Rabu, 11 Mei 2022

BUDHA PAKARANA

Makna dan Fungsi Perangkat Pemujaan Pandita Budha Paksa (Budha Pakarana).
Dalam perangkat pemujaan Budha Paksa Pakarana, terdiri dari : rarapan, wanci kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat, pengasepan, pedamaran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/ tudung, genta (genta padma), bajra, canting, penastan,. Juga pada saat seorang Pandita sedang muput sebuah upacara, memakai atribut dan busana kepanditaan seperti : wastra, kampuh, kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/ sampet/paragi, kekasang, astha bharana/guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacatan aksamala, gelangkana, angustha bharana, dan sebuah amakuta atau yang lebih dikenal dengan nama bhawa atau ketu.

1. Makna Rarapan.
Rarapan sebagai salah satu perangkat penting dalam Budha Pakarana, berfungsi sebagai tempat diletakkannya semua perangkat pemujaan bagi Sadhaka atau Pandita Budha. Dengan bentuk yang sederhana, persegi empat, dan kaki sebanyak empat buah sebagai penyangga, dihiasi dengan ornamen Naga pada sisi kiri dan kanan, memberikan makna bahwa Rarapan sebagai perangkat pemujaan adalah juga sebagai penuntun (disimboliskan dengan Naga). Pandita Budha, juga adalah sebagai penuntun umat dan tempat umat untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan. Rarapan juga sebagai simbol Pertiwi, sebagai pijakan dalam menapak kehidupan di dunia ini. 
Rarapan puniki maka peragayan Ida Sang Hyang Ibu Pertiwi. Rarapan puniki wantah marupa dedampa marepat, pinaka dasar genah sarana pamujaan Pandita Budha. Luwirnya : Pamandyangan, Waci Wija, Wanci Gandha, Wanci Kembangura, Wanci Samsam, Wanci Ganitri".

2. Makna Pamandyangan
“Pamandyangan punika wantah genah toya Suci/Tirtha. Pamandyangan meraga padma ring tengahing hredhaya maka lingganing adnyana Budha”
Fungsi Pandyangan adalah sebagai tempat air suci (tirtha), yang dipergunakan selama proses pemujaan maupun muput upacara oleh Pandita Budha. Pandyangan juga merupakan simbol “padma” bermakna sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Budha, dihulu hati Pandita Budha. Hal ini memberikan ketegasan bahwa dalam diri seorang Pandita Budha pada saat mepuja, bersemayam dalam dirinya Sang Hyang Budha.
Pemasangan bunga (puspa), gandha atau cendana dimaksudkan sebagai lambang Asta Dewata, sehingga diharapkan para Dewata yang bersemayam di segala penjuru mata angin ikut menjaga tempat dan tirtha yang dibuat dalam upacara. Dalam setiap pemujaan yang dilakukan oleh seorang Pandita Budha, selalu menggunakan air suci atau tirtha yang berfungsi untuk penyucian diri, melebur dosa, menjauhkan diri dari roh-roh jahat serta sebagai simbol amertha. Memercikkan tirtha kepada umat dalam setiap upacara dimaksudkan agar orang bersangkutan mendapatkan kesehatan, ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan bathin.

3. Makna Santi
“Santi punika marupa lingga, murdha Padma utawi Acintya, maka stanan Ida Sang Hyang Parama Budha”.
Santi berupa Lingga berfungsi sebagai tempat menstanakan Ida Sang Hyang Budha selama mepuja atau muput upacara. Pada perangkat pemujaan yaitu Santi, juga merupakan simbol dari berstananya Sang Hyang Acintya, yang dilukiskan pada ornamen Padma, pada bagian paling atas dari Santi. Pada prakteknya perangkat pemujaan berupa Santi dipergunakan pada upacara bersifat madya dan utama. Santi dilambangkan sebagai kelanggengan serta saksi Pandita Budha melakukan stuti.
Di dalam Bhatara Budha Stuti, setelah disebut Sarva Tathagata disebut pula Dhupa yang ditempatkan ke arah timur, Dhipa ditempatkan di arah barat, Puspa di arah selatan, Gandha di arah utara, sedangkan Santi tidak disebutkan tempatnya atau arahnya. Pandita Budha menganggap Santi tempatnya adalah di tengah. Penempatan Santi di tengah dimaksudkan sebagai Yantra yaitu titik pusat yang merupakan titik yang suci. Dalam kehidupan keagamaan umumnya titik pusat dilambangkan dengan Santi. Dalam setiap pengambilan Santi, Pandita Budha diharuskan menyebutkan Ah waktu memutar Santi ke arah barat dan Gi Ham waktu memutar Santi ke arah utara. Disamping itu Santi berfungsi sebagai simbol Dhyani Budha yang menempati masing-masing arah mata angin. Santi dipergunakan dalam Puja Asalin Vai, yaitu dengan jalan memutar mulai dari arah timur (purwa), selatan (daksina), barat, (pascima), dan utara (uttara). Jadi pemutaran Santi dilakukan menurut arah Pradaksina. 

Semua hal ini memberikan gambaran makna bahwa pada saat seorang Sadhaka atau Pandita Budha memimpin upacara, kehadiran Ida Sang Hyang Budha dan Acintya distanakan sekaligus menjadi saksi serta mengharapkan upacara berlangsung dengan baik dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.

4. Makna Ghanta/Genta
Seperti yang disampaikan sebelumnya, genta sebagai piranti atau atribut serta perlengkapan Sadhaka atau Pandita dalam melaksanakan kewajibannya (mapuja/meweda) sudah tentu memiliki makna yang tinggi. Sedikit pada uraian ini akan dijelaskan tentang makna dari genta tersebut.
Keberadaan genta sangat sesuai bila dibandingkan dengan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Suara genta yang muncul ibarat Adnyana Sandhi, yaitu suara genta sebagai sarana perekat pikiran di Bhuwana Alit dengan pikiran di Bhuwana Agung. Seperti yang disebutkan pada lontar Prakempa, suara genta tersebut adalah suara Bhuwana Agung (alam jagat raya semesta ini), dan pada lontar Kundalini disebutkan bahwa suara genta tersebut adalah Sapta Cakra di Bhuwana Alit (pada diri manusia). Jadi suara yang terdapat di Bhuwana Agung dan di Bhuwana Alit dipertemukan dan disatukan didalam suara genta, yang dibunyikan oleh Pandita saat mapuja/meweda (yoga). Begitulah dua sumber sastra menyebutkan adanya makna dari genta tersebut.

Demikian juga mengenai makna Genta dapat dilihat saat pendeta ngastawa genta (sakralisasi genta). Untuk ngastawa genta terlebih dahulu genta dipercikkan dengan air suci tiga kali. Dengan sakralisasi genta, upacara pokok berarti dimulai. Dengan demikian dapat diartikan bahwa esensi falsafah Hindu riil. Ngaskara genta di tutup dengan menyentil anak Genta sebanyak tiga kali sebagai lambang Sthiti.

5. Makna Wanci Kembang Ura
Wanci (tempat) Kembang Ura berfungsi untuk meletakan Kembang Ura (bunga yang telah dipotong-potong atau diiris) terdiri dari 3 macam bunga atau lebih, biasanya diambil dari bunga yang berbau harum, seperti kamboja, jepun, cempaka, sandat, dan bunga delima yang digunakan oleh Pandita Budha. Selain menggunakan sekar katihan (bunga utuh), menggunakan bunga utuh atau Kembang Ura bagi seorang Pandita Budha merupakan suatu keharusan, dimana pada hakekatnya bunga disini berfungsi sebagai alat untuk membersihkan diri secara simbolis. Disamping itu bunga juga dapat bermakna sebagai wujud persembahan yang paling sederhana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara muspa.

Dalam Astuti atau pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata, Pandita Budha diwajibkan mengambil bunga warna putih sebagai simbol Bhatara Aksobhya, bunga kuning sebagai simbol Bhatara Ratnasambhawa, bunga merah sebagai simbol Bhatara Amitabha dan bunga dengan berbagai warna sebagai simbol Bhatara Amoghasiddhi (Hooykaas, 1964:31, dalam Astawa 2007:138)

3.6 Makna Wanci Wija
“Wanci punika wantah wadah Wija. Wija pawakan Amertha, sane wetu saking ulah hening, idep hening, pamekas laksana rahayu”. 

Wanci Wija merupakan tempat Wija, sebagai simbol kemakmuran atau Amertha yang berasal dari pikiran, ucapan, dan laksana yang hening suci.
Wanci (tempat) Wija berfungsi untuk meletakkan Wija atau Aksata yang berbau harum bermakna sebagai simbol keabadian atau kehidupan yang abadi. Cendana yang menimbulkan bau yang harum dan Wija atau Aksata adalah sifat yang tidak dapat dipisahkan. Dalam upacara Wija dibuat dari beras yang utuh, bersih, dan dicuci dengan air cendana dan air kembang. Wija diberikan kepada umat setelah melakukan persembahyangan dan diletakkan antara kedua kening, di dada, dan ditelan. Wija disini disimbolkan sebagai Dewa Kumara, dan Dewi Sri, sedangkan pemakaian Wija mempunyai pengharapan akan memperoleh kebijaksanaan, kemuliaan, kemakmu- ran, dan terhindar dari malapetaka. Wija juga disebut pula Gandhaksata, yang berasal dari kata Gandha dan Aksata, yang berarti biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Wija adalah suatu perlengkapan yang diperlukan dalam upacara-upacara keagamaan sebagaimana hal air atau tirtha, bunga dan api; pemakaiannya hampir sama dengan tirtha yaitu dengan jalan menaburkan kedepan sebanyak 3 kali; tetapi bila diberikan kepada seseorang Wija diletakkan diantara kedua kening, di dada, dan ditelan tidak dikunyah.

3.7 Makna Wanci Ghanda
Wanci (tempat) Ghanda berfungsi untuk meletakkan cendana atau Ghanda. Cendana atau Gandha yang berbau harum bermakna sebagai simbol keabadian atau kehidupan yang abadi. Dalam penggunaannya cendana atau air cendana dan air kembang berfungsi untuk menimbulkan bau yang harum pada Wija, dimana beras sebelumnya dicuci bersih dengan air kemudian direndam dengan air kembang dan diberi bubukcendanauntukmenambahkeharuman Wija.
“Wanci punika wantah genah ghanda. Ghanda wantah toya cendana sane miyik, mawak sabda rahayu, meraga Sabdha Dharma Jati”

8. Makna Wanci Samsam
“Samsam punika melakar antuk rwaning pudak. Samsam punika maka lingganing Ida Sanghyang Kawi Swara”. 

Jadi Samsam merupakan salah satu sarana yang harus selalu menyertai seorang Pandita Budha melakukan Loka Pala Sraya. Samsam dibuat berbahan dari daun pudak yang diiris tipis-tipis, berfungsi sebagai tempat berstana atau lingga Ida Sang Hyang Kawi Swara. Samsam merupakan sarana umum yang dipakai dalam setiap pembuatan sarana upacara berupa canang. Posisi meletakkan Samsam dalam sebuah canang berada di tengah-tengah. Hal ini sekaligus sebagai simbol berstananya Ida Sang Hyang Parama Kawi.

9. Makna Bhajra
Seperti disebutkan sebelumnya diatas bahwa Ghanta dan Bhajra selalu digunakan secara bersama-sama dalam pemujaan. Saat digunakan Bhajra akan diputar sebagai simbol menimbulkan perputaran kedamaian di seluruh jagat raya seiring dengan mantra-mantra yang diucapkan oleh Pandhita Budha. Bhajra yang berfungsi sebagai senjata Dewa Indra dalam penggunaannya dipegang dengan tangan kanan setinggi ping- gang. Penggunaan Bhajra selalu bersama-sama dengan Ghanta/Genta, karena dengan demikian akan dapat menimbulkan kekuatan untuk membangkitkan Asta Dewata, sehingga upacara yang diselenggarakan dapat berhasil dengan selamat.

Bhajra yang berbentuk senjata perang mempunyai makna sebagai alat untuk melakukan konsentrasi dalam pemujaan, sehingga seorang Pandhita Budha dapat mengendalikan indra yang ada dalam dirinya. 

“Bhajra punika wantah senjata pawakan Bayu Jnana Maha Suci, maka palebur pangru- watan mala mwang neraka”. 

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa Bhajra bermakna sebagai alat atau senjata yang memiliki kekuatan Jnana Maha Suci, penyucian dan pelebur dari segala kekotoran.

10. Makna Dhupa
Setiap pelaksanaan upacara, baik karena sifatnya maupun fungsinya, misinya sangat khusus bagi manusia. Dalam hal ini dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali, dhupa adalah sesuatu yang penting sekali. Jadi makna Dhupa adalah : 

(1) Lambang Agni yang dihidupkan disetiap rumah tangga, sehingga ia dikenal sebagai “Grahapati“ (permintaan dalam rumah tangga), 

(2) Pengantar upacara yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan 

(3) Agni adalah Dewa yang mengusir raksasa dan membakar habis semua mala sehingga menjadikannya suci, 

(4) Agni adalah pengawas moral dan saksi yang abadi, 

(5) Agni merupakan pemimpin upacara yadnya sejati menurut Weda.

Demikian makna yang terdapat pada Padhupan, api suci pengusir dan pembakar segala kekotoran dunia dan saksi suci yadnya.

11. Makna Dhipa
“Wijil ing dhupa saking wiswa, (sarwa alam) dan dhipa yang terdiri dari ardhacandra (bulan sabit) adalah tajamnya Bakti “.

C.Hooykaas dalam “Surya Sevana” menuliskan mantra pandita untuk menyalakan Dhupa dan Dhipa sebagai berikut :
“Om am dhupa-dipa-astraya namah”

Artinya :
Kami bersujud kepada-Mu yang dilambangkan dengan aksara Am, kami bersujud kepada nyala api suci dari dhupa dan dipa.

Dhupa adalah lambang Akasa Tattwa dan Dhipa merupakan Sakti Tattwa. Dari uaraian tersebut dapat diketahui bahwa Dhupa dan Dhipa memberi seruan kepada Agni untuk mensukseskan semua upacara.

12. Makna Wanci Genitri
Genitri memiliki fungsi sebagai simbol kekuatan Siwa maupun Bhatara Budha, dimana asal genitri adalah biji dari tanaman genitri atau disebut juga Rudhraksa. Rudrahraksa diyakini sebagai tanaman yang magis, dimana bijinya yang sudah tua berwarna biru, bisa dijadikan sebagai pelengkap kepanditaan. Rudhraksa juga disebut “Mata Dewa”. 

“Ganitri puniki wantah kawisesan, kaweruhan, kapradnyanan Sang Meraga Pandhita. Ganitri, punika mawit saking Geni meartos genah, Tri punika wantah Tetiga. Tetiga genah linggih Ida Sang Meraga Pandhita ring Sekala Niskala Sunya.

Genitri adalah merupakan rangkaian buah genitri yang pada kedua ujungnya dipertemukan dan diikat dengan Murdha sehingga menjadi sebuah rangkaian. Genitri adalah simbol yang mewakili Sarwa Buddhanam, Prajna Paramitadewi dan Sutranam Bodhisattwanam. Jumlah biji genitri adalah 108 berfungsi dan dipergunakan untuk membayangkan semua Budha dan Bodhisattwa yang dipuja selama proses pemujaan untuk membuat Tirtha (air suci). Disamping itu genitri merupakan lambang dari kebajikan, yang diharapkan dapat merubah malapetaka menjadi kebajikan. Penggunanya sangat berhubungan dengan pembersihan semua kotoran pada diri manusia dan benda-benda yang dipergunakan agar menjadi suci. Jika Pandita Budha sedang mempergunakan genitri, beliau senantiasa membayangkan Sang Hyang Agni yang menyala di pusarnya, membakar segala dosa dan kekotoran, serta segala dosa ayah ibu (Hooykaas, 1973:74)

Genitri adalah simbol kesaktian (kawisesan), pengetahuan (kaweruhan), keahlian (kapradnyanan) bagi seorang Pandhita. Hal ini memberikan makna bahwa Ganitri membantu meningkatkan ke-sidhi-an bagi seorang pandita.

13. Makna Kereb
Fungsi dari Kereb, secara fisik adalah sebagai pelindung dari keseluruhan perangkat pemujaan Budha Pakarana. Dipergunakan Kereb sebagai penutup perangkat pemujaan Budha Pakarana memiliki makna bahwa perangkat pemujaan yang memiliki nilai-nilai kesucian, juga harus ditutup atau dilindungi mempergunakan alat penutup yang juga memiliki nilai kesucian.

“Kereb, punika wantah tatekep sarana pamujaan, pawakan peteng ring sajeroning pakayunan, Paungkab-Bungkahang sadurung amuja ngastawa Ida Bhatara Budha”.

Kereb merupakan penutup, simbolis kegela- pan dalam pikiran dan diri manusia. Secara umum bentuk Kereb sebagai penutup, biasanya juga dipakai untuk menutup atau melindungi benda-benda suci lainnya. Sudah dipahami secara umum bahwa Kereb/Saab memiliki makna suci untuk penutup atau sebagai pelindung hal- hal yang bersifat suci.

14. Makna Penastan
Setelah Pendeta selesai memakai kain dan kampuh atau busana, dalam posisi menghadap membelakangi Budha Pakarana, kemudian per- tama-tama membersihkan kaki, tangan dan mulut (berkumur). Air yang beliau pergunakan adalah air bersih yang terdapat di dalam Penastan tersebut. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa makna dari Penastan sangat sakral karena dipergunakan saat awal atau pertama kali sebagai pembersihan sebelum pendeta menghadap Budha Pakarana untuk kemudian melakukan pemujaan.

3.15 Makna Canting
Canting adalah untuk mengambil air suci (tirtha) yang dipergunakan selama proses pemujaan di dalam Pamandyangan, untuk kemudian dipakai memercikkan serta menuangkan air suci (tirtha) tersebut kepada yang memohon (nunas). Biasanya dalam sebuah proses pemujaan seperti Surya Sewana maupun upacara lainnya, banyak umat yang memohon air suci (tirtha) secara langsung kepada Sang Pandita. Pada saat beliau menuangkan air suci (tirtha) tersebutlah mempergunakan Canting. Menuangkan air suci (tirtha) dengan mempergunakan Canting bermakna bahwa air suci (tirtha) yang akan dipercikkan atau dituangkan kepada pemohon (nunas tirtha), tidak boleh mempergunakan alat yang tidak suci (bersih). Dengan memiliki bentuk dan fungsi yang bagus, Canting nampak memberikan nilai kesakralan dan kesucian yang tinggi, sebagai tempat air suci (tirtha) yang akan dipercikkan kepada umat. Oleh karena itu, menjadi satu rangkaian perlengkapan dari perangkat pemujaan, semua yang dipergunakan memiliki kesucian baik sekala maupun niskala. Canting adalah salah satunya, karena selalu menyertai dimanapun Sang Pandita akan mepuja.

16. Makna Lungka-lungka/Patarana
Melihat dari bentuk dan fungsi Lungka-lungka atau Patarana, memiliki makna yang sarat dengan nilai tinggi. Lungka-lungka atau Patarana tidak hanya sekedar alas duduk, tapi bermakna sebagai alas dari sikap Budha Yogiswara. Sikap Budha Yogiswara ini bisa kita lihat pada seorang pandita pada saat Sang Pandita sedang mepuja (muput upacara), adalah sikap beryoga atau Yohiswara. Dalam ajaran Hindu Siwa Sidhanta di Bali, dimana Sadhaka atau Pandita Budha juga merupakan bagian dari Siwa Sidhanta tersebut, menjadikan perangkat alas duduk juga sebagai sarana perlengkapan, sama seperti Pandita Siwa dan Bhujangga Waisnawa, untuk memberikan kenyamanan yang baik pada saat beliau mepuja (muput) upacara.

PENUTUP
Perlengkapan perangkat pemujaan seorang Sadhaka atau Pandita Hindu di Bali, dapat disimpulkan bahwa masing-masing memiliki makna tersendiri serta memiliki nilai religiusitas yang tinggi. Sang Hyang Budha selalu dihadirkan saat seorang Pandita memuja dan berhadapan dengan perangkat pemujaan berupa Budha Pakarana, sebagai saksi suci dan kesuksesan jalannya sebuah upacara. 

Setiap perangkat pemujaan para Pandita memiliki makna khusus, yang memberikan nilai spiritual tinggi dalam sebuah proses yadnya atau upacara. Perangkat pemujaan dihadirkan atau harus dimiliki oleh para Pandita atau Sadhaka, tidak saja hanya sebagai alat pelengkap tapi merupakan perangkat pemujaan yang mutlak harus dimiliki dan menyertainya pada saat memimpin (muput) upacara atau ngelokapalasraya untuk umat Hindu di Bali.

#tubaba@griyangbang//penyatuan semangat// visi bahwa semua dari hal berbeda atau berlawanan//adalah tunggal#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar