Rabu, 31 Mei 2023

PAWINTENAN PINANDITA WIWA SIWA - BUDHA GRIYA AGUNG BANGKASA

Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Budha
Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno, mawa arti nya bersinar dan inten arti nya intan (permata) berwarna putih/suci kemilau/bersinar dan mempunyai sifat mulia, bila diuraikan mempunyai pengertian, dengan upacara Mawinten ini orang yang melaksanakannya secara lahir batin akan suci, berkilau dan bersinar bagaikan permata juga dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.

Mawinten adalah penyucian diri untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan Mawinten berarti mengubah status kehidupan menuju lebih fokus pada masalah kesucian, keagamaan, dan spiritual. Lantas, siapa saja yang bisa mengikuti pawintenan ini?

Mewinten adalah salah satu jenis dari upacara manusa yadnya. Belakangan umat semakin menyadari bahwa Mawinten itu penting bila ingin belajar pengetahuan agama maupun masalah lainnya. Mengikuti pawintenan berarti ingin lebih meningkatakan diri dalam pengabdian kepada umat maupun Sang Hyang Widhi Wasa.

Menjadi pemangku/pinandita adalah sebuah pengabdian. Niat menjadi pemangku harus karena ingin melayani umat ataupun membantu sulinggih. Tidak hanya itu, seorang pemangku tidak hanya bisa nganteb saja, tetapi juga harus bisa dharma wacana.

Jika memang ingin jadi pemangku dan memakai atribut pemangku, seseorang harus beranggung jawab atas apa yang ia gunakan. Seorang pemangku tidak ngaturan canang sama nganteb, tetapi bisa bermantra dengan baik, minimal Tri Sandya. Selain itu, juga harus bisa dharma wacana. 

"Iki kabeh wenang diniksan de sang brahmana pandita, apan sira sang brahmana pandita maka putusing ulah parakreti, nimita sang brahmana pandita sinanggeh sang putus. Putusa nga. Subal. Kunang yan durung diniksan de sang brahmana putus, ri salwiring yajna-yajna swaraja karya, kirti-kirti nikang wang ring para loka tan sida putus, nga. Puput, tan wenanang watek Dewa Bhatara ananggapi ikang yajna mangkana, kalinganya ikang sarwa kala buta juga wibuh karepnira amukti bebanten, pareng lawan sawunduk warganya prasama lilingse ring manusa, kapiragan, angaku-aku Dewa, angaku Bhatara, angaku sakti wisesa, ambodo ikang angaling-alingi ulat nikang wang bakti ring Bhatara mwang ring sarwa Dewa, apan abirama polah nikang kala alilingse ring janma, angaku Dewa luwih, moha murka karepa amangan anginum, awiwidian, umolah angigel awija-wijah, saha dulur ri imia-imia, angucap-ucap lan waneh atatangisan, kweh paripolahnya, amruguli wang bodo, twi tan wruh ing kalingan.”


Rurub Ganna = ilmu pengetahuan sifatnya maskulinum dan Saraswati = sifatnya feminim

Pawintenan pinandita Wiwa siwa buda
Rerajahan ring angga aksara Saraswati/feminim nya dan rurubnya tapak gana/maskulinum nya nunggal siwa kalawan buda. 

Pawintena Pinandita Wiwa Siwa Buddha yang ajarannya berhubungan dengan :
Ketuhanan untuk mengetahui hakekat kebenaran yang sejati.

Budha itu adalah keheningan hati, jika hati hening, Siwa pasti mendekat. 

Sebab sesungguhnya Dia tidak ke mana-mana, Dia tetap di dalam diri ini. Menjadi Fajar untuk semua.
Sejatinya Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Buddha merupakan cerminan karakter dalam diri manusia yaitu feminim dan maskulin yang lebih lanjut dalam sebuah Thesis kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma, disebutkan bahwa :
Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Buddha dipahami sebagai evolusi sinkritisme antara dua ajaran besar yang pernah berkembang di Nusantara. 

Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Buddha bukan penganut agama barat atau agama timur, melainkan penganut agama tengah yang melebur bersama tradisi agama Hindu di Bali. 

Konsep Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Budha mengacu pada teologi Dwi Tunggal Siwa-Budha. Siwa dan Budha dijadikan sebagai objek atau tujuan pemujaan. Dalam agama Hindu, Siwa dijadikan objek pemujaan tertinggi, demikian juga Sang Buddha. Siwa dan Budha dikatakan tunggal, yakni dia yang memuja baik melalui Siwa maupun Budha akan mencapai tujuan yang sama. Sementara itu dalam prinsip Dwi Tunggal Siwa-Budha dalam Pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Budha sebagai bentuk Kesadaran Budhi, Siwa dan Budha bukanlah sebagai objek pemujaan, melainkan suatu wilayah atau penyebutan dari sebuah tahapan yang dicapai atau dialami oleh seorang Pinandita/Pemangku yang larut dalam olah spiritual. Siwa disamakan dengan segala sesuatu yang bersifat fisik atau wadah dari segala yang ada. Demikian juga Siwa merupakan tempat dari berbagai aktifitas, sebab dualitas ada di wilayah ini. Ketika seseorang melakukan pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Budha, unsur dualitas ini mengalami pertemuan, khususnya unsur positif dan negatif dalam pikiran. Saat keduanya bertemu, maka timbullah kevakuman. Dalam kondisi vakum, jnana atau kecerdasan tinggi muncul. Kecerdasan tinggi inilah yang mengantarkan seseorang menuju alam Budha. Sehingga dengan demikian wilayah Budha merupakan vakumnya unsur dualitas Siwa. Wilayah ka-Budha-an dapat dicapai oleh roh yang telah diproses secara spiritual. Oleh karena itu, proses roh merupakan hal yang utama dalam prinsip Dwi Tunggal Siwa-Budha ini. Roh orang biasa yang belum berspiritual maupun orang yang mempelajari kadiatmikan masih berada dalam wilayah Siwa, sebab semuanya itu masih bersifat fisik. Ketika fisik itu bisa dilampaui, alam Budha baru bisa diraih. Namun, proses roh ini hanya mungkin terjadi hanya ketika memiliki badan. Tanpa badan roh tidak bisa diproses oleh karean piranti ka-Siwa-an dari roh itu tidak ada. Proses roh memungkinkan terjadi berkat bantuan dari unsur Siwa. 

Wilayah ka-Budha-an dapat dicapai oleh roh yang telah diproses secara spiritual melalui pawintena Pinandita Wiwa Siwa-Budha. Oleh karena itu, proses roh merupakan hal yang utama dalam prinsip Dwi Tunggal Siwa-Budha ini. Roh orang biasa yang belum melaksanakan pawintenan Pinandita Wiwa Siwa-Budha maupun orang yang mempelajari kadiatmikan masih berada dalam wilayah Siwa, sebab semuanya itu masih bersifat fisik. Ketika fisik itu bisa dilampaui, alam Budha baru bisa diraih. Namun, proses roh ini hanya mungkin terjadi hanya ketika memiliki badan. Tanpa badan roh tidak bisa diproses oleh karena piranti ka-Siwa-an dari roh itu tidak ada. Proses roh memungkinkan terjadi berkat bantuan dari unsur Siwa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar