Mantra adalah salah satu jenis tradisi lisan dan masuk golongan puisi lama. Dikutip dari buku Mantra Muar Wanyek (Analisis Struktur dan Fungsi) yang disusun Badan Bahasa, mantra diyakini sebagai puisi yang paling tua karena berhubungan dengan bagian penting ritual-ritual masa lampau.
Aspek religi dalam proses pembacaan mantra menjadi faktor utama bertahannya mantra dalam masyarakat. Religi merupakan keyakinan manusia akan adanya kekuatan supranatural atau kekuatan gaib dalam hal yang luar biasa dan tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mantra adalah ucapan yang memiliki kekuatan gaib, misalkan untuk penyembuhan. Kekhasan mantra terletak pada pengulangan-pengulangan bunyi serta efek yang dihasilkannya pada pendengar.
Apa Itu Mantra?
Dikutip dari buku Mantra Dalam Budaya Masyarakat Melayu karya Fariani, secara etimologi mantra berasal dari bahasa Sanskerta yaitu "man" yang artinya pikiran, dan "tra" yang berarti alat. Jadi "mantra" berarti "alat dari pikiran."
Penulisan mantra dapat berbentuk bait dengan memiliki rima yang tidak menentu. Mantra lebih mengutamakan irama daripada rima. Dalam masyarakat Melayu, mantra digunakan untuk keperluan adat dan kepercayaan mistis selain menjadi karya sastra.
Seturut pula dengan laman Kemdikbud, pengertian mantra adalah kata atau kalimat yang mengandung kekuatan gaib atau magis dan hanya dapat diucapkan oleh orang tertentu.
Hal tersebut dikarenakan mantra memiliki kekuatan di luar kemampuan manusia. Kalimat mantra juga kaya akan metafora serta gaya bahasa hiperbola untuk visualisasi keadaan yang diinginkan dalam tujuan mantra.
Adapun antropolog Koentjaraningrat dalam buku Sejarah Antropologi, memaparkan mantra adalah bagian dari teknik ilmu gaib yang berupa kata-kata dan suara-suara yang sering tidak berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk.
Ciri-ciri Mantra
Mantra merupakan salah satu jenis dari puisi lama di masyarakat yang menjadi tradisi lisan. Mantra biasanya diajarkan secara turun temurun antar generasi. Untuk membedakan mantra dengan tradisi lisan lainnya, terdapat ciri-ciri mantra tersebut.
Mantra dari Melayu memiliki bentuk puisi atau mengandung unsur puisi di dalamnya. Namun puisi tersebut agak unik dan beda dari puisi biasanya.
Isi dan konsep mantra menunjukkan hubungan erat masyarakat dengan sistem kepercayaannya.
Mantra diciptakan dan diabadikan dalam satu perlakuan tertentu dan untuk fungsi tertentu.
Pengabdian sebuah mantra hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, seperti pawang atau dukun yang memiliki kemampuan dan perantara untuk melakukan mantra,
Mantra memiliki kepercayaan, konsep, teks, atau tubuh puisinya yang dilakukan seseorang untuk tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa untuk tujuan perseorangan atau masyarakat.
Mantra berbentuk teks ucapan dari kata-kata atau ayat yang membentuk prosa berirama.
Isi teks mantra mengandung konotasi magis dan berkaitan dengan kuasa luar biasa.
Bahasa yang digunakan dalam mantra biasanya berbentuk perlambangan akan suatu kuasa atau objek.
Penggunaan citraan berdasarkan panca indera mata, telinga, hidung, dan tangan.
Terdapat pengulangan-pengulangan bunyi pada pengucapan mantra.
Mantra Kramaning Sembah atau Panca Sembah diucapkan setelah melaksanakan puja Tri Sandya. Di pura-pura pada umumnya, jika sembahyang bersama dengan pemangku dikatakan seperti ini "Umat Sedharma, Setelah puja Tri Sandya kita Lanjutkan dengan Kramaning Sembah atau Panca Sembah".
Sembah pertama diawali dengan sembah muyung tanpa sarana, setelah itu dilanjutkan dengan sembah siwa aditya, dilanjutkan dengan, Ista Dewata, Mohon Anugera, dan diakhiri dengan Sembah Muyung tanpa sarana. ditutup dengan parama santi. Sebelum melaksanakan panca sembah ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut:
Persiapan Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana penujang sembahyang seperti pakiannya harus bersih dan rapi, bunga dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan kesucian pikira. Langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Asuci Laksana
Pertama-tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati.
Pakaian
Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok hendaknya dihindari.
Pakaian harus disesuaikan dengan dresta (kebiasaan) setempat, supaya tidak menarik perhatian orang.
Bunga atau Kwangen
Bunga atau Kwangen adlaah lambang kesucian, suapay diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kwangen dapat diganti dengan bunga. Ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang. Menurut Agastyaparwa, bunga tersebut adalah: Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa digoncang, bunga-bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan.
Dupa
Apinya dupa adalah symbol Sang Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi, setiap yajna dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya ditaruh sedemikian rupah sehingga tidak membahayakan teman-teman di sebelah ketika sembahyang.
Tempat Duduk
Tempat duduk hendaknya diusahakan tidak mengganggu ketenangan untuk sembahyang. Arah duduk ialah menghadap pelinggih. Jika mungkin agar menggunakan alas duduk seperti tikar dan sebagainya.
Sikap Duduk
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik untuk pria ialah sikap duduk bersila (Padmasana, Silasana, Sidhasana) dan badan tegak. Sikap duduk bagi wanita ialah Bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki diduduki. Dengan ssikap ini badan menjadi tegak lurus, sikap ini sangat baik untuk menenangkan pikiran.
Sikap Tangan
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah “Cakupan kara kalih” yaitu kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan di atas di depan ubun-ubun. Bunga atau Kwangen dijepit pa ujung jari tengah.
Setelah semuanya tersedia, maka dilanjutkan dengan Panca sembah atau Kramaning Sembah. Pada umumnya, persiapan di atas sudah disiapkan sebelum melaksanakan puja tri sandya, jadi langsung ajah masuk ke Panca sembah atau Kramaning Sembah. Adapun langkah-langkah Kramaning Sembah adalah sebagai berikut:
Urutan-urutan Sembah
Urutan-uruta sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama adalah seperti dibawah ini, dengan catatan apabila dipimpin oleh Sulinggih atau Pinandita maka umat melafalkan mantra/mantra di dalam hati.
Kramaning Sembah
1. Sembah pertama tanpa bunga (sembah puyung) ucapkan mantra
“Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha”
Terjemahan:
“Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba” (Dana Dan Suratnaya, 2013: 60-61).
2. Sembah ke dua yaitu Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagaiSanghyang Aditya dengan sarana bunga ucapkan mantra
“Om Adityasyaparam jyotih Rakta teja namo’stute Svetapangkaja madhyasthah Bhaskarayo namo’stute”
Terjemahan:
“Om Sanghyang Widhi Wasa, sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat padaMu, Engkau yang beradah ditengah-tengah teratai putih, hormat padaMu pembuat sinar” (Dana Dan Suratnaya, 2013: 61).
3. Sembah ketiga menyembah Sanghyang WIdhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan Sara Kwangen atau Bunga. Ucapkan mantra
“Om namo devaya adhistanaya Sarva vyapi vai sivaya Padmasana eka prathistaya Ardhanaresvarya namah svaha”.
Terjemahan:
“Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada Dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada di mana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tepat, kepada Ardhanaresvarya hamba menghormat” (Dana Dan Suratnaya, 2013: 62).
4. Sembah ke empat Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberih anugerah, dengan sarana kwangen atau bunga ucapkan mantra
“Om nugrahaka manohara, Deva dattanugrahaka, Arcanam sarva pujanam, Namah sarvanugrahaka, Om Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmaka, Laksmi siddhisca dirgahayuh Nirvighna sukha vrddhisca”.
Terjemahan:
“Om Sanghyang Widhi Wasa,, engkau yang menarik hati, pemberih anugerah anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat padaMu pemberih semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan” (Dana Dan Suratnaya, 2013: 63).
5. Sembah ke Lima, Sembah Tanpa Bunga (Sembah Puyung) ucapkan mantra
“ Om Deva Suksme Paramacintya Namag Svaha”
Terjemahan:
“Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi, yang maha gaib” (Dana Dan Suratnaya, 2013: 64).
Setelah persembahyangan selesai (Panca Sembah) dilanjutkan dengan memohon Tirtha (air suci) dan Bija/ Wibhuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar