Ngusaba Desa Lan Ngusaba Nini
Manawa Dharmasastra VII. 10 yang berbunyi: "Karyam so'weksya saktinca. Desa kalanca tattwatah. Kurute dharmasiddhyar tham. Wiswarupam punah-punah."
Artinya:
Setelah mempertimbangkan aspek: Iksa, Sakti, Desa, Kala, dan Tattva, ia wujudkan/tetapkan berbagai kebijakan untuk mencapai tujuan yang sempurna.
1. Iksa adalah pandangan, cita-cita seseorang atau masyarakat tertentu.
Artinya bahwa Dharma Agama Hindu harus diterapkan dengan memperkuat pandangan atau cita-cita seseorang.
2. Sakti, yang dimaknai kemampuan. Dalam Wrhaspati Tattwa 14, dinyatakan 'Sakti ngarania ikang sarwa jnana lawan sarwa karta'.
Ini berarti Sakti namanya orang yang banyak ilmunya dan banyak kerjanya.
Hal ini bermakna, bahwa Agama Hindu menyajikan banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran agama.
Sesuai dengan kemampuan (Sakti) seseorang.
3. Desa, yang berarti ketentuan-ketentuan setempat yang dianut oleh suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu.
Kata Desa ini,berasal dari bahasa Sansekerta.
Dis yang berarti patokan atau petunjuk rohani.
Kemudian dari sinilah timbul kata Upadesa, yang artinya sekitar petunjuk kerohanian.
Hitopadesa artinya petunjuk kerohanian untuk mendapatkan kebahagiaan (Hita).
Brahmopadesa artinya petunjuk kerohanian untuk mencapai alam ketuhanan.
4. Kalla = waktu
5. Tattwa = Sastra/Kebenaran
Upacara Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini yang diselenggarakan secara bersamaan adalah bertujuan untuk :
Kesuburan pertanian;
Selain untuk desa adat sendiri, juga untuk tegaknya pemerintah (berbangsa dan bernegara) serta damainya dunia,
Yadnya ini juga sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan Ngusaba Bersinergi Membangun Hidup Sejahtera dapat memberikan kita kekuatan spiritual untuk melakukan nilai-nilai filosofis, untuk memelihara kelestarian dan fungsi unsur-unsur dari Panca Maha Bhuta.
Tegaknya sistem pemerintahan sebagai sentral pelayanan kepada masyarakat dengan penuh dedikasi membangun hidup bersama yang sejahtera.
Tegaknya hati nurani dalam memelihara kebenaran untuk menghindari prilaku yang penuh dosa.
Menurut Lontar Widhi Sastra, juga disebutkan upacara yadnya ngusaba nini ini bertujuan untuk negtegang toya / tirtha. Sedangkan Ngusaba Desa yang dilaksanakan oleh desa adat ini bertujuan untuk negtegang bhumi.
Dalam Lontar Usana Dewa disebutkan bahwa, upacara Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini seyogianya dilakukan bersamaan kalau terjadi hal - hal seperti :
-Gumi kemalaan,
-Manusia banyak melakukan dosa,
-Penyakit merajalela,
-Pemerintahan kacau-balau,
-Banyak orang bunuh diri. dll
Demikian disebutkan tujuan dari yadnya ini dilaksanakan, sebagai upacara yang sangat universal namun diwujudkan dalam kemasan yang sangat lokal di Bali.
Lontar Widhisastra Tapini Ungkap Sasana Serati Banten
Lontar Widhisastra Tapini menjadi salah satu pedoman bagi tukang banten atau tapini dalam menjalankan tugasnya. Di dalam lontar ini memuat etika seorang tukang banten demi terciptanya yadnya yang lebih berkualitas.
Menjadi seorang tukang banten mestinya berpedoman dengan lontar. Seperti Lontar Yadnya Prakerti maupun Lontar Widhisastra Tapini.
Menurutnya, Lontar Widhisastra Tapini merupakan lontar yang memuat tata cara pelaksanaan yadnya. Tata cara pelaksanaan yadnya sangatlah penting bagi pelaksana yadnya. Bukan saja pelaksana, namun juga kepada para brahmana yang memiliki tugas untuk memimpin yadnya.
Seorang serati banten harus memahami etika dalam pembuatan banten. Karena membuat sesuatu yang suci tentu harus dilakukan dengan tingkah laku yang penuh dengan kesucian pula. Dengan jenis upacara yang banyak, maka etika ini sangat layak diketahui oleh masyarakat luas demi terciptanya yadnya yang lebih berkualitas.
Lontar Widhisastra Tapini bisa dikatakan sebagai warisan budaya membahas cara-cara untuk melaksanakan yadnya agar saat dipersembahkan dapat mendatangkan kebaikan bagi seluruh umat manusia beserta juga lingkungan maupun binatang.
Dalam Lontar Widhisastra mengajarkan kepada umat khususnya tukang banten dalam membuat banten hendaknya selalu didasari dengan ketulusan hati, dengan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang baik. Seseorang yang membuat banten tidak boleh melebih-lebihi atau mengurangi banten dengan sesuka hati.
Membuat banten harus berpedoman pada sastra yang ada atau mengikuti petunjuk dari pandita atau sulinggih.
Etika seorang pandita juga dijelaskan dalam Lontar Widhisastra Tapini. Pandita yang patut digugu adalah pandita yang bersifat putus. Artinya seorang pandita yang mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
Seorang pandita hendaklah menjadi guru yang baik bagi umatnya, karena jika ilmu yang diturunkan gurunya baik, maka akan baik pula yang akan dilaksanakan oleh muridnya. Begitu pula halnya dalam hubungan seorang pandita dengan umatnya.
Tukang banten hendaknya berguru kepada pandita agar dalam membuat banten tidak mengalami kesalahan. Agar dapat dituntun berdasarkan sastra-sastra yang ada.
Lontar Widhisastra Tapini menyebutkan bahwa manusia hendaknya melaksanakan yadnya sebagai makhluk yang utama. Manusia yang mampu membantu makhluk lain agar dapat menuju surga loka.
Dipastikan bahwa Lontar Widhisastra Tapini sebagai upaya mempertahankan etika dan mengembangkan kepribadian dalam beryadnya. Lontar itu juga menjelaskan bahwa menjadi seorang tapini haruslah melalui upacara penyucian diri terlebih dahulu. Agar kotoran yang ada dalam diri seorang sarati banten dapat dilebur. Jika tapini tidak melakukan penyucian akan berdampak buruk yaitu terkutuklah banten yang dipersembahkan dan akan berakibat tidak baik pula terhadap orang yang bersangkutan.
Jika semua aturan telah dilaksanakan maka terjadilah kedamaian. Dalam hal ini seorang tapini yang akan menjalankan tugasnya semestinya menjalankan penyucian diri agar meningkatkan spiritualnya.
Iti mantra gagelaran Sang angraksa karya, angramangaken pustaka yeki krama minta nugraha rumuhun ring bhatara Siwa Dharma, Siwa Nirmala, makadi ring Bhatari Saraswati, dena wenang kita rumaksa karya, tan keneng sapa tulah pamidi, twin matatengeran, angelaraken saluwirin gaman-gaman iki mantra stutyakena rumuhun, saha ngarepaken sesantun, peras, ajuman, soda, punjung, rayunan, canang lenga wangi burat wangi, panyeneng, sorohan, lis, arta 700. Ma. Om Siwa anugraha nirmala, sarwa karya guna suda nirmala namah, Om Saraswati paramasidya ya namah swaha.
Wus mangkana, tumuli aturakena ikang banten ika kadi lagi, tepung tawar, lis rumuhun, sirati tirtha pabersihan, ayabakena ring Bhatara Siwa nirmala, ma: Om hyang angadakaken sari, hyang angaturaken sari, hyang amukyaken sari, teka asari, tinggal asari pawitraya namah swaha, Om Dewa boktra sri Jagat guruya namah swaha.
Iki kramanya sang atapeni, nga. Sira sang anukangin banten, ayuwa wong sudra jadma angawaki tukang banten , tan wenang, baya kena soda dera Bhatara, makadi dera Bhatari, balik sang Maha Patni juga wenang umadegaken tukang, agelar kramanya Sanghyang Tapeni . Kang durung wang sudiksa, tan wenang apanya wang kari rumaketing camahning panca wimala, palanya kroda sira Bhatara kasudha tirtha sang Pandita, maka pamlaspas banten.
Ngadegang Widhining Tukang
Guruning Tukang Hyun kadenda wang adruwe, apan tan manut kramanya, sarwa papa laraning bebantenya ika, kawastu de Bhatara anadi Bhuta Kala, ika angregani setata, kena gering kepati-pati sira, mwang sasar temahanya, ri wekasan, mangkana ala tinemunya.
Yan ya wus abener kramanya, tekeng jejahitanya anadi dewa, apupul dadi widhi rahayu, karananing widhi widana ngaranya ikang babanten.
Kunang yan tan Sang Wiku patni agawe banten, sapuputnya banten ika, wenang pinrastista rumuhun de sang Pandita sira juga sunga tirtha maka palaspas banten ika. Samangkana yogya gelarakena rumuhun, tinuta warahing aji. Ayuwa langgana sira amarugu, ila estu palanya. Nahan ta karuhunakena krama tapeni, duk angengkab karya bebanten, ring penyamuhanya akarya sesanganan adegakena widhi ning tukang rumuhun, Bhatari Uma sira maka widening tukang, maka sajna sanghyang Tapeni ana pariwaranira watek apsari, maaran Dewa Pradnya, Dewa Kedep, Dewa Wastu. Ika maka guruning tukang atanding banten ika astitiakena rumuhun dening sopakaraning daksina panuntun mwang peras, canang wangi-wangi, soda ajuman katipat kelanan, canang raka, rayunan muncuk kuskusan, iwak sarwa suci, sari arta sakotama, iti mantra pangastutinya uncarakena,
Ma. Om Parwati twam nama swami, Rudra patni tapa sidhi, dewa wyatam sudha swamam, sthanugraha karanam. Om Gori Uma natha syami. Rudra deha Dewa sidhi, yasa swamam gunawati, bhakti nugraha karanam Om hrang, hring sah Bhatari Uma Dewaya namah swaha. Pukulun paduka Bhatari Tapeni, sira Dewa Pradnya, Dewa Kedep, Dewi Wastu, ingsun aminta sih kretanugraha sira bhatari, amangun widhi widana ulun asing kirang sampun tan agung sinampura sira ri pinakeng ulun makadi ri sira sang amangun yadnya swarajakarya, apan ana Sanghyang Tribuwana maka pangardiyaning sarwa pasubhaning babanten, Sanghyang Weda wruha amituduh ikang sarwa pinuja, Sang Sidha Resi ana rapatana pakulun.
Iti mantra gagelaran Sang angraksa karya, angramangaken pustaka yeki krama minta nugraha rumuhun ring bhatara Siwa Dharma, Siwa Nirmala, makadi ring Bhatari Saraswati, dena wenang kita rumaksa karya, tan keneng sapa tulah pamidi, twin matatengeran, angelaraken saluwirin gaman-gaman iki mantra stutyakena rumuhun, saha ngarepaken sesantun, peras, ajuman, soda, punjung, rayunan, canang lenga wangi burat wangi, panyeneng, sorohan, lis, arta 700. Ma. Om Siwa anugraha nirmala, sarwa karya guna suda nirmala namah, Om Saraswati paramasidya ya namah swaha.
Wus mangkana, tumuli aturakena ikang banten ika kadi lagi, tepung tawar, lis rumuhun, sirati tirtha pabersihan, ayabakena ring Bhatara Siwa nirmala, ma: Om hyang angadakaken sari, hyang angaturaken sari, hyang amukyaken sari, teka asari, tinggal asari pawitraya namah swaha, Om Dewa boktra sri Jagat guruya namah swaha.
Iki kramanya sang atapeni, nga. Sira sang anukangin banten, ayuwa wong sudra jadma angawaki tukang banten , tan wenang, baya kena soda dera Bhatara, makadi dera Bhatari, balik sang Maha Patni juga wenang umadegaken tukang, agelar kramanya Sanghyang Tapeni . Kang durung wang sudiksa, tan wenang apanya wang kari rumaketing camahning panca wimala, palanya kroda sira Bhatara kasudha tirtha sang Pandita, maka pamlaspas banten.
Ngadegang Widhining Tukang
Guruning Tukang Hyun kadenda wang adruwe, apan tan manut kramanya, sarwa papa laraning bebantenya ika, kawastu de Bhatara anadi Bhuta Kala, ika angregani setata, kena gering kepati-pati sira, mwang sasar temahanya, ri wekasan, mangkana ala tinemunya.
Yan ya wus abener kramanya, tekeng jejahitanya anadi dewa, apupul dadi widhi rahayu, karananing widhi widana ngaranya ikang babanten.
Kunang yan tan Sang Wiku patni agawe banten, sapuputnya banten ika, wenang pinrastista rumuhun de sang Pandita sira juga sunga tirtha maka palaspas banten ika. Samangkana yogya gelarakena rumuhun, tinuta warahing aji. Ayuwa langgana sira amarugu, ila estu palanya. Nahan ta karuhunakena krama tapeni, duk angengkab karya bebanten, ring penyamuhanya akarya sesanganan adegakena widhi ning tukang rumuhun, Bhatari Uma sira maka widening tukang, maka sajna sanghyang Tapeni ana pariwaranira watek apsari, maaran Dewa Pradnya, Dewa Kedep, Dewa Wastu. Ika maka guruning tukang atanding banten ika astitiakena rumuhun dening sopakaraning daksina panuntun mwang peras, canang wangi-wangi, soda ajuman katipat kelanan, canang raka, rayunan muncuk kuskusan, iwak sarwa suci, sari arta sakotama, iti mantra pangastutinya uncarakena,
Ma. Om Parwati twam nama swami, Rudra patni tapa sidhi, dewa wyatam sudha swamam, sthanugraha karanam. Om Gori Uma natha syami. Rudra deha Dewa sidhi, yasa swamam gunawati, bhakti nugraha karanam Om hrang, hring sah Bhatari Uma Dewaya namah swaha. Pukulun paduka Bhatari Tapeni, sira Dewa Pradnya, Dewa Kedep, Dewi Wastu, ingsun aminta sih kretanugraha sira bhatari, amangun widhi widana ulun asing kirang sampun tan agung sinampura sira ri pinakeng ulun makadi ri sira sang amangun yadnya swarajakarya, apan ana Sanghyang Tribuwana maka pangardiyaning sarwa pasubhaning babanten, Sanghyang Weda wruha amituduh ikang sarwa pinuja, Sang Sidha Resi ana rapatana pakulun.
Karananing widhi widana nga. Widhi , nga. Bhatara; wi, nga suksma; dana, nga sakala nyalantara; kalinganya ikang bebanten juga pinakareka rupa warnanira Bhatara, rinekani rupa kadi tingkahing kawongan, pada sowang-sowang. Ayuwa sira sang tukang angangapus-apusi tatandingan, amunjuk lungsur, angurang-ngurangi, angalebih-lebihi, tan manuta ri warah mami Bhatari Tapeni, umungguh ing Empu Lutuk apan saksat anguwah-uwuhi raga sarira, ala dahat pala tinemunya, ri kapatyani, lewih papa narakanta kadenda de Yama Bala, dumadi sira wekasan, wetu salah rupa, wetu mala katuna lebih ring sarira, mangkana temahanya.
Iti mantra amlaspas sarwa bebanten sapuputnya tinanding sedana toya winadahan payuk anyar, Ma. Om Brahma tirtha ya namah, Om Wisnu tirtha ya namah, Om Mam Iswara tirtha ya namah, Om Siwa tirtha ya namah, Om Sadasiwa tirtha ya namah, Om Paramasiwa tirtha ya namah, sahitya sarwa Bhutanam, sarwa wisya sarwa boja, sarwa papa winasaya, apawitra pawitrayam, Om Am Brahmaya namah, Om, Um Wisnuya namah, Om Mam Iswaraya namah, Om Amkaro Bhagawan Brahma, tatwa jnanam mahotamam andeham paraham paraham guhyam, swasti-swasti mahatmanam, Om Um karo Bhagawan Wisnu , Dewanam sarwa busanam tanurawegara twate, hari dewam namostute. Om Mam karo Bhagawan Isa, Iswara, Parameswaram, dadami amertatmakam, grhniswaya namah, swaha.
Mwah iti pangurip bebanten: OM SAM, BAM, TAM IM, SRI Gurubyo namah, nama Siwaya, Sri adiguru byo namah, AM, UM MAM, OM sri paramadiguru byo namah; Tlas.
Idep umawak sanghyang Tribhuana kang banten, denta puja mwah ri pangadeganira ma. OM KAM KAM GAM GAM GAM namah swaha, CAM-CAM JAM, RAM, L;AM, WAM namah, OM UM namah, OM REM naman OM LEM namah, OM UM namah, OM UM namah. Telas.
Mwah iki prmalinan banten, ma. Om Tripurusa byo namah, Om sapta kabukti byo namah om nawagraha kabukti byo namah, om, Suksma wali Hyang namah, om Taya namah swaha, Om pritiwi apah, teja, bayu, akasa, om windu om sunya Taya swaha.- Iti pujan panggungan, mwang pras-prasan, tlas.
Iki mantran sorohan alit, ma. Om pukulun sanghyang siwapi-caturmuka, dewabyuha, sira ta bhagawan Ra Tangkup, sira ta pukulun , angeseng lara roga, makadi ipen ala, sot sata, gempung muksah ilang tan pasesa, denira sanghyang Siwapi caturmuka dewa byuha Om sidhir astu ya namah swaha."
Iki panglukatanya Sanghyang Panca Siwa pangilang sarwa cuntaka mwang letuhing dina, sadana toya anyar samsam beras kuning, sekar warna lima, lalang lembaran 5 katih, padang lepas 11 katih sagi-sagi: peras daksina, sodan, ajuman panyeneng, sorohan, lis, artanya 527 . Iki pujanya: Ma. Om siwa puja karyem seni, sarwa papa klesa punyam, sarwa wignam winasyanti, pataka cuntaka nasanam. Tungtungana sarwa blikam. Maka pamurnaning pemarisudanya, ma.Om sarwa blikan pritiwi, Brahma, Wisnu, Iswara, anaking Dewaputra, sarwa wastu, sang prauyeng, sarwa doh, suda mala, suda papa suda pataka, suda sawiraning dasamala, suda roga, suda danda upadrawa, bayu-putrastu namah swaha. Om Siwa sampurna ya namah swaha. Ri wusing pinuja, siniratakena ring saiderin pakaranganya mwang ring upasubaning karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar