GENTHA DAN BADJA
Genta dan bajra juga menjadi salah satu perangkat penting yang digunakan oleh pandita dari golongan Bhuda. Genta dan bajra merupakan sarana yang selalu digunakan secara bersama-sama dalam pemujaan.
Saat digunakan bajra akan diputar sebagai simbol menimbulkan perputaran kedamaian di seluruh jagat raya seiring dengan mantra-mantra yang diucapkan oleh pandita Budha.
Bajra yang berfungsi sebagai senjata Dewa Indra dalam penggunaannya dipegang dengan tangan kanan setinggi pinggang. Penggunaan bajra bersama genta secara bersamaan, diyakini dapat menimbulkan kekuatan untuk membangkitkan Asta Dewata, sehingga upacara berjalan lancar.
Bajra yang berbentuk senjata perang mempunyai makna sebagai alat untuk melakukan konsentrasi dalam pemujaan, sehingga seorang pandita Budha dapat mengendalikan indra yang ada dalam dirinya.
Perangkat selanjutnya adalah genitri. Benda ini memiliki fungsi sebagai simbol kekuatan Siwa maupun Bhatara Budha. Dimana asal genitri adalah biji dari tanaman genitri atau disebut juga rudhraksa.
Rudrahraksa diyakini sebagai tanaman yang magis. Bijinya yang sudah tua berwarna biru, bisa dijadikan sebagai pelengkap kepanditaan. Rudhraksa juga disebut Mata Dewa.
Genitri merupakan rangkaian buah genitri yang pada kedua ujungnya dipertemukan dan diikat dengan murdha, sehingga menjadi sebuah rangkaian.
Genitri adalah simbol yang mewakili Sarwa Buddhanam, Prajna Paramitadewi dan Sutranam Bodhisattwanam.
Jumlah biji genitri 108, berfungsi dan digunakan untuk membayangkan semua Budha dan Bodhisattwa yang dipuja selama proses pemujaan untuk membuat tirtha.
Di samping itu, genitri merupakan lambang dari kebajikan, yang diharapkan dapat mengubah malapetaka menjadi kebajikan. Penggunanya sangat berhubungan dengan pembersihan semua kotoran pada diri manusia dan benda-benda yang digunakan agar menjadi suci.
Genitri adalah simbol kesaktian (kawisesan), pengetahuan (kaweruhan), keahlian (kapradnyanan) bagi seorang pandita. Hal ini memberikan makna bahwa genitri membantu meningkatkan ke-sidhi-an bagi seorang pandita.
Perangkat lainnya adalah kereb. Secara fisik sebagai pelindung dari keseluruhan perangkat pemujaan Budha Pakarana. Kereb digunakan sebagai penutup perangkat pemujaan Budha Pakarana.
Perangkat pemujaan ini memiliki nilai-nilai kesucian, juga harus ditutup atau dilindungi mempergunakan alat penutup yang juga memiliki nilai kesucian. Kereb merupakan penutup, simbolis kegelapan dalam pikiran dan diri manusia. Biasanya juga dipakai untuk menutup atau melindungi benda-benda suci lainnya.
Lanjut Purwa Sidemen, setelah pandita selesai memakai kain dan kampuh atau busana, dalam posisi menghadap membelakangi Budha Pakarana, kemudian pertama-tama membersihkan kaki, tangan dan mulut (berkumur). Air yang digunakan adalah air bersih yang terdapat di dalam penastan tersebut.
Canting juga digunakan oleh pandita Budha sebagai alat untuk mengambil tirtha selama proses pemujaan di dalam pamandyangan. Sarana ini kemudian dipakai memercikkan serta menuangkan tirtha tersebut kepada yang memohon.
Biasanya dalam sebuah proses pemujaan seperti surya sewana maupun upacara lainnya, banyak umat yang memohon air suci (tirtha) secara langsung kepada Sang Pandita. Pada saat menuangkan air suci (tirtha) tersebutlah mempergunakan Canting.
Kemudian lungka-lungka atau patarana. Tidak sekadar alas duduk, tapi bermakna sebagai alas dari sikap Budha Yogiswara. Sikap Budha Yogiswara ini bisa kita lihat pada seorang pandita pada saat Sang Pandita sedang mapuja (muput upacara), adalah sikap beryoga atau yogiswara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar