JAWABAN
Tes Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah : Acara Agama Hindu
Jurusan : Teologi Hindu
Semester : III
Kampus : Denpasar/Sore
Pengampu : Acyutananda Wayan Gaduh, S.Pd.H,M.Ag
Nama Mahasiswa : Ni Nyoman Gandu Ningsih
NIM : 2112101045
Susila dan Acara Agama. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisakan antara yang
satu dengan yang lainnya. Dari ketiga aspek tersebut maka acara agama termasuk
ke dalam aspek ke tiga. Acara agama menyangkut suatu yang sangat kompleks
dan merupakan refleksi daripada ajaran agama Hindu itu sendiri yang dapat dilaksanakan secara riil dalam kehidupan sehari-hari. Karena acara merupakan refleksi dan praktek dari ajaran agma Hindu sehingga wajarlah nampak bahwa yang mendominasi agama Hindu adalah upacara agama dan dilaksanakan penuh semarak. Namun ingat bahwa kesemarakan bukanlah merupakan jaminan bagi orang untuk dapat dipandang sebagai orang yang beragama jika belum disertai
dengan pendalaman akan arti. Tetapi bukan berarti kesemarakan itu tidak perlu.
Acara/Upacara tidak hanya bermakna persembahan atau ritual saja. Namun. yang terpenting adalah proses mempersiapkan ritual, baik sarana dan prasarana yang tentunya akan melibatkan banyak orang yang berbeda dalam keyakinan. Sehingga, umat Hindu harus mempunyai dasar bagaimana bertingkah laku yang baik yang akan membuat hidup damai dan sejahtera bagi umat hindu dan umat yang lain.
2. Sebagai akademisi Hindu yang harus dilakukan kedepanya dalam menyikapi tentang adanya oknum sulinggih yang menyimpang yaitu
Apabila ada oknum sulinggih memalukan peristiwa yang mencoreng dunia keagamaan di Bali, hendaknya para nabe dari oknum sulinggih tersebut segera memanggil dan mencari kebenaran tentang peristiwa yang terjadi, apabila benar oknum sulinggih berbuat salah dan mencoreng citra kesulinghihan, hendakna nabe tapak segera mempanten oknum sulinggih tersebut. Serta PHDI Bali wajib segera merespon dengan menggelar rapat yang dihadiri PHDI Kabupaten/Kota se Bali di Kantor PHDI Bali sehingga dapat mengantisipasi supaya tindakan oknum tersebut tidak mencemarkan nama baik sulinggih lainnya. PHDI seharusnya bertindak lebih keras.
3. Struktur pura baik secara vertikal maupun horizontal sangat dipengsruhi oleh pemahaman tentang alam juga mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari denahnya juga mengacu pada pemahaman masyarakat Hindu Bali mengenai pembagian alam. Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: Jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam).
Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan). Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “triloka”, yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “Saptaloka” yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “ekabhuvana”, yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada “Super natural power“.
Sehingga maknanya dengan pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu Bali menginginkan suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa agar kebahagiaan dapat tercapai bagi seluruh manusia.
4. Kata sakralisasi berasal dari kata sacral yang berarti keramat, dalam bahasa latin yaitu sacrare yang artinya mengkramatkan. Dalam bahasa Belanda sakraal, sedangkan dalam bahasa inggris sacred yang juga berarti dikeramatkan
Kata sakralisasi mengandung konotasi arti suatu tindakan atau uapaya untuk mengkramatkan dengan menjaga nilaiu-nilai kesuciannya sehingga selama proses selalu mengacu pada aturan yang ada tanpa ada yang berani melanggar. Upacara sakralisasi tempat suci dimaksanakan melalui Upacara Mecaru Melaspas, Mendem Pedagingan, Mendak Nuntun lan Pujawali.
Adapun rangkaian upacara sakralisasi tempat suci beserta maknanya sebagai berikut:
a. Mecaru adalah upacara yang dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan antara manusia denga alam oleh umat Hindu di Bali, Indonesia. Upacara mecaru juga disebut dengan Butha Yadnya. Butha Yadnya pada hakikatnya merawat lima unsur alam, yakni tanah, air, udara, api, dan ether. Upacara mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya.
b. Melaspas terdiri dari dua suku kata, yaitu Melas dan Pas. Melas berarti pisah dan Pas artinya cocok. Jadi, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang berbeda, ada kayu ada pula tanah (bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak (cocok) untuk ditempati. “Baik untuk manusia yang kita kenal sebagai rumah, maupun untuk para Dewa yang dinamai pslinggih,” Upacara ini digelar agar orang atau para dewa yang akan tinggal di bangunan/pelinggih tersebut merasa aman dan tentram serta betah dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Mendem Pedagingan adalah upacara yadnya untuk memfungsikan dan menghidupkan bangunan atau pelinggih-pelinggih suci pada sebuah pura yang merupakan upacara inti dari Ngenteg Linggih.
d. Mendak Nuntun upacara ini bertujuan untuk menjemput para dewa yang sudah disucikan dan "dilinggihkan" di pura bersangkutan.
e. Pujawali dengan kata lain, piodalan/petoyan merupakan peringatan hari lahirnya sebuah tempat suci umat Hindu. Dengan adanya upacara keagamaan ini, maka setiap pura yang tersebar di Bali memiliki hari yang ditetapkan sebagai hari suci untuk piodalan ataupun pujawali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar