Minggu, 29 Desember 2024

Sloka Penghujung Tahun

Berikut beberapa sloka Hindu yang sesuai untuk penghujung tahun:

Sloka Penutup Tahun
Om Sahana Vavatu Saha Nou Bhunaktu, Sahaveeryam Karavavahai. Tejasvi Naavadhi Tamastu Maa Vidvishavahai 
(Mantra Gayatri, Rigveda 3.62.10) 
- Memohon perlindungan dan keselamatan.

Om Sarve Bhadrani Pasyantu, Maa Kascid Duhkhabhag Bhavet
(Mantra Universitas, Rigveda 5.51.1) 
- Memohon kebaikan bagi semua makhluk.

Aham Prema, Aham Shanti, Aham Brahma 
(Bhagavad Gita, 10.20) 
- Mengingatkan diri tentang cinta, kedamaian dan kebersatuan dengan Tuhan.

Sloka untuk Tahun Baru
Om Saka Nama Samvatsaraya, Mangalam Bhavatu 
- Memohon keselamatan dan kebahagiaan di tahun baru.

Samvatsara Pujanam, Kuru Kuru Swaha - Memohon berkah tahun baru.

Om Sri Ganeshaya Namaha, Samvatsara Prasadaaya 
- Memohon berkah dari Dewa Ganesha untuk tahun baru.

Sloka untuk Refleksi Diri
Atmaiva Hy Atmano Bandhur, Atmaiva Ripur Atmanah (Bhagavad Gita, 6.5) 
- Mengingatkan diri tentang pentingnya introspeksi.

Sarve Dharmaan Parityajya, Mamekam Sharanam Vraja (Bhagavad Gita, 18.66) 
- Mengingatkan diri tentang pentingnya menyerahkan diri kepada Tuhan.

Aham Karma Phala Tyagi, Samnyasa Yoga Yujyate (Bhagavad Gita, 6.1) 
- Mengingatkan diri tentang pentingnya melepaskan keterikatan pada hasil.

Jumat, 27 Desember 2024

Proses upacara Pasupati dupa amerta dewa

Proses upacara Pasupati dupa amerta dewa, di tempat produksi dupa Saraswati 108, salah satu perusahaan dupa terbesar di jembrana milik salah satu anggota Pasraman Sastra Kencana,

Dalam proses kali ini sesuai permintaan dan pesanan bagi beberapa custumer dupa Pasupati produksi Saraswati 108 yang bekerja sama dengan Pasraman Sastra Kencana dalam proses pemasupatian dupa Pasupati Amerta Dewa untuk kelancaran rejeki dan pematuh untuk merukunkan keluarga bagi si penggun

Untuk kali ini demi memenuhi permintaan beberapa custumer agar kekuatan Pasupati di isi kekuatan Pematuh Pengingkup Pengasih untuk meningkatkan merukunkan keluarga, untuk itu maka pada Pasupati kali ini kekuatan dupa Pasupati Amerta Dewa di isi tambahan Pasupati Asmara Sewu dan Asmara dana serta Dasa Guna Nawa Kerti

Ketiga kekuatan itu menyatu menjadi satu kekuatan di dalam dupa Amerta Dewa produksi Saraswati 108,

Pasupati Asmara Sewu berfungsi untuk pematuh pengingkup pengasih semoga bisa merukunkan keluarga ayah ibu, suami istri, kakak adik dan anak cucu, ( penggalan mantra......
...... amatuhaken yayah ibu, amatuhaken laki rabi, amatuhaken raka rai, satu nanak putu cicit kabeh, teka patuh ingkup, ingkup asih welas asih pada nunut manut sakeluarga, amatuhaken Panca Maha Butha, Panca Detya, Panca Dhurga Wisesa Sapta Dhurga Murti). Ini akan mempengaruhi rumah memancar aura cinta kasih yang tinggal, kekuatan gaib yang sering membuat takut merinding, mudah konflik antar penghuni rumah semoga menjadi tenang damai rukun bersama orang tua, bersama pasangan hidup dan Bersama sanak saudara dan anak cucu. Dupa ini sangat bagus jika dipasangkan dengan kekuatan minyak gaib Asmara Sewu produksi Pasraman Sastra Kencana yang khusus untuk merukunkan keluarga yang sering kacau selisih paham, dan mengatasi rumah atau usaha yang banyak ada gangguan mahluk gaib yang menyebabkan sering takut dirumah sendiri, sering merinding tanpa sebab serta kowos boros mudah selisih paham 

Pasupati Asmara Dana akan berpengaruh pada terbuka nya jalan kerejekian dan munculnya rasa semangat bekerja untuk meningkat kesejahteraan hidup (penggalan mantra.....
... Pada suka pada dana angawe kesukertaning urip, kesukertaning seraja karya), Pasupati dupa ini bagus dipasangkan dengan minyak gaib Asmara Dana smoga menjadi lebih lancar dan lebih hemat dalam berbagi kerejekian, 

Pasupati Dasa Guna Nawa Kerti berfungsi untuk keterbukaan kerejekian dari segala arah ( 9 penjuru)penggalan mantra ....
.... .... angruak marga sanga angametaken amertaning buana. Nawa amerta panca amerta tri amerta dwi amerta dadi sawiji, wenang ngameryanin sarwa meurip sarwa tumuwuh, ngamertanin seraja karya, asing gawe asing karya kamertan dening para dewata dadi kuwehing rejeki pengupa jiwa......)

Semoga bisa memenuhi harapan customer yang selama ini telah memanfaatkan dupa Pasupati Amerta Dewa dan Surya Kencana produksi Pabrik dupa Saraswati 108 bekerja sama dengan Pasraman Sastra Kencana.

Apa itu Asmara sewu...
Asmara sewu adalah gabungan kekuatan antar Sanghyang Semara Guna , Smara Jaya, Semara Tantra, Smara Ratih Semara Lulut Semara Gama yang menyatu membentuk kekuatan Asmara Sewu,

Apa itu Asmara dana
Asmara dana adalah gabungan antara Bhatara Indra menyatukan kekuatan Bhatara Kwera. Bhatara Kanwa, Sanghyang Singa Jalma, Sanghyang Amerta, yaitu menyatu kekuatan Tuhan yang memiliki sifat kerejekian, Bhatara Kwera dewa kesejahteraan yang mampu menyatukan keberuntungan yang datang dari 8 penjuru, Bhatara Kanwa memiliki kemampuan menyatukan kerejekian para dewa dari Tri Buana, Sanghyang Singa Jalma memiliki sifat menyatukan kerejekian yang datang dari 4 penjuru, dan Sanghyang Amerta menyatukan kekuatan amerta yang datang dari segala penjuru,

Apa itu Dasa Guna Nawa Kerti
 adalah kekuatan Sanghyang Dasa dewata menyatukan seluruh kekuatan para Dewa Bhatara Bhatari, menyatukan kekuatan Panca Dewata membentuk Panca Amerta, dan menyatukan Sanghyang Panca Amerta hingga terbentuk Dasa Guna Nawa Kerti,
Sanghyang Panca Dewata membentuk Amerta sanjiwani, amerta Kamandalu, amerta kundalini, amerta maha amerta, amerta pawitra, dan Sanghyang Panca Amerta Bhatara kwera, Bhatara Kanwa, Sanghyang Singa Jalma, Sanghyang Amerta menyatu membentuk Maha Pawitra,

Mantra tersebut murni dipetik dari tatwa sastra Dasa Aksara dan Kanda Empat hingga terciptanya energi Asmara Sewu, Asmara Dana, dan Dasa Guna Nawa Kerti,

Mantra tersebut juga telah digunakan dalam aktivasi tubuh dengan pewintenan kedyatmikan yaitu Pewintenan Dasa Guna Nawa Kerti, Pewintenan Asmara Sewu Asmara Dana untuk menciptakan keberuntungan diri dalam berbagai profesi bisnis bukan profesi kerohanian maupun kedukunan,
Jadi aktivasi pewintenan kerohanian dan kedukunan Dharma Usada sangat jauh berbeda dengan pewintenan aktivasi kesukertaning urip sebagai mana yang dijelaskan dalam tatwa sastra Panca Rsi yang terdiri dari
1. Dharma Sastra
2. Dharma dyatmika
3. Dharma wiweka
4. Dharma sukerta
5 Dharma sampurna

Ajaran tentang kesukertaning urip yaitu ilmu yang membahas tentang pencapaian kesejahteraan hidup ada pada Panca Rsi nomor 4.

Om Rahayu,
Semoga semua damai dan berbahagia,

PADMASANA: PANCA BRAHMA, PANCA TATHAGATA DAN PANCA AKSARA

PADMASANA: PANCA BRAHMA, PANCA TATHAGATA DAN PANCA AKSARA

Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.

Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.

Lontar Wrehaspati Tattwa menyuratkan:

Sawyaparah, Bhatara Sada Siwa sira, hana padmasana pinaka palungguanira, aparan ikang padmasana, ngaranya, saktinira, sakti ngaranya, wibhu sakti, prabu sakti, jnana sakti, kriya sakti, nahan yang cadu sakti. Nihan tang wibhu sakti ngaranya.

[Pada awal Beliau berkeadaan aktif dengan ciptaan-ciptaan-Nya, Bhatara Sada Siwa Beliau. Ada Padmasana sebagai tempat duduk Beliau. Apakah Padmasana itu? (Padmasana sesungguhnya) adalah sakti-Nya. Sakti meliputi: Wibhu Sakti, Prabu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Inilah yang disebut Cadu Sakti, empat kemahakuasaan. Itulah yang disebut Wibhu Sakti].

Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa disuratkan:

Sanyambek nirang jambakena hilang ikang jong tan pajamuga; sumyuk tang puspa warsamarengi jaya-jayastungkara, karengo maya-maya juganjali wekasan anon teja kara-kara; saksat dresthadhanariswara teka hana ring padmasana-mani
(9.4d).

[Dengan penuh keyakinan Arjuna hendak membanting kedua kaki Hyang Siwa, namun tiba-tiba Beliau lenyap tanpa bekas. Hujan bunga bertaburan, terdengar puja-mantra kejayaan mengiringinya. Sungguh amat menakjubkan sehingga akhirnya Arjuna bersujud ketika melihat cahaya gemerlapan. Hyang Siwa beserta sakti-nya (Ardhanareswara) seketika menampakkan diri dan duduk di atas padmasana permata].

Dalam Kakawin Sutasoma gubahan Mpu Tantular disuratkan:

Sri Wairocana dibya rupa pakarupanira ri puputing kasantikan; mwang padmasana ratna pangkaja palinggihannira saha Buddha laksana, lilabhusana sarwa ratna dumilah makutamani suteja bhaswara; aksobhyadi huwus mamuja ri sira jaya-jaya paramadi dewata.
(52. 12ab).

(Sri Wairocana dengan penuh pancaran cahaya karena telah mencapai kedamaian; Beliau duduk di atas padmasana, bunga tunjung permata disertai dengan sikap sebagai Buddha; dengan bhusana permata yang bercahaya serta hiasan kepala bercahaya cemerlang; Beliau adalah dewata utama yang mengucarkan puja kejayaan).

Padmasana di sini diberikan makna metafisika tidak semata-mata fisika sesuai dengan kemahakuasaan Bhatara Sada Siwa yang disebut Cadu Sakti dan Asta Aiswarya. Kemahakuasaan itu kemudian dijabarkan ke dalam konsep Catur Lokaphala, yaitu: Bhatara Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu. Konsep ini lebih lanjut berkembang menjadi Panca Dewata dengan menambahkan unsur tengah/dalam (wiswa) sehingga menempati keempat arah mata angin, yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara dan Tengah-tengah. Pada masing-masing arah tersebut berkuasa, ber-sthana, karena telah mempunyai guna atau sakti, yaitu Iswara di Timur, Brahma di Selatan, Mahadewa di Barat, Wisnu di Utara dan Siwa di tengah-tengah (madya).

Teks Wrehaspati Tattwa menyuratkan:

... ri Madhya nika ngkana ta palungguhan ri kala niran masarira, mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdha ya, Tatpurusa waktra ya, Aghora hrdaya ya, Bamadewa guhya ya, Sadyojata murti ya, Aum, nahan pinaka sarira Bhatara, bhaswasphatikawarna.

(Di tengah-tengah bunga padma ber-sthana sang Hyang Sada Siwa, ketika Beliau mengambil suatu wujud. Beliau adalah mantratma, mantra sebagai wujud-Nya. Isana sebagai kepala, Tat Purusa sebagai muka, Aghora sebagai ati, Bamadewa sebagai badan halus, Sadyojata sebagai wujud-Nya, Aum. Ini merupakan wujud Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Sada Siwa, bening seperti kristal).

Sayojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana biasa disebut Panca Brahma disimbulkan dengan Aksara Panca Brahma, yaitu Sang, Bang, Tang, Ang, dan Ing atau Sa, Ba, Ta, A, I. Sa adalah Sadyojata di Timur (purwa). Sadyojata gelar lainnya Iswara; Ba adalah Bamadewa di Selatan (daksina). Bamadewa bergelar Brahma; Ta adalah Tat Purusa di Barat (pascima). Tat Purusa bergelar Mahadewa; A adalah Aghora di Utara (uttara). Aghora juga bergelar Wisnu; dan I adalah Isana di tengah-tengah (madya). Isana juga bergelar Siwa, Penguasa Yang Maha Esa. Masing-masing Panca Brahma ini menempati posisi arah mata angin. Dengan demikian antara Cadu Sakti dengan Panca Brahma mempunyai hubungan yang sangat erat: Pertama, Jnana Sakti berwujud Iswara dengan aksara Sang terletak di Timur; kedua Kriya Sakti berwujud Brahma dengan aksara Bang terletak di Selatan; ketiga Wibhu Sakti berwujud Mahadewa dengan aksara suci Tang terletak di Barat; keempat Prabu Sakti berwujud Wisnu dengan aksara Ang terletak di Utara; dan kelima Bhatara Siwa yang mempunyai keempat sakti tadi berwujud Isana dengan aksara Ing terletak di tengah-tengah. Secara fisika, Sada Siwa dilukiskan ber-sthana di atas bunga Padma dengan kelopak-kelopak bunganya.

Di dalam Bhuana Agung, Panca Brahma menempati posisi arah mata angin, di dalam Bhuana Alit mereka ber-sthana pada organ-organ di dalam tubuh kita. Hal ini disebutkan di dalam BHUANA KOSA (I: 17). Dikatakan bahwa tumpu hati mempunyai lima warna, yaitu rakta (merah), triwarna (tiga warna), asita (hitam), dipta (seperti sinar matahari), sphatika (seperti kristal). Warna-warna ini merupakan warna-warna dari muka-muka Siwa.

Hana warnna lima kwehnya, atisaya tejanya, munggwi tumpukking hati, malyangta ya, lwirnya; ikang rakta, Aghora, ikang tri warnna, bang, putih, kresna ya Tatpurusa, ikang hireng padha lawan nilanjana, ya Sadya, ikang kadi teja ning aditya, ya Bamadewa, ikang kadi manik sphatika, ya Isana, nahan kramanya, ka wruhana ta kitang wira.

(Ada lima jenis warna, sangat luar biasa cahayanya, bertempat pada tumpuk hati sangat bersih, perinciannya sebagai berikut: merah, aghora dewanya. Yang tiga warnanya yaitu merah, putih, dan hitam, Tatpurusa dewanya. Yang hitam seperti cilak mata, Sadya dewanya. Warna yang seperti sinar matahari, Bamadewa dewanya. Yang seperti permata batu kristal, Isana dewanya. Demikian penjelasannya, hendaknya ananda ketahui).

Dalam teks yang sama kita menemukan proses penempatan lima mukha Siwa, Panca Waktra dengan Sapta Loka, yaitu Bhur, Bhuvah, Svah, Jnana Loka, Tapa Loka dan Satya Loka. Bhur-Bhuvah-Svah di sini diberi nama bersama-sama di bawah nama Indra Loka dengan Aghora sebagai penguasanya. Kemudian muncul Maha Loka untuk Tat Purusa, Jnana Loka untuk Sadhyojata, Tapa Loka untuk Wamadewa, dan loka tertinggi, Satya Loka untuk Isana.

Dalam teks lain, yaitu "TINGKAH ING SANGHYANG PANCA AKSARA", kita menemukan Panca Waktra juga disebut Panca Brahma dalam hubungannya dengan Panca Aksara. Panca Brahma adalah lima muka Siwa seperti disebutkan di atas tetapi kadang-kadang mereka disimbulkan hanya dengan aksara: A, T, S, B (V), I dan bagi Panca Aksara yang dimaksudkan di sini adalah kependekan dari rumus "Siwa ya namah" ke dalam aksara S, V, Y, N, M. Di dalam teks ini, "TINGKAH ING PANCA AKSARA", sebuah gambaran bunga Padma (teratai) dengan delapan kelopak bunga (dala). Gambaran bunga ini disebut Astadala Padma. Kemudian aksara-aksara Panca Brahma dan Panca Aksara ditempatkan pada tiap-tiap kelopak bunga tersebut di dalam suatu tatanan sedemikian rupa kedua kelompok aksara ini melewati satu dengan lainnya. Aksara Y dari Panca Brahma dan aksara I dari Panca Brahma ditempatkan di tengah-tengah (madya) atau di jantungnya bunga.

Aksara Panca Brahma ini dapat juga kita temukan di dalam Surya Sewana atau Weda Parikrama, yaitu sebuah prosesi penyucian dan pemujaan kepada Siwa dalam manifestasinya sebagai Surya atau Aditya oleh Pendeta di dalam tradisi agama Hindu di Bali-Lombok. Ucapan ini sangat populer di sini. Untuk mempersiapkan tirtha (air suci) pertama dalam proses Utpatthi dan Sthithi kita temukan:

"I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Si Va Mam Um Am/
Sa Ba Ta A I Na Ma Si Va Ya"

Mantra ini diucarkan oleh pendeta untuk memanggil atau menghadirkan Tuhan Siwa agar berkenan bersemayam atau ber-sthana di dalam air yang sedang dihadapinya.

Dalam proses memoleskan bhasma terbuat dari kayu cendana, Pendeta mengucarkan mantra:

"Om idam bhasmam puram guhyam/
sarwa papa-vinasanam sarvaroga prasamanam/
sarva kalusa-nasanam namah svaha//
Om Bamadewa guhyaya namah svaha/
Om Sam Bam Tam Am Im namah svaha//"

Sementara S. Levi menuliskan sedikit berbeda.

Om Isanaya namah (kepala)/
Om Tatpurusa namah (dahi)/
Om Agoraya namah (janggut)/
Om Vamadewaya namah/ (pundak kanan)/
Om Sadhyaya namah/ (pundak kiri)
Om am hrdayaya namah// (hulu hati).

Prosesi menyucikan jari-jari tangan juga menyebutkan lima nama Siwa:

"Om am kam kasolkaya Sadhyaya namah; avahana.
Om am kam kasolkaya Aghoraya namah; yoga.
Om am kam kasolkaya Bamadewaya namah; visarya.
Om am kam kasolkaya Isana ya namah; pratistha.

R. Goris telah mencoba menemukan sebuah penjelasan. Avahana adalah sebuah undangan untuk Tuhan; Pratistha membangun patung; sementara dewa-dewa akan menitis kembali dengan sendirinya; Yoga berarti gerakan fisik; Krama, gerakan memutar dari patung; dan Visaryana (Visarya) mencelupkan patung ke dalam air suci.

LINGGA PURANA menyuratkan bahwa Siwa memanifestasikan dirinya dalam lima bentuk yang berbeda, contohnya Isana adalah jiwa alam semesta; Tatpurusa adalah ilusi (maya) dunia material; Aghora adalah buddhi; Wamadewa meresapi alam semesta dalam bentuk Ahamkara dan yang terahir, Sadyojata adalah manas-tattva (pikiran).

Sumber India lain, yaitu SUTA-SAMHITA menjelaskan Siwa (Panca Brahma). Dikatakan bahwa Panca Brahma meresapi alam semesta dan realisasi hal ini berarti pembebasan dari belenggu (samsara). Di sini Isana direpresentasikan sebagai Akasa; Tatpurusa sebagai air; Aghora sebagai api; Wamadewa sebagai air; dan Sadyojata sebagai tanah.

Apa yang disebut Caturmukha-lingga pada dasarnya adalah manifestasi dari lingga dengan empat muka sebagaimana ditemukan di India bertahun awal abad masehi. Banten Catur Mukha dalam upakara yajna di Bali juga pengejawantahan konsep Panca Brahma. Bijendrananth Sharma dalam bukunya ICONOGRAPHY OF SADA SIWA (1976) menyatakan bahwa Caturmukha-lingga yang tersimpan di Gurukul Kangri Museum, Haridwar adalah sebuah contoh dari pengejewantahan pemujaan kepada Siwa (Sada Siwa) dengan empat kekuatannya: "... five aspects of Siwa viz, Sadyojata, Bamadewa, Aghora, Tat Purusa, and Isana are symbolically represented by five ligas carved in relief on the upper part of the stele of the images" (hal. 32). (... lima aspek Siwa, yaitu Sadyojata, Bamadewa, Aghora, Tat Purusa dan Isana secara simbolis diwujudkan dengan lima lingga dipahatkan di atas bagian patung).

Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.

Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab SANG HYANG KAMAHAYANIKAN telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa pemerintahan raja Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Raja Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kediri pada tahun 930 Masehi. Raja Mpu Sindok pemeluk agama Siwa (Hindu), namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa kedua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi kitab panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan raja Mpu Sindok. Di dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan menyebutkan Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana, dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajna. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jnana dalam kitab di atas adalah: Saswata jnana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jnana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jnana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jnana, adalah pengamatan, Amitbha, dan Krtyanusthana jnana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.

Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aspek yang mengerikan, aktivitas, penyerta, dan suku kata suci (wijaksara).

Di dalam kakawin ARJUNA WIJAYA kita temukan penyebutan lima Dhyani Buddha: Wairocana, Aksobhya, Amitabha, Ratnasambhawa dan Amoghasiddhi. Kelima Buddha ini diidentikkan dengan Sada Siwa, Rudra, Dhatrdewa, Dewamaha dan Harimurti. Sumber yang sama menyuratkan bahwa seorang raja yang setelah mengucapkan formula kesamaan manifestasi Siwa dan Buddha, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara dirinya sendiri dan Buddha tertinggi yang dalam Realitas satu dengan Siwa. Dan, bahwa ia yang dengan mengulang-ngulang mantra dibebaskan dan mencapai keadaan Adwaita (lepas, Adwitya). Dalam ajaran Mahayana dengan Adwaya menyebabkan bersatunya Buddha dengan Karuna sehingga mencapai Nirwana atau Nibana. Di sini terjadi penunggalan Adwaya dan Adwayajnana.

Dalam kakawin SUTASOMA lima Dhyani Buddha diidentikkan dengan Siwa-Rajadewa, Iswara, Bhatara Dhart, Mahamara dan Wisnu. Lebih lanjut disebutkan bahwa Jina, kebenaran tertinggi yang memperlihatkan dirinya sendiri sebagai Tri Murti: Buddha, Lokeswara dan Wajrapani adalah sama dengan konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu dan Iswara. Setelah ungkapan identifikasi ini kita menemukan sebuah baris yang mengatakan: "Jinatwa lawan Siwattva tunggal" (Jina dan Siwa adalah tunggal). Hal yang sama dapat juga dijumpai di dalam kitab SANG HYANG KAMAHAYANIKAN. Dikatakan untuk mencapai "Astasvaryasukha" berarti juga mencapai "(Adi) Buddha lawan (Parama) Siwa". ('lawan' di sini berarti 'dan'). Pada bagian akhirnya diungkapkan "Sira ta Siwa-Buddha" (siapa itu Siwa-Buddha).

Di dalam mengungkapkan perbedaan antara Buddhisme dan Siwaisme pendeta mengatakan: "Buddha saking niskala ngerereh sakala dan Siwa saking sakala ngerereh niskala". Moto ini dapat dipahami jika kita mempertimbangkan hakikat Buddha dan Siwa. Dari perspektif Buddha dapat diungkapkan kembali dengan ungkapan: "Buddha dari Dharma-kaya mencari Nirmana-kaya dan Siwa dari sakala mencari niskala". Konsep ini nampak dalam praktek ritual pendeta Siwa dan Buddha ketika memimpin suatu upacara yajna. Dikatakan pendeta Siwa memulai dari niskala menuju sakala; sementara pendeta Buddha dari sekala menuju niskala; atau pendeta Siwa dari atas ke bawah; sementara pendeta Buddha dari bawah ke atas; dimana keduanya bertemu di tengah; pendeta Siwa representasi purusa atau langit, sementara pendeta Buddha pradana atau pertiwi. Pembagian tugas masing-masing pendeta di dalam muput yajna memperlihatkan konsep-konsep metafisika di dalam baik ajaran Siwa maupun Buddha, khususnya Mahayana.

I.B. M. Mantra menjelaskan konsep ini dengan mengacu kepada ajaran Buddha. Awalnya Buddha Gautama sangat menaruh perhatian kepada penderitaan (duhkha) umat manusia. Ia muncul di dunia dari Dharma-kaya ke dalam dunia manusia di dalam bentuk Nirmana-kaya (tranformasi tubuh). Buddha Gautama (Sakhyamuni) dipandang sebagai salah satu contoh sebagai inkarnasi dari Buddha yang abadi. Bagaimana halnya dengan Siwa? Siwa dicari mulai dari sakala mencari niskala. Konsep bahwa Siwa tidak mempunyai konsep inkarnasi, karena bentuk Siwa di dalam niskala selalu ada di sini di dunia ini, Ia abadi, meresapi segalanya. Para yogi di dalam pencarian kebenaran tertinggi mulai dari pemujaan Siwa dalam bentuk sakala. Kemudian secara bertahap bergegas menuju kebenaran niskala. Dalam prosesi upacara yajna, Siwa dihadirkan dari alam niskala menjadi sekala dalam wujud pendeta dan upacara-upacara banten sebagai nyasa atau wujud Bhatara Siwa. Puja Stawa ngeragaang Bhatara Siwa:

Ong Ing Isana ya namah
Ong Tat Purusa ya namah
Ong Ang Agora ya namah
Ong Bang Bamadewa ya namah
Ong Sang Sadya ya namah

Ong Ang hredaya ya namah
Ong Hreng kaya sirasa ya namah

Ong Bhur Bhwah Swah swari jwali na si kaya ya namah
Ong Rung Kawaca ya namah
Ong Bang Netra ya namah
Ong Ung Rah Pat Astra ya namah

Mantram Tri Tattwa:

Ong Ong Siwa tattwa ya namah
Ong Ong widya tattwa ya namah
Ong Ong atma tattwa ya namah

Dari kutipan di atas nampak jelas bahwa Bhatara Sada Siwa maupun Bhatara Wairocana (Buddha) ber-sthana di atas Padmasana Mani, Padmasana permata yang bercahaya. Aspek-aspek Panca Brahma maupun Panca Tathagata ditempatkan di dalam posisi dik, yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara dan di Tengah-tengah.

Penunggalan Siwa dan Buddha menjadi Siwa-Buddha suatu karakter yang sangat khas dalam agama Hindu di Indonesia; Siwa-Buddha bukanlah Siwa dan Buddha tetapi sebuah kekuatan yang lahir dari penunggalan tersebut; ia adalah - apa oleh Mpu Prapanca katakan - sebagai natha ning anatha (pelindung dari semua makhluk), pati ning jagatpati (raja dari raja dunia) dan hyang ning hyang inisti (dewa dari segala dewa pribadi), acintyaning acintya. Parwatarajadewa sebagai dewa penyatu nasional. Siwa maupun Buddha adalah perwujudan dari padanya. Di dalam kitab SUTASOMA beliau disebut Paramasunya yang identik dengan Paramasiwa.

Manggala NEGARAKRTAGAMA digubah oleh Mpu Prapanca menyuratkan :

Om nathaya namostu te stutining atpada ri pada bhatara nityasa,
sang suksmeng tleng ing samadhi Siwa-Buddha sira sakala niskalatmaka,
sang sri parwwatanatha nathaning anatha sira ta patining jagatpati,
shang hyang ning hyang inisti acintyaning acintya hana waya tmahnireng.

Byapi byapaka sarwawatattwagata nirguna sira ring apaksa wesnawa/
ring yogiswara poruseng kapila jambhala sakala siran hyang ing dhana/
sri wagindra sirang hyang sakalasastra manasija sireng smaragama/
ring wighnostsarana prayoga yamaraja sira makapalang jagaddhita//

(Om sembah puji hamba yang hina ke bawah telapak kaki Bhatara senantiasa, Beliau yang menyusup ke dalam pusat Samadhi Siwa-Buddha, beliau yang nyata, tetapi tidak nyata, Beliau adalah sang sri Parwwatanatha yang menjadi pelindung mereka yang hina, Beliau adalah juga Penguasa dari penguasa jagat, Beliau adalah dewanya dewa, acintyanya acintya, ada dan tiada wujudnya beliau di dunia. Menyusup ke dalam segala hakikat, nirguna bagi kaum waisnawa, kapila bagi para penuntut pengetahuan. Manasaji bagi mereka yang jatuh asmara, dalam menghilangkan segala halangan beliau adalah Yamaraja sehingga tercapai kejagaddhitan).

Bandingkan juga manggala kakawin ini dengan Kakawin ARJUNA WIWAHA gubahan Mpu Kanwa kira-kira 3 abad sebelum NEGARAKRTAGAMA, yaitu pada pupuh 10 bait 1-2 :

Aum sembahning anatha tinghalana de trilokasarana,
Wahyadhyatmika sembahning hulun i jongta tan hana waneh,
Sang lwir agni sakeng kadi minyak saking dadhi kita,
Sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu.

Wyapi wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita,
Icchanta ng hana-tan-hana ganal-alit lawan hala-hayu,
Utpatti sthiti linaning dadi kitata karananika,
Sang sangkan-paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.

Konsep Padmasana ini berkembang merambah tatanan kehidupan masyarakat Hindu. Para undagi (arsitek bangunan tradisional Bali), seniman, budayawan mewujudkan Padmasana ini dalam wujud bangunan fisik dengan tiga tingkatan. Dalam teks-teks sastra konsep ini digambarkan berundak tiga. Undak tiga pada bangunan ini ternyata mengikuti konsep ANANTASANA, SINGHASANA, PADMASANA. Sebagaimana tersurat di dalam Arghapatra: "Sanghyang Padmasana tumumpang ring Sanghyang Catur Aiswarya, ikang catur Aiswarya tumumpang ing Anantasana" (Sanghyang Padmasana berada di atas Sanghyang Catur Aiswarya, Sanghyang Catur Aiswarya berada di atas Anantasana). Yang dimaksud dengan Sanghyang Catur Aiswarya adalah Singgasana yang dilukiskan berupa segi empat, sementara Padmasana adalah lingkaran, Anantasana adalah segi tiga. Pada gambar Padmasana itu, bedawang nala (kura-kura) menempati posisi Anantasana. Bedawang nala biasanya dililit oleh dua ekor ular (naga) yang diambil dari mitologi pemutaran lautan susu (ksirarnawa) oleh para raksasa dan dewa. Di atas Anantasana adalah Singgasana dalam bentuk segi empat yang di dalamnya terdapat tulisan "Atmapratistha Padmahredaya" (sthana Sang Hyang Atma di dalam padma hati), di atas Singhasana adalah bunga padma berdaun delapan yang di dalamnya terdapat tulisan "Dewaprastitha" (sthana Dewa Siwa). Bangunan ini mempunyai nilai filsafat dan estetika yang sangat tinggi.

Diamati lebih jauh bagian-bagian atau palih-palihan dari bawah ke atas pada bangunan yang disebut padmasana merupakan wujud kosmos, alam semesta yang terdiri atas Bhur Loka, Bwah Loka, dan Swah Loka. Ini berarti juga di dalam wujud padmasana konsep mandala, yantra dan yoga diterapkan secara nyata di dalam bangunan tersebut.

Menurut Lontar Wariga Catur Winasasari ada sembilan jenis Padmasana sebagai sthana Tuhan dalam wujud Siwa-Buddha. Padmasana ini diberikan nama sesuai dengan posisinya di dalam arah mata angin: dik dan widik.
(1) Padma Kencana di Timur,
(2) Padmasana di Selatan,
(3) Padmasari di Barat,
(4) Padma Lingga di Utara,
(5) Padma Asta Sadana di Tenggara,
(6) Padma Noja di Barat Daya,
(7) Padma Kara di Barat Laut,
(8) Padmasaji di Timur Laut, dan
(9) Padma Kurung di tengah-tengah (madya) beruang tiga dan menghadap ke "lawangan" (pintu keluar).

Berdasarkan atas ruang singgasana dan tingkat pepalihannya, Padmasana dibedakan atas:

1. Padmasana Anglayang: Padmasana ini beruang tiga mempergunakan bedawang nala dengan palih tujuh.
2. Padma Agung: Padmasana ini beruang dua mempergunakan bedawang nala dengan palih lima.
3. Padmasana: Padma beruang satu dengan palih lima mempergunakan bedawang nala.
4. Padma Sari: Padma ini beruang satu dengan palih tiga, tidak mempergunakan bedawang nala.
5. Padma Capah: Padma ini beruang satu dengan palih dua dan mempergunakan bedawang nala.

Padma Sari dan Padma Capah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai tempat pengayatan (penyawangan) dan pedagingan-nya hanya diisi pada bagian puncak dan dasar saja. Sedangkan yang lain, yang menggunakan bedawang nala, pedagingan pada saat upacara pemelaspas (penyucian) menggunakan tiga pedagingan pada saat upacara, yaitu dasar, tengah (madya) dan atas (puncak). Melalui proses ini bangunan Padmasana yang merupakan manifestasi konsep Padma dalam Siwa-Buddha Tattwa menjadi tersucikan dan menjadi sthana Bhatara Siwa dan/atau Bhatara Buddha. Pada bangunan (pelinggih) ini Bhatara Siwa dan Buddha berwujud niskala, gaib, parama suksma, parinirmala sehingga tidak lagi diwujudkan dalam bentuk nyasa-nyasa, seperti arca, lingga, dan sebagainya. Ini juga disebut Acintya Puja, tidak lagi Murti Puja.

Bangunan Pelinggih yang disebut Padmasana pada dasarnya adalah sebuah abstraksi pikiran seperti terekam dalam sejumlah teks disebutkan sebelumnya. Secara fisik wujud ini baru bisa dikonkritkan ketika agama Siwa-Buddha ini berkembang di Bali. Mpu Nirartha (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra) dikatakan sebagai Kawi-wiku, yogi yang mencetuskan konsep Padmasana, Padma Bhuana, Padma Mandala, Padma Hredaya, dan lain-lain melengkapi konsep-konsep yang sebelumnya pernah dikembangkan di Bali. Dalam perjalanan suci (Dharmayatra) Mpu Nirartha dari Jawa Timur ke Bali pada abad ke-14 beliau memasuki mulut naga yang ternganga lebar di sekitar Pulaki, kemudian di dalam mulut naga beliau menemukan tiga kuntum bunga Padma, yaitu berwarna putih, merah dan hitam merupakan sebuah kias atau pesan bagi beliau bahwa Bali ditata dengan konsep Siwa-Buddha dengan Padma sebagai puncak kemanunggalannya. Konsep Padma ini sebagai sumber inspirasi menata kehidupan keagamaan di Bali yang melahirkan kebudayaan Bali yang khas berbeda dari kebudayaan Hindu lainnya. Eksistensi pura-pura (tempat suci) Sad Kahyangan yang berdiri megah di tiap-tiap penjuru mata angin pulau Bali dengan Besakih sebagai titik sentrumnya merupakan penjabaran konsep Padma ini. Lahirnya konsep Asta Negara di masa lalu merupakan penjabaran konsep Padma dimana pulau Bali dibayangkan sebagai sebuah unit kesatuan bunga Padma yang berdaun delapan (asta dala). Panji Sakti alias Ki Barak Panji di dalam memimpin Bali Utara pada era Waturenggong di Gegel Bali menurut sastra babad juga menggunakan Padma sebagai senjata utama.

Apabila "kekosongan" merupakan hakikat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk "kursi kosong" dan dianggap sebagai simbol singasana "Sang Maha Kosong" itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan "pemujaan leluhur", yang dianggap sebagai "pengejawantahan Tuhan". Kata-kata Wong tuwa iku pangeran katon atau orang tua "leluhur" itu Tuhan yang nampak, adalah bukti kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi "Lingga Yoni". Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasana mulai ada di Bali.

Konsep Padma ini belum sempat digunakan untuk menata kehidupan keagamaan di pulau Jawa di mana agama Siwa-Buddha pernah berkembang, khususnya di era Jawa Timur menyusul berkembangnya agama Islam. Jika bangunan ini sekarang dibangun kembali di Pulau Jawa sesungguhnya ia pulang ke kampung halamannya, karena konsep Padma lahir di Jawa pada zaman kuno seperti termuat di dalam teks-teks tergolong tattwa atau tutur maupun kakawin.

OM Shanti.

KIDUNG HYANG SINUHUN RING KAHYANGAN DHARMA SMERTI

KIDUNG HYANG SINUHUN RING KAHYANGAN DHARMA SMERTI

Om awignam manggala

Pralanggya ngayap pakulun

Sang sinanggah hyang sinuhun

Siwa Putra Prama Daksa

Mugi ledang singgih bhatara

Manyapsap dosaning hulun

Metu saking tri kaya

Tan ketaman baya kewuh

Aksi haturan kahula

Asep menyan majegau

Bhaktin kahulane tan lung

Aneda wara amertha

Ring bukpada hyang sinuhun

Ngawisesa tri buwana

Ring Kahyangan Dharma Smerti iku

ATAU

Byakawone mangkin katur

Pemangkune ngastawayang

Panampatan penyade mangku

Pengiring pada mesaksi

Panglancangane sutri malih

Sami pade ngagem dupa

Pengacine sampun

Sabda rahayu dulurin

Paklemigiane katur

Nunas wara nugrahane

Ring ida sang hyang sinuhun

Siwa Putra maha yakti

Sarwa bhuta-bhuti

Sami sampun katuran laba

Mangda sida rahayu

Ngastawa ida hyang widhi

Pabyakawon mangkin katur

Peras elise margiang

Panglukatan anggen nurut

Pabresihan sanjiwani

Kasurya margiang rihin

Ring kahyangan pangubengan

Dharma Smerti iku

Pupute di jaba sami

#tubaba@griyangbang#

CARU LINUH

Dudonan ngemargiang CARU LINUH

(Banten : ring nista mandala, caru siap brumbun, suci , segehan agung, sorohan, pengambeyan, sayut ketipat sange, byakaon, durmanggala, prayascitha)
Acara : 1.Pesucian, Byakaon, Durmanggala, Prayascita
2.Caru siap brumbun
3. Keluhur

A. Setelah persiapan upacara selesai , lalu manggala upacara mulai mengambil / mengatur sikap dengan cara sebagai berikut:
1. Cuci tangan
Mantra : Om Hrah phat astra ya namah
2. Berkumur
Mantra : Om Ung phat astra ya namah
3. Asana (sikap bersila)
Mantra : Om prasada sthiti sarira ciwa suci nirmala ya namah
4. Pranayama (mengatur pernafasan)
a. Puraka : Om Ang namah
b. Kumbaka : Om Ung namah
c. Recaka : Om Mang namah
5. Karasodana
Tangan kanan diatas menengadah : Om sudhamam swaha
Tangan kiri diatas : Om Ati sudhamam swaha
Mencucikan mulut : Om waktra sudhamam swaha
6. Membakar dupa
Mantra : Om Ang dhupa dipa astra ya namah
7. Menghirup asap dupa dengan cara tangan diasapi lalu dihirup berulang-ulang tiga kali
Mantra : Om Ang Brahmamrtha dipa ya namah
Om Ung Wisnumrtha dipa ya namah
Om Mang Iswaramrtha dipa ya namah
8. Mensucikan bija :
Mantra : Om Puspa danta ya namah
Om Kum kumara vija ya namah
Om Sri gandaswari amrtha bhyo ya namah swaha
9. Menuntun Atma dengan sikap tangan mudra didepan dada
Mantra : Om Ang hrdhaya ya namah
Om Rah phat astra ya namah
Om Hrang Hring sah parama siwamrtha ya namah

10. Mohon Panugrahan Ciwa - Budha
Mantra : Om nama Siwa ya, namo Budha ya,
nugrahi mami nirmala, sarwa sastra suksma sidhi,
Om Saraswati prama siddhi ya namah,
sarwa karya sudha nirmala,ya namah swaha
Om siwa sadha siwa parama siwa budha
Dharma sanggya ghana dipatya ya nama swaha

11. Dilanjutkan dengan mengambil kembang terlebih dahulu diasapi dengan dupa
Mantra : Om puspa dantha ya namah swaha
Dilanjutkan dengan ASTRA MANTRA
Om Ung hrah phat astra ya namah
Om Atma tatwatma sudhamam swaha
Om Om ksama sampurna ya namah
Om Sri pasupati ung phat
Om Sriambawantu ya namah
Om Sukhambawantu ya namah
Om Purnam bhawantu ya namah swaha

(Bunga dimasukkan dalam Sangku)

B. PENGAKSAMA :
1. Selanjutnya kita dahului dengan memohon maaf kehadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya.
Mantra : --Om Ksama swamam Maha Dewa
Sarwa prani hitan karah
Mam mocca sarwa papebhyah
Palayaswa sada siwa
--Om Papoham papa karmaham
Papatma papa sambawah
Trahinam sarwa papebpyah
Kanacinmam ca raksantu
--Om Ksantawyah kayika dosah
Ksantawya wacika mama
Ksantawyah manasa dosah
Tat prasiddha ksamaswa mam

C.Mohon Tirtha
1. Tirta pebersihan
a. Om hrang hring sah prama siva gangga amertha ya namah swaha
Om siva amertha
Om sada siwa amrtha
Om parama siva amrtha ya namah swaha

b. Apsu Dewa
--Om Apsu dewa pavitrani
Gangga devi namo stute
Sarwa kleca vinasanam
Toyana Pari Chudhyate
--Om sarwa papa vinacini
Sarwa roga vimocane
Sarva kleca vinacanam
Sarva bhogam avap nuyat

c. Pancaksara
--Om pancaksaram maha tirtam
Pavitra papa nacanam
Papo koti sahas ranam
Agadam bhavet sagaram
--Om pranayama baskara devam
Sarva klesa winasanam
Pranamia ditya siwartam
Bukti mukti warapradam
---Om gangga Saraswathi Sindhu
Vipaca kociki nadhi
Yamuna mahati crsthah
Sarayucca maha nadi

2. Mohon tirta untuk diri sendiri dengan sikap amustikarane
Om idhep bhatara panca tatagata,
mwang bhatara ratna traya
umandali bhajradaka ya namah swaha.
Om Gangga sindhu Saraswati
Wipase kosiki nadi
Yamuna mahati trostah
Serayunca mahanadi
Om bhur bwah swah tirta maha pawitra yanamah swaha
(Perciki Tirta untuk Penganteb saja)

D. Ambil gentanya perciki dengan tirta, asapi dengan dupa
Dan Mantram : Om ang dupa dipa astra ya namah swaha
Diperciki dengan Astra Mantra :
1. Om Ung hrah phat astra ya namah
Om Atma tatwatma sudhamam swaha
Om Om ksama sampurna ya namah
Om Sri pasupati ung phat
Om Sriambawantu ya namah
Om Sukhambawantu ya namah
Om Purnam bhawantu ya namah swaha

2. -Om kara sadhasiwa stham
Jagatnatha hitangkarah
Abiwada wada niyam
Genta sabda prakasiate
-Om ganta sabda maha sretam
Ongkarem parikirtitam
Chandra nada windu nadakam
Spulingga siwa tatwamca
-Om gantayur pujyate Dewa
Abawa-bawa karmesu
Warada labde sandeyah
Waram siddhi nirsangsayam
3. Sesudah ngastawa genta pentil palit genta sebanyak tiga kali kearah depan mantra :
Om – Om – Om
Kemudian genta itu di taruh
Mantra : Om ang kang kasolkaya yanamah
(dengan sikap amusti kerana setelah itu baru pakai genta sampai puput)

E.1.. Memohon tirta pengelukatan
Mantra : --Om Sang Bang Tang Ang Ing
Nang Mang Sing Wang Yang
Om Hrang Hring Sah parama Siwa
Gangga amerta yanamah swaha
--Om sarwa belikam prthiwi
Brahma Wisnu Maheswara
Anaking Dewa Putra Sarada
Sarvanastu ya namah swaha
--Om Sam Prajanam sarveda suddhamala
Suddharogah suddhadanda patakah
Suddhavignam suddha sakala
Dasa mala suddhadanda upata
--Om vasuputra tubyam namah swaha
Om siddhi guru srong sarasat sarva wighnam ya namah
Sarva klesa sarva roga sarva satru
Sarva papa vinasaya namah svaha

--Om Gangga sindhu Saraswati
Suyumuna gudawari narmada
Kaweri sarayu mahendra tanaya
Carmanwathi winukam
Bhadra netravati maha suranadi
Khyantan ca ya gandaki
Punya purna jalah samudra
Sahitah kurvantu te manggalam

c. Pancaksara
--Om pancaksaram maha tirtam
Pavitra papa nacanam
Papo koti sahas ranam
Agadam bhavet sagaram
--Om pranayama baskara devam
Sarva klesa winasanam
Pranamia ditya siwartam
Bukti mukti warapradam
---Om gangga Saraswathi Sindhu
Vipaca kociki nadhi
Yamuna mahati crsthah
Sarayucca maha nadi

F. Nunas Tirta Pangelukatan
1. --Om gangga muncar saking wetan, tinghalin telaga hojanira, jambanganira selaka, tinanceban tunjung putih, padyusan Bhatara Iswara,
--Om gangga muncar saking kidul tinghalin telaga hojanira, jambangannira tembaga, tinanceban tunjung bang, padyusan Bhatara Brahma,
--Om gangga muncar saking kulon, tingalin telaga hojanira, jambanganira mas, tinanceban tunjung kuning, padyusan Bhatara mahadewa,
--Om gangga muncar saking lor , tinghalin telaga hojanira, jambangan wesi, tinanceban tunjung hireng, padyusanira Bhatara Wisnu,
--Om gangga muncar saking tengah , tinghalin telaga mumbul, ring sapta petala, muncar ring luhur, tinghalin telaga hojanira, jambangan nira amanca warna, tinanceban tunjung amanca warna , padyusanira Bhatara Siwa,

2. Ginawe panglukatan bebanten, wenang Bhatara Siwa anglukat, anglebur dasa mala, hinambelan dening wong campur, kaletehan dening hodak, keraraban dening roma kahiberan dening ayam, kelangkahan dening sona, menawita keraraban, katuku ring pasar, keprayascitha denira Sang Hyang Tigamurti Hyang, Sang Hyang Eka Jnyanasurya, Sang Hyang suci nirmala,menadyang luwiring bebanten, Om sri ya we ya namah.
G. Menghaturkan banten Pesucian (buhu-buhu, tepung tawar, tetebus, kekosok) sekaligus di anteb karena tergabung di pesucian.
1. Buhu-buhu
Mantra : --Om sweta tirtanca nityam, pawitram papa Nasanam,
Sarwa rogasca nagasca, sarwa kali kalasu wina sanam
--Om Rakta tirtanca, Om kresna tirtanca, Om sarwa tirtanca yawe namo namah swaha
2. Tepung tawar , segau
Mantra : Om Sanjna asta sastra empu sarining wisesa
Tepung tawar amunahaken, segau angeluaraken
Sakuehing sebel kandel lara roga baktanmu
3. Kekosok
Mantra : Om Tresna taru lata kebaretan kalinusan dening angin angampuhang mala wigna
Om Sidhirastu ya namah swaha

4. Tetebus
Mantra : Om raga wetan angapusaken balung pila pilu
Angapusaken otot pilu, den kadi langenging Sang Hyang Surya mangkana langgenging angapusaken kang tinebus-tebas, Om Sampurna ya namah
5 .Byakala, , Durmanggala, Prayascitha
a. Byakala
Mantra : Om kaki bhuta panampik mala
Kaki bhuta panampik lara
Kaki bhuta panampik klesa
Undurakena bhaya kalaning
Manusaning hulun
--Om ksama sampurnaya namah
b. Isuh-isuh
Mantra : Om Sang Hyang taya tan panetra, tan pa cangkem, tanpa karna, sang hyang taya jati sukla nirmala, sira mangisuh-isuhing sarwa dewata, angilangaken sarwa bhuta dengen kala ring pada bhatara kabeh, Syah ta kita saking kulit ring balung ring sumsum, Mantuk ta kita maring jipang sabrang melayu
Om mam nama siwa ya swaha

6. Durmanggala (ada di semua caru):
Mantra : Om sang kala purwa sang kala sakti, sang kala braja, sang kala ngulalang, sang kala petre, sang kala suksma. Aja sira pati papanjingan pati paperet ngi, iki tadah sajinira, penek lawan trasi bang, bawang, jahe, anadaha sira tur lunga. Manawi kirang tadahan iki jinah satak sulawe, lawe satukel, maraha sira ring pasar agung nggena tuku ring pasar agung wehan sanak rabinira sowang-sowang ajasira mawali muwah pada ewahana, pada sidhi swaha
Om mrtyunjaya rakta saraya sarwa rega upadrawa, papa mretyu sangkara, sarwa kali kalika syah wigraha ngawi pada, susupena durmanggala, papa krada winasaya, sarwa wighnaya namah swaha

7. Pyayascitha +ngadegang list (lis gadang)
Mantra : --Om Sang Janur kuning pangadegan ira turun Bhatara Ciwa kabaktaning janma manusa kabeh , muang kalabetaning dewata kabeh.
--Om ksama sampurna ya namah

Om janur kuning , puput ngelisin, puput nyupat, om sidhirastu tat astu swaha

Lalu diperciki tirtha dengan mantra (ngosokang lis gede):

Om jreng jreng sabuh angadeng nagilang akna sarwa
kalan ira sang linislisan
Om sabur sweta, sabur rakta, sabur pitha
sabur krsna, sabur manca warna sarwa karya prayascita
ya suci nirmala ya namo namah swaha
8. Prayascita
Mantra : --Om prayascita kare yegi
Catur warna wicintayet
Catur wawtranca puspadyam
Ang greng reng bya stawa samam
--Om agni rahasia mukam mungguh bungkahing hati angeseng saluwiring dasa mala, teka geseng, geseng, geseng
-Om prayascita subagiyamastu

(Ibu-ibu keliling menyucikan di jeroan, bangunan semua, dengan toya anyar, pangelukatan , byakala,durmangala prayascitha)

H.CARU :
I.1. Catatan :
a. Siapkan gelas sukla 1 buah untuk tempat tirta , dengan warna bunga brumbun
b. Setelah dipuja , ditaruh pada caru

c. Sebelum muktiang , caru itu semuanya disimbuh dengan suna, jangu dan disirat tirta caru masing-masing pakai bebuhu (lis)

2. Semua sesaji yang dipersembahkan diperciki dengan tirtha penglukatan (dari tempat duduk)
Mantra : Om om sampurna ya namah
Om sudha, sudha,

Upacara Bhasma Tiga

Upacara Bhasma Tiga adalah ritual keagamaan Hindu yang dilakukan di Griya Agung Bangkasa-Bongkasa-Abiansemal-Badung-Bali, Indonesia. 

Berikut beberapa informasi tentang upacara tersebut:

Tujuan dan Makna
1. Membersihkan diri dari dosa dan kesalahan.
2. Menghilangkan pengaruh negatif.
3. Meningkatkan kesadaran spiritual.
4. Memperkuat hubungan dengan Tuhan.

Prosesi Upacara
1. Persiapan: mempersiapkan bahan-bahan seperti abu (bhasma), kelapa, cendana, gula, garam, kayu sakti, air suci, bunga, dan dupa.
2. Pembersihan: membersihkan diri dengan air suci.
3. Pembakaran: membakar dupa dan bahan lainnya serta melakukan tatalungguh. 
4. Pemaknaan: memohon ampun dan memanjatkan doa.
5. Penggunaan dan Penyebaran Abu Suci: menyebarkan abu ke tanah atau air sebagai simbol pembersihan.

Waktu Pelaksanaan
1. Perayaan Hari Kelahiran 
2. Hari Raya Nyepi (Hari Raya Kuningan).
3. Hari Raya Galungan.
4. Hari Raya Saraswati.
5. Upacara khusus seperti pernikahan atau kematian.

Lokasi
1. Griya/Jroan/Rumah.
2. Pura-pura Hindu di Bali.
3. Tempat-tempat suci lainnya.

Sumber
1. Lontar Bhasma Tiga Koleksi Griya Agung Bangkasa, salinan lontar I Ketut Tangsub/Dalem Tangsub.
2. Artikel "Bhasma Tiga" di Wikipedia Indonesia.

Berikut adalah contoh mantra yang digunakan dalam upacara Bhasma Tiga agama Hindu:

Mantra Utama
1. "Om Bhasma Dig Bhasma, Sarva Roga Naśaya Namaha" (Membersihkan diri dari penyakit dan kesalahan)
2. "Om Agnaye Bhasma Dattaye, Sarva Papa Kṣayaṃ Kuru" (Mohon ampun dan pembersihan dosa)
3. "Om Tryambakam Yajamahe, Sugandhim Pushtivardhanam" (Mohon perlindungan dan keselamatan)

Mantra Pendukung
1. "Om Rudra Ya Namaha" (Menghormati Dewa Siwa)
2. "Om Narayana Param Brahma" (Menghormati Dewa Wisnu)
3. "Om Sarva Mangala Maangalye" (Menghormati Dewi Lakshmi)

Waktu Mengucapkan Mantra
1. Saat mempersiapkan abu (bhasma).
2. Saat membakar dupa.
3. Saat menyebarkan abu ke tanah atau air.
4. Saat memohon ampun dan berdoa.

Sumber
1. Kitab Veda dan Upanishad.
2. Kitab Mantra Hindu.
3. Buku "Upacara dan Ritual Hindu" oleh I Gusti Ngurah Sudiana.

Perlu diingat bahwa mantra harus diucapkan dengan benar dan dengan niat yang tulus. Pastikan untuk berkonsultasi dengan pemuka agama atau guru spiritual sebelum melakukan upacara.

Berikut beberapa sloka Bhasma Tiga dalam agama Hindu:

Sloka Utama
1. "Agnirjvalad Bhasma Bhutam, Sarva Roga Naśaya Namaha" (Menghancurkan penyakit dan kesalahan dengan api suci)
2. "Bhasma Dig Bhasma, Sarva Papa Kṣayaṃ Kuru" (Membersihkan dosa dengan abu suci)
3. "Tryambakam Yajamahe, Sugandhim Pushtivardhanam" (Mohon perlindungan dan keselamatan dari Dewa Siwa)

Sloka dari Veda
1. "Bhasma Bhasma Sarva Roga, Naśaya Namaha" (Rigveda, 10.97.11)
2. "Agnaye Bhasma Dattaye, Sarva Papa Kṣayaṃ Kuru" (Yajurveda, 3.2.12)
3. "Bhasma Dig Bhasma, Sarva Roga Naśaya Namaha" (Atharvaveda, 19.55.1)

Sloka dari Upanishad
1. "Bhasma Evagnirjvalad, Sarva Roga Naśaya" (Chandogya Upanishad, 5.24.3)
2. "Aham Bhasma Bhutam, Sarva Papa Kṣayaṃ Kuru" (Brihadaranyaka Upanishad, 4.4.22)

Berikut beberapa contoh mantra puja Mangalam dalam agama Hindu:

Mantra Umum
1. "Om Mangalam Om Mangalam, Sarva Mangala Maangalye" (Menghormati Dewi Lakshmi)
2. "Om Sri Mangalaaya Namaha" (Menghormati Dewa Ganesha)
3. "Mangalam Bhagwan Vishnu, Mangalam Garuda Dhwaja" (Menghormati Dewa Wisnu)

Mantra untuk Kesejahteraan
1. "Om Sarva Mangala Maangalye, Shive Sarvaartha Saadhike" (Menghormati Dewi Durga)
2. "Om Mangalam Krsnam, Mangalam Gopikam" (Menghormati Dewa Krishna)
3. "Mangalam Bhagwan Brahma, Mangalam Saraswati Devi" (Menghormati Dewa Brahma dan Dewi Saraswati)

Waktu Mengucapkan Mantra
1. Saat puja di pagi hari.
2. Saat perayaan Hindu seperti Diwali dan Navratri.
3. Saat upacara pernikahan dan ritual keagamaan lainnya.

Pastikan untuk berkonsultasi dengan pemuka agama atau guru spiritual sebelum melakukan puja.

Kamis, 26 Desember 2024

ChatGPT untuk mempermudah pelajaran


Untuk mengoperasikan ChatGPT di HP, Anda dapat mengikuti langkah-langkah berikut: 
1. Unduh aplikasi ChatGPT di Google Play Store
2. Buka aplikasi dan login dengan akun Google
3. Di ruang obrolan, ketik pertanyaan atau perintah ke ChatGPT
4. ChatGPT akan memberikan tanggapan sesuai dengan pertanyaan atau perintah tersebut

Anda juga dapat menggunakan ChatGPT melalui situs web: 
1. Buka browser di HP dan kunjungi portal https://chat.openai.com/
2. Jika belum memiliki akun, registrasi terlebih dahulu dengan menekan tombol "Sign up"
3. Login menggunakan email Google maupun Microsoft
4. Ketikkan kalimat pertanyaan pada kolom yang disediakan
5. Tekan kirim dan tunggu chatbot 

ChatGPT memberikan tanggapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menggunakan ChatGPT:
Pastikan untuk memberikan instruksi yang jelas dan spesifik agar ChatGPT dapat memberikan hasil yang sesuai dengan keinginan 

ChatGPT memiliki batasan dalam penggunaannya, sehingga perlu diingat untuk tidak mengandalkan ChatGPT sepenuhnya 

Untuk menghasilkan tanggapan yang sesuai keinginan, pengguna harus memasukkan teks perintah atau prompt yang detail dan spesifik pada ChatGPT 

Rabu, 25 Desember 2024

BAYUH Tampel Bolong lan SAPULEGER Sabtu, 18/1/2025

DAFTAR PESERTA BAYUH TAMPEL BOLONG LAN SAPULEGER

1 kadek Wahyu permata dewi
2 wayan ardi pradipta 
3 made wira atmaja 
4 Kadek Nilawati dwi Cahya 
5 Komang bagus wirata Nugraha
....................... ##****##............... 
6.
7.
8.

dan seterusnya