyarakat yang memberikan, atau menyuruh beristri, diperkenankan hanya menghaturkan upacara pangrebu yang sederhana di pura, tidaklah dengan upacara penyapuh.
Bagi Pamangku wanita yang cuntaka karena kotor lain juga berlaku sebagaimana umumnya. Dan setelahnya mabersih diri (mandi berkeramas) masih diperlukan tingkat pembersihan lebih lanjut seperti prayascitta atau setidak-tidaknya dengan matirta sebelum akan melaksanakan tugas ke pura. Demikian halnya cuntaka karena melahirkan atau keguguran kandungan, batas cuntakanya sesuai dengan cuntaka yang berlaku bagi masyarakat umum. Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Agama Hindu VI Tahun, 1980 ditetapkan sebagai berikut:

1. Sabel atau cuntaka karena melahirkan yang terkena cuntaka adalah diri pribadi dan suaminya beserta rumah yang di tempatinya. Batas waktunya sekurang kurangnya: 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirta pabersihan dan suaminya sekurang-kurangnya sampai dengan putusnya tali pusar si bayi. 

2. Sebel karena wanita keguguran kandungan adalah diri pribadi dan suaminya beserta dengan rumah yang di tempati. Batas waktu sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah dapat tirta pabersihan.

Bilamana dalam kegiatan upacara piodalan di pura Pamangku mendapat halangan kematian salah seorang anggota keluarganya, maka agar Pamangku tersebut tidak terhalang dalam melaksanakan tugasnya di pura, dianjurkan agar tidak pulang kerumah yang ada kematian, bilamana Pamangku tersebut pulang maka ia akan terkena cuntaka sehingga tidak diperkenankan masuk ke pura sebelum melakukan upacara prayascitta.

WEWENANG

Seorang Pamangku memiliki batas kewenangan yang berbeda dengan Sulinggih dalam mengantarkan yadnya. Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu IX tahun 1986. Tugas dan wewenang Pamangku dalam mengantarkan yadnya adalah sebagai berikut:

1. Menyelesaikan/nganteb upacara rutin atau pujawali/piodalan pada pura yang, di emongnya serta mohon tirtha kehadapan Istadewata yang disthanakan di pura tersebut termasuk upacara pembayaran kaul / sesangi.

2. Bila menyelasaikan tugas di luar pura yang di emongnya, Pamangku / Pinandita tidak diperkenankan muput melainkan Nganteb, dengan tirtha pamuput dari sulinggih.

3. Dalam penyelesaian upacara, Pamangku di beri wewenang, Bhuta yadnya sampai tingkat Panca sata Ayaban sampai tingkat Pulagembal, Manusa yadnya dari Bayi lahir sampai dengan otonan biasa, Pitra yadnya wewenang diberikan sampai pada memdem sawa di sesuaikan dengan desa mawacara.

TUGAS DAN KEWAJIBAN

Secara rinci tugas dan kewajiban Pamangku telah di atur dalam awig-awig Desa pakraman, untuk Pamangku Kahyangan Desa, Jika Pamangku kawitan atau Pamangku Pura Keluarga di atur berdasarkan kesepakatan pangempon atau penyungsung. Namun secara umum tugas dan kewajiban Pamangku adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas kepemangkuan dengan konsekwen dimana yang bersangkutan ditetapkan menjadi pamangku.
2. Menjaga artha milik pura dan memelihara kebersihan serta kesucian pura dan segala hal yang dipandang dapat menodai kesucian pura.
3. Melakukan layanan kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu menyelesaikan upacara sesuai dengan kewenangannya.
4. Menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kekhidmatan pelaksanaan upacara.
5. Sebagai Duta Dharma yang senantiasa memberikan tuntunan kepada umat menyangkut pelembagaan ajaran-ajaran Agama.

PENGHARGAAN ATAU HAK.

Sebagai wujud penghargaan terhadap tugas dan kewajiban pamangku yang cukup berat, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek--aspek Agama Hindu VI tahun 1980 ditetapkan Sebagai berikut:
1. Bebas dari ayah-ayahan desa, atau sesuai dengan tingkat kepemangkuannya.
2. Dapat menerima, bagian sesari aturan atau sesangi.
3. Dapat menerima bagian hasil pelaba pura (bagi pura yang memiliki pelaba)
4. Apabila Pamangku meninggal dunia upacara pengabenannya di tanggung oleh pangempon di mana Pamangku itu bertugas.
Walau telah di atur seperti diatas, palaksanaannya tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat maupun awig-awig yang telah di sepakati, baik yang berlaku di lingkungan suatu pura maupun desa adat. Pamangku Kahyangan Desa (Pamangku Desa, Puseh, Bale agung, Dalem dan sebagainya), menjadi tanggungan Desa Pakranian.

Bagi Pamangku yang bertugas di luar Kahyangan Desa, mendapat penghargaan dan hak dari kelompok pangempon pura tempatnya bertugas. Sedangkan kewajiban terhadap Desa Pakraman dan Pura Kahyangan Desa masih di bebani dalam tingkat tertentu sesuai dengan awig-awig setempat.

Sedangkan pamangku jenis Pinandita, pamangku Dalang, Pamangku Tukang tidak mendapatkan leluputan, karena tugasnya tidak terkait secara langsung dengan suatu Pura tertentu.

puput

OM SANTHI SANTHI SANTHI OM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar