Lindungi Hak Perempuan dan Anak Melalui Perkawinan Keris di Bali.
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
4 Pebruari 2024,
(Dialog dengan Siswi SMA N 1 Abiansemal, Kelas X C)
Perkawinan dengan keris sudah terjadi sejak zaman dahulu di Bali. Perkawinan keris merupakan prosesi perkawinan antara perempuan dengan sebilah keris sebagai pengganti kehadiran laki-laki.
Dalam agama Hindu dan hukum adat Bali, perkawinan ini terjadi ketika ada seorang perempuan yang hamil tetapi tidak ada laki-laki yang mengaku. Perkawinan keris dilakukan agar tidak terjadi gangguan yang dialami oleh desa adat.
Keris dianggap sebagai simbol laki-laki atau purusa. Meski tak ada undang-undang yang menyebutkan keabsahan perkawinan ini, tetapi hal ini dilakukan untuk melindungi hak asasi perempuan dan anak yang masih di dalam kandungan.
Dengan demikian, sang perempuan maupun anak akan mendapatkan pengakuan dan status berdasarkan agama Hindu dan hukum adat Bali. Oleh sebab itu, perkawinan keris juga tidak bisa diputuskan sembarangan oleh pihak keluarga.
Tidak adanya pengakuan dari laki-laki terhadap kehamilan perempuan biasanya juga dilatarbelakangi dengan beberapa faktor, mulai dari perbedaan kasta, hamil di luar nikah, laki-laki meninggal dunia, hingga tidak disetujui keluarga. Umumnya, perkawinan keris dilakukan dengan melalui beberapa tahapan prosesi (upacara masakapan atau metanjung sambuk).
Terdapat prosesi upacara penebusan atau yang sering disebut upacara nebusan atau nebusin. Upacara ini dilakukan di perempatan atau persimpangan jalan yang berfungsi untuk menetralkan dan menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk.
Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pamangku dan didampingi keluarga dengan sejumlah upakara. Upacara penebusan ini dilakukan untuk mengembalikan atma atau roh dari mempelai laki-laki agar pulang ke rumah, sehingga bisa menyaksikan prosesi pernikahan.
Selanjutnya, akan dilangsungkan prosesi upacara masakapan atau metanjung sambuk. Selain itu, ada juga prosesi ngeluku atau yang juga disebut memadik, meminang, atau ngidih (meminta).
Prosesi tersebut disaksikan oleh Kelian Adat, Kelian Dinas, orang tua, dan keluarga besar. Setelah itu, dilangsungkan penandatanganan berkas-berkas oleh mempelai.
Secara hukum adat dan hukum perkawinan, perkawinan keris memang dibenarkan karena telah melalui tahapan prosesi upacara adat sesuai dengan adat desa setempat. Beberapa pernikahan juga sah secara hukum dengan adanya Akta Perkawinan yang diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar