Selasa, 10 Mei 2022

Diksa

BRAHMANA LAHIR DARI DIKSA

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Lahir menjadi manusia sangatlah mulia, apalagi lahir menjadi brahmana melalui upacara diksa yang merupakan ujung terakhir dari penjelmaan ini. 

Kelahiran yang pertama ialah ketika ia lahir dari rahim sang ibu, jadi lahir secara fisik. Sedangkan kelahiran kedua kalinya, ia lahir secara rohaniah melalui ilmu pengetahun/weda oleh guru nabe dan setelah didiksa ia menjadi Wiku / sulinggih /pandita yang bertugas melaksanakan kepanditaan.

Diksa (atau juga disebut dengan "divya jnyana"). Diksa berasal dari bahasa sanskerta yaitu Di dan Ksa. “Di” artinya divya jnyana : sinar ilmu pengetahuan dan “ksa” artinya ksaya: melenyapkan, menghilangkan.

Divya jnyana’ adalah upacara untuk dapat menerima sinar suci ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk melenyapkan kegelapan pikiran agar mencapai kesempurnaan.

Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi Brahmana, "janmana jayate sudrah samskarairdvija ucyate" artinya semua orang lahir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana. Sehingga diksa adalah suatu kewajiban yang dilakukan oleh semua umat Hindu. Bila saat semasih hidup melaksanakan diksa maka akan menjadi wiku/ sulinggih /pandita seperti disebutkan diatas. Namun karena mediksa adalah kewajiban semua umat, belum sempat diksa saat masih hidup, apabila sudah meninggal juga akan ada proses pediksan didalam pitrayadnya/pengabenan, yaitu sebelum ngaben akan ada proses ngaskara (sinangaskara) yaitu proses inisiasi roh yg artinya sama dengan proses diksa. Yang memiliki wewenang untuk ngaskara adalah hanyalah beliau yg sebelumnya sudah melaksanakan diksa dwijati yaitu wiku/sulinggih/pandita.

Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu.
Dengan demikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan Dharma.

Diksa dwijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya ) dengan murid (sisya).

Dalam lembaga diksa dvijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya. Agar tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana/dharmaning kawikon. Maka demi menegakkan Dharma berdasarkan ketentuan sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru Nabe, Guru Waktra, Guru Saksi.

Sehingga ketika seseorang sudah medwijati/mediksa , dan dianggap suci oleh masyarakat maka sang diksa akan memperoleh keistimewaan dalam hubungan sosial.

Tan hana wwang swasta ayu nulus, 
tidak ada manusia yg sempurna, 

Untuk itulah orang yg menyucikan diri harus ada yang mengontrol secara nyata, yaitu: 
1. Nabe
2. Guru Rai (keluarga) 
3. Instansi terkait (PHDI) dan 
4. Masyarakat (sisya). 

Ten je wenten ngawag ngawag tiba-tiba jadi pendeta/pandita/pedanda dan bilang widi yang napak/diksa widi. 

Terlalu mengagungkan diri sampai sang hyang widi langsung napak. Bahkan untuk raja-raja agung rahwana dan kaurawa, widhi harus awatara dulu untuk memerangi merek. 


#tubaba@griyangbang//bhaktiringnabe//jangan pernah bilang widhi langsung lapak#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar