PADMASANA: PANCA BRAHMA, PANCA TATHAGATA DAN PANCA AKSARA
Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.
Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.
Lontar Wrehaspati Tattwa menyuratkan:
Sawyaparah, Bhatara Sada Siwa sira, hana padmasana pinaka palungguanira, aparan ikang padmasana, ngaranya, saktinira, sakti ngaranya, wibhu sakti, prabu sakti, jnana sakti, kriya sakti, nahan yang cadu sakti. Nihan tang wibhu sakti ngaranya.
[Pada awal Beliau berkeadaan aktif dengan ciptaan-ciptaan-Nya, Bhatara Sada Siwa Beliau. Ada Padmasana sebagai tempat duduk Beliau. Apakah Padmasana itu? (Padmasana sesungguhnya) adalah sakti-Nya. Sakti meliputi: Wibhu Sakti, Prabu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Inilah yang disebut Cadu Sakti, empat kemahakuasaan. Itulah yang disebut Wibhu Sakti].
Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa disuratkan:
Sanyambek nirang jambakena hilang ikang jong tan pajamuga; sumyuk tang puspa warsamarengi jaya-jayastungkara, karengo maya-maya juganjali wekasan anon teja kara-kara; saksat dresthadhanariswara teka hana ring padmasana-mani
(9.4d).
[Dengan penuh keyakinan Arjuna hendak membanting kedua kaki Hyang Siwa, namun tiba-tiba Beliau lenyap tanpa bekas. Hujan bunga bertaburan, terdengar puja-mantra kejayaan mengiringinya. Sungguh amat menakjubkan sehingga akhirnya Arjuna bersujud ketika melihat cahaya gemerlapan. Hyang Siwa beserta sakti-nya (Ardhanareswara) seketika menampakkan diri dan duduk di atas padmasana permata].
Dalam Kakawin Sutasoma gubahan Mpu Tantular disuratkan:
Sri Wairocana dibya rupa pakarupanira ri puputing kasantikan; mwang padmasana ratna pangkaja palinggihannira saha Buddha laksana, lilabhusana sarwa ratna dumilah makutamani suteja bhaswara; aksobhyadi huwus mamuja ri sira jaya-jaya paramadi dewata.
(52. 12ab).
(Sri Wairocana dengan penuh pancaran cahaya karena telah mencapai kedamaian; Beliau duduk di atas padmasana, bunga tunjung permata disertai dengan sikap sebagai Buddha; dengan bhusana permata yang bercahaya serta hiasan kepala bercahaya cemerlang; Beliau adalah dewata utama yang mengucarkan puja kejayaan).
Padmasana di sini diberikan makna metafisika tidak semata-mata fisika sesuai dengan kemahakuasaan Bhatara Sada Siwa yang disebut Cadu Sakti dan Asta Aiswarya. Kemahakuasaan itu kemudian dijabarkan ke dalam konsep Catur Lokaphala, yaitu: Bhatara Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu. Konsep ini lebih lanjut berkembang menjadi Panca Dewata dengan menambahkan unsur tengah/dalam (wiswa) sehingga menempati keempat arah mata angin, yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara dan Tengah-tengah. Pada masing-masing arah tersebut berkuasa, ber-sthana, karena telah mempunyai guna atau sakti, yaitu Iswara di Timur, Brahma di Selatan, Mahadewa di Barat, Wisnu di Utara dan Siwa di tengah-tengah (madya).
Teks Wrehaspati Tattwa menyuratkan:
... ri Madhya nika ngkana ta palungguhan ri kala niran masarira, mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdha ya, Tatpurusa waktra ya, Aghora hrdaya ya, Bamadewa guhya ya, Sadyojata murti ya, Aum, nahan pinaka sarira Bhatara, bhaswasphatikawarna.
(Di tengah-tengah bunga padma ber-sthana sang Hyang Sada Siwa, ketika Beliau mengambil suatu wujud. Beliau adalah mantratma, mantra sebagai wujud-Nya. Isana sebagai kepala, Tat Purusa sebagai muka, Aghora sebagai ati, Bamadewa sebagai badan halus, Sadyojata sebagai wujud-Nya, Aum. Ini merupakan wujud Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Sada Siwa, bening seperti kristal).
Sayojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana biasa disebut Panca Brahma disimbulkan dengan Aksara Panca Brahma, yaitu Sang, Bang, Tang, Ang, dan Ing atau Sa, Ba, Ta, A, I. Sa adalah Sadyojata di Timur (purwa). Sadyojata gelar lainnya Iswara; Ba adalah Bamadewa di Selatan (daksina). Bamadewa bergelar Brahma; Ta adalah Tat Purusa di Barat (pascima). Tat Purusa bergelar Mahadewa; A adalah Aghora di Utara (uttara). Aghora juga bergelar Wisnu; dan I adalah Isana di tengah-tengah (madya). Isana juga bergelar Siwa, Penguasa Yang Maha Esa. Masing-masing Panca Brahma ini menempati posisi arah mata angin. Dengan demikian antara Cadu Sakti dengan Panca Brahma mempunyai hubungan yang sangat erat: Pertama, Jnana Sakti berwujud Iswara dengan aksara Sang terletak di Timur; kedua Kriya Sakti berwujud Brahma dengan aksara Bang terletak di Selatan; ketiga Wibhu Sakti berwujud Mahadewa dengan aksara suci Tang terletak di Barat; keempat Prabu Sakti berwujud Wisnu dengan aksara Ang terletak di Utara; dan kelima Bhatara Siwa yang mempunyai keempat sakti tadi berwujud Isana dengan aksara Ing terletak di tengah-tengah. Secara fisika, Sada Siwa dilukiskan ber-sthana di atas bunga Padma dengan kelopak-kelopak bunganya.
Di dalam Bhuana Agung, Panca Brahma menempati posisi arah mata angin, di dalam Bhuana Alit mereka ber-sthana pada organ-organ di dalam tubuh kita. Hal ini disebutkan di dalam BHUANA KOSA (I: 17). Dikatakan bahwa tumpu hati mempunyai lima warna, yaitu rakta (merah), triwarna (tiga warna), asita (hitam), dipta (seperti sinar matahari), sphatika (seperti kristal). Warna-warna ini merupakan warna-warna dari muka-muka Siwa.
Hana warnna lima kwehnya, atisaya tejanya, munggwi tumpukking hati, malyangta ya, lwirnya; ikang rakta, Aghora, ikang tri warnna, bang, putih, kresna ya Tatpurusa, ikang hireng padha lawan nilanjana, ya Sadya, ikang kadi teja ning aditya, ya Bamadewa, ikang kadi manik sphatika, ya Isana, nahan kramanya, ka wruhana ta kitang wira.
(Ada lima jenis warna, sangat luar biasa cahayanya, bertempat pada tumpuk hati sangat bersih, perinciannya sebagai berikut: merah, aghora dewanya. Yang tiga warnanya yaitu merah, putih, dan hitam, Tatpurusa dewanya. Yang hitam seperti cilak mata, Sadya dewanya. Warna yang seperti sinar matahari, Bamadewa dewanya. Yang seperti permata batu kristal, Isana dewanya. Demikian penjelasannya, hendaknya ananda ketahui).
Dalam teks yang sama kita menemukan proses penempatan lima mukha Siwa, Panca Waktra dengan Sapta Loka, yaitu Bhur, Bhuvah, Svah, Jnana Loka, Tapa Loka dan Satya Loka. Bhur-Bhuvah-Svah di sini diberi nama bersama-sama di bawah nama Indra Loka dengan Aghora sebagai penguasanya. Kemudian muncul Maha Loka untuk Tat Purusa, Jnana Loka untuk Sadhyojata, Tapa Loka untuk Wamadewa, dan loka tertinggi, Satya Loka untuk Isana.
Dalam teks lain, yaitu "TINGKAH ING SANGHYANG PANCA AKSARA", kita menemukan Panca Waktra juga disebut Panca Brahma dalam hubungannya dengan Panca Aksara. Panca Brahma adalah lima muka Siwa seperti disebutkan di atas tetapi kadang-kadang mereka disimbulkan hanya dengan aksara: A, T, S, B (V), I dan bagi Panca Aksara yang dimaksudkan di sini adalah kependekan dari rumus "Siwa ya namah" ke dalam aksara S, V, Y, N, M. Di dalam teks ini, "TINGKAH ING PANCA AKSARA", sebuah gambaran bunga Padma (teratai) dengan delapan kelopak bunga (dala). Gambaran bunga ini disebut Astadala Padma. Kemudian aksara-aksara Panca Brahma dan Panca Aksara ditempatkan pada tiap-tiap kelopak bunga tersebut di dalam suatu tatanan sedemikian rupa kedua kelompok aksara ini melewati satu dengan lainnya. Aksara Y dari Panca Brahma dan aksara I dari Panca Brahma ditempatkan di tengah-tengah (madya) atau di jantungnya bunga.
Aksara Panca Brahma ini dapat juga kita temukan di dalam Surya Sewana atau Weda Parikrama, yaitu sebuah prosesi penyucian dan pemujaan kepada Siwa dalam manifestasinya sebagai Surya atau Aditya oleh Pendeta di dalam tradisi agama Hindu di Bali-Lombok. Ucapan ini sangat populer di sini. Untuk mempersiapkan tirtha (air suci) pertama dalam proses Utpatthi dan Sthithi kita temukan:
"I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Si Va Mam Um Am/
Sa Ba Ta A I Na Ma Si Va Ya"
Mantra ini diucarkan oleh pendeta untuk memanggil atau menghadirkan Tuhan Siwa agar berkenan bersemayam atau ber-sthana di dalam air yang sedang dihadapinya.
Dalam proses memoleskan bhasma terbuat dari kayu cendana, Pendeta mengucarkan mantra:
"Om idam bhasmam puram guhyam/
sarwa papa-vinasanam sarvaroga prasamanam/
sarva kalusa-nasanam namah svaha//
Om Bamadewa guhyaya namah svaha/
Om Sam Bam Tam Am Im namah svaha//"
Sementara S. Levi menuliskan sedikit berbeda.
Om Isanaya namah (kepala)/
Om Tatpurusa namah (dahi)/
Om Agoraya namah (janggut)/
Om Vamadewaya namah/ (pundak kanan)/
Om Sadhyaya namah/ (pundak kiri)
Om am hrdayaya namah// (hulu hati).
Prosesi menyucikan jari-jari tangan juga menyebutkan lima nama Siwa:
"Om am kam kasolkaya Sadhyaya namah; avahana.
Om am kam kasolkaya Aghoraya namah; yoga.
Om am kam kasolkaya Bamadewaya namah; visarya.
Om am kam kasolkaya Isana ya namah; pratistha.
R. Goris telah mencoba menemukan sebuah penjelasan. Avahana adalah sebuah undangan untuk Tuhan; Pratistha membangun patung; sementara dewa-dewa akan menitis kembali dengan sendirinya; Yoga berarti gerakan fisik; Krama, gerakan memutar dari patung; dan Visaryana (Visarya) mencelupkan patung ke dalam air suci.
LINGGA PURANA menyuratkan bahwa Siwa memanifestasikan dirinya dalam lima bentuk yang berbeda, contohnya Isana adalah jiwa alam semesta; Tatpurusa adalah ilusi (maya) dunia material; Aghora adalah buddhi; Wamadewa meresapi alam semesta dalam bentuk Ahamkara dan yang terahir, Sadyojata adalah manas-tattva (pikiran).
Sumber India lain, yaitu SUTA-SAMHITA menjelaskan Siwa (Panca Brahma). Dikatakan bahwa Panca Brahma meresapi alam semesta dan realisasi hal ini berarti pembebasan dari belenggu (samsara). Di sini Isana direpresentasikan sebagai Akasa; Tatpurusa sebagai air; Aghora sebagai api; Wamadewa sebagai air; dan Sadyojata sebagai tanah.
Apa yang disebut Caturmukha-lingga pada dasarnya adalah manifestasi dari lingga dengan empat muka sebagaimana ditemukan di India bertahun awal abad masehi. Banten Catur Mukha dalam upakara yajna di Bali juga pengejawantahan konsep Panca Brahma. Bijendrananth Sharma dalam bukunya ICONOGRAPHY OF SADA SIWA (1976) menyatakan bahwa Caturmukha-lingga yang tersimpan di Gurukul Kangri Museum, Haridwar adalah sebuah contoh dari pengejewantahan pemujaan kepada Siwa (Sada Siwa) dengan empat kekuatannya: "... five aspects of Siwa viz, Sadyojata, Bamadewa, Aghora, Tat Purusa, and Isana are symbolically represented by five ligas carved in relief on the upper part of the stele of the images" (hal. 32). (... lima aspek Siwa, yaitu Sadyojata, Bamadewa, Aghora, Tat Purusa dan Isana secara simbolis diwujudkan dengan lima lingga dipahatkan di atas bagian patung).
Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.
Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab SANG HYANG KAMAHAYANIKAN telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa pemerintahan raja Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Raja Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kediri pada tahun 930 Masehi. Raja Mpu Sindok pemeluk agama Siwa (Hindu), namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa kedua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi kitab panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan raja Mpu Sindok. Di dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan menyebutkan Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana, dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajna. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jnana dalam kitab di atas adalah: Saswata jnana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jnana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jnana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jnana, adalah pengamatan, Amitbha, dan Krtyanusthana jnana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.
Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aspek yang mengerikan, aktivitas, penyerta, dan suku kata suci (wijaksara).
Di dalam kakawin ARJUNA WIJAYA kita temukan penyebutan lima Dhyani Buddha: Wairocana, Aksobhya, Amitabha, Ratnasambhawa dan Amoghasiddhi. Kelima Buddha ini diidentikkan dengan Sada Siwa, Rudra, Dhatrdewa, Dewamaha dan Harimurti. Sumber yang sama menyuratkan bahwa seorang raja yang setelah mengucapkan formula kesamaan manifestasi Siwa dan Buddha, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara dirinya sendiri dan Buddha tertinggi yang dalam Realitas satu dengan Siwa. Dan, bahwa ia yang dengan mengulang-ngulang mantra dibebaskan dan mencapai keadaan Adwaita (lepas, Adwitya). Dalam ajaran Mahayana dengan Adwaya menyebabkan bersatunya Buddha dengan Karuna sehingga mencapai Nirwana atau Nibana. Di sini terjadi penunggalan Adwaya dan Adwayajnana.
Dalam kakawin SUTASOMA lima Dhyani Buddha diidentikkan dengan Siwa-Rajadewa, Iswara, Bhatara Dhart, Mahamara dan Wisnu. Lebih lanjut disebutkan bahwa Jina, kebenaran tertinggi yang memperlihatkan dirinya sendiri sebagai Tri Murti: Buddha, Lokeswara dan Wajrapani adalah sama dengan konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu dan Iswara. Setelah ungkapan identifikasi ini kita menemukan sebuah baris yang mengatakan: "Jinatwa lawan Siwattva tunggal" (Jina dan Siwa adalah tunggal). Hal yang sama dapat juga dijumpai di dalam kitab SANG HYANG KAMAHAYANIKAN. Dikatakan untuk mencapai "Astasvaryasukha" berarti juga mencapai "(Adi) Buddha lawan (Parama) Siwa". ('lawan' di sini berarti 'dan'). Pada bagian akhirnya diungkapkan "Sira ta Siwa-Buddha" (siapa itu Siwa-Buddha).
Di dalam mengungkapkan perbedaan antara Buddhisme dan Siwaisme pendeta mengatakan: "Buddha saking niskala ngerereh sakala dan Siwa saking sakala ngerereh niskala". Moto ini dapat dipahami jika kita mempertimbangkan hakikat Buddha dan Siwa. Dari perspektif Buddha dapat diungkapkan kembali dengan ungkapan: "Buddha dari Dharma-kaya mencari Nirmana-kaya dan Siwa dari sakala mencari niskala". Konsep ini nampak dalam praktek ritual pendeta Siwa dan Buddha ketika memimpin suatu upacara yajna. Dikatakan pendeta Siwa memulai dari niskala menuju sakala; sementara pendeta Buddha dari sekala menuju niskala; atau pendeta Siwa dari atas ke bawah; sementara pendeta Buddha dari bawah ke atas; dimana keduanya bertemu di tengah; pendeta Siwa representasi purusa atau langit, sementara pendeta Buddha pradana atau pertiwi. Pembagian tugas masing-masing pendeta di dalam muput yajna memperlihatkan konsep-konsep metafisika di dalam baik ajaran Siwa maupun Buddha, khususnya Mahayana.
I.B. M. Mantra menjelaskan konsep ini dengan mengacu kepada ajaran Buddha. Awalnya Buddha Gautama sangat menaruh perhatian kepada penderitaan (duhkha) umat manusia. Ia muncul di dunia dari Dharma-kaya ke dalam dunia manusia di dalam bentuk Nirmana-kaya (tranformasi tubuh). Buddha Gautama (Sakhyamuni) dipandang sebagai salah satu contoh sebagai inkarnasi dari Buddha yang abadi. Bagaimana halnya dengan Siwa? Siwa dicari mulai dari sakala mencari niskala. Konsep bahwa Siwa tidak mempunyai konsep inkarnasi, karena bentuk Siwa di dalam niskala selalu ada di sini di dunia ini, Ia abadi, meresapi segalanya. Para yogi di dalam pencarian kebenaran tertinggi mulai dari pemujaan Siwa dalam bentuk sakala. Kemudian secara bertahap bergegas menuju kebenaran niskala. Dalam prosesi upacara yajna, Siwa dihadirkan dari alam niskala menjadi sekala dalam wujud pendeta dan upacara-upacara banten sebagai nyasa atau wujud Bhatara Siwa. Puja Stawa ngeragaang Bhatara Siwa:
Ong Ing Isana ya namah
Ong Tat Purusa ya namah
Ong Ang Agora ya namah
Ong Bang Bamadewa ya namah
Ong Sang Sadya ya namah
Ong Ang hredaya ya namah
Ong Hreng kaya sirasa ya namah
Ong Bhur Bhwah Swah swari jwali na si kaya ya namah
Ong Rung Kawaca ya namah
Ong Bang Netra ya namah
Ong Ung Rah Pat Astra ya namah
Mantram Tri Tattwa:
Ong Ong Siwa tattwa ya namah
Ong Ong widya tattwa ya namah
Ong Ong atma tattwa ya namah
Dari kutipan di atas nampak jelas bahwa Bhatara Sada Siwa maupun Bhatara Wairocana (Buddha) ber-sthana di atas Padmasana Mani, Padmasana permata yang bercahaya. Aspek-aspek Panca Brahma maupun Panca Tathagata ditempatkan di dalam posisi dik, yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara dan di Tengah-tengah.
Penunggalan Siwa dan Buddha menjadi Siwa-Buddha suatu karakter yang sangat khas dalam agama Hindu di Indonesia; Siwa-Buddha bukanlah Siwa dan Buddha tetapi sebuah kekuatan yang lahir dari penunggalan tersebut; ia adalah - apa oleh Mpu Prapanca katakan - sebagai natha ning anatha (pelindung dari semua makhluk), pati ning jagatpati (raja dari raja dunia) dan hyang ning hyang inisti (dewa dari segala dewa pribadi), acintyaning acintya. Parwatarajadewa sebagai dewa penyatu nasional. Siwa maupun Buddha adalah perwujudan dari padanya. Di dalam kitab SUTASOMA beliau disebut Paramasunya yang identik dengan Paramasiwa.
Manggala NEGARAKRTAGAMA digubah oleh Mpu Prapanca menyuratkan :
Om nathaya namostu te stutining atpada ri pada bhatara nityasa,
sang suksmeng tleng ing samadhi Siwa-Buddha sira sakala niskalatmaka,
sang sri parwwatanatha nathaning anatha sira ta patining jagatpati,
shang hyang ning hyang inisti acintyaning acintya hana waya tmahnireng.
Byapi byapaka sarwawatattwagata nirguna sira ring apaksa wesnawa/
ring yogiswara poruseng kapila jambhala sakala siran hyang ing dhana/
sri wagindra sirang hyang sakalasastra manasija sireng smaragama/
ring wighnostsarana prayoga yamaraja sira makapalang jagaddhita//
(Om sembah puji hamba yang hina ke bawah telapak kaki Bhatara senantiasa, Beliau yang menyusup ke dalam pusat Samadhi Siwa-Buddha, beliau yang nyata, tetapi tidak nyata, Beliau adalah sang sri Parwwatanatha yang menjadi pelindung mereka yang hina, Beliau adalah juga Penguasa dari penguasa jagat, Beliau adalah dewanya dewa, acintyanya acintya, ada dan tiada wujudnya beliau di dunia. Menyusup ke dalam segala hakikat, nirguna bagi kaum waisnawa, kapila bagi para penuntut pengetahuan. Manasaji bagi mereka yang jatuh asmara, dalam menghilangkan segala halangan beliau adalah Yamaraja sehingga tercapai kejagaddhitan).
Bandingkan juga manggala kakawin ini dengan Kakawin ARJUNA WIWAHA gubahan Mpu Kanwa kira-kira 3 abad sebelum NEGARAKRTAGAMA, yaitu pada pupuh 10 bait 1-2 :
Aum sembahning anatha tinghalana de trilokasarana,
Wahyadhyatmika sembahning hulun i jongta tan hana waneh,
Sang lwir agni sakeng kadi minyak saking dadhi kita,
Sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu.
Wyapi wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita,
Icchanta ng hana-tan-hana ganal-alit lawan hala-hayu,
Utpatti sthiti linaning dadi kitata karananika,
Sang sangkan-paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.
Konsep Padmasana ini berkembang merambah tatanan kehidupan masyarakat Hindu. Para undagi (arsitek bangunan tradisional Bali), seniman, budayawan mewujudkan Padmasana ini dalam wujud bangunan fisik dengan tiga tingkatan. Dalam teks-teks sastra konsep ini digambarkan berundak tiga. Undak tiga pada bangunan ini ternyata mengikuti konsep ANANTASANA, SINGHASANA, PADMASANA. Sebagaimana tersurat di dalam Arghapatra: "Sanghyang Padmasana tumumpang ring Sanghyang Catur Aiswarya, ikang catur Aiswarya tumumpang ing Anantasana" (Sanghyang Padmasana berada di atas Sanghyang Catur Aiswarya, Sanghyang Catur Aiswarya berada di atas Anantasana). Yang dimaksud dengan Sanghyang Catur Aiswarya adalah Singgasana yang dilukiskan berupa segi empat, sementara Padmasana adalah lingkaran, Anantasana adalah segi tiga. Pada gambar Padmasana itu, bedawang nala (kura-kura) menempati posisi Anantasana. Bedawang nala biasanya dililit oleh dua ekor ular (naga) yang diambil dari mitologi pemutaran lautan susu (ksirarnawa) oleh para raksasa dan dewa. Di atas Anantasana adalah Singgasana dalam bentuk segi empat yang di dalamnya terdapat tulisan "Atmapratistha Padmahredaya" (sthana Sang Hyang Atma di dalam padma hati), di atas Singhasana adalah bunga padma berdaun delapan yang di dalamnya terdapat tulisan "Dewaprastitha" (sthana Dewa Siwa). Bangunan ini mempunyai nilai filsafat dan estetika yang sangat tinggi.
Diamati lebih jauh bagian-bagian atau palih-palihan dari bawah ke atas pada bangunan yang disebut padmasana merupakan wujud kosmos, alam semesta yang terdiri atas Bhur Loka, Bwah Loka, dan Swah Loka. Ini berarti juga di dalam wujud padmasana konsep mandala, yantra dan yoga diterapkan secara nyata di dalam bangunan tersebut.
Menurut Lontar Wariga Catur Winasasari ada sembilan jenis Padmasana sebagai sthana Tuhan dalam wujud Siwa-Buddha. Padmasana ini diberikan nama sesuai dengan posisinya di dalam arah mata angin: dik dan widik.
(1) Padma Kencana di Timur,
(2) Padmasana di Selatan,
(3) Padmasari di Barat,
(4) Padma Lingga di Utara,
(5) Padma Asta Sadana di Tenggara,
(6) Padma Noja di Barat Daya,
(7) Padma Kara di Barat Laut,
(8) Padmasaji di Timur Laut, dan
(9) Padma Kurung di tengah-tengah (madya) beruang tiga dan menghadap ke "lawangan" (pintu keluar).
Berdasarkan atas ruang singgasana dan tingkat pepalihannya, Padmasana dibedakan atas:
1. Padmasana Anglayang: Padmasana ini beruang tiga mempergunakan bedawang nala dengan palih tujuh.
2. Padma Agung: Padmasana ini beruang dua mempergunakan bedawang nala dengan palih lima.
3. Padmasana: Padma beruang satu dengan palih lima mempergunakan bedawang nala.
4. Padma Sari: Padma ini beruang satu dengan palih tiga, tidak mempergunakan bedawang nala.
5. Padma Capah: Padma ini beruang satu dengan palih dua dan mempergunakan bedawang nala.
Padma Sari dan Padma Capah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai tempat pengayatan (penyawangan) dan pedagingan-nya hanya diisi pada bagian puncak dan dasar saja. Sedangkan yang lain, yang menggunakan bedawang nala, pedagingan pada saat upacara pemelaspas (penyucian) menggunakan tiga pedagingan pada saat upacara, yaitu dasar, tengah (madya) dan atas (puncak). Melalui proses ini bangunan Padmasana yang merupakan manifestasi konsep Padma dalam Siwa-Buddha Tattwa menjadi tersucikan dan menjadi sthana Bhatara Siwa dan/atau Bhatara Buddha. Pada bangunan (pelinggih) ini Bhatara Siwa dan Buddha berwujud niskala, gaib, parama suksma, parinirmala sehingga tidak lagi diwujudkan dalam bentuk nyasa-nyasa, seperti arca, lingga, dan sebagainya. Ini juga disebut Acintya Puja, tidak lagi Murti Puja.
Bangunan Pelinggih yang disebut Padmasana pada dasarnya adalah sebuah abstraksi pikiran seperti terekam dalam sejumlah teks disebutkan sebelumnya. Secara fisik wujud ini baru bisa dikonkritkan ketika agama Siwa-Buddha ini berkembang di Bali. Mpu Nirartha (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra) dikatakan sebagai Kawi-wiku, yogi yang mencetuskan konsep Padmasana, Padma Bhuana, Padma Mandala, Padma Hredaya, dan lain-lain melengkapi konsep-konsep yang sebelumnya pernah dikembangkan di Bali. Dalam perjalanan suci (Dharmayatra) Mpu Nirartha dari Jawa Timur ke Bali pada abad ke-14 beliau memasuki mulut naga yang ternganga lebar di sekitar Pulaki, kemudian di dalam mulut naga beliau menemukan tiga kuntum bunga Padma, yaitu berwarna putih, merah dan hitam merupakan sebuah kias atau pesan bagi beliau bahwa Bali ditata dengan konsep Siwa-Buddha dengan Padma sebagai puncak kemanunggalannya. Konsep Padma ini sebagai sumber inspirasi menata kehidupan keagamaan di Bali yang melahirkan kebudayaan Bali yang khas berbeda dari kebudayaan Hindu lainnya. Eksistensi pura-pura (tempat suci) Sad Kahyangan yang berdiri megah di tiap-tiap penjuru mata angin pulau Bali dengan Besakih sebagai titik sentrumnya merupakan penjabaran konsep Padma ini. Lahirnya konsep Asta Negara di masa lalu merupakan penjabaran konsep Padma dimana pulau Bali dibayangkan sebagai sebuah unit kesatuan bunga Padma yang berdaun delapan (asta dala). Panji Sakti alias Ki Barak Panji di dalam memimpin Bali Utara pada era Waturenggong di Gegel Bali menurut sastra babad juga menggunakan Padma sebagai senjata utama.
Apabila "kekosongan" merupakan hakikat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk "kursi kosong" dan dianggap sebagai simbol singasana "Sang Maha Kosong" itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan "pemujaan leluhur", yang dianggap sebagai "pengejawantahan Tuhan". Kata-kata Wong tuwa iku pangeran katon atau orang tua "leluhur" itu Tuhan yang nampak, adalah bukti kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi "Lingga Yoni". Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasana mulai ada di Bali.
Konsep Padma ini belum sempat digunakan untuk menata kehidupan keagamaan di pulau Jawa di mana agama Siwa-Buddha pernah berkembang, khususnya di era Jawa Timur menyusul berkembangnya agama Islam. Jika bangunan ini sekarang dibangun kembali di Pulau Jawa sesungguhnya ia pulang ke kampung halamannya, karena konsep Padma lahir di Jawa pada zaman kuno seperti termuat di dalam teks-teks tergolong tattwa atau tutur maupun kakawin.
OM Shanti.