Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh lu'u
Ilang lu'u buk'e katah
Yadin ririh liu nu peplajahan
Terjemahannya :
"Jangan mengira dirimu sudah pintar
Biarlah orang lain yang menilai diri kita/menyebutnya demikian
Ibarat sedang menyapu
Sampah akan muncul terus menerus
Kalau sampah habis, masih banyak debu
Biarpun kamu sudah pintar, masih banyak yang harus dipelajari"
Lagu ini terkesan begitu polos, lugu, apa adanya, namun penuh makna. Dari setiap baitnya mengandung makna :
1. Jangan sombong, mengatakan diri pintar, diri baik, serba tahu dan seterusnya, juga hindari memuji diri sendiri. Orang lainlah yang menilai dan mengatakan bukan diri anda.
2. Belajar ataupun tindakan baik apapun yang kita lakukan harus terus menerus. Ibarat orang menyapu, tidak cukup hanya dilakukan sekali saja.
3. Tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang mungkin pintar dalam ilmu lain.
Pesan Pendidikan Lewat Macepat
“Eda ngaden awak bisa” (jangan menyangka diri bisa) merupakan baris pertama dari tujuh baris syair gending pupuh Ginada yang diakhiri dengan baris “liu enu paplajahan” (masih banyak pelajaran). Baris pembuka dan penutup macepat ini hendak mengingatkan bahwa dunia kehidupan adalah lembaga pendidikan. Dunia kehidupan menjadi semacam sekolah, tempat berlangsungnya proses pendidikan dan proses pembelajaran melalui interaksi dengan lingkungan, baik alam, sosial, maupun kultural. Proses ini merupakan upaya sadar manusia menyediakan pengalaman bagi pertumbuhan dan memberikan pengetahuan bagi perkembangannya sejalan dengan dinamika sekolah kehidupan. Di sekolah ini segalanya cepat berubah, seperti landasan, peralatan, aturan, dan tujuan pendidikan berganti sesuai dengan desa-kala-patra.
Menjadi Manusia Pembelajar
Memasang jarak kritis dan menyatu dengan kenyataan merupakan kebiasaan khas dan cita-cita pembelajar. Kebiasaan ini disarankan lewat “eda ngaden awak bisa”, upaya menunda arti dan makna putusan pengetahuan, baik bisa maupun ririh. Bukan hanya karena “liu enu paplajahan”, melainkan juga menunda untuk menemukan ‘jalan tengah’. Cara pandang yang tidak memihak pada suatu putusan pengetahuan: tidak segera menerima suatu putusan yang seolah-olah dapat disetujui dan tidak segera menolak suatu putusan yang seolah-olah tidak dapat disetujui. Sebaik-baiknya pandangan dan pendapat memang berada di jalan tengah, tidak memihak. Posisi yang demikian membuka peluang bagi pikiran untuk melanjutkan petualangannya menjelajahi kenyataan yang tidak terbatas.
Kenyataan itulah yang ditunjuk dalam pesan “liu enu paplahan”, karena itu peringatan “eda ngaden awak bisa” sesungguhnya hendak berbicara tentang ketidaktuntasan proses pembelajaran. Pendidikan memang sepanjang hayat, belajar terbatas usia, dan tamat saat kematian. Meskipun begitu, kita tidak mudah menemukan seseorang yang menguasai secara utuh dan sepenuhnya semua unit pengetahuan alam, sosial, dan budaya, apalagi pengetahuan ketuhanan. Menyadari keterbatasan tidak berarti harus rendah hati, apalagi rendah diri di hadapan kenyataan yang tidak terbatas, tetapi membuatnya menjadi ‘obor belajar’. Api dan cahaya perubahan untuk mengganti kesombongan, keangkuhan, dan kecongkakan menjadi daya semangat untuk tetap menjadi manusia pembelajar, sebagaimana kewajiban sekolah kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar