Rabu, 05 Oktober 2022

Kembar Buncing

Sekilas Tentang 
Upacara Dharmaning 
Ngupapira Sang Rare Kembar Buncing

Oleh : Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manusia

Editor : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Atur Pangaksama
Om Swastiastu, 
Om Awighanamastu Namo Siddham

Pinih riin atur titiang, sakatilinganing ambek sembah pangubakti miwah angayubagia, riantukan asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa, miwah piteket-piteket, kalih panureksan saking sang wikan ring pariindikan sastra miwah agama Hindu utaman nyane ring Bali muah ring se jebag dura Desa Bali pulina lan Nusantara. Titiang purun prasangga mipil utawi ngapupulang indik tatandingan Upacara Dharmaning Ngupapira Sang Rare Kembar Buncing utamane tetandingan puniki mangda anggen titi pengancan ritatkala mekarya upakara riwekas. Gumanti titiang prasida ngaturang cakepane puniki medasar antuk manah pangkah tur tambet.

Pupulan puniki ambil titiang saking makueh cakepan-cakepan sane sampun kewedar, sane medaging tetandingan upakara utamane tetandingan Upacara Dharmaning Ngupapira Sang Kembar Buncing. Riantukan meled pisan manah titiyang ring sejeroning kahurip sang rare kembar buncing punika ngamangguhang karahayuan, kadirgayusan, awet urip tan kirang sandang, papan miwah amertha. Duaning punika cakepan puniki mangde wenten anggen titiang meyadnya ring para semeton Umat Hindu utawi Umat Se-Dharma sejebang Bali muah sejebag dura Desa Bali pulina. Malih pisan ampurayang mungguwing kelanggahan titiange purun mipil buku puniki tan sios mangda keanggen titi pengancan muah sipat siku ritatkala mekarya tetandingan Upacara Dharmaning Ngupapira Sang Rare Kembar Buncing. Siosan ring punika antuk kanistan titiang mebuat pisan, janten sampun akeh kekirangan-kekirangan nyane ring daging buku sane pupulang titiang.

Dumogi cakepane puniki wenten pikenoh nyane ring Umat Se Dharma anggen titi pengancan ring sejeroning nabdabin pemargin yadnya sane keanggen riwekas. Maka panguntat atur titiang, ngelungsur sinampura antuk kekirangan-kekirangan pupulan puniki, ledang para widagdeng aji nagingin kekirangan-kekirangan pupulan puniki, mangde sida sampurna. 

Matur Suksma 
Om, Santih, Santih, Santih, Om



SEKILAS TENTANG KEMBAR BUNCING

Dahulu kala Di Bali kelahiran kembar laki-laki dan perempuan dikenal dengan istilah kembar buncing atau manak salah. Ada cerita miris mengenai Kembar Buncing, konon dimasa lalu jika seorang ibu yang melahirkan laki-perempuan bisa bermakna ganda. Jika dari keluarga raja hal itu bisa berarti berkah atau keberuntungan. Sebaliknya, bagi masyarakat kebanyakan hal itu bisa dikatakan bencana atau aib dan tak lazim. 

Sebenarnya tradisi dijaman kerajaan itu telah dihapus dalam sebuah keputusan DPRD Bali pada tahun 1951. Namun, kehidupan modern sekarang masih ada yang menerapkan seperti yang terjadi di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung dan beberapa wilayah lainnya. konon ketika warga disana ada yang melahirkan bayi kembar (manak salah), desa adat setempat batal melakukan upacara melasti penyepian lantaran dinilai masih leteh (kotor/cemar).

Situasi masa lalu dibeberapa wilayah tersebut tentu sangat bertentangan dengan nurani kita sebagai manusia. Kelahiran adalah anugerah dari Sang Hyang Widhi, bagaimana mungkin kelahiran dimaknai sebagai aib.

Semua kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran masa lampau.

Dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. Dalam sastra agama tidak ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai karena dianggap leteh. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat.

Munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja. Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral. Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat. Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita (penguasa politik). Jika ada masyarakat yang tidak mendukung, sudah bisa dibayangkan sanksi yang akan diterima. Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu. Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin.

Jadi ditinjau dari segi agama, jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia. Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. Ini yang masih terjadi di masyarakat sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat desa, desa adat, maupun pemerintah yakni melalui Departemen Agama.

Kembar buncing dianggap manak salah sudah merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu.

Memiliki anak kembar tentu menyenangkan apalagi bagi yang belum dikarunia anak. Banyak yang berpendapat memiliki anak kembar tidak masalah sekalian repotnya (tentu dalam artinya sekalian sibuknya ngurusin dua anak sekaligus) apalagi memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan sekalian satu paket.

Rasa agama umat Hindu sudah sangat tinggi tetapi pengetahuan agama masih kurang sehingga sulit membedakan mana tradisi agama dan mana tradisi kerajaan. Pengenaan sanksi hukum adat terhadap mereka yang melahirkan kembar buncing sangat bertentangan dengan ajaran agama dan melanggar hak asasi manusia. Sangat tidak masuk akal, raja yang melahirkan anak kembar buncing dianggap berkah atau karunia, sedangkan jika itu terjadi di masyarakat dianggap salah.

Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Sementara itu semua pihak baik pemerintah, Parisada maupun Departemen Agama menjadi mediator agar terwujudnya beragama yang benar. Tradisi yang baik mesti dilestarikan, sedangkan yang jelek sudah saatnya ditinggalkan. Kebiasaan yang bersumber pada ajaran agama wajib dilestarikan, yang tidak baik jangan dipakai lagi.


UPACARA UNTUK BAYI KEMBAR BUNCING

Bali dikenal dengan keanekaragaman tradisi dan kaya akan nilai-nilai budaya yang adi luhung sebagai hasil karya nenek moyang di masa lampau. Salah satu hasil karyanya berupa tulisan yang digoreskan pada daun lontar dengan berbagai isi dan nilai-nilai keagamaan di dalamnya. Lontar tersebut telah disalin dalam bentuk Naskah. Isi naskah tersebut terkait dengan berbagai upacara yang didasarkan atas ajaran agama Hindu yang selalu ada setiap masa tertentu. Upacara tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa bersyukurnya umat Hindu terhadap Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta alam dan segala makhuk di dunia ini, yang dirasakan sejak lahir hingga akhir hidupnya. Upacara atau ritual yang dilaksanakan sesuai adat istiadat setempat di Bali, yang dilakukan dengan tulus ikhlas dinamakan yadnya. Yadnya ada lima jenis disebut dengan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Pitra yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Khususnya mengenai Manusa Yadnya dibahas pada Naskah Dharma Kahuripan, Mpu Lutuk Bebantenan, Dharmaning Angreka Bebantenan, Pustaka Wacakan Sesayut,  Buku Panca Yadnya dan masih banyak lagi lontar yang mengulas tentang upakara bebantenan. 

Terkait dengan upacara dharmaning ngupapira rare kembar buncing, Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manusia (Griya Agung Bangkasa di Bongkasa) telah memilah dengan seksama Pustaka Dharmaning Ngupapira Rare Kembar Buncing (Ki Dalang Tangsub) dan berbagai kopian translitrasi lontar dinas Kebudayaan Kab. Badung serta Provinsi. 

Upacara bagi bayi kelahiran kembar buncing dilaksanakan dengan dua tingkatan upacara. Pertama upacara di tingkat keluarga, dan kedua upacara di tingkat desa. 

Untuk upacara bayi kembar buncing pada tingkat keluarga dilaksanakan pada empat tempat, pertama di Sanggah Kamulan, kedua di dapur, ketiga di Tukad Pelumbahan, dan terakhir di toya kelembutan atau pancoran. 

Sedangkan untuk pelaksanaan upacara bayi kembar buncing pada tingkat desa dilaksanakan pada tiga tempat, pertama di Pinggir Pantai (segara), kedua di Pura Dalem, dan terakhir di Merajan Agung.

Untuk pelaksanaan ritual bayi kembar buncing di tingkat desa diikuti seluruh krama beserta keluarga. Apabila prosesi ritual upacaranya di puput oleh Ida Sulinggih boleh dilakukan dari Merajan sang adruwe karya, dengan tetap membuat banten Pras, Pejati dilengkapi dengan segehan sesuai yang ditentukan diatas. 

Tentang tatanan Upacara dan Upakaranya, sebagai berikut;

PALET I : SOROHAN BANTEN PANGRESIKAN.

Banten Bayakaon.

Banten Tatebasan Prayascitta.

Banten Tatebasan Durmangala.

Banten Lis-amu-amuan utawi Lis bale gadhing.

Banten pangulapan.

Panglukatan sang rare kembar BUNCING muncuk don bingin, muncuk don Bunut bulu, muncuk don sulasih miyik, sekar tunju 3 muncuk, sate mingmang


PALET II : SOROHAN BANTEN UPASAKSI RING SANGGAR SURYA.

Daksina alit..............2 soroh.

Suci asoroh maulam Galuh bebek.

Banten Ajuman/rayunan putih kuning.

Banten peras asoroh. penyeneng alit.

Ketipat kelanan, canang, pasucian.

Caniga dena jangkep.

Kalungah nyuh gadhing kinasturi 1.


PALET III: SOROHAN BANTEN MUNGGAH RING KAMULAN.

Daksina alit............2 soroh.

Suci asoroh maulam tahun bebek.

Banten Ajuman/rayunan asoroh.

Banten peras gde utawi peras alit.

Penyeneng alit, Katipat kelanan.

Canang. Pesucian, saha caniga dena jangkep.


PALET IV : SOROHAN BANTEN AYABAN:

1. Daksina saha suci asoroh.

2. Banten pejati asoroh.

3. Banten ayaban sanisthan nyane tumpeng sya.

4. Banten Sesayut Tulus dadi.

5. Banten Sesayut Katututan.

6. Banten Sesayut pamahayu Tuwuh.

7. Banten Pangladan Dedari.

8. Banten Sang Mpu Bajang.


PALET V : SOROHAN BANTEN RING PASIRAMAN:

1. Banten pejati asoroh.

2. Segehan warna lima asoroh.

3. Payuk medaging toya anyar medaging sekar pitung warna


PALET VI : SOROHAN BANTEN PENYANGGRA:

1. Banten Ring ajeng sang muput.

2. Banten Panuwuran sang muput.

4. Banten arepan tukang kidung.


PALET VII : INDIK TATANING TETANDINGAN BANTEN;

SESAYUT MAHAYU TUWUH : Metatakan kulit sesayut, tanekan 1 catu, tumpeng isen-isen akor-akor sawang reragi, sami megoreng, iwak niya jejeron sawang, dandanan ijo, raka-raka, jaja sejangkep ipun, canang, astawa sarwa kaki, Begawan kaki Patuk, anggen ring kemanusiaan kalaning mehayu kahuripan.

SESAYUT PENYENENG TUWUH : Metatakan kulit sesayut, penek senunggal, ketipat sarwaning ketipat, ayam ukudan mepanggang, sarwa galahan, woh-wohan, jaja, canang, sejangkep ipun, anggen kemanusan kalaning mepenyegjeg tuwuh.

TEBASAN PANCA SANAK : Metatakan kulit sesayut, tebog 5, mewarna putih, barak, kuning selem, berumbun pada 1, genah niya manca desa, iwak ayam berumbun mepanggang, dagingin pada metebih, tenggek nyane ditengah, medaging kacang komak pada metangkih, jaja, woh-wohan, canang, anggen penutup caru.

SESAYUT PAMANDU YUSA : Metatakan kulit sesayut, tumpeng manca warna 5 bungkul mecaru antuk toya cendana, sekar manca warna, kwangen 5 besik, raka sarwa 5, iwak itik meguling 1, mesekar wangi, ambed tumpeng 9 warna, gerang kepiting, isin sawah, gerang agung, isin alas, isin tukad sami megoreng mewadah takir, soring taledan beras 2 kulak, jinah 500, wewehin antuk sesayut pengenteg bayu.

SESAYUT PENYEJEG TUWUH : Metatakan kulit sesayut, tumpeng 9 bungkul iwak ayam berumbun 2 ukud meolah dadi 9 tanding, belulang niya winangun urip, gedang setakep, raka, jaja canang, tetebus tridatu.

SESAYUT/TETEBASAN KUCUP MANDI : Metatakan kulit sesayut, duur nyane dagingin nasi tumpeng ageng 1, tinancebin tabia 1, ulam nyane taluh, kacang komak padha 1 tangkih, sesanganan, raka-raka jangkep, tehenan 1, peras alit 1, sampian naga sari, canang payasan, anggen ritatkala manusa Yadnya .

TETEBASAN PEPEK TUWUH : Metatakan kulit sesayut, duur nyane dagingin nasi tumpeng 1, meileh antuk rerasmen, rujak 1 limas, sesanganan, raka-raka jangkep, tehenan 1, peras alit 1, sampian naga sari, canang payasan, anggen ritatkala manusa Yadnya.


Dipercikan tiga kali di kepala,

Om Budha pawitra ya namah

Om Dharma maha tirtha ya namah

Om Sanggya maha toya ya namah


Diminum tiga kali,

Om Brahma pawaka ya namah

Om Wisnu amertha ya namah

Om Iswara jnana ya namah


Diraup tiga kali di kepala,

Om Siwa sampurna ya namah

Om Sadhasiwa paripurna ya namah

Om paramasiwa suksma ya namah


Melukat, mantra :

Om Salilam wirnalem toyem, toyem tirthasya bajanam Subhiksa ya samataya, dewanam lisana-sanam.

Makurah, nginum, meraup (sebanyak tiga kali), mantra;

Om Pawitram gangga tirthaya, mahabhuta mahodadi Bajra prani maha tirtham, papasanam kalinadem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar