Jumat, 14 April 2023

Tugas Itihasa Dosen Pengampu Acyutananda Wayan Gaduh, S.Pd.H., M.Ag

TUGAS IDA SINUHUN

Soal:
1. Saracamuscaya 39 dijelaskan bahwa beda hendaknya dipelajari secara sempurna melalui Itihasa dan purana. Jelaskan maksud sloka tersebut! 

Jawaban
Sarasamucaya (39) yang menyatakan:

Itihasa puranabhyam vedam samupbrhayet,
Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharissyati (Vayu Purana I.201)

Hendaknya Weda dijelaskan melalui sejarah (Itihasa) dan (Purana). Weda merasa takut kalau seorang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa dia (orang yang bodoh) akan memukul-Ku.

Sloka Vayu Purana di atas, pada zaman kejayaan Majapahit diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno termuat dalam kitab Sarasamucaya yang merupakan karya kompilasi dari Maharsi Vararuci sebagai berikut:

Ndang Sang Hyang Veda paripurnakena sira, maka sadhana sang hyang Itihasa, sang hyang Purana, apan atakut sang hyang Veda ring wwang akedik ajinya, ling nira, kamung hyang haywa tiki umara ri kami ling nira mangkana rakwa takut. (Sarasamucaya 39).

Weda hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan mempelajari Itihasa dan Purana sebab Weda itu akan takut kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya wahai tuan-tuan jangan datang padaku, demikian konon sabdanya karena takut.

Demikianlah menurut Manavadharmasastra yang merupakan compendium hukum Hindu, yang secara tegas menyatakan adanya  sumber hukum Hindu yang terdiri dari: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Sruti sebagai sumber hukum pertama dan tertinggi mengacu kepada kitab-kitab Dharmasastra. Sila (teladan orang-orang suci) dan Purana (sejarah kuno yang penuh dengan berbagai ajaran moral dan spiritual) merujuk pada kitab-kitab Itihasa dan Purana. 

Jadi Purana menduduki posisi yang penting dan strategis dalam tata urutan Weda dan susastra Hindu. Kitab-kitab Itihasa dan Purana dapat digolongkan sebagai gudang pengetahuan agama yang sangat besar. Kitab-kitab tersebut disusun oleh para Rsi yang dimaksudkan untuk menjabarkan ajaran suci Weda yang demikian luas, penuh kandungan spiritual, filosofis, moral, edukasi, dan lain-lain. Dengan memahami Itihasa dan Purana, maka Weda dapat dipahami. 

Soal
2. Setiap karya sastra memiliki unsur penyusunya, uraikan unsur-unsur karya sastra yang terdapat dalam epos ramayana khususnya balakanda! 

Jawaban
Dari karya sastra Epos Ramayana bagian cerita Balakanda Kandanya dapat di resume seritanya sebagai berikut:

Balakanda atau kitab pertama Ramayana menceritakan sang Dasarata yang menjadi Raja di Ayodhya. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kosalya, Dewi Kekayi dan Dewi Sumitra.

Dewi Kosalya berputrakan Sang Rama, Dewi Kekayi berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitra berputrakan sang Laksamana dan sang Satrugna.

Maka pada suatu hari, bagawan Wiswamitra meminta tolong kepada prabu Dasarata untuk menjaga pertapaannya. Sang Rama dan Laksamana pergi membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini.

Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rama pergi mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sita sebagai istrinya.

Ketika pulang ke Ayodhya mereka dihadang oleh Ramaparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya.


Mengenai unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut ada dua yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah salah satu unsur pembangun sebuah karya sastra. Penulis bisa menciptakan unsur intrinsik adalah dari cerita yang dibuat. Tanpa adanya unsur intrinsik adalah sebuah karya sastra tidak utuh dan tidak runtut. 

Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri. Secara umum unsur intrinsik adalah terdiri dari tema, alur, tokoh, penokohan, latar, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat.

1). Tema

Tema adalah unsur intrinsik karya sastra yang menjadi dasar cerita. Unsur intrinsik karya sastra tema sering disamakan dengan ide atau tujuan utama cerita. Tema merupakan unsur intrinsik karya sastra yang menjadi sebuah ruh atau nyawa yang ada di dalam karya Bala Kanda.

Tema bisa disebut ide utama dalam membuat cerita, karena tema adalah penentu latar belakang dari cerita tersebut. Tema dalam unsur intrinsik karya sastra berisikan gambaran luas tentang kisah yang akan diangkat sebagai cerita dalam Bala Kanda sehingga sangat penting memikirkan tema sebelum menulis Epos Ramayana Bala Kanda.

Biasanya, tema ini kelihatan jelas dalam cerita, tetapi bukan lewat ungkapan langsung. Untuk menentukan tema dari Bala Kanda, kita perlu membaca dari awal sampai akhir dulu.

2). Alur

Unsur intrinsik karya sastra yang kedua adalah alur atau plot. Alur dalam Bala Kanda adalah jalan cerita. Bala Kanda memiliki jalan cerita yang jelas.

Alur sebagai unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda biasanya memiliki beberapa tahapan mulai dari perkenalan, penanjakan, klimaks, anti klimaks dan penyelesaian.

Alur unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda dibagi menjadi tiga, yaitu:

- Alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita yang bergerak ke depan terus.

- Alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita Bala Kanda yang bergerak mundur (flashback).

- Alur campuran adalah campuran antara alur maju dan alur mundur.

Penulis cerita Bala Kanda menceritakan tentang konflik terlebuh dahulu, kemudian menceritakan tentang awal konflik terjadi, dan pengenalan tokoh. Ada juga alur maju-mundur yang merupakan kombinasi dari kedua alur ini.

3). Latar

Unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda selanjutnya adalah latar. Unsur ini mengacu pada latur waktu, suasana, dan tempat terjadinya cerita  Bala Kanda. Latar dalam unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda membuat pembaca lebih paham tentang kapan, dimana dan sedang apa tokoh yang diceritakan dalam Bala Kanda. 

Setting merupakan unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda berupa gambaran tentang peristiwa-peristiwa yang ada di dalam cerita  Bala Kanda. Latar termasuk unsur pembangun cerita Bala Kanda yang vital.

Latar atau setting disebut unsur intrinsik karya sastra Bala Kanda sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam cerita Bala Kanda. 

Keberadaannya sangat penting untuk membangun suasana dalam Bala Kanda. Latar dalam unsur intrinsik karya Bala Kanda dibagi menjadi beberapa macam, seperti waktu, tempat, sosial budaya, keadaan lingkungan, dan suasana.

4). Gaya Bahasa

Gaya bahasa dalam unsur intrinsik karya Bala Kanda menjadi ciri khas dari penulis saat menuliskan cerita. Gaya bahasa ini bisa dibedakan dari penggunaan majas, diksi, dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerita Bala Kanda.

Penulis yang menggunakan unsur intrinsik karya Bala Kanda berupa gaya bahasa baku dan menggunakan gaya bahasa santai. 


5). Tokoh

Tokoh merupakan unsur intrinsik karya Bala Kanda yang sangat penting. Unsur intrinsik karya Bala Kanda seperti tokoh adalah meliputi orang atau karakter yang ditampilkan dalam cerita.

Oleh pembaca, tokoh sebagai unsur intrinsik karya Bala Kanda ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dari tindakan yang diceritakan.

Tokoh dalam unsur intrinsik karya Bala Kanda dibagi menjadi tiga karakter, yaitu:

- Tokoh Protagonis: tokoh utama pada cerita  Bala Kanda. 

- Tokoh Antagonis: tokoh penentang atau lawan dari tokoh utama.

- Tokoh Tritagonis: penengah dari tokoh utama dan tokoh lawan.

- Tokoh figuran, yaitu tokoh dalam Bala Kanda yang menjadi tokoh pembantu dan memberi warna pada cerita Bala Kanda. 

6). Penokohan

Istilah penokohan lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan. Penokohan dalam unsur intrinsik karya Bala Kanda mencakup masalah siapa tokoh cerita Bala Kanda, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita Bala Kanda sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Penokohan dalam unsur intrinsik karya Bala Kanda merupakan penentuan watak atau karakter dari tokoh tersebut. Penokohan ini bisa digambarkan dalam sebuah ucapan, pemikiran dan pandangan saat menyelesaikan suatu masalah. Begitu juga melalui penjelasan narasi atau penggambaran fisik tokoh tersebut.

7). Sudut Pandang

Unsur intrinsik karya Bala Kanda yang tak kalah penting adalah sudut pandang. Sudut pandang adalah arah pandang dari unsur intrinsik karya Bala Kanda seorang penulis dalam menyampaikan sebuah cerita Bala Kanda. 

Sudut pandang menjadi cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam  cerita Bala Kanda sebagai karya fiksi kepada pembaca.

Sudut pandang sebagai unsur intrinsik karya Bala Kanda memiliki beberapa macam jenis seperti sudut pandang orang pertama, kedua, atau ketiga. Ada juga sudut pandang dari penulis yang berasal dari sudut pandang orang yang berada di luar cerita Bala Kanda. 

8). Amanat

Amanat adalah unsur intrinsik karya Bala Kanda berupa pesan moral yang ditulis oleh penulis cerita Bala Kanda. Amanat bisa dipetik oleh pembacanya, setelah membaca karya tersebut.

Amanat atau pesan moral sebagai unsur intrinsik karya Bala Kanda biasanya tidak ditulis secara langsung, melainkan tersirat. Namun, amanat dalam Bala Kanda juga bisa ditulis langsung oleh penulis atau secara tersurat. Pembaca yang menyimpulkan sendiri apa pesan yang bisa diambil dari Bala Kanda tersebut. 


Sedangkan unsur ekstrinsik adalah hal-hal yang berada di luar cerita Bala Kanda itu sendiri. Unsur ekstrinsik terdiri dari latar belakang penulis, latar belakang masyarakat, dan nilai yang terkandung. Unsur-unsur tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi isi Bala Kanda.

Soal
3. Rama adalah awatara wisnu yaitu penjelmaan dewa wisnu ke dunia untuk menegakkan dharma. dalam cerita ramayana khususnya pada akhir balakanda, rama bertemu dan berdebat dengan parasurama yang merupakan awatara wisnu. kenapa bisa ada dua wisnu dalam satu moment yang sama, jelaskan! 


Jawaban
3. Karena Parasurāma bukan Viṣṇu.

Dalam sudut pandang teologi Śrī Vaiṣṇava, pada dasarnya ada dua jenis avatāra yang diambil oleh Tuhan Nārāyaṇa Viṣṇu saat turun ke bumi:

• Mukhya (atau yang utama) di mana Tuhan Yang Mahahadir Sendiri mengambil bentuk dan melakukan berbagai hiburan di dunia ini. Contoh: Rāma, Kṛṣṇa, Narasiṃha, Vāmana, Varāha, dan sebagainya.

• Gauṇa (atau sekunder) di mana Tuhan memiliki beberapa makhluk hidup dan melaksanakan berbagai tugas melalui mereka. Ini juga dikenal sebagai inkarnasi Kalā atau Āveśa. Contoh: Balarāma, Paraśurāma, Arjuna, Pṛthu, Vedavyāsa, dan sebagainya.

Jikapun Parasurāma seandainya dipertimbangkan sebagai Viṣṇu Sendiri (konsep Daśā Avatāra), tidak ada yang mengherankan jikalau sesama avatāra Viṣṇu saling bertegur sapa, karena Viṣṇu Maha Kuasa, Beliau dapat menggandakan Diri sebanyak mungkin sesuai kehendak bebas-Nya namun identitas-Nya tetap sebagai Maha Esa. Dalam Bhāgavata Purāṇa bahkan diuraikan pertemuan Kṛṣṇa dengan Mahā-Viṣṇu tetapi realitanya Mereka adalah 1 pribadi yang sama, Viṣṇu-tattva. Dalam Rāmāyaṇa, bahkan saudara-saudara Rāma adalah perbanyakan dari Viṣṇu, Viṣṇu-dharmottara menguraikan bahwa Sri Rāma dan saudara-saudara-Nya — Lakṣmaṇa, Bharata dan Śatrughna — adalah inkarnasi dari Vāsudeva, Saṅkarṣaṇa, Pradyumna dan Aniruddha (4 perbanyakan Viṣṇu sebagai Catur-Vyūha).

Jangankan menggandakan Diri ke dalam berbagai jenis avatāra, Beliau pun bersemayam di hati setiap makhluk dan atom sebagai Antaryāmin (yang mengendalikan dari dalam). Saat Kṛṣṇa berbicara empat mata kepada Arjuna pada saat yang sama Kṛṣṇa juga sedang berada di batin Arjuna sebagai Antaryāmin.

Soal
4. Ramayana adalah Epos adi luhung yang memuat nilai-nilai kehidupan sosial religious yang masih relevan hingga zaman ini. Ceritakan salah satu kejadian dalam Epos Ramayana dan uraikan amanat apa yang hendak disampaikan! 

Jawaban
4. Pesan Moral dalam Cerita Uttarakānda bagi Kehidupan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia ‘pesan’ diartikan sebagai perintah, nasihat, permintaan,
amanat, dan segala sesuatu yang hendak disampaikan lewat orang lain. Sementara kata ‘moral’ sendiri berasal bahasa Latin yaitu “mores” yang diartikan sebagai tata-cara dalam kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, kemudian beralih kata menjadi moralitas. Moralitas sendiri berarti tingkah laku yang dianggap mulia dan sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang ada dalam
sesuatu kelompok yang disusun dalam suatu aturan disebut norma (Gunarsa, 2017: 38). Dalam hal ini, moral sudah masuk dalam tahap praktik di kehidupan, dan tercermin secara langsung melalui tingkah laku dalam masyarakat. Jadi dari penjelasan kedua kata tersebut dapat diketahui bahwa pesan moral adalah sebuah nasihat atau amanat yang berkaitan tentang bagaimana cara untuk hidup atau bertingkah laku mulia sesuai aturan norma yang berlaku.
Sehingga pesan moral sangat diperlukan demi membimbing manusia berperilaku yang
semestinya dalam kehidupan. Ketika sudah mengetahui definisi dan pentingnya pesan moral tersebut, tentu pesan moral tersebut perlu juga digali dalam cerita Uttarakānda.
Dalam agama Hindu sendiri, salah satu dari tiga kerangkanya yaitu Susila, memberikan
pengetahuan yang secara khusus mengenai tingkah laku bermoral. Kata Susila secara etimologi berasal bahasa Sanskerta yaitu kata ’su’ yang berarti baik atau mulia, sementara kata ’sila’ mengacu pada definisi tingkah laku, praktek, watak, atau kelakukan. Jadi dalam hal ini, Susila memiliki arti sebagai segala tindakan, tingkah laku, praktek, atau kelakuan yang mulia, baik, sopan, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Dharma (kebenaran) dan Yajna (pemberian yang tulus berdasarkan cinta kasih) (Oka, 2009: 43). Susila kemudian berkembang dan lebih dikenal secara lebih lengkap menjadi suatu aturan yang disebut dengan tata susila. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (2018: 1) mendefinisikan tata susila sebagai peraturan tingkah laku yang baik dan mulia, sehingga dalam hal ini mesti dijadikan pedoman hidup oleh manusia. Sehingga
dalam mengidentifikasi pesan moral dalam cerita Uttarakānda, diperlukan juga ajaran Susila sebagai acuannya. Setelah proses mengidentifikasi tersebut selesai, ditemukan beberapa pesan moral dalam cerita Uttarakānda yang dipaparkan sebagai berikut:

3.1 Kesetiaan Istri dan Suami dalam Grehastha Asrama
Grehastha Asrama adalah masa kehidupan disaat menjalani ikatan Suami dan Istri. Dalam
masa ini, Artha (kekayaan) dan Kama (Kenikmatan) menjadi tujuan hidup namun dengan tetap berlandaskan Dharma atau kebenaran (Adiputra, 2004: 122). Dalam jenjang kehidupan ini, ada jenis masa lagi yang disebut dengan Sewala Brahmacari (dalam Sudirga dan Segara, 2014: 153), Sewala Brahmacari adalah kehidupan suami-istri yang hanya kawin sekali seumur hidupnya, meskipun salah satu dari pasangannya meninggalkannya. Dalam cerita Uttarakānda,
hal ini ditunjukkan oleh Śrī Rāma dan Dewi Sita, dimana walau banyak halangan dan rintangan
yang menerjang kehidupan pernikahan mereka, tidak ada salah satu dari mereka yang berhianat atau menikah lagi. Bahkan disaat Dewi Sita dengan terpaksa diasingkan karena tekanan masyarakat Ayodhya, keduanya masih setia dan saling memikirkan satu dengan yang lainnya sebagai pasangan suami dan istri. Bahkan Śrī Rāma sendiri masih percaya akan kesucian istrinya, meskipun banyak isu miring mengenai hal tersebut. Pengajaran ini menjadi sebuah pesan moral yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan berkeluarga di era sekarang. Dimana, kasus kawin cerai menjadi hal yang lumrah, atau pasangan suami istri yang tidak setia.
Padahal dalam ajaran agama Hindu sendiri, pasangan suami istri yang setia menikah atau kawin hanya sekali dalam seumur hidupnya sangat ditekankan. Hal ini diungkapkan dalam kitab Manawa Dharmasastra IX. 101 sebagai berikut:

Anyonyasyawyavy abhicaro bhaved amaranantikah,
esa dharmah samasena jneyah stri pumsayoh parah.

Terjemahannya:
"Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati" singkatnya, ia harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi
bagi suami dan istri.” (Gata dkk., 2020: 39).

Bahkan perceraian juga dilarang dalam Manawa Dharmasastra IX. 102, lewat slokanya
sebagai berikut:
Tatha nityam yateyatam stripumsan tu kritakriyan,
yatha nabhicaretam tan wiyuktamtaretaram

Terjemahannya:
“Hendaknya laki-laki dan perempuan terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendak melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain.” (Gata dkk., 2020: 39).

Jadi sangat pentinglah bagian Uttarakānda sebagai pesan moral untuk pasangan suami-
istri dalam menjalani bahtera rumah tangga agar setia dan saling mempercayai satu dengan yang lainnya.

3.2 Penghormatan kepada Wanita
Penghormatan kepada wanita terlebih lagi untuk seorang Ibu, di dalam kehidupan
merupakan perbuatan yang mulia. Bahkan dalam Manawa Dharmasastra III. 56 mempertegas hal tersebut. Bunyi slokanya sebagai berikut:

Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah,
yatraitastu na pujyante sarwastlah ksiyah

Terjemahannya:
“Dimana wanita dihormati, disana para Dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka
tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.” (Buditha, 2019:108).

Hal inilah yang diajarkan oleh mahārşi Vālmīki dan para muridnya di pertapaan. Di dalam
cerita Uttarakānda, dengan tidak peduli terhadap asal-usul Dewi Sita, dengan penuh
kasing sayang dan lemah lembut, para murid beserta mahārşi Vālmīki menyambut dan
merawat Dewi Sita sebagai seorang wanita yang diasingkan. Bahkan dengan penuh rasa
hormat, sampai Dewi Sita melahirkan dua orang putra bernama Kusa dan Lava, mahārşi
Vālmīki masih setia merawat dan memperjuangkan kesucian Dewi Sita kepada Śrī Rāma. Bahkan putra Dewi Sita menjadi dua orang anak yang berbhakti di bawah bimbingan
mahārşi Vālmīki. Cerita ini juga seakan mengisyaratkan bahwa agama Hindu adalah
agama yang menempatkan wanita dalam posisi yang terhormat dan mulia. Bahkan penghormatan ini dipertegas lagi dalam Yajur Veda XIV. 21 (dalam Buditha, 2019: 109),
sebagai berikut:

Oh ibu, engkau adalah perintis kecemerlangan,
pendukung yang memberi kami makan dan menjalankan aturan layaknya bumi. Kami memiliki engkau di keluarga, sebagai berkah untuk menikmati usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, dan kesuburan dalam kehidupan.”

Pembelajaran untuk menghormati seorang wanita terlebih seorang ibu dalam cerita
Uttarakānda ini, bisa dipelajari, dihayati, dan diimplementasikan sebagai tameng untuk
meminimalisir kasus-kasus pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan fisik terhadap
perempuan di era saat ini. Jangan sampai seperti asal-usul Rahvana yang terdapat dalam
cerita Uttarakānda. Rahvana mengalami kutukan dan kehancuran karena pernah
menghina dan hampir melecehkan Vedavatī, putri seorang Brahmarşi. Perbuatan tercela
ini sebenarnya sudah diingatkan akan membawa mala petaka dalam kitab Manawa
Dharmasastra III. 58 (dalam Buditha, 2019: 109), yang lebih jelasnya berbunyi sebagai
berikut:

Jamaya yani gehani. capantya patri pujitah
tani krtyahataneva, winacyanti samantarah.

Terjemahannya:
“Dimana ada sebuah rumah, yang tidak menghormati wanita sebagai mana mestinya,
bahkan sampai terucap kalimat kutukan, keluarga itu akan mengalami kehancuran
sepenuhnya seperti dibinasakan oleh kekuatan yang tidak wajar (gaib).”

3.3 Berkorban demi Kepentingan Umum dibandingkan Kepentingan Pribadi. 
Seorang pemimpin memang sudah selayaknya berkorban demi kepentingan umum. Bahkan rela mengesampingkan kenikmatan pribadinya. Pengorbanan inilah yang dilakukan oleh Śrī Rāma sebagai seorang raja, bersama istrinya Dewi Sita sebagai seorang ratu di kerajaan
Ayodhya yang rela berpisah demi terciptanya kondisi yang kondusif di dalam masyarakatnya.
Dalam cerita Uttarakānda, hal ini terjadi ketika masyarakat di kerajaan Ayodhya merasa resah
akan ketidaksucian Dewi Sita. Dengan berat hati, Śrī Rāma akhirnya mengasingkan Dewi Sita
istrinya sendiri demi mengkondisikan hal tersebut. Kisah ini bukanlah mencerminkan
kejahatan atau tindakan buruk suami yang tega mengusir istrinya, melainkan kewajiban dari
seorang raja atau pemimpin yang dalam hal ini Śrī Rāma untuk menciptakan suasana yang
damai dalam wilayah kerajaannya meskipun Ia harus menanggung rasa sedih yang sangat
besar. Hal yang perlu dipahami dalam hal ini, Śrī Rāma bukanlah hanya sebagai suami,
melainkan dilain pihak juga berperan sebagai raja yang melayani masyarakat kerajaan
Ayodhya. Sehingga tindakannya bukanlah merupakan suatu tindakan yang jahat. Bahkan untuk
mempertegas hal ini, dalam Yajurveda IX. 22 ada sloka yang berbunyi sebagai berikut:
Iyam te rad yantasi yamano dhruvo-asi dharunah,
kryai tva ksemaya tva rayyai tva posaya tva.
Terjemahan:
“Wahai pemimpin, itu adalah negara-mu, engkau pengawasnya. Engkau mawas diri, teguh
hati dan pendukung warga negara. Kami mendekat padamu demi perkembangan pertanian,
kesejahteraan manusia, kemakmuran yang melimpah.” (Dwaja dan Mudana, 2018: 32).

Jadi sloka tersebut mengandung makna implisit bahwa, jika menginginkan negara yang
makmur, seorang pemimpin perlu mendapatkan dukungan dari masyarakatnya. Kemudian untuk mendapatkan dukungan masyarakatnya, seorang pemimpin memang sudah selayaknya selalu mawas diri, dan memiliki hati yang teguh sebagai pendukung warga atau masyarakatnya. Hal inilah yang bisa dijadikan pesan moral dalam kehidupan saat ini, terutama bagi generasi muda yang nantinya sebagai pemimpin-pemimpin bangsa untuk selalu mengutamakan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi dengan sikap yang teguh. Sama seperti
yang dilakukan oleh Śrī Rāma dalam cerita Uttarakānda.

3.4 Melaksanakan Kewajiban dengan Keteguhan Hati. 
Sudah sepatutnya, terlahir sebagai makhluk paling sempurna, manusia yang memiliki
kelebihan berupa Citta (Alam Pikiran) melaksanakan kewajibannya sebagai mana mestinya. Walaupun kewajiban tersebut akan terasa sangat menyakitkan untuk diri sendiri bahkan beresiko. Untuk itulah perlu keteguhan hati, kepercayaan, dan penyerahan diri ketika
melakukan kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang dilaksanakan oleh
Laksamana dan Satrughna sebagai adik dari Śrī Rāma yang merupakan raja di kerajaan
Ayodhya. Pertama dari Laksamana sendiri, beliau bersedia menahan rasa sakit ketika
melaksanakan kewajiban yang diperintahkan untuknya dalam hal membawa atau
menghantarkan Dewi Sita ke dalam hutan untuk menjalani pengasingan. Setelah melaksanakan hal tersebut, dengan segera Laksamana bersujud dihadapan kaki Dewi Sita dan meminta maaf karena ini adalah kewajiban dirinya sebagai adik dan pelayan dari kakaknya yang juga seorang raja. Meskipun kewajiban ini bagiakan halilintar yang menyambar hatinya.
Kemudian yang kedua, dari Satrughna sendiri, beliau dengan perasaan yang teguh bersedia
melaksanakan kewajiban yang dilimpahkan untuknya. Bahkan tugas atau kewajiban yang
diberikan oleh Śrī Rāma cukup beresiko karena perlu menghadapi seorang Asura sakti bernama Lavana. Namun dengan rasa sujud dan bhaktinya sebagai adik dan pelayan kerajaan, terlebih tugas ini dilaksanakan demi membebaskan para Bhagavan dari teror Asura tersebut, Satrughna sebagai seorang ksatria melaksanakan kewajibannya dengan tulus untuk melindungi penduduk atau warga kerajaan yang tertimpa masalah. Kemudian benar saja, berkat keteguhan hatinya,
penyerahan diri yang tulus kepda Hyang Kuasa, serta berkat bantuan dari Bhagavan Cyavana
yang memberitahukan seluk beluk kekuatan tombak Lavana, Saturghna berhasil mengalahkan Lavana, dan membebaskan para Bhagavan di tepi sungai Yamuna dari teror Asura Lavana. Jadi dapat diketahui bahwa bagian Uttarakānda memberikan pesan moral bahwasanya setiap manusia berhak dan wajib melaksanakan kewajibannya sebagai mana mestinya untuk pembebasan, hal ini sesuai sloka yang terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra II. 5 (dalam Dwaja dan Mudana, 2018: 33) yang berbunyi sebagai berikut:

Tesu samyag vartta màno gacchatya maralokatàm, yathà samkalpitàýúceha sarwan kaman samaúnute

Terjemahan:
“Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan
memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan.”

3.5 Kebenaran akan Selalu Menang
Dalam cerita asal-usul para raksasa tak terkecuali Ravana di dalam bagian Uttarakānda, bisa diketahui bahwasanya mereka memiliki kekuatan yang dasyat, bahkan bisa mengacaukan seisi dunia dan menguasai alam para dewa pada awalnya. Namun semua kejahatan mereka pada akhirnya dapat ditaklukan, dan bendera kebenaran kembali dikorbarkan. Dalam hal ini Śrī Rāma sebagai Avatara Dewa Visnu berhasil menepati janjinya kepada Dewa Indra untuk menaklukan para raksasa tak terkecuali Ravana yang menggangu kehidupan dunia. Hal ini juga sesuai dengan bunyi sloka Bhagavad Gita IV. 7 dan 8 (dalam Maswinara, 1997: 191) yang
berturut-turut dipaparkan sebagai berikut:

Yadà yadà hi dharmasya glànir bhavati bhàrata,
abhyutthànam adharmasya tadàtmànam srjàmy aham.

Terjemahan:
“Manakala kebajikan dan kebaikan (dharma) mengalami kemusnahan, dan kejahatan
mengalami peningkatan secara merajalela, Wahai putra Bharata (Arjuna), pada saat itulah
Aku menjemalkan diri-KU.“ 

Paritrànàya sàdhànàm vinàsàya ca duskrtàm,
dharma-samsthàpanàrthaya sambhavàmi yuge-yuge.

Terjemahan:
“Dalam rangka melindungi orang-orang suci (sadhu) dan baik, untuk memusnahkan
orang-orang jahat, dan menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma, Aku menjelmakan
diri-Ku dari masa ke masa.”

Jadi dua buah sloka tersebut meyakinkan seluruh umat manusia, bahwasanya ketika
ketidakbenaran merajarela, Tuhan sendirilah yang akan turun kedunia untuk menegakkan
kembali prinsip-prinsip kebenaran. Jadi untuk itulah dengan nilai-nilai moralitas, diharapkan manusia senantiasa berperilaku yang mulia demi kesejahteraan hidupnya.
Nilai-nilai moralitas tersebut tentu perlu dipetik dari pesan moral dalam cerita Uttarakanda yang telah dipaparkan.

KESIMPULAN
Rāmāyana perlu dibaca atau dipelajari secara sungguh-sungguh sampai pada bagian
akhirnya yaitu Uttarakānda. Hal tersebut dikarenakan, bagian Uttarakānda merupakan
resolusi atau tahap koda pada wiracarita Ramāyāna yang berisi penyelesaian akhir dari setiap permasalahan yang ada pada bagian-bagian sebelumnya. Di bagian ini pula terdapat banyak pesan moral mulia yang bisa dijadikan pedoman dan pengajaran untuk menghadapi kehidupan saat ini. Secara garis besar, bagian inti Uttarakānda menceritakan kisah pilu pengasingan Dewi Sita yang tengah hamil ke dalam hutan. Di dalam pengasingannya, Dewi Sita ditemukan dan diasuh oleh mahārşi Vālmīki sampai pada akhirnya melahirkan dua orang putra bernama Kusa dan Lava. Selain cerita inti, terdapat juga cerita sisipan yang berisi tentang; asal-usul para raksasa, keadilan raja Śrī Rāma, dan keberanian pangeran Satrughna dalam menghadapi raksasa Lavana. Dari semua cerita pada bagian Uttarakānda tersebut, dapat ditemukan berbagai pesan moral yang berguna bagi kehidupan, seperti; kesetiaan suami-istri, penghormatan kepada wanita, berkorban untuk kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi, melaksanakan kewajiban dengan keteguhan hati, serta nilai kebenaran yang akan selalu
menang meskipun diakhir. Semua pesan moral dalam cerita Uttarakānda tersebut juga telah
memiliki acuan dari ajaran luhur Susila yang bersumber dari sastra suci Veda sebagai kitab
suci agama Hindu, sehingga pesan moral tersebut menjadi sesuatu yang valid jika diterapkan sebagai pedoman menjalani kehidupan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar