Kamis, 06 April 2023

Pura Pucak Catu

Polih Pawisik ring Pura Pucak Catu

Pura = tempat Suci/benteng kesucian
Pucak = Gunung/Meru
Catu = Pasokan/Brangkas/Lumbung


Menguak Misteri Pura Pucak Catu, SANDAKAN, Petang - Badung
5 April 2023


Pura Pucak Catu, SANDAKAN, Petang, Badung menyimpan segudang misteri. Berdasarkan petunjuk dan kesaksian berbagai sumber, pura ini diyakini sebagai tempat rapat (paruman) Ida Betara, gudang senjata dan dijaga sosok Tualen. Saat titiang (Tubaba/I Gede Sugata Yadnya Manuaba/Griya Agung Bangkasa) pedek tangkil, ngaturang sembah puja tata lungguh pinandita wiwa, tepat jam 12.00 wita, bersama Jro Mk Gde Made Dimas, dengan upakara pejati, saat tata lungguh berlangsung khusuk, terlintas klebatan bayangan hitam menyerupai wujud Tualen.
SANDAKAN-DiariTubaba

Sandakan adalah desa adat di wilayah kabupaten Badung bagian Utara. Sandakan tergolong desa adat yang cukup luas dan subur.

Keunikan lain, di “wawidangan” Desa Adat Sandakan berdiri beberapa pura, mulai dari Tri Kahyangan, pemakasan serta pura keluarga atau dadia. Hal ini menandakan, karakteristik masyarakat Sandakan sangat majemuk ditilik dari sisi klan. Hampir seluruh klan ada di desa ini.

Dari sisi geografis, Sandakan dilengkapi sungai dan gunung. Sementara gugusan puluhan perbukitan membentang di wilayah banjar lainnya. Sebagain besar wilayah Petang, berdiri bangunan suci sehingga semakin menambah jumlah pura yang ada.

Salah satu gugusan bukit yang menarik untuk ditelisik yakni di Wilayah Sandakan adalah Pura Pucak Catu. Kata acatu. Diyakini, leksikon atau kosakata tersebut digunakan pada zaman pra penjajahan, atau sebelum ditemukan timbangan modern. Para ahli menafsirkan, acatu sama dengan seperempat kilogram dan aceeng sama dengan satu kilogram.
Di puncak Catu yang berdiri sebuah pura. Namanya menyesuaikan dengan nama bukit, yakni Pura Pucak Catu. 

Jro Mangku Gde Made Dimas, salah satu keturunan Penglingsir Pura Pucak Catu sekaligus sebagai pangempon yang bermukim di sebelah Pura Pucak Catu ini menjelaskan, bangunan suci di Pura Pucak Catu baru perbaiki. 

Sebagai orang yang sedikit ilmiah, Dimas tak menghiraukan mimpi yang dianggapnya sekadar bunga tidur. Namun mimpinya terus bersambung hampir tiap minggu. Suatu saat, ia bermimpi lagi bertemu dengan seorang berpakaian putih. 

Dimas mulai menganggap serius rangkaian mimpi anehnya meski butuh waktu bertahun tahun untuk benar-benar yakin. Rentang waktu tiga tahun digunakan untuk berkonsultasi dengan sejumlah “orang pintar”. Sepanjang yang ia ketahui, di puncak catu itu, tidak pernah ada palinggih, melainkan hanya sebongkah batu ukuran sedang yang memang dikeramatkan sejak zaman dahulu.

SEKILAS SEJARAH PURA PUCAK CATU

Pura Pucak Catu terletak di sebidang lahan leluhur Jro Mangku I Made Kerti (almarhum) yang juga merupakan seorang pejuang veteran Indonesia atau disebut Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), tempatnya berada tidak jauh dari pemandian umum bekas peninggalan penjajahan jaman Belanda di jembatan Tukad Ngongkong, kurang lebih 100 meter di sebelah selatan Setra (kuburan) Warga Adat Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. 

Lahan tersebut bernama Pucak Bukit Guwung, di tempat tersebut terdapat Bebaturan berada di tempat yang menyerupai bukit yang terbentuk secara alami dan yang di yakini sebagai pemujaan dari manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Ida Bhatara Sri Sedana (manifestasi Tuhan yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran di dalam kehidupan sehari-hari). 

Di tempat tersebut juga terdapat sumber mata air yang disebut Beji oleh orang Bali dan terbagi menjadi dua tempat, sebagai tempat yang disucikan dan satunya lagi disebut Bulakan (penampungan mata air) dimana pada jaman dahulu sebelum terdapat saluran air minum seperti sekarang, dipakai untuk mencari air sebagai kebutuhan sehari-hari oleh warga sekitar pada khususnya oleh keluarga dari Jro Mangku (almarhum).

Sumber mata air dari Beji Pucak Catu bersumber dari Klebutan (air yang muncul secara alami dari bawah ke permukaan tanah) dan dari Trebesan (air yang mengalir dari selah-selah bebatuan dan akar kayu) di sekitar Beji tersebut. Seperti tempat yang di sakralkan atau tempat suci yang berada di Bali pada umumnya, tempat tersebut memiliki pantangan dimana wanita yang sedang haid (datang bulan), atau orang-orang yang sedang berada pada masa cuntaka, tidak di benarkan atau di larang memasuki wilayah tersebut dimana jika pantangan ini dilanggar, maka akan mengalami hal-hal aneh di luar nalar dan logika. Keunikan lainnya di Pura Pucak Catu terdahulu juga terdapat Taru Majegau (Pohon Gaharu) yang tumbuh secara alami dan inilah yang menjadi latar belakang berdirinya Pura Pucak Catu di tempat yang terdahulu disebut Pucak Bukit Guwung.

Awal kisah disebut Pura Pucak Catu dimulai dari kedatangan Warga Adat Buangga yang terletak kurang lebih sepuluh kilometer di selatan Pucak Bukit Guwung dengan maksud bertujuan untuk memohon Taru Majegau (Pohon Gaharu) yang akan dipergunakan sebagai bahan Prerai Tapakan Barong (niasa rupa perwujudan skaral yang disucikan) yang akan disungsung atau di sucikan oleh Warga Adat Buangga di Pura Dalem berdasarkan dari petunjuk yang disebut Pawisik (ilham Suci Manifestasi Tuhan yang diyakini oleh orang Bali) yang di dapat oleh tokoh-tokoh spiritual Warga Adat Buangga. 

Terdapat sebuah keunikan dalam kisah ini, dimana pada jaman dahulu tentunya perkembangan mobilitas transportasi dan perkembangan tehnologi belum seperti jaman sekarang, bagaimana mungkin Warga Adat Buangga mampu mengetahui keberadaan Taru Majegau (Pohon Gaharu) di wilayah Pura Pucak Catu hanya berdasarkan ilham yang di dapat, disinilah awal keyakinan tentang wahyu alam spiritual memang benar adanya dan melampaui batas nalar, logika serta akal sehat manusia atau sederhananya menurut orang Bali sering disebut Pekayunan Widhi (atau sudah menjadi kehendak Tuhan).

Setelah diskusi yang cukup panjang antara utusan Warga Adat Buangga dengan leluhur dari dane Jro Mangku (almarhum), pada akhirnya apa yang menjadi maksud dan tujuan dari kedatangan Warga Adat Buangga mendapat persetujuan. Setelah prosesi Nunasin (memohon restu alam khususnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya) baik secara sekala maupun niskala mulailah dibangun Asagan Turus Lumbung dari pohon andong yang bekembang menjadi Padmasana (tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Dan setelah sekian lama berlalu, terjadi permasalahan di lahan pertanian dan perternakan warga sekitar juga beberapa kejadian di kehidupan Warga Adat Buangga beserta Tapakan yang disungsung di Pura Dalem, sehingga datanglah kembali Warga Adat Buangga ke Pura Pucak Catu memohon Pawisik (ilham atau wahyu suci dari manifestasi Tuhan Yang Maha Esa) dengan air suci dari Beji Pura Pucak Catu dan serangkaian Upacara Yadnya (persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya) juga ritual menurut kepercayaam Agama Hindu.

Setelah serangkaian prosesi upacara tersebut apa yang menjadi tujuan warga dapat terwujud, begitu pula dengan kehidupan Warga Adat Buangga beserta lahan pertanian dan peternakan warga mulai berangsur-angsur pulih. Dari sinilah mulai dibangun Pengaruman yang berbentuk seperti Piasan di Pemerajan, karena keterbatsan wawasan warga pada saat itu, serta Meru Tumpang Kalih, Gedong Sari, Bale Peselang Linggih Ratu Tapakan di Jeroan Pura Pucak Catu, Apit Lawang, Kelumpu atau Jineng (Lumbung Padi), dan juga terdapat Balai Kulkul di jaba tengah yang di bangun oleh beberapa Warga Sandakan karena membaiknya hasil pertanian dan peternakan mereka.

Dari sinilah mulai tumbuh keyakinan warga terhadap keberadaan Pura Pucak Catu dimana Purnama Sasih Jiyestha yang datang setahun sekali menurut perhitungan kalender Bali sebagai hari Piodalan di Pura Pucak Catu, juga terpilihlah anak pertama dari leluhur yang bernama I Made Kerti (almarhum) yang menjadi Jero Mangku di Pura Pucak Catu. Kehidupan beliau sebelumnya sering mangalami kesakitan, kehilangan anak, dari delapan anak masih tersisa enam yang masih hidup yaitu dua laki-laki dan empat perempuan, setelah beliau ngayah di Pura Pucak Catu terdapat perbaikan berupa Pengaruman berbahan dasar Taru Majegau (Pohon Gaharu) yang direndam lama di sungai Tukad Ngongkong dan berbentuk seperti Piasan di Merajan karena keterbatasan wawasan dan pengetahuan warga pada saat itu, Meru Tumpang Kalih, Padmasana, Gedong Sari, Balai Peselang Linggih Ratu Tapakan, Apit Lawang, Bale Lantang dengan Pawaregan, Balai Kulkul, perbaikan jalan menuju pura dan lampu penerangan. Akan tetapi Kelumpu atau Jineng (Lumbung Padi) di jaba tengah yang sudah rusak tidak dapat dibangun kembali.

Pura Pucak Catu di empon oleh beberapa Warga Adat Sandakan dan Warga Adat Buangga, akan tetapi setatus Pura ini terbuka untuk umum sebagai tempat suci pemujaan Ida Bhatara Sri Sedana (Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya). Sejarah ini ditulis oleh I Wayan Sukadiana anak pertama dari pasangan Jero Mangku Lanang I Made Kerti (almarhum) dan Jero mangku Istri Ni Made Rupid (almarhum) berdasarkan cerita-cerita turun temurun para pendahulu yang telah berpulang kehadapan beliau sang pencipta serta pengalaman pribadi. Dalam kesempatan ini penulis menyadari dalam penyusunan sejarah ini mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk itu atas segala dukungan dan bantuannya penulis menyampaikan ucapan terima kasih. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangannya sebagai umat hanya bisa menulis.

Daya magis Pucak Catu bak magnet yang menarik frekuensi umat sedharma. Bukit ini mulai dikenal. Warga sekitar berlomba menghaturkan palinggih pelengkap berupa Surya/Padma Rong Tiga, Meru Tumpang Kalih dan Gedong Dewi Sri. Rasa bakti umat bisa diimplementasikan dalam bentuk lain selain ngaturang palinggih.

*Pura Pucak Catu Berstatus Pura Panataran Jagat di wilayah Petang. 

Masyarakat yang meyakini kemagisan Pura Panataran Pucak Catu juga berasal dari berbagai latar profesi, mulai dari perwira polisi, mahasiswa, tokoh pendidikan dan penekun spiritual.

Dimas sering terlibat diskusi dengan penekun spritual atau yang memiliki kelebihan supranatural. Mereka punya pandangan beragam. Ada yang meyakini bahwa Pura Pucak Catu adalah tempat paruman (rapat) Ida Betara sebelum melaksanakan tugas masing-masing.

Pendapat lain meyakini, Pucak Catu adalah gudang senjata/berangkas, khususnya peninggalan Kerajaan Mengwi namun masih disembunyikan alias tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Suatu saat, senjata-senjata tersebut akan ditampakkan oleh yang Kuasa.
Bongkahan batu ini lah cikal bakal dari Pura Pucak Catu. Sebelum berdiri palinggih permanen, sejak ratusan tahun lalu, warga sekitar menghaturkan canang/banten di batu ini. Itu berbagai pendapat orang pintar. Benar atau tidak saya tidak berani bilang apa, karena ini soal kepercayaan. 

Kesaksian dari Tubaba adalah penampakan sosok Tualen di antara Padma rong tiga dengan pelinggih dewi sri. Sosok Tualen memiliki ciri fisik perut buncit, kulit gelap, berlanjang dada dan hanya menggunakan kamen atau sarung yang ujungnya dilipat kebelakang (kancut). Beliau tidak menakut-nakuti. Beliau hanya memberikan cihna sebagai penjaga tempat ini. Saya yakin beliau baik.


#tubaba@griyangbang//nunaspanugrahan//pucakcatu#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar