Sabtu, 03 Mei 2025

STATUS ANAK PASCA PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT ADAT DAN AGAMA HINDU

STATUS ANAK PASCA PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT ADAT DAN AGAMA HINDU: KAJIAN KASUS ANAK BELUM DIPERAS DAN TINGGAL DENGAN KELUARGA IBU

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Perceraian merupakan peristiwa yang sah menurut hukum negara jika telah diputus oleh pengadilan. Namun dalam konteks adat dan agama Hindu, perceraian membawa implikasi sosial dan spiritual yang cukup kompleks, terutama terkait status anak. Salah satu istilah yang sering muncul dalam masyarakat Bali adalah "anak bebinjat", yang umumnya merujuk pada anak yang tidak jelas status adatnya karena belum dilakukan upacara peras (pembersihan ikatan secara niskala dengan keluarga ayah dan si ibu belum melakukan upacara mepamit di Sanggah Kemulan si suami).

Kutipan Sloka Terkait

Dalam Manawa Dharmasastra, terdapat beberapa sloka yang dapat dijadikan rujukan untuk memahami tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya.

Sloka II.227

> Transliterasi:
pitaram mataram caiva dharmenaiva abhivādayet |
tayor hi pādayo nityam praṇamed abhivādayan ||



Makna:
Seorang anak wajib menghormati ayah dan ibunya secara dharma, dan selalu bersujud pada kaki mereka dengan rasa hormat.

Sloka IX.45

> Transliterasi:
pitā rakṣati kaumāre bhartā rakṣati yauvane |
putrā rakṣanti vṛddheṣu nā strī svatantryam arhati ||



Makna:
Ayah melindungi putri pada masa kanak-kanak, suami melindungi saat muda, dan anak-anak melindungi di masa tua; wanita tidak layak hidup tanpa perlindungan.

Analisis Kasus

Dalam kasus ini, seorang ayah menceraikan istrinya secara hukum negara karena perilaku buruk yang berujung pada pemenjaraan. Anak yang masih di bawah umur ikut tinggal bersama ibu dan kakek dari pihak ibu. Belum dilakukan upacara peras secara adat Hindu Bali untuk memutuskan ikatan anak dengan keluarga ayah.

Apakah anak tersebut dikategorikan sebagai “anak bebinjat”?

Secara adat Bali, anak bebinjat adalah anak yang belum secara resmi dialihkan hak asuhnya secara adat dari pihak ayah ke pihak ibu (biasanya melalui upacara adat seperti peras, pengayah, atau pengentas). Dalam kasus ini:

1. Perceraian secara hukum sudah sah, tetapi belum dilaksanakan upacara peras, sehingga dari sudut pandang niskala atau spiritual, anak tersebut masih terikat secara adat dengan keluarga ayah.


2. Karena anak tersebut sudah tidak tinggal dengan ayah dan belum diputus secara adat, statusnya menjadi abu-abu—inilah yang sering disebut sebagai anak bebinjat: anak yang menggantung, tidak jelas status kekeluargaannya secara adat.


3. Jika ingin memperjelas status anak dan menghindari kemungkinan konflik waris atau status sosial di kemudian hari, upacara peras atau pengentas wajib dilaksanakan.



Pandangan Agama Hindu

Dari sisi tattwa (filsafat Hindu), anak tetap menjadi titipan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan setiap orang tua, baik ayah maupun ibu, tetap memiliki tanggung jawab spiritual terhadap anak. Meski perceraian sah secara hukum, ikatan karma dan dharma antara anak dan orang tua tidak serta-merta terputus tanpa upacara adat.

Kesimpulan

Hasil diskusi dan petuah dari Ida Pandita Mpu Putra Biru Daksa Yaksa (Purnawirawan letjen I Ketut Untung Yoga), di hari raya Kuningan, 3/5/2025.

Anak dalam kasus ini belum bisa dianggap sepenuhnya anak dari pihak ibu karena tidak ada pemutusan secara adat, sehingga berpotensi dikategorikan sebagai anak bebinjat. Untuk menghindari status tidak jelas tersebut, maka:

Perlu dilakukan upacara peras/pengentas.

Status anak setelah itu menjadi jelas: jika diasuh pihak ibu, maka akan menjadi bagian dari keluarga ibu secara adat.

Penting melibatkan tokoh adat (bendesa adat), sulinggih, atau pemangku untuk membimbing prosesnya sesuai desa, kala, patra.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar