Rabu, 09 April 2025
Puja Mantra dalam Upacara Mapinton Anak Alit
Merendam bawang putih dengan cuka apel
Manfaat Merendam Kacang Tanah
Sanggah Turus Lumbung
Keutamaan dan Kemuliaan Sanggah Turus Lumbung dalam Perspektif Hindu
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak
Sanggah Turus Lumbung merupakan salah satu wujud tempat suci dalam tradisi Hindu Bali yang memiliki makna filosofis dan spiritual mendalam. Artikel ini mengkaji keutamaan dan kemuliaan Sanggah Turus Lumbung berdasarkan ajaran Hindu dan nilai-nilai yang terkandung dalam sloka suci. Penekanan diberikan pada simbolisasi keberadaan Hyang Guru, keturunan suci, dan hubungan spiritual manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Kata kunci: Sanggah, Turus Lumbung, Hindu Bali, spiritualitas, kesucian
Pendahuluan
Dalam tradisi Hindu di Bali, Sanggah atau Pelinggih merupakan bangunan suci yang menjadi pusat pemujaan umat kepada Tuhan dan leluhur. Salah satu jenis pelinggih yang memiliki bentuk unik dan sarat makna adalah Sanggah Turus Lumbung. Sanggah ini umumnya digunakan untuk memuja Hyang Guru atau roh suci leluhur yang sudah mencapai kesucian tinggi, khususnya para sulinggih (pendeta). Bentuknya menyerupai lumbung padi yang ditopang tiang (turus), sebagai lambang kesejahteraan dan keteguhan spiritual.
Sloka dan Maknanya
Sloka (dalam bahasa Sanskerta):
- Guruḥ pitā ca mātā ca, te sarve pūjyatām sadā
- Yatra tiṣṭhati dharmo hi, tatra devāḥ sadā sthitāḥ
- Turusārūḍha lumbhe hi, sthānaṁ brahmaṇa ucyate
- Pākaṁ na kevalaṁ dhānyaṁ, dharmasya pūrṇatā smṛtā
- Tasmin lumbhe praṇamyeta, bhaktiṁ kṛtvā sadā naraiḥ
Transliterasi:
- Guruḥ pitā ca mātā ca, te sarve pūjyatām sadā
- Yatra tiṣṭhati dharmo hi, tatra devāḥ sadā sthitāḥ
- Turusārūḍha lumbhe hi, sthānam brahmaṇa ucyate
- Pākaḿ na kevalaḿ dhānyaḿ, dharmasya pūrṇatā smṛtā
- Tasmin lumbhe praṇamyeta, bhaktiḿ kṛtvā sadā naraiḥ
Makna per baris:
- Guru, ayah, dan ibu adalah sosok yang patut dihormati sepanjang masa.
- Di mana Dharma ditegakkan, di sanalah para dewa senantiasa hadir.
- Pada Lumbung yang ditopang Turus, disebut sebagai tempat Brahman (Tuhan).
- Bukan hanya menyimpan padi, tapi menyempurnakan Dharma secara utuh.
- Maka kepada Lumbung itu hendaknya manusia selalu sujud dengan penuh bhakti.
Pembahasan
Sloka ini menggambarkan bahwa Sanggah Turus Lumbung bukan hanya simbol fisik, melainkan tempat pemusatan kekuatan spiritual. Lumbung bukan hanya menyimpan hasil bumi (padi), tetapi juga menjadi perlambang tempat penyimpanan nilai-nilai suci. Tiang penyangga (turus) menjadi perlambang keteguhan dalam menjalankan dharma. Dalam tradisi, pelinggih ini sering dipersembahkan kepada para leluhur atau tokoh suci seperti Rsi, Maha Rsi, atau pendeta yang telah moksha.
Pembangunan Sanggah Turus Lumbung didasari oleh prinsip Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana, yang menyatukan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Keutamaan pelinggih ini adalah sebagai pengingat untuk selalu mengutamakan keberkahan, kebijaksanaan, dan kesucian dalam kehidupan.
Kesimpulan
Sanggah Turus Lumbung bukan sekadar arsitektur religius, melainkan simbol spiritual yang mendalam. Melalui pemahaman sloka suci, kita disadarkan bahwa pemujaan tidak hanya fisik, tapi harus didasari oleh bhakti yang tulus dan dharma yang kuat. Oleh karena itu, menjaga kesucian dan keberadaan pelinggih ini menjadi bagian dari kewajiban moral dan spiritual umat Hindu.
Selasa, 08 April 2025
Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati
Struktur Susunan Pelinggih
“Dueg-Belog”
Senin, 07 April 2025
Upacara 42 Hari
Makna Filosofis dan Spiritualitas Upacara 42 Hari (Abulan Pitung Dina dan Tutug Kambuhan) dalam Tradisi Hindu Bali: Upacara Ni Putu Tarisha Nandhika Putri
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Dalam tradisi Hindu Bali, fase awal kehidupan seorang bayi dianggap sangat sakral dan memerlukan penyucian secara spiritual. Salah satu rangkaian upacara penting yang menandai fase ini adalah upacara 42 hari, yang terdiri dari Upacara Abulan Pitung Dina (juga dikenal sebagai Macolongan) dan Upacara Tutug Kambuhan. Kedua upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan atas kelahiran dan pertumbuhan awal bayi, dalam hal ini Ni Putu Tarisha Nandhika Putri.
Upacara Abulan Pitung Dina (Macolongan)
Upacara ini dilaksanakan saat bayi berusia 42 hari, yang menandai berakhirnya masa kambuhan atau masa rawan pasca-kelahiran. Tujuan utama dari upacara ini adalah untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi. Dalam pelaksanaannya, keluarga memohon restu kepada leluhur serta membersihkan secara niskala segala pengaruh buruk yang mungkin masih melekat pada bayi dan ibunya.
Upacara Tutug Kambuhan
Upacara ini dilaksanakan mengikuti perhitungan kalender Bali selama enam minggu (6 wuku), dan dipimpin oleh seorang pendeta atau sulinggih. Pelaksanaannya dilakukan di rumah dengan tiga titik pemujaan utama: dapur (simbol sumber makanan), tempat pemandian (simbol kesucian), dan sanggah kamulan (tempat suci leluhur).
Urgensi upacara ini sangat tinggi karena diyakini sebagai tahapan penting untuk menyucikan bayi dan menstabilkan unsur fisik maupun spiritualnya. Pelaksanaan upacara ini menandakan bahwa sang bayi telah melewati tahap rawan biologis seperti: putusnya tali pusar, bergantinya kulit tipis, lancarnya aliran darah dan pencernaan, serta berhentinya pengeluaran sisa-sisa nifas ibu.
Kutipan Sloka dan Maknanya
Sloka (Sansekerta) dalam 7 Baris:
सर्वे भवन्तु सुखिनः ।
सर्वे सन्तु निरामयाः ।
सर्वे भद्राणि पश्यन्तु ।
मा कश्चिद्दुःखभाग्भवेत् ।
शान्तिः शान्तिः शान्तिः ।
मातृदेवो भव ।
पितृदेवो भव ।
Transliterasi:
Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu niramayah
Sarve bhadrāṇi paśyantu
Mā kaścid duḥkha bhāgbhavet
Śāntiḥ śāntiḥ śāntiḥ
Mātṛdevo bhava
Pitṛdevo bhava
Makna:
"Semoga semua makhluk hidup berbahagia,
Semoga semua terbebas dari penyakit,
Semoga semua melihat hal-hal yang baik,
Semoga tak seorang pun mengalami penderitaan.
Damai, damai, damai.
Hormatilah ibumu seperti layaknya menghormati dewa,
Hormatilah ayahmu seperti layaknya menghormati dewa."
Sloka ini mencerminkan harapan spiritual dan sosial dalam konteks kelahiran seorang anak: yaitu agar anak tersebut hidup dalam kebahagiaan, kesehatan, dan kedamaian, serta tumbuh dalam penghormatan terhadap orang tua dan leluhur.
Penutup
Upacara 42 hari untuk bayi dalam agama Hindu bukan hanya ritual simbolis, melainkan juga bentuk komunikasi spiritual dengan alam dan Tuhan. Melalui pelaksanaan Abulan Pitung Dina dan Tutug Kambuhan seperti yang dilakukan untuk Ni Putu Tarisha Nandhika Putri, masyarakat Bali menunjukkan komitmennya terhadap warisan budaya dan nilai spiritual yang luhur.
Upacara 12 Hari Bayi Lahir
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Upacara adat di Bali merupakan perwujudan rasa bhakti, pemujaan, dan penyucian diri dalam kehidupan masyarakat Hindu. Salah satu upacara penting dalam daur hidup manusia adalah Upacara Ngerorasin, yang dilakukan saat bayi berusia 12 hari. Upacara ini juga dikenal dengan istilah “Ngelepas Awon”, yaitu melepas hal-hal buruk atau leteh yang secara niskala melekat pasca kelahiran.
Nama "Ngerorasin" berasal dari kata "roras" yang berarti dua belas, menunjuk pada pelaksanaannya yang tepat di hari ke-12 kelahiran seorang bayi, sebagaimana dilakukan pada bayi bernama Ni Putu Tarisha Nandhika Putri.
Makna Upacara Ngerorasin
Secara umum, tujuan upacara ini adalah untuk mensucikan sang ibu dan bayinya, karena kelahiran dianggap sebagai peristiwa leteh secara sekala maupun niskala. Setelah upacara ini dilakukan, ibu sudah diperbolehkan kembali melakukan aktivitas keagamaan dan memasuki kawasan suci, seperti sanggah kemulan.
Upacara ini dipimpin oleh Pemangku dan dilangsungkan di dua tempat utama, yaitu dapur (Paon) sebagai simbol stana Dewa Brahma, dan sanggah sebagai tempat pemujaan kepada leluhur.
Upakara (Banten) yang Digunakan
Beberapa sarana upacara sederhana yang umum digunakan dalam upacara ini meliputi:
- Pejati yang dihaturkan kepada Ida Bhatara Siwa Guru dan Bhatara Dalem Karang.
- Banten Pengresikan untuk penyucian niskala.
- Banten Kumara yang diletakkan di plangkiran bayi.
- Banten Ari-ari di tempat ari-ari ditanam.
- Banten Tataban yang ditaburkan pada bayi.
- Banten Nunas Tirta Penglukatan di dapur (paon), sumur, atau semer.
Salah satu contoh puja sederhana saat nunas tirta di paon adalah sebagai berikut:
Puja Sembah:
"Ratu Ida Bethare Brahma, titiyang nunas tirta panglukatan mangda rare titiyang rahajeng, selamat lan dirgayusa."
Maknanya adalah permohonan kepada Dewa Brahma agar sang bayi memperoleh keselamatan, kesehatan, dan umur panjang.
Sloka Suci Sebagai Penguat Spiritualitas Upacara
Upacara ini juga diperkuat oleh doa-doa suci yang bersumber dari Weda dan lontar. Salah satu sloka Sansekerta yang dapat digunakan sebagai doa penyucian adalah sebagai berikut:
Sloka (Sansekerta):
“Śuddhosi Buddhosi Niranjanosi
Saṃsāra Māyā Parivarjitosi
Saṃsāra Svapnaṃ Tyaja Mōha Nidrāṃ
Madbhaktiṃ Labdhvā Bhava Nirmamāḥ”
Transliterasi:
"Shuddhosi buddhosi niranjanosi,
samsāra māyā parivarjitosi,
samsāra svapnaṃ tyaja moha nidrām,
madbhaktim labdhvā bhava nirmamah."
Makna:
"Engkau adalah jiwa yang suci dan tercerahkan, terbebas dari noda.
Jauhkanlah dirimu dari ilusi duniawi.
Tinggalkanlah mimpi samsara dan tidur kebodohan,
Raihlah bhakti kepada-Ku dan jadilah tanpa keakuan."
Sloka ini bermakna penyucian diri dan pelepasan dari keterikatan duniawi, sangat sesuai digunakan untuk mengiringi prosesi penyucian bayi agar jiwanya bersih dan terhindar dari pengaruh negatif.
Penutup
Upacara Ngerorasin atau Roras Lemeng bukan hanya ritual pembersihan sekala dan niskala, melainkan juga bentuk kasih sayang dan tanggung jawab orang tua dalam menyambut kelahiran jiwa baru ke dunia. Bagi Ni Putu Tarisha Nandhika Putri, ini merupakan tonggak spiritual awal untuk melanjutkan kehidupan sebagai manusia yang suci, sehat, dan penuh harapan.
Semoga tradisi luhur ini tetap lestari dan terus dimaknai secara mendalam oleh generasi penerus.
AHAM BRAHMA ASMI
Sekadi i Sampat Lidi
Katak Genggong
Eksistensi dan Dinamika Ikatan Pasemetonan Tunggal Kawitan
Analogi Telur dan Ayam
Penguatan Bratha dalam Membentuk Jati Diri
Konsep Pembangunan Pelinggih Padma Tiga dan Padma Ngelayang
Makna Sakral Angka Tiga Puluh Tiga
Pasupati
NGEMARGIANG SARANA PENGURIP-URIP PADA BANGUNAN
Dalam tradisi Bali, setiap proses pembangunan tidak hanya bersifat fisik semata, tetapi juga menyangkut aspek spiritual. Salah satu bagian penting dalam pembangunan adalah ngemargiang sarana pengurip-urip, yaitu memberikan unsur kehidupan pada sebuah bangunan agar memiliki kekuatan niskala dan harmonis secara sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata).
Pengertian Sarana Pengurip-urip
Sarana pengurip-urip adalah perlambang unsur kehidupan yang ditempatkan pada bangunan baru, seperti rumah tinggal, bale, atau pura. Unsur ini berfungsi sebagai penyemangat atau jiwa dari bangunan tersebut agar diberkati, dilindungi, dan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.
Unsur-Unsur Pengurip-urip dan Penempatannya
-
Getih (Darah Ayam Merah)
- Tempatkan di: Pusat bangunan atau titik tengah pondasi utama (biasanya saat nedunang atau mendem dasar).
- Makna: Melambangkan unsur kehidupan dan pengorbanan.
-
Arang
- Tempatkan di: Empat penjuru pondasi bangunan (timur, selatan, barat, utara).
- Makna: Melambangkan kekuatan api sebagai pembersih dan pelindung dari gangguan negatif.
-
Kunyit
- Tempatkan di: Tengah bangunan bersama dengan getih, atau di tiang guru (tiang utama).
- Makna: Sebagai simbol kesucian dan pengobatan.
-
Pamor (Logam Campuran)
- Tempatkan di: Dasar pondasi atau di pusat bangunan, biasanya disimpan dalam wadah kecil (bokor) bersama getih dan kunyit.
- Makna: Melambangkan kekuatan logam dan pelindung terhadap energi negatif.
Penulisan Aksara Bali
Penulisan aksara Bali sebagai bagian dari pengurip-urip sering disebut nyurat aksara sakral atau aksara pengurip. Aksara ini biasanya ditulis menggunakan kajang putih dan tinta dari bahan alami seperti jelaga (lebu geni). Aksara yang ditulis biasanya adalah aksara suci seperti Ang, Ung, Mang, Ing, atau Ongkara.
- Urutan Proses Penulisan:
- Pembersihan tempat (melukat) dan persembahyangan.
- Menyiapkan sarana: Kain putih, tinta, dan alat tulis (biasanya lidi atau pena khusus).
- Menulis aksara suci dimulai dari arah timur searah jarum jam (purwa daksina).
- Aksara ditempatkan di tengah bangunan, atau diselipkan bersama sarana pengurip lainnya.
- Pemendeman aksara dan sarana dilakukan oleh pandita/pemangku dengan mantra dan upacara tertentu.
Penutup
Tradisi ngemargiang sarana pengurip-urip mencerminkan betapa harmonisnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam budaya Bali. Penempatan unsur-unsur seperti getih, arang, kunyit, pamor, dan aksara Bali tidak dilakukan sembarangan, namun dengan penuh makna dan perhitungan spiritual agar bangunan menjadi tempat yang layak, aman, dan penuh berkah.