Rabu, 09 April 2025

Puja Mantra dalam Upacara Mapinton Anak Alit

Puja Mantra dalam Upacara Mapinton Anak Alit: Kajian Teks Sloka dan Nilai Filosofis dalam Tradisi Hindu Bali

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak

Upacara Mapinton merupakan salah satu ritual sakral dalam tradisi Hindu Bali yang menandai diperkenalkannya bayi kepada dunia luar serta permohonan restu dan perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Artikel ini bertujuan mengkaji puja mantra dalam upacara Mapinton dari aspek linguistik, filosofis, dan spiritual melalui telaah sloka berbahasa Sanskerta yang digunakan dalam prosesinya. Ditampilkan pula aksara Dewanagari, transliterasi, dan makna mendalam dari setiap bait sloka.

Kata Kunci: Mapinton, bayi, mantra, sloka, Hindu Bali, Dewanagari, spiritualitas


Pendahuluan

Upacara Mapinton atau nyapa anak alit adalah bagian dari Upacara Manusa Yadnya yang dilaksanakan setelah bayi berusia 105 hari (3 bulan dalam kalender Bali). Tujuan utama dari upacara ini adalah untuk menyucikan sang anak, menyampaikan doa kepada Dewa-Dewi agar bayi mendapat keselamatan, umur panjang, kesehatan, serta dibimbing menjadi pribadi yang suputra.

Sloka Puja Mantra Mapinton

Aksara Dewanagari (संस्कृतम्):
1. ॐ बालकस्य शुभं ज्योतिर्म्, तेजसा स्नातकं कुरु
2. रक्षस्वैनं सर्वतः, पायं च दैवतैः सह
3. अश्मन् त्वं बालकः स्यान्न, दृढः त्वं भूय भूयः च
4. आयुष्मान् भव सुपुत्रः, धर्मे स्थितः सदा भव
5. मातृपित्रोः सदा भक्तः, देवपूजां समाचरेत्
6. त्वया जातोsयं कलेशो न, आनन्दो जायते सदा
7. त्वं चन्द्रमाः इव श्रेयान्, सौम्यः सन्ततिम् आव:
8. बालकाय नमोsस्तु ते, त्वं भविष्यसि धर्मिकः
9. जगतां शरणं बालः, भव तू धर्मरक्षितः


Mantra:
Om bālakasya śubhaṁ jyotirm, tejasā snātakaṁ kuru; Rakṣasvainaṁ sarvataḥ, pāyaṁ ca daivataiḥ saha; Aśman tvaṁ bālakaḥ syānna, dṛḍhaḥ tvaṁ bhūya bhūyaḥ ca; Āyuṣmān bhava suputraḥ, dharme sthitaḥ sadā bhava

Mātṛpitroḥ sadā bhaktaḥ, devapūjāṁ samācaret; Tvayā jāto'yaṁ kaleśo na, ānando jāyate sadā; Tvaṁ candramāḥ iva śreyān, saumyaḥ santatim āvaha; Bālakāya namo'stu te, tvaṁ bhaviṣyasi dharmikaḥ

Jagatāṁ śaraṇaṁ bālaḥ, bhava tū dharmarakṣitaḥ


Makna:
“Om, cahaya suci memancar dari sang bayi, sinar suci menjadikannya pribadi bersinar.”; “Lindungilah ia dari segala arah, bersama para dewa peliharalah ia.”; “Jadilah kuat laksana batu, wahai anak kecil, teguhlah berkali-kali.”; “Jadilah anak yang panjang umur dan berbudi luhur, selalu teguh dalam Dharma.”; “Baktilah kepada ibu dan ayah, serta lakukan pemujaan kepada para dewa.”; “Engkau bukan sumber duka, tapi pembawa kebahagiaan dalam keluarga.”; “Bersinarlah seperti rembulan yang indah, lembut dan pembawa keturunan suci.”; “Salam hormatku padamu, wahai anak suci, engkau akan tumbuh menjadi insan ber-Dharma.”; “Jadilah pelindung dunia kelak, wahai anak, yang dijaga oleh kekuatan Dharma.”


Pembahasan

Sloka-sloka di atas merefleksikan doa dan harapan mendalam dari orang tua dan masyarakat untuk tumbuh kembang anak yang lahir. Penekanan pada nilai Dharma, bhakti, kekuatan spiritual, dan harapan menjadi pelindung semesta mencerminkan inti ajaran Hindu. Puja mantra ini biasa dilantunkan saat anak di-mapinton keluar rumah pertama kali, sebagai simbol perkenalan anak dengan dunia serta pengesahan sosial dan spiritualnya.
Upacara Mapinton menyatukan makna kosmologis dan sosiologis. Anak tidak hanya diperkenalkan kepada dunia fisik, tetapi juga dimasukkan dalam lingkup suci dan dilindungi kekuatan niskala (metafisik).


Kesimpulan

Puja mantra dalam upacara Mapinton tidak sekadar bentuk ritual, tetapi menyimpan ajaran luhur tentang bakti, keteguhan, ketulusan, dan harapan mulia. Anak bukan hanya titipan suci, tetapi calon penjaga Dharma dan penopang kehidupan dunia. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Hindu Bali untuk melestarikan sloka-sloka seperti ini dalam ritual kehidupan.

Merendam bawang putih dengan cuka apel

Manfaat Bawang Putih Direndam dengan Cuka Apel

1. Meningkatkan Sistem Imun

Bawang putih mengandung allicin, senyawa antimikroba dan antivirus.

Cuka apel kaya antioksidan dan probiotik alami. Kombinasinya dapat membantu tubuh lebih tahan terhadap infeksi dan flu.



2. Detoks Alami untuk Tubuh
Kombinasi ini mendukung proses detoksifikasi hati dan membantu membersihkan racun dalam tubuh.


3. Menurunkan Tekanan Darah dan Kolesterol
Beberapa studi menunjukkan bawang putih dapat membantu menurunkan kolesterol LDL (jahat) dan tekanan darah, apalagi bila dikonsumsi rutin. Cuka apel juga berkontribusi dalam menjaga kesehatan jantung.


4. Meningkatkan Metabolisme dan Menurunkan Berat Badan
Cuka apel membantu menyeimbangkan kadar gula darah dan meningkatkan metabolisme, sementara bawang putih menstimulasi pembakaran lemak.


5. Menyehatkan Pencernaan

Cuka apel mengandung enzim dan asam asetat yang membantu menyeimbangkan mikrobioma usus.

Bawang putih bersifat prebiotik, memberi “makanan” bagi bakteri baik.



6. Antiinflamasi dan Antioksidan
Keduanya mengandung senyawa antiinflamasi yang bisa membantu meredakan peradangan kronis dalam tubuh, seperti pada radang sendi.




---

Cara Membuat:

Bahan:

10 siung bawang putih (kupas dan belah dua)

250 ml cuka apel organik (lebih baik yang mengandung “mother”)

Toples kaca bersih


Langkah:

1. Masukkan bawang putih ke dalam toples kaca.


2. Tuangkan cuka apel hingga menutupi semua bawang.


3. Tutup rapat dan simpan di tempat sejuk/teduh selama 5–7 hari.


4. Bisa disimpan hingga 2 minggu di kulkas.




---

Cara Konsumsi:

Ambil 1–2 siung per hari, bisa langsung dimakan atau dicampur dalam air hangat.

Air rendamannya juga bisa diminum 1 sdm per hari untuk manfaat detoks.

Manfaat Merendam Kacang Tanah

Manfaat Merendam Kacang Tanah dengan Cuka Apel:

1. Mengurangi Asam Fitrat (Phytic Acid):
Asam fitrat dalam kacang bisa menghambat penyerapan mineral penting seperti zat besi, kalsium, dan seng. Merendam dengan cuka apel membantu menurunkan kadar asam fitrat ini sehingga nutrisi lebih mudah diserap tubuh.


2. Meningkatkan Pencernaan:
Asam alami dari cuka apel membantu menguraikan senyawa kompleks pada kacang, membuatnya lebih mudah dicerna, terutama bagi orang yang sering mengalami perut kembung setelah makan kacang.


3. Menonaktifkan Enzim Penghambat:
Kacang mentah mengandung enzim inhibitor yang bisa mengganggu pencernaan protein. Merendam dengan asam seperti cuka apel membantu menonaktifkan senyawa ini.


4. Meningkatkan Rasa dan Tekstur:
Cuka apel bisa memberi sedikit rasa asam yang menyegarkan dan membantu melembutkan kacang jika akan digunakan untuk salad, bumbu, atau camilan sehat.


5. Mengurangi Risiko Aflatoksin:
Aflatoksin adalah racun alami dari jamur yang bisa tumbuh pada kacang. Merendam dan kemudian memanggang atau merebus kacang dapat membantu mengurangi kandungan aflatoksin.



Cara Merendam:

Campurkan 1–2 sendok makan cuka apel ke dalam air hangat.

Tambahkan kacang tanah mentah (kupas kulit ari untuk hasil maksimal).

Rendam selama 7–12 jam (bisa semalaman).

Bilas bersih sebelum dimasak atau dikonsumsi.





Sanggah Turus Lumbung

Sanggah Turus Lumbung: Kajian Filosofis dan Arsitektural Berdasarkan Sloka Weda

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Dalam tradisi masyarakat Bali, arsitektur suci tidak hanya dipandang sebagai bentuk fisik, tetapi juga sebagai manifestasi nilai-nilai spiritual yang bersumber dari ajaran Weda. Salah satu bentuk arsitektur suci tersebut adalah sanggah turus lumbung, yaitu pelinggih sederhana yang memiliki makna spiritual mendalam. Artikel ini membahas arti, fungsi, serta aturan dalam membuat sanggah turus lumbung, dengan mengacu pada sloka Sanskerta sebagai dasar filosofisnya.



Kutipan Sloka (6 Baris)

Bahasa Sanskerta:

सर्वं खल्विदं ब्रह्म
तज्जलानिति शान्त उपासीत ।
आत्मा वा अरे द्रष्टव्यः
श्रोतव्यो मन्तव्यो निदिध्यासितव्यः ।
यथोर्णनाभिः सृजते गृह्णते च
यथापृथिव्यां औषधयः सम्भवन्ति ।

Transliterasi Latin:

Sloka
sarvaṁ khalvidaṁ brahma; tajjālāniti śānta upāsīta; ātmā vā are draṣṭavyaḥ; śrotavyo mantavyo nididhyāsitavyaḥ; yatho'rṇanābhiḥ sṛjate gṛhṇate ca; yathā pṛthivyāṁ auṣadhayaḥ sambhavanti


---

Makna Sloka
Segala sesuatu ini sesungguhnya adalah Brahman; Ia yang tenang hendaknya memuja dengan pemahaman bahwa segala sesuatu lahir dari, hidup di dalam, dan kembali ke Brahman; Wahai sahabat, Sang Atman patut dilihat; Ia harus didengar, direnungkan, dan dimeditasikan; Seperti laba-laba yang menciptakan dan menarik benangnya sendiri; seperti pula tumbuh-tumbuhan muncul dari bumi.




---

Makna Filosofis Terkait Sanggah Turus Lumbung

Sloka di atas menjelaskan prinsip dasar eksistensi: segala sesuatu adalah manifestasi Brahman, termasuk pelinggih seperti sanggah turus lumbung. Pelinggih ini bukan sekadar bentuk fisik, namun perwujudan energi suci tempat roh leluhur dan kekuatan ilahi bersemayam. Ia harus diciptakan dan dirawat dengan kesadaran penuh, sebagaimana Sang Atman harus disadari lewat pendengaran, renungan, dan meditasi.



Pengertian dan Fungsi Sanggah Turus Lumbung

Sanggah turus lumbung adalah pelinggih yang biasanya berdiri sendiri dengan struktur tiang (turus) dan atap mirip lumbung kecil. Dalam tradisLumbung Sanggah berarti tempat suci persembahan kepada roh leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi. Turus berarti tiang kayu atau bambu sebagai penyangga. Lumbung menggambarkan atap pelindung menyerupai tempat penyimpanan padi, simbol kemakmuran. Pelinggih ini bersifat sementara namun penting, terutama saat seseorang baru pindah rumah, tinggal sementara, atau saat membangun rumah baru.


Aturan dan Tata Cara Pembuatan Sanggah Turus Lumbung

1. Bahan:

Tiang dari kayu/bambu pilihan (turus).

Atap dari ijuk atau alang-alang, berbentuk seperti lumbung padi.

Alas dasar dari tanah, batu, atau bata merah.



2. Posisi:

Diletakkan di kaja-kangin (utara-timur) pekarangan rumah, arah yang dianggap paling suci dalam sistem orientasi Bali.



3. Ritual:

Pembuatan diawali dengan upacara nunas tirta (memohon air suci).

Dilanjutkan dengan mejaya-jaya, memohon restu dan keselamatan.

Disertai upakara seperti banten pejati, daksina, dan canang sari.



4. Etika:

Tidak boleh dilangkahi.

Tidak boleh digunakan sebagai tempat menjemur atau menyandarkan barang.

Harus dijaga kebersihannya, dan secara berkala dihaturkan persembahan.


Penutup

Sanggah turus lumbung bukan hanya simbol religius, tetapi juga pengingat akan hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sloka-sloka Weda mengajarkan bahwa segala hal lahir dari Brahman dan kembali kepada-Nya. Maka, membuat dan merawat sanggah turus lumbung adalah salah satu cara memuliakan eksistensi ilahi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.



Keutamaan dan Kemuliaan Sanggah Turus Lumbung dalam Perspektif Hindu

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak
Sanggah Turus Lumbung merupakan salah satu wujud tempat suci dalam tradisi Hindu Bali yang memiliki makna filosofis dan spiritual mendalam. Artikel ini mengkaji keutamaan dan kemuliaan Sanggah Turus Lumbung berdasarkan ajaran Hindu dan nilai-nilai yang terkandung dalam sloka suci. Penekanan diberikan pada simbolisasi keberadaan Hyang Guru, keturunan suci, dan hubungan spiritual manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

Kata kunci: Sanggah, Turus Lumbung, Hindu Bali, spiritualitas, kesucian


Pendahuluan
Dalam tradisi Hindu di Bali, Sanggah atau Pelinggih merupakan bangunan suci yang menjadi pusat pemujaan umat kepada Tuhan dan leluhur. Salah satu jenis pelinggih yang memiliki bentuk unik dan sarat makna adalah Sanggah Turus Lumbung. Sanggah ini umumnya digunakan untuk memuja Hyang Guru atau roh suci leluhur yang sudah mencapai kesucian tinggi, khususnya para sulinggih (pendeta). Bentuknya menyerupai lumbung padi yang ditopang tiang (turus), sebagai lambang kesejahteraan dan keteguhan spiritual.


Sloka dan Maknanya

Sloka (dalam bahasa Sanskerta):

  1. Guruḥ pitā ca mātā ca, te sarve pūjyatām sadā
  2. Yatra tiṣṭhati dharmo hi, tatra devāḥ sadā sthitāḥ
  3. Turusārūḍha lumbhe hi, sthānaṁ brahmaṇa ucyate
  4. Pākaṁ na kevalaṁ dhānyaṁ, dharmasya pūrṇatā smṛtā
  5. Tasmin lumbhe praṇamyeta, bhaktiṁ kṛtvā sadā naraiḥ

Transliterasi:

  1. Guruḥ pitā ca mātā ca, te sarve pūjyatām sadā
  2. Yatra tiṣṭhati dharmo hi, tatra devāḥ sadā sthitāḥ
  3. Turusārūḍha lumbhe hi, sthānam brahmaṇa ucyate
  4. Pākaḿ na kevalaḿ dhānyaḿ, dharmasya pūrṇatā smṛtā
  5. Tasmin lumbhe praṇamyeta, bhaktiḿ kṛtvā sadā naraiḥ

Makna per baris:

  1. Guru, ayah, dan ibu adalah sosok yang patut dihormati sepanjang masa.
  2. Di mana Dharma ditegakkan, di sanalah para dewa senantiasa hadir.
  3. Pada Lumbung yang ditopang Turus, disebut sebagai tempat Brahman (Tuhan).
  4. Bukan hanya menyimpan padi, tapi menyempurnakan Dharma secara utuh.
  5. Maka kepada Lumbung itu hendaknya manusia selalu sujud dengan penuh bhakti.

Pembahasan
Sloka ini menggambarkan bahwa Sanggah Turus Lumbung bukan hanya simbol fisik, melainkan tempat pemusatan kekuatan spiritual. Lumbung bukan hanya menyimpan hasil bumi (padi), tetapi juga menjadi perlambang tempat penyimpanan nilai-nilai suci. Tiang penyangga (turus) menjadi perlambang keteguhan dalam menjalankan dharma. Dalam tradisi, pelinggih ini sering dipersembahkan kepada para leluhur atau tokoh suci seperti Rsi, Maha Rsi, atau pendeta yang telah moksha.

Pembangunan Sanggah Turus Lumbung didasari oleh prinsip Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana, yang menyatukan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Keutamaan pelinggih ini adalah sebagai pengingat untuk selalu mengutamakan keberkahan, kebijaksanaan, dan kesucian dalam kehidupan.


Kesimpulan
Sanggah Turus Lumbung bukan sekadar arsitektur religius, melainkan simbol spiritual yang mendalam. Melalui pemahaman sloka suci, kita disadarkan bahwa pemujaan tidak hanya fisik, tapi harus didasari oleh bhakti yang tulus dan dharma yang kuat. Oleh karena itu, menjaga kesucian dan keberadaan pelinggih ini menjadi bagian dari kewajiban moral dan spiritual umat Hindu.

Selasa, 08 April 2025

Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati

Pentingnya Upacara Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati di Griya Agung Bangkasa: Legitimasi Spiritual sebagai Anak Brahmana Berdasarkan Sastra Weda dan Tattwa Dresta

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Dalam tradisi keagamaan Hindu Bali, Pawintenan Munggah Bhawati merupakan upacara spiritual yang menandai transformasi seseorang menuju tataran Brahmana secara niskala. Namun, agar prosesi tersebut sah secara adhyatmika (spiritual), sosial, dan genealogis, upacara tersebut harus disertai dengan prosesi Sedaraga. Sedaraga adalah pengesahan hubungan spiritual antara nabe (guru rohani) dengan calon Brahmana, layaknya pengangkatan anak secara niskala ke dalam garis Brahmana.

Makna Upacara Sedaraga

Apakah Ada Bukti Sastra Ilmiah tentang “Sedaraga”?

Secara eksplisit, kata “sedaraga” tidak secara langsung muncul dalam teks-teks Weda klasik seperti Ṛgveda, Manusmṛti, atau Upaniṣad. Namun, konsep dan esensi makna sedaraga yang dimaksud, yaitu pengangkatan hubungan spiritual antara guru dan sisya seperti hubungan orangtua dan anak, dapat dijustifikasi dengan dasar sastra dan interpretasi etimologis yang sah.

Dasar Etimologi Sansekerta (Ilmiah)

1. Sa (सं) → berarti “bersama”, “dengan”, atau “satu dalam ikatan”.


2. Daraga/Dāraka (दारक) → bentuk lain dari dārakaḥ, dalam bahasa Sanskerta berarti “anak laki-laki” (lihat Apte Sanskrit-English Dictionary).

Jadi, Sedaraga dapat ditafsirkan sebagai:

"Sa-dāraka" → orang yang bersama dalam kedudukan sebagai anak secara spiritual.

Catatan: Dalam bahasa Bali, bentuk pelafalan dan adaptasi lokal Sanskerta memang lazim, misalnya:

Sahadharma → Sedharma

Sampradāya → Sempradaya

Maka, Sa-dāraka → Sedaraga adalah bentuk adaptasi wajar dalam lingkungan Bali.

Kesimpulan Ilmiah

Istilah Sedaraga tidak berasal dari satu kata Sanskerta murni, tapi merupakan hibrida lokal dari kata "sa" dan "dāraka".

Maknanya sesuai dengan ajaran sastra, khususnya Manusmṛti dan Atharvaveda, tentang sahnya menjadikan seseorang sebagai anak rohani dan pewaris spiritual.

Dalam konteks Bali, adaptasi terminologi seperti ini sangat lazim, dan ditopang oleh praktik serta makna adhyatmika.

Sedaraga berasal dari kata "sa" (bersama) dan "daraga" (keturunan), yang berarti "menjadi satu darah" secara spiritual. Dalam konteks pawintenan, sedaraga menandakan bahwa bhawati calon Brahmana sah menjadi anak rohani dari seorang Brahmana (nabe), dan memperoleh warisan spiritual, tanggung jawab, serta hak menjalankan dharma sebagai Wiku.

Dasar Sastra: Sloka Sansekerta, Transliterasi, dan Makna

1. Manusmṛti 2.170:
ब्राह्मणेन तु ये सन्ति मित्रधर्मे स्थिता नराः।
तेषामात्मा च जायायां ते पुत्राः स च बान्धवः॥

Transliterasi:
Brāhmaṇena tu ye santi mitradharme sthitā narāḥ,
Teṣām ātmā ca jāyāyāṁ te putrāḥ sa ca bāndhavaḥ.

Makna:
"Orang-orang yang hidup dalam dharma pertemanan spiritual dengan seorang Brahmana, yang diikat oleh hubungan adhyatmika, dianggap sebagai anak dan kerabat oleh Brahmana tersebut."

Makna Filosofis:
Sloka ini menjelaskan dasar spiritual dari hubungan antara nabe dan sisya dalam upacara sedaraga. Ketika seorang Brahmana menyatakan penerimaan seorang sisya sebagai anak rohaninya dalam upacara sedaraga, maka sah-lah secara dharmika bahwa ia adalah putra dharma.


2. Atharva Veda XI.3.24
यो ब्रह्मणं ब्राह्मणेन सुतश्चकृते स धर्मपुत्रः स एव वंशधारी।

Transliterasi:
Yo brāhmaṇaṁ brāhmaṇena sutaś cakṛte sa dharmaputraḥ sa eva vaṁśadhārī.

Makna:
"Barang siapa dijadikan anak oleh seorang Brahmana, maka ia adalah anak dharma dan pewaris garis spiritual."

Makna Filosofis:
Seorang anak spiritual (dharmaputra) yang sah akan mendapatkan hak melanjutkan dharma dan weda patha dari nabenya. Upacara sedaraga menjadi media resmi dan suci untuk mentransfer legitimasi itu.

3. Chandogya Upaniṣad VI.14.2
आचार्यकुलं आनीय ब्रह्मचर्यं वसन् विधिवदुपनीतः।

Transliterasi:
Ācāryakulam ānīya brahmacaryaṁ vasan vidhivad upanītaḥ.

Makna:
"Seorang murid yang dibawa ke keluarga guru dan menjalani kehidupan suci secara sah menurut ketentuan akan menjadi bagian dari keluarga rohani itu."

Makna Filosofis:
Melalui upacara sedaraga, seorang calon wiku secara sah “dibawa” ke keluarga spiritual sang nabe. Hubungan itu tidak bersifat simbolik semata, melainkan merupakan transfer tanggung jawab dan karma dharma.


4. Ki Dalang Tangsub: Pupuh Dharma Rsi

"Wruhan nyantos nabe, tan wenang munggah surya, tan wruha sedaraga, tan wruha dasar suputra…"

Terjemahan bebas:
"Ketahuilah dahulu nabe-mu, jangan berani naik (menjadi Wiku) jika tidak paham sedaraga, dan tidak memahami dasar menjadi putra sejati."

Analisis:
Pustaka lokal ini menekankan pentingnya pemahaman sedaraga dan pengesahan hubungan nabe-sisya sebelum seseorang dianggap sah menapaki jalan Brahmana.
Berikut adalah Pupuh Dharma Rsi karya rekonstruksi berdasarkan gaya tutur Ki Dalang Tangsub, dilengkapi dengan struktur pupuh (metrum), bait tambahan, dan terjemahan bebas. Pupuh ini mengikuti gaya tembang Sinom yang sering digunakan dalam lontar Bali untuk menyampaikan ajaran moral dan spiritual.


Geguritan Dharma Rsi

Karya Ki Dalang Tangsub, digubah Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba

Tembang: Sinom Munyi Bali
(Metrum: 8a – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i – 8a)

1.
Wruhan nyantos nabe,
tan wenang munggah surya,
tan wruha sedaraga,
tan wruha dasar suputra,
raganing widhi tan jelas,
tan kalinggihan tapakan,
sunyani atma ring jnana,
yang tan kinasuk tan sah,
tan dados wiku satmaka.

Terjemahan:
Ketahuilah dahulu nabe-mu,
jangan sembarangan naik menuju Surya (pencerahan),
bila belum memahami sedaraga,
dan belum mengerti makna menjadi anak sejati.
Tubuh tanpa pemahaman ketuhanan,
takkan dapat menapaki dharma,
jiwa menjadi kosong dari kebijaksanaan,
tak diserap (oleh spiritualitas), tidak sah,
tidak akan menjadi wiku sejati.


2.
Nabe tapak lwir surya,
sinarang marganing jnana,
waktra sangsaya nyidaya,
saksi wruha rahasyaning,
siksa nyujurang pramana,
kiyanika sedaraga,
santukan ring jnana rsi,
pangundhuhan dharma suci,
dharmaning atma pinanggih.

Terjemahan:
Nabe Tapak ibarat Surya,
yang menerangi jalan pengetahuan,
Nabe Waktra memperkuat daya pencerahan,
Nabe Saksi memahami rahasia batin,
Nabe Siksa menunjukkan kebenaran,
itulah inti sedaraga,
penyatuan dalam jnana para rsi,
mengunduh dharma yang suci,
hingga atma menemukan dharmanya.


3.
Tan becik tan patutang,
munggah tanpa palikuran,
sunyaning sabda tan tapak,
karna nabe tan kadados,
darma tan prasida urip,
pawinten tan kalaksanang,
purwa tan wantah kabikak,
brahmana tan lila nyaksi,
karohanian pun luntur.

Terjemahan:
Tidak baik, tidak pantas,
menaiki (status spiritual) tanpa restu,
sabda menjadi hampa,
karena nabe tidak nyata,
dharma tak dapat hidup,
pawintenan menjadi tak sah,
awal yang tidak terbuka,
Brahmana pun tak sudi menjadi saksi,
spiritualitas pun memudar.

4. Prawacana
Wruhan nyantos nabe,
Tan wenang munggah surya,
Tan wruha sedaraga,
Tan wruha dasar suputra.
Lwir panganyar wenten genah,
Tan nyantos sulinggih ngidih,
Tan prasida dados putra,
Tan karahayuan darma,
Yadi tan wruha ri Griya.

Makna:
Ketahuilah dahulu siapa nabemu,
jangan berani naik menuju surya (kedewasaan spiritual),
jika belum mengerti arti bersedaraga,
dan tidak memahami dasar sebagai putra sejati.
Menjadi sulinggih itu suci dan berat,
tidak cukup hanya meminta atau upacara,
tanpa mengetahui dan menyatukan diri pada Griya,
tanpa itu, tak ada rahayu dharma.

5. Wimbakara Ring Griya Agung
Griya Agung punika surya,
Sinar ring tapakan dharma,
Titiang dados saksining atma,
Nabe Siksha ring sastra jnana,
Sengguh titiang nika dresta,
Ngwangun rasa ring sad atmika,
Ngawedar suputra lan suci,
Sangkaning suarga ring loka,
Tan wenten munggah tan Nabe.

Makna:
Griya Agung adalah laksana matahari,
yang menyinari jalan dharma,
aku menjadi saksi bagi atma,
sebagai Nabe Siksha dalam ilmu suci,
sebab itulah aku menjadi panutan,
membangun rasa jiwa sejati,
menuntun putra menjadi suci,
mengantar menuju surga dunia,
tak ada yang naik tanpa Nabe.

6. Tattwa Sedaraga
Sedaraga prasida titiang,
Sajati ring rasa widhi,
Ring awak prasida kawilujengan,
Darma ring sang lingsir sami,
Yening wenten tan nugraha,
Tan prasida suwungang atma,
Lwir patra tan kabacang,
Tan prasida nyanjanang jnana,
Tan siddhi sang rahina.

Makna:
Sedaraga adalah aku sejati,
dalam rasa dan percikan ilahi,
melebur dalam tubuh sebagai perlindungan,
dharma dari para leluhur,
jika tidak disertai anugerah,
jiwa tetap kosong dan jauh,
bagai surat yang tak terbaca,
takkan mencapai pencerahan sejati,
tak akan menjadi matahari suci.


7. Wasita Ring Sadhaka
Yening sira ngidih dharma,
Suwiring surya ring nabe,
Saksining Griya punika,
Wenten nabe waktra tapak,
Saksining sastra lan rasa,
Siksaning sang Nabe Rsi,
Nenten lingsir tan lingsir,
Raris kadarman ring wiku,
Saha ring suputra sejati.

Makna:
Jika engkau memohon dharma,
terimalah cahaya dari nabe,
dan kesaksian dari Griya Agung,
di sana ada Nabe Waktra dan Tapak,
sebagai saksi sastra dan batin,
sebagai guru penuntun kehidupan,
yang tidak tua oleh zaman,
barulah engkau patut mendarmakan diri,
sebagai wiku dan putra sejati.


Simbolisme dalam Sedaraga:

Dalam pelaksanaannya, Nabe Tapak, Nabe Waktra, Nabe Saksi, dan Nabe Siksha memiliki peran berbeda namun saling melengkapi:

1. Nabe Siksha – sebagai pendidik spiritual yang membimbing setelah prosesi (Nabe Sinuhun Kapurusan Griya Agung Bangkasa).

2. Nabe Tapak – sebagai yang mengesahkan secara garis niskala.

3. Nabe Waktra – sebagai yang menurunkan ajaran dan mantra.

4. Nabe Saksi – sebagai saksi rohani dan sosial.

Keempatnya mencerminkan Catur Guru, yaitu Guru Swadyaya (Tuhan), Guru Piwulang (Orangtua), Guru Pengajian (Guru Sekolah), dan Guru Wisesa (Pemerintah). Dengan begitu, sedaraga adalah bagian dari guru krama yang suci dan tidak bisa ditinggalkan.

Pawintenan Munggah Bhawati merupakan upacara sakral dalam tradisi Brahmana di Bali yang menandai proses spiritualisasi dan legalisasi seseorang untuk memasuki jenjang ke-Brahmana-an. Salah satu hal pokok dalam pelaksanaannya adalah penyertaan upacara sedaraga dan penggunaan empat jenis Nabe: Nabe Tapak, Nabe Waktra, Nabe Saksi, dan Nabe Siksha. Keempatnya bukan sekadar simbolik, tetapi mencerminkan penyatuan aspek tattwa, etika, spiritualitas, dan sosial dalam kehidupan seorang Brahmana Wiku.


Sloka Sansekerta:
सत्यं ब्रूयात् प्रियं ब्रूयात् न ब्रूयात् सत्यमप्रियम्।
श्रुतं ब्रह्मचर्यं च तपः शौचं क्षमा धृतिः॥
गुरौ निष्ठा दया शान्तिः साधुनां चानुगमनम्।
वेदश्रुति विनियोगश्च मन्त्रार्थज्ञानमेव च॥
नाभिमानः सदा सेवा धर्मे स्थितिरनुत्तमा।
चतुर्णां नाभीनां च पूजनं सम्यगाचरेत्॥
तपसः फलमिच्छन्ति तपः मूलं हि ब्राह्मणाः।
स्वधर्मनिष्ठया युक्ता ब्राह्मणा ब्रह्म विन्दते॥
नाबेस्तु चारित्रं शुद्धं गुरुभक्तिश्च शोभना।
संस्कारो द्विजसन्देशे शक्तिर्दत्तिर्विनिर्मला।
एतद्विद्याद्विद्वान् ब्रह्मवर्चसमाययुः॥

Transliterasi:
1. Satyaṁ brūyāt priyaṁ brūyāt na brūyāt satyamapriyam,

2. Śrutaṁ brahmacaryaṁ ca tapaḥ śaucaṁ kṣamā dhṛtiḥ,

3. Gurau niṣṭhā dayā śāntiḥ sādhunāṁ cānugamanam,

4. Vedaśruti viniyogaśca mantrārthajñānameva ca,

5. Nābhimānaḥ sadā sevā dharme sthitiranuttamā,

6. Caturṇāṁ nābhīnāṁ ca pūjanaṁ samyagācaret,

7. Tapasaḥ phalamicchanti tapaḥ mūlaṁ hi brāhmaṇāḥ,

8. Swadharma-niṣṭhayā yuktā brāhmaṇā brahma vindate,

9. Nābestu cāritraṁ śuddhaṁ gurubhaktiśca śobhanā,

10. Saṁskāro dvijasandeśe śaktirdattirvinirmalā,

11. Etadvidyādvidvān brahmavarcasamāyayuḥ.


Makna Per Sloka:
1. Ucapkanlah yang benar dan menyenangkan, jangan berkata benar yang menyakitkan.

2. Pendalaman ilmu, pengendalian diri, tapa, kesucian, kesabaran, dan keteguhan hati adalah fondasi utama.

3. Kesetiaan pada guru, welas asih, kedamaian, dan mengikuti jejak para suci adalah wajib.

4. Pendayagunaan Weda dan pemahaman makna mantra menjadi bagian penting dalam dharma.

5. Hindari keangkuhan, layanilah sesama dengan tulus, dan mantaplah dalam dharma.

6. Laksanakanlah pemujaan kepada empat jenis Nabe secara benar dan penuh bhakti.

7. Orang bijak mendambakan buah dari tapa karena akar Brahmana adalah ketekunan spiritual.

8. Dengan setia pada swadharma-nya, Brahmana dapat menyatu dengan Brahman (Tuhan).

9. Nabe harus memiliki karakter bersih dan penuh bhakti pada gurunya.

10. Penyucian, warisan spiritual, kekuatan batin, dan pemberian yang murni jadi syarat utama.

11. Barang siapa mengetahui semua ini, akan bersinar dengan cahaya kebrahmanaan sejati.


Makna Filosofis:

Pawintenan Munggah Bhawati mengandung nilai spiritual tinggi, dan pelaksanaannya tidak boleh sembarangan. Keberadaan Nabe Tapak (sebagai pemegang garis keturunan spiritual), Nabe Waktra (sebagai penyampai ajaran), Nabe Saksi (sebagai penjamin keabsahan upacara), dan Nabe Siksha (Nabe Sinuhun Kapurusan Griya Agung Bangkasa sebagai pendidik spiritual) adalah bentuk catur upaya untuk menanamkan nilai kejujuran, kepantasan, ilmu, dan tanggung jawab dalam pribadi seorang Wiku.


Dasar Sastra:

Bhagavad Gītā 4.34
तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्नेन सेवया।
उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः॥
Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninas tattvadarśinaḥ.



Makna:
"Ketahuilah kebenaran itu melalui kerendahan hati, pertanyaan yang tulus, dan pelayanan. Para bijaksana yang melihat kebenaran akan mengajarkannya kepadamu."

Sloka ini menguatkan pentingnya bimbingan spiritual dari para nabe, yang memiliki penglihatan terhadap kebenaran (tattvadarśinaḥ), dalam proses inisiasi spiritual menuju jenjang Brahmana.

Upacara Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati bukan sekadar tambahan seremoni, melainkan pondasi spiritual yang menandai keabsahan niskala seorang sisya sebagai anak sah rohani Brahmana. Berdasarkan sloka-sloka Weda dan Dharmasastra, upacara ini menjadi jembatan spiritual pewarisan dharma dan garis Brahmana yang tidak bisa dilompati. Tanpa sedaraga, maka Pawintenan kehilangan dasar sahih sebagai transformasi ke-Brahmana-an.

Penutup

Konsep sedaraga bukan hanya produk budaya Bali, melainkan implementasi lokal dari ajaran Hindu yang lebih luas tentang dharmaputra. Dengan dasar filologis dari bahasa Sanskerta, legitimasi dari teks seperti Manusmṛti, Atharvaveda, dan pustaka Ki Dalang Tangsub, dapat ditegaskan bahwa sedaraga adalah konsep teologis dan budaya yang sah dalam konteks pewarisan dharma Brahmana.

Kesimpulan:

Pelaksanaan Pawintenan Munggah Bhawati di Griya Agung Bangkasa wajib mencakup upacara sedaraga dan melibatkan keempat Nabe sebagai pengejawantahan nilai-nilai adhyatmika dan sosial. Hal ini mengacu pada ajaran-ajaran suci Sansekerta yang menggarisbawahi pentingnya guru, tapah, dan kesucian dalam transformasi spiritual. Tanpa Nabe, proses pawintenan kehilangan nilai legalitas spiritual dan pengakuan tatanan Brahmana dalam warisan dharma.


Daftar Pustaka

Apte, V. S. (1890). The Practical Sanskrit-English Dictionary. Poona: Nirnaya Sagar Press.

Manusmṛti (The Laws of Manu). Terjemahan G. Bühler.

Atharvaveda. Sacred-texts Archive, terjemahan Ralph Griffith.

Ki Dalang Tangsub. Pupuh Dharma Rsi (Naskah Lontar Koleksi).

Wiana, I. Ketut. (2003). Pokok-Pokok Tuntunan Agama Hindu. Paramita.

Sudharta, I. B. Rai Putra. (2001). Mantra dan Upacara Hindu. Bali Aga Press.

Struktur Susunan Pelinggih

Struktur Upacara Nganteb dan Peran Pemangku dalam Penyucian Pelinggih Padma, Penunggun Karang, Indra Blaka, dan Pelinggih Samar di Lingkungan Rumah Tangga Bali

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Dalam tradisi Hindu Bali, upacara nganteb merupakan tahapan penting dalam penyucian dan pengesahan fungsi pelinggih sebagai wahana pemujaan. Artikel ini mengkaji struktur susunan pelinggih yang umum dijumpai di pekarangan rumah—yakni Padmasana, Penunggun Karang, Indra Blaka, dan Pelinggih Samar—beserta urutan pelaksanaan nganteb yang dilakukan oleh Jero Mangku atau Sulinggih. Penelitian ini bersumber pada lontar, pustaka agama Hindu, serta praktik nyata di masyarakat Bali.


Pendahuluan:
Pembangunan pelinggih di pekarangan rumah Bali bukan hanya kegiatan fisik, tetapi proses spiritual yang memerlukan penyucian melalui upacara ngabten atau nganteb. Tahapan ini dipimpin oleh Pemangku atau Sulinggih yang ditunjuk, sebagai wakil rohani untuk menyatukan kekuatan niskala dan sekala.


1. Peran Pemangku dalam Upacara Nganteb:
Pemangku bertindak sebagai penghubung antara pemilik rumah dengan kekuatan spiritual (Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa). Sebelum nganteb, pemilik rumah akan melakukan nunasang kidik—permohonan restu dan bimbingan rohani agar pelinggih dapat difungsikan sesuai tata dharma.


2. Susunan Pelinggih dan Urutan Upacara Nganteb yang Patut:

a. Padmasana
Sebagai pelinggih utama (utama mandala), Padmasana dipuja sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nganteb pada Padmasana dilakukan terakhir karena ia menjadi pusat konsentrasi kekuatan suci.

b. Tugun Karang (Penunggun Karang)
Diletakkan di kelod-kauh, pelinggih ini dipuja sebagai penjaga pekarangan dari pengaruh bhuta kala. Nganteb dilakukan pertama sebagai pelindung ruang upacara.

c. Indra Blaka
Ditempatkan di area tengah rumah, dekat dapur atau tempat strategis, Indra Blaka berfungsi sebagai penjaga keseimbangan. Nganteb dilakukan setelah Penunggun Karang.

d. Pelinggih Samar / Tugu Samar
Pelinggih ini sifatnya spiritual dan khusus, kadang tidak terlihat secara fisik mencolok. Nganteb dilakukan sebelum Padmasana, dengan penekanan pada kebersihan rohani dan keikhlasan niat.


3. Urutan Nganteb yang Disarankan:

1. Tugun Karang (Penunggun Karang)


2. Indra Blaka


3. Tugu/Pelinggih Samar


4. Padmasana



Urutan ini mengikuti prinsip nista–madya–utama, dari pelinggih penjaga luar hingga pusat kesucian.

Makna Filosofis:
Urutan nganteb menunjukkan perjalanan spiritual dari luar (pelindung) menuju dalam (koneksi dengan Tuhan). Setiap pelinggih memiliki peran dalam menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana). Pelaksanaan upacara oleh Pemangku bukan hanya tugas ritualistik, tetapi sebuah pengabdian spiritual yang menghidupkan taksu dalam pelinggih.

Berikut adalah puja pangastawan masing-masing untuk pelinggih Padmasana, Tugu Karang, Indra Blaka, dan Tugu Samar:

1. Padmasana (Puja kepada Sang Hyang Widhi Wasa)

Mantra:
> Om Saccidānanda rūpāya, Paramātman namo namah, Sarvavyāpi nirākārāya, Jyotirmayāya śāntāya, Padmāsanāya te namah

Makna:
> Om, sembah sujud kepada Yang Maha Ada, Maha Suci, dan Maha Bahagia.
Kepada Sang Atman Agung, aku memuja.
Yang meliputi segalanya, tak berbentuk.
Yang bercahaya dan penuh kedamaian.
Sembah bakti ke hadapan Padmasana, singgasana Tuhan Yang Maha Esa.

2. Tugu Karang (Puja kepada Penunggun Karang)

Mantra:
> Om Bhūta-pati mahāyakṣa, Rakṣaka gṛha saṁsthita, Saumyāya śāntarūpāya, Karāla rūpa dūrataḥ, Tugukarāya namo namah

Makna:
> Om, wahai raja para makhluk halus yang agung.
Penjaga rumah dan pekarangan ini.
Yang lembut dan berwujud damai.
Singkirkan rupa-rupa menyeramkan dari sini.
Sembah bakti ke hadapan Tugu Karang, pelindung tempat tinggal.

3. Indra Blaka (Puja kepada Dewa Indra sebagai penjaga tengah)

Mantra:
> Om Indra deva mahāśaktī, Divya tejah samudbhava, Pāvaka śaktim ānandaṁ, Madhya-sthāna rakṣakaṁ, Indra-blakāya te namaḥ

Makna:
> Om, Dewa Indra yang agung dan penuh kekuatan.
Yang lahir dari cahaya surgawi.
Yang memiliki daya bersinar dan membahagiakan.
Penjaga tempat suci bagian tengah rumah.
Sembah sujud ke hadapan Indra Blaka.

4. Tugu Samar (Puja kepada roh suci yang tak kasatmata)

Mantra
> Om Nirākāra guhyarūpa, Alakṣya vāstava dhruva, Sūkṣma sattva niṣkalaṁ ca, Sarva rakṣaka nityam, Tugusamarāya namaḥ

Makna:
> Om, Yang tak berbentuk dan berwujud rahasia.
Tak tampak namun sungguh nyata dan tetap.
Wujud halus dan murni, tak terikat.
Penjaga segala arah sepanjang masa.
Sembah bakti kepada Tugu Samar yang suci.

Kesimpulan:
Susunan dan struktur nganteb pelinggih di rumah tangga Bali tidak boleh sembarangan. Harus mengikuti urutan spiritual dan dipimpin oleh rohaniawan yang mengerti makna niskala. Dengan memahami peran tiap pelinggih serta urutannya, masyarakat dapat membangun dan menyucikan ruang spiritual dengan benar dan sesuai dengan ajaran Hindu Dharma.

“Dueg-Belog”

Integrasi Kearifan Lokal dan Sloka Hindu dalam Menumbuhkan Karakter Rendah Hati di Era Global: Tafsir Filosofi Bali “Dueg-Belog”

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Kearifan lokal Bali menyimpan nilai-nilai spiritual mendalam yang sejatinya selaras dengan ajaran Hindu. Salah satunya adalah pepatah:
"Duegang ngabe belog, belogang ngabe dueg."
Ungkapan ini bermakna bahwa orang yang cerdas (dueg) sebaiknya bisa menundukkan ego dan bersikap sederhana layaknya orang bodoh (belog), sementara yang terlihat bodoh pun jangan diremehkan karena bisa jadi menyimpan kebijaksanaan tersembunyi. Ini adalah pelajaran tentang kerendahan hati, kesadaran diri, dan penghargaan terhadap karma orang lain.

Hal ini sejalan dengan nilai-nilai dalam sloka-sloka Hindu yang mengajarkan tentang pandangan setara, pengendalian diri, dan pemahaman hakikat kehidupan:

Paṇḍitāḥ sama-darśinaḥ; Na hi jñānena sadṛśaṁ pavitram-iha vidyate; Ahaṁkāraṁ balaṁ darpaṁ kāmaṁ krodhaṁ parigraham; Tyaktvā mama śāntim ṛcchati; Na karmaṇām-anārambhān naiṣkarmyaṁ puruṣo’śnute; Na me dveṣyo’sti na priyaḥ; Sarve bhavantu sukhinaḥ

Maknanya:
Orang bijak memandang semua makhluk secara setara; Tidak ada penyucian yang lebih agung dari pengetahuan; Keangkuhan, kekuatan, hawa nafsu, dan kemarahan harus ditinggalkan; Mereka yang menanggalkan ego akan mencapai kedamaian; Tanpa tindakan, manusia tidak akan mencapai kesempurnaan; Tidak ada yang kubenci, tidak pula yang kucintai secara khusus; Semoga semua makhluk berbahagia.

Kesimpulan:
Pepatah lokal seperti dueg-belog adalah simbol kesadaran spiritual. Di era kecerdasan buatan, di mana banyak orang berlomba-lomba menjadi “terlihat pintar”, filosofi ini menjadi pengingat bahwa yang lebih penting adalah menjadi bijak dan rendah hati. Setiap individu punya garis tangan dan jalan karma masing-masing. Maka, jangan buru-buru menghakimi orang dari tampilan luar (petilesang deweke, jelek ban jani), karena setiap insan adalah bagian dari perjalanan dharma-nya sendiri.

Senin, 07 April 2025

Upacara 42 Hari

Makna Filosofis dan Spiritualitas Upacara 42 Hari (Abulan Pitung Dina dan Tutug Kambuhan) dalam Tradisi Hindu Bali: Upacara Ni Putu Tarisha Nandhika Putri


Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan
Dalam tradisi Hindu Bali, fase awal kehidupan seorang bayi dianggap sangat sakral dan memerlukan penyucian secara spiritual. Salah satu rangkaian upacara penting yang menandai fase ini adalah upacara 42 hari, yang terdiri dari Upacara Abulan Pitung Dina (juga dikenal sebagai Macolongan) dan Upacara Tutug Kambuhan. Kedua upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan atas kelahiran dan pertumbuhan awal bayi, dalam hal ini Ni Putu Tarisha Nandhika Putri.


Upacara Abulan Pitung Dina (Macolongan)
Upacara ini dilaksanakan saat bayi berusia 42 hari, yang menandai berakhirnya masa kambuhan atau masa rawan pasca-kelahiran. Tujuan utama dari upacara ini adalah untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi. Dalam pelaksanaannya, keluarga memohon restu kepada leluhur serta membersihkan secara niskala segala pengaruh buruk yang mungkin masih melekat pada bayi dan ibunya.


Upacara Tutug Kambuhan
Upacara ini dilaksanakan mengikuti perhitungan kalender Bali selama enam minggu (6 wuku), dan dipimpin oleh seorang pendeta atau sulinggih. Pelaksanaannya dilakukan di rumah dengan tiga titik pemujaan utama: dapur (simbol sumber makanan), tempat pemandian (simbol kesucian), dan sanggah kamulan (tempat suci leluhur).

Urgensi upacara ini sangat tinggi karena diyakini sebagai tahapan penting untuk menyucikan bayi dan menstabilkan unsur fisik maupun spiritualnya. Pelaksanaan upacara ini menandakan bahwa sang bayi telah melewati tahap rawan biologis seperti: putusnya tali pusar, bergantinya kulit tipis, lancarnya aliran darah dan pencernaan, serta berhentinya pengeluaran sisa-sisa nifas ibu.


Kutipan Sloka dan Maknanya

Sloka (Sansekerta) dalam 7 Baris:
सर्वे भवन्तु सुखिनः ।
सर्वे सन्तु निरामयाः ।
सर्वे भद्राणि पश्यन्तु ।
मा कश्चिद्दुःखभाग्भवेत् ।
शान्तिः शान्तिः शान्तिः ।
मातृदेवो भव ।
पितृदेवो भव ।

Transliterasi:
Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu niramayah
Sarve bhadrāṇi paśyantu
Mā kaścid duḥkha bhāgbhavet
Śāntiḥ śāntiḥ śāntiḥ
Mātṛdevo bhava
Pitṛdevo bhava

Makna:
"Semoga semua makhluk hidup berbahagia,
Semoga semua terbebas dari penyakit,
Semoga semua melihat hal-hal yang baik,
Semoga tak seorang pun mengalami penderitaan.
Damai, damai, damai.
Hormatilah ibumu seperti layaknya menghormati dewa,
Hormatilah ayahmu seperti layaknya menghormati dewa."

Sloka ini mencerminkan harapan spiritual dan sosial dalam konteks kelahiran seorang anak: yaitu agar anak tersebut hidup dalam kebahagiaan, kesehatan, dan kedamaian, serta tumbuh dalam penghormatan terhadap orang tua dan leluhur.




Penutup
Upacara 42 hari untuk bayi dalam agama Hindu bukan hanya ritual simbolis, melainkan juga bentuk komunikasi spiritual dengan alam dan Tuhan. Melalui pelaksanaan Abulan Pitung Dina dan Tutug Kambuhan seperti yang dilakukan untuk Ni Putu Tarisha Nandhika Putri, masyarakat Bali menunjukkan komitmennya terhadap warisan budaya dan nilai spiritual yang luhur.


Upacara 12 Hari Bayi Lahir

Upacara Bayi 12 Hari atau Ngerorasin (Ngelepas Awon) "Ni Putu Tarisha Nandhika Putri"

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Pendahuluan

Upacara adat di Bali merupakan perwujudan rasa bhakti, pemujaan, dan penyucian diri dalam kehidupan masyarakat Hindu. Salah satu upacara penting dalam daur hidup manusia adalah Upacara Ngerorasin, yang dilakukan saat bayi berusia 12 hari. Upacara ini juga dikenal dengan istilah “Ngelepas Awon”, yaitu melepas hal-hal buruk atau leteh yang secara niskala melekat pasca kelahiran.

Nama "Ngerorasin" berasal dari kata "roras" yang berarti dua belas, menunjuk pada pelaksanaannya yang tepat di hari ke-12 kelahiran seorang bayi, sebagaimana dilakukan pada bayi bernama Ni Putu Tarisha Nandhika Putri.


Makna Upacara Ngerorasin

Secara umum, tujuan upacara ini adalah untuk mensucikan sang ibu dan bayinya, karena kelahiran dianggap sebagai peristiwa leteh secara sekala maupun niskala. Setelah upacara ini dilakukan, ibu sudah diperbolehkan kembali melakukan aktivitas keagamaan dan memasuki kawasan suci, seperti sanggah kemulan.

Upacara ini dipimpin oleh Pemangku dan dilangsungkan di dua tempat utama, yaitu dapur (Paon) sebagai simbol stana Dewa Brahma, dan sanggah sebagai tempat pemujaan kepada leluhur.


Upakara (Banten) yang Digunakan

Beberapa sarana upacara sederhana yang umum digunakan dalam upacara ini meliputi:

  1. Pejati yang dihaturkan kepada Ida Bhatara Siwa Guru dan Bhatara Dalem Karang.
  2. Banten Pengresikan untuk penyucian niskala.
  3. Banten Kumara yang diletakkan di plangkiran bayi.
  4. Banten Ari-ari di tempat ari-ari ditanam.
  5. Banten Tataban yang ditaburkan pada bayi.
  6. Banten Nunas Tirta Penglukatan di dapur (paon), sumur, atau semer.

Salah satu contoh puja sederhana saat nunas tirta di paon adalah sebagai berikut:

Puja Sembah:
"Ratu Ida Bethare Brahma, titiyang nunas tirta panglukatan mangda rare titiyang rahajeng, selamat lan dirgayusa."

Maknanya adalah permohonan kepada Dewa Brahma agar sang bayi memperoleh keselamatan, kesehatan, dan umur panjang.


Sloka Suci Sebagai Penguat Spiritualitas Upacara

Upacara ini juga diperkuat oleh doa-doa suci yang bersumber dari Weda dan lontar. Salah satu sloka Sansekerta yang dapat digunakan sebagai doa penyucian adalah sebagai berikut:

Sloka (Sansekerta):

“Śuddhosi Buddhosi Niranjanosi
Saṃsāra Māyā Parivarjitosi
Saṃsāra Svapnaṃ Tyaja Mōha Nidrāṃ
Madbhaktiṃ Labdhvā Bhava Nirmamāḥ”

Transliterasi:
"Shuddhosi buddhosi niranjanosi,
samsāra māyā parivarjitosi,
samsāra svapnaṃ tyaja moha nidrām,
madbhaktim labdhvā bhava nirmamah."

Makna:
"Engkau adalah jiwa yang suci dan tercerahkan, terbebas dari noda.
Jauhkanlah dirimu dari ilusi duniawi.
Tinggalkanlah mimpi samsara dan tidur kebodohan,
Raihlah bhakti kepada-Ku dan jadilah tanpa keakuan."

Sloka ini bermakna penyucian diri dan pelepasan dari keterikatan duniawi, sangat sesuai digunakan untuk mengiringi prosesi penyucian bayi agar jiwanya bersih dan terhindar dari pengaruh negatif.


Penutup

Upacara Ngerorasin atau Roras Lemeng bukan hanya ritual pembersihan sekala dan niskala, melainkan juga bentuk kasih sayang dan tanggung jawab orang tua dalam menyambut kelahiran jiwa baru ke dunia. Bagi Ni Putu Tarisha Nandhika Putri, ini merupakan tonggak spiritual awal untuk melanjutkan kehidupan sebagai manusia yang suci, sehat, dan penuh harapan.

Semoga tradisi luhur ini tetap lestari dan terus dimaknai secara mendalam oleh generasi penerus.

AHAM BRAHMA ASMI

AHAM BRAHMA ASMI: AKU ADALAH BRAHMAN

Tinjauan Filsafat Vedanta dalam Konteks Kesadaran "Aku" pada Proses Sedaraga Apodgala Dwijati dalam Tradisi Hindu Bali
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan
Dalam spiritualitas Hindu, khususnya dalam ajaran Advaita Vedanta, terdapat empat Mahāvākya atau “pernyataan agung” dari kitab Upanishad. Salah satunya adalah Aham Brahma Asmi, "Aku adalah Brahman"; Hakikat diri sejati manusia (Atman) adalah sama dengan Brahman, Sang Realitas Mutlak. Dalam tradisi Hindu Bali, pemahaman tentang "aku" mendapat penekanan tersendiri, terutama ketika dikaitkan dengan proses spiritual yang dijalani oleh seorang dwijati atau kelahiran kedua (kelahiran spiritual), yang dalam prosesinya dikenal sebagai Sedaraga Apodgala.


Kutipan Sloka dalam Bahasa Sanskerta dan Transliterasi:

Sanskerta (Devanagari):
अहं ब्रह्मास्मि
सच्चिदानन्द रूपः शिवोऽहम्
नित्यः शुद्धः बुद्धः मुक्तः
अहं आत्मा ब्रह्म विद्याम्
एकोऽहम् एव लोकेऽस्मिन्
न द्वितीयोऽस्ति कश्चन

Transliterasi Latin:
ahaṁ brahmāsmi
saccidānanda rūpaḥ śivo'ham
nityaḥ śuddhaḥ buddhaḥ muktaḥ
ahaṁ ātmā brahma vidyām
eko'ham eva loke'smin
na dvitīyo'sti kaścana


---

Makna Sloka:

1. Ahaṁ Brahmāsmi – Aku adalah Brahman.


2. Saccidānanda rūpaḥ śivo'ham – Aku adalah Śiva, wujud dari kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan abadi.


3. Nityaḥ śuddhaḥ buddhaḥ muktaḥ – Aku adalah kekal, suci, tercerahkan, dan bebas.


4. Ahaṁ ātmā brahma vidyām – Aku adalah Atma yang memahami Brahman.


5. Eko'ham eva loke'smin – Di dunia ini, hanya Aku yang sejati.


6. Na dvitīyo'sti kaścana – Tidak ada yang kedua, tidak ada yang lain.




---

Siapakah “Aku” dalam Proses Sedaraga Apodgala Dwijati?

Dalam tradisi Hindu Bali, Sedaraga Apodgala adalah salah satu tahapan spiritual penting dalam upacara upanayana menuju status dwijati, yaitu lahir kembali secara spiritual sebagai anak rohani dari guru (acarya). Proses ini menandai transisi seseorang dari kelahiran jasmani menuju kesadaran rohani, di mana pemahaman tentang “aku” mengalami transformasi signifikan.

1. “Aku” Sebelum Sedaraga (Apodgala Prakerta)
Merujuk pada kesadaran egoik atau ahamkara, yang masih melekat pada identitas duniawi: tubuh, keluarga, kasta, dan keinginan duniawi.
“Aku” di sini masih berada dalam ketidaktahuan (avidya) tentang hakikat sejati diri.


2. “Aku” dalam Proses Sedaraga

Melalui apodgala (peniadaan identitas duniawi), seseorang melepaskan keterikatan fisik dan memurnikan diri dari pengaruh māyā (ilusi).
“Aku” mulai diasah dan diarahkan menuju atman, jati diri spiritual yang bersinar melalui praktik tapa, brata, dan yoga.
Saat inilah benih pemahaman Aham Brahma Asmi mulai tumbuh, sebagai refleksi kesadaran bahwa jati diri bukanlah tubuh, tetapi kesadaran murni.


3. “Aku” Setelah Menjadi Dwijati (Apodgala Siddhi)

Setelah di-upasidhi-kan sebagai dwijati, seseorang secara simbolis dan filosofis terlahir kembali sebagai pribadi spiritual.
“Aku” telah mengalami transendensi – dari ego menjadi saksi (drashta), dari pribadi yang mencari kebenaran menjadi kebenaran itu sendiri (sat).
Kesadaran Aham Brahma Asmi menjadi nyata dalam hidupnya – ia tak lagi terikat oleh dualitas, tetapi menyatu dalam Brahman.


Kesimpulan
Mahavakya Aham Brahma Asmi adalah pernyataan puncak dari kesadaran spiritual dalam Hindu yang juga direfleksikan dalam proses Sedaraga Apodgala Dwijati di Bali. Dalam konteks ini, “Aku” bukanlah entitas individual, melainkan kesadaran ilahi yang terwujud setelah melepaskan identitas duniawi. Proses spiritual ini menunjukkan bahwa hanya melalui pembersihan diri, disiplin rohani, dan bimbingan guru sejati, seseorang dapat menyadari bahwa dirinya adalah Brahman yang kekal dan tak terpisahkan dari Tuhan.

Sekadi i Sampat Lidi

Nilai Kesatuan dan Kohesi Sosial dalam Kearifan Lokal Sesenggakan Bali "Sekadi i Sampat Lidi": Perspektif Etis dan Filosofis Berdasarkan Sloka Weda

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan
Masyarakat Bali dikenal dengan nilai-nilai kolektivitas dan kebersamaan yang kuat. Hal ini terefleksi dalam banyak ungkapan tradisional (sesenggakan) yang kaya akan filosofi hidup. Salah satunya adalah:

> "Sekadi i sampat lidi, biar muncuk nyane sambrag, nanging bongkolne mebesikan, mesaet kanti raket."



Artinya: Seperti sapu lidi, meskipun ujung-ujungnya berantakan, tetapi pangkalnya menyatu, terikat erat menjadi satu kesatuan yang kuat.

Ungkapan ini mengandung ajaran luhur tentang pentingnya persatuan dalam perbedaan. Untuk memperkuat makna ini dalam konteks Hindu dan ajaran Weda, sloka berikut menggambarkan pentingnya bersatu dalam pikiran, ucapan, dan tujuan.


---

Sloka (Bahasa Sanskerta) – 5 Baris:
संगच्छध्वं सं वदध्वं सं वो मनांसि जानताम्।
समानी वा आकूति: समाना हृदयानि व:।
समाना स्तु वो मनो यथा व: सुसहासति।
एकं वद, एकं मन: सं वदध्वं समाजनाः।
सर्वे सन्तु निरामयाः॥


---

Transliterasi Latin:
Saṅgacchadhvaṁ saṁ vadadhvaṁ saṁ vo manāṁsi jānatām।
Samānī vā ākūtiḥ samānā hṛdayāni vaḥ।
Samānā stu vo mano yathā vaḥ susahāsati।
Ekaṁ vada, ekaṁ manaḥ, saṁ vadadhvaṁ samājanāḥ।
Sarve santu nirāmayāḥ॥


---

Makna dan Terjemahan:
Bersatulah kalian, berbicaralah dalam satu suara, satukan pikiran kalian.
Hendaknya tujuan dan hati kalian sama.
Biarlah pikiran kalian serupa, sehingga kalian hidup dalam sukacita.
Berbicaralah sebagai satu, berpikirlah sebagai satu, wahai manusia yang hidup bersama.
Semoga kalian semua terbebas dari penderitaan.


---

Pembahasan
Sesenggakan "Sekadi i sampat lidi" mencerminkan pemahaman lokal tentang harmoni dalam keragaman — unity in diversity. Dalam kacamata Hindu, konsep ini sejalan dengan ajaran Ṛta (tatanan kosmis) dan Dharma (kewajiban moral). Sloka di atas menekankan pentingnya keselarasan dalam pikiran dan perbuatan, yang menjadi fondasi kohesi sosial dalam komunitas.

Seperti lidi yang lemah saat sendiri namun kuat saat terikat bersama, manusia pun memerlukan ikatan batin, rasa saling percaya, dan tujuan bersama agar kehidupan bermasyarakat menjadi kokoh dan harmonis. Hal ini menjadi dasar dari konsep gotong royong, banjar, dan sekaa di Bali.


---

Kesimpulan
Nilai-nilai luhur dalam sesenggakan Bali seperti "Sekadi i sampat lidi" selaras dengan ajaran sloka dalam Weda. Keduanya menegaskan bahwa kesatuan dalam keberagaman adalah kunci dari kekuatan kolektif. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebersamaan bukan hanya alat sosial, tetapi juga bentuk pengabdian terhadap keharmonisan semesta (Ṛta).

Katak Genggong

Katak Genggong dalam Perspektif Estetika dan Spiritualitas Bali: Simbol Kehidupan Alam dan Harmoni Kosmis dalam Teks Veda


---

Pendahuluan
Katak Genggong adalah salah satu alat musik tradisional Bali yang terbuat dari bambu dan menghasilkan suara menyerupai suara katak atau serangga di malam hari. Alat musik ini tidak hanya memiliki nilai estetika dalam seni pertunjukan, tetapi juga nilai spiritual yang merepresentasikan keharmonisan antara manusia dan alam semesta. Suara genggong yang bersahut-sahutan seperti nyanyian alam menjadi bagian dari suara semesta yang mengandung makna kosmis.

Untuk memperkuat makna ini, sloka dalam literatur Veda menggambarkan keterhubungan seluruh ciptaan dalam irama dan keselarasan semesta. Berikut kutipan sloka yang menggambarkan prinsip universal tersebut:


---

Sloka (Bahasa Sanskerta):
ऋतं च सत्यं चाभीद्धात्तपसोऽध्यजायत।
ततो रात्र्यजायत ततः समुद्रो अर्णवः।
समुद्रादर्णवादधि संवत्सरो अजायत।
अहोरात्राणि विदधद्विश्वस्य मिषतो वशी।
सूर्याचन्द्रमसौ धाता यथापूर्वमकल्पयत्।
दिवं च पृथिवीं चान्तरिक्षमथो स्वः॥


---

Transliterasi Latin:
Ṛtaṁ ca satyaṁ cābhīddhāttapaso’dhyajāyata।
Tato rātryajāyata tataḥ samudro arṇavaḥ।
Samudrād arṇavād adhi saṁvatsaro ajāyata।
Ahorātrāṇi vidadhad viśvasya miṣato vaśī।
Sūryācandramasau dhātā yathāpūrvamakalpayat।
Divaṁ ca pṛthivīṁ cāntarikṣam atho svaḥ॥


---

Terjemahan Makna:
Keteraturan kosmis (ṛta) dan kebenaran (satya) muncul dari tapa (pengendalian diri).
Dari tapa lahir malam, kemudian lautan luas.
Dari lautan lahir waktu (samvatsara).
Penguasa mengatur siang dan malam, menyaksikan seluruh ciptaan.
Matahari dan bulan ditata oleh Sang Pencipta sesuai hukum awal.
Langit, bumi, dan ruang antaranya diciptakan selaras.


---

Pembahasan
Suara katak genggong yang muncul di alam malam melambangkan bagian dari ṛta — keteraturan alam yang muncul secara alami. Dalam konteks budaya Bali, suara genggong diintegrasikan dalam pertunjukan gamelan sebagai elemen yang menyatukan manusia dan alam, bukan sekadar estetika, tetapi juga suara semesta.

Sloka di atas mengajarkan bahwa alam semesta tidak tercipta secara acak, tetapi melalui proses spiritual (tapas) yang melahirkan ritme waktu, siang dan malam, serta langit dan bumi. Demikian pula suara katak genggong menjadi manifestasi dari keselarasan tersebut — bagian dari ekspresi ṛta di bumi Bali.


---

Kesimpulan
Katak Genggong bukan hanya alat musik, melainkan simbol suara alam yang berpadu dengan prinsip keteraturan semesta (ṛta). Melalui pemaknaan dari sloka Veda, dapat disimpulkan bahwa seni tradisional Bali, termasuk katak genggong, memiliki akar spiritual yang dalam dan merefleksikan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

Eksistensi dan Dinamika Ikatan Pasemetonan Tunggal Kawitan

Eksistensi dan Dinamika Ikatan Pasemetonan Tunggal Kawitan dalam Perspektif Spiritual Hindu Bali: Tumbuh Tanpa Ketergantungan pada Organisasi Formal

Pendahuluan
Pasemetonan Tunggal Kawitan merupakan ikatan kekerabatan berdasarkan garis keturunan dari satu leluhur utama (kawitan) yang dipercaya secara niskala (spiritual) dan sekala (lahiriah). Meskipun tidak dibingkai dalam struktur organisasi formal, ikatan ini tetap lestari, tumbuh, dan bahkan menguat dalam ruang kesadaran kolektif masyarakat Bali. Fenomena ini menggambarkan keberadaan nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural yang bersumber dari ajaran suci dan etika dharma.

Untuk menggambarkan semangat kolektivitas dan kesatuan yang menjadi dasar keberlangsungan pasemetonan ini, dapat dikutip sloka dari Ṛg Veda Samhita Mandala 10, Sukta 191 sebagai berikut:


---

Sloka (Bahasa Sanskerta):
संगच्छध्वं सं वदध्वं सं वो मनांसि जानताम्।
देवा भागं यथा पूर्वे संजानाना उपासते॥
सं चित्तानि सं मनोनि सं वाचं सवदध्वम्।
सं वृत्तयो वहन्तु वः समानी व आकूतिः।
समाना हृदयानि वः समानी व ओ मनः।
यथा वः सुसहासति॥
(Ṛg Veda X.191.2–4)


---

Transliterasi Latin:
Saṅgacchadhvaṁ saṁ vadadhvaṁ saṁ vo manāṁsi jānatām।
Devā bhāgaṁ yathā pūrve sañjānānā upāsate॥
Saṁ cittāni saṁ manoni saṁ vācaṁ savadadhvam।
Saṁ vṛttayo vahantu vaḥ samānī va ākūtiḥ।
Samānā hṛdayāni vaḥ samānī va o manaḥ।
Yathā vaḥ susahāsati॥


---

Terjemahan Makna:
Bersatulah kalian, berbicaralah bersama, satukanlah pikiran kalian.
Sebagaimana para dewa bersatu dalam persembahan suci di masa lampau.
Satukan pikiran dan hati, padukan ucapan serta langkah kehidupan kalian.
Biarlah tujuan kalian serupa, dan cita-cita kalian sama.
Satukan hati kalian, dan pikiran kalian hendaknya seragam.
Agar kalian hidup bersama dalam harmoni dan kebahagiaan.


---

Pembahasan
Sloka ini secara filosofis menegaskan pentingnya kesatuan pikiran (manas), perkataan (vāc), dan tindakan (karma) dalam menjaga harmoni dalam komunitas. Dalam konteks Pasemetonan Tunggal Kawitan, ajaran ini tercermin dalam praktik bersama seperti yadnya, ngaturang bhakti ke Pura Kawitan, hingga saling mendukung dalam upacara keluarga.

Walaupun tidak ada struktur organisasi resmi, kekuatan niskala yang diwariskan oleh leluhur (kawitan) melalui rasa bhakti dan sradha mampu memelihara kesatuan pasemetonan. Ikatan ini tidak dibentuk oleh anggaran dasar atau peraturan tertulis, melainkan oleh nilai spiritual yang mengalir dalam kesadaran kolektif para keturunannya.

Kesimpulan
Ikatan Pasemetonan Tunggal Kawitan tumbuh dan bertahan karena dilandasi oleh kekuatan spiritual, etika leluhur, dan kesadaran kolektif yang tidak tergantung pada organisasi formal. Dalam terang sloka suci Ṛg Veda, kita dapat memahami bahwa kekuatan persatuan batin dan harmoni antar anggota pasemetonan merupakan landasan utama dalam menjaga eksistensi dan pertumbuhan hubungan kekeluargaan yang sakral.

Analogi Telur dan Ayam

Kesehatan Mental dan Kesehatan Ekonomi: Perspektif Filosofis dalam Analogi Telur dan Ayam

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan:

Dalam dinamika kehidupan modern, kesehatan mental dan kesehatan ekonomi merupakan dua aspek penting yang saling berkaitan erat. Layaknya dilema klasik “mana yang lebih dulu, ayam atau telur?”, hubungan antara keduanya juga sulit dipisahkan. Seseorang dengan kondisi ekonomi yang stabil cenderung memiliki ketenangan pikiran. Sebaliknya, ketenangan pikiran dapat membuka ruang kreativitas dan produktivitas yang berdampak pada peningkatan ekonomi. Artikel ini menelaah hubungan timbal balik tersebut dalam perspektif filosofis, disertai kutipan sloka Sanskerta yang menguatkan esensinya.


Sloka 
Sukhārthī cettayajedvidyāṁ, vidyārthī cettayetsukham |
Sukhārthinaḥ kuto vidyā, kuto vidyā vināśinaḥ ||
Dhanaṁ dharmasya mūlaṁ, dharmo hi manasaḥ sthitiḥ |
Manasaḥ sthairyam evāyaṁ, samyak karmaṇi kāraṇam |
Na sukhaṁ vittamantasya, ceto yadi vikṣiptam |
Na ca śāntaṁ mano yasya, tasya vittaṁ ciraṁ sthitam ||


Makna Per Bait:

1. "Orang yang menginginkan kebahagiaan duniawi harus rela meninggalkan ilmu; yang menginginkan ilmu harus rela meninggalkan kesenangan."

2. "Bagi pencari kesenangan semata, tidak mungkin ada ilmu; dan tanpa ilmu, segalanya akan rusak."

3. "Kekayaan adalah dasar dari dharma (kebajikan), dan dharma bersumber dari kestabilan pikiran."

4. "Kestabilan pikiran adalah penyebab utama dari tindakan yang benar."

5. "Tidak ada kebahagiaan bagi orang kaya jika pikirannya kacau."

6. "Dan orang yang pikirannya tak tenang, kekayaannya pun takkan bertahan lama."


Analogi Telur dan Ayam:

Seperti halnya pertanyaan klasik “mana yang lebih dahulu, telur atau ayam?”, kesehatan mental dan ekonomi saling menciptakan siklus yang tak berujung. Kesehatan mental yang baik memungkinkan seseorang mengelola keuangan secara cermat dan produktif. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang stabil mampu meredam kecemasan dan depresi. Dalam sloka di atas, dijelaskan bahwa pikiran yang tenang adalah akar dari tindakan yang benar, yang pada akhirnya menghasilkan dharma (tindakan baik), dan dari dharma muncullah kekayaan sejati.

Kesimpulan:

Kesehatan mental dan ekonomi adalah dua pilar yang menopang keseimbangan hidup manusia. Tidak dapat dikatakan satu lebih penting dari yang lain karena keduanya saling menopang seperti telur dan ayam yang terus berputar dalam siklus kehidupan. Dalam perspektif kebijaksanaan klasik, sloka-sloka Sanskerta memberi kita pemahaman mendalam bahwa kekayaan sejati bukan semata harta benda, melainkan pikiran yang tenteram, yang menjadi dasar segalanya.

Penguatan Bratha dalam Membentuk Jati Diri

Penguatan Bratha dalam Membentuk Jati Diri: Sebuah Refleksi Filosofis Melalui Introspeksi Diri dan Keseimbangan Lahir Bhatin
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Dalam kehidupan modern yang penuh euforia, pencapaian instan, dan eksistensi yang sering dibangun melalui pembuktian eksternal, manusia sering kali kehilangan arah sejatinya. Di tengah keramaian dunia, justru dibutuhkan kekuatan dalam diam, kekokohan dalam pengendalian diri, serta kejernihan dalam memahami makna diri. Di sinilah nilai introspeksi dan bratha (pengendalian) menjadi penting, bukan hanya sebagai laku spiritual, namun juga sebagai jalan membentuk kualitas diri dan jati diri yang utuh, seimbang antara lahir dan bhatin.

Kutipan Sloka

Sloka (dalam Bahasa Sanskerta):
आत्मानं रथिनं विद्धि शरीरं रथमेव तु।
बुद्धिं तु सारथिं विद्धि मनः प्रग्रहमेव च॥
(Katha Upanishad I.3.3)

Transliterasi:
Ātmānaṁ rathinaṁ viddhi śarīraṁ ratham eva tu,
buddhiṁ tu sārat hiṁ viddhi manaḥ pragraham eva ca.

Makna:
Ketahuilah bahwa sang diri adalah penunggang kereta, tubuh adalah keretanya,
budi adalah kusirnya, dan pikiran adalah tali kekangnya.

Pembahasan

Sloka di atas menegaskan struktur spiritual dan psikologis manusia dalam tradisi Vedanta. Tubuh fisik hanyalah alat (ratha/kereta), sedangkan diri sejati (ātman) adalah penunggangnya. Untuk menuntun kereta menuju tujuan yang benar, dibutuhkan kendali penuh dari sang kusir (buddhi – intelek), dan kekuatan menahan gejolak pikiran (manaḥ) melalui pragraha (pengendalian).

Nilai ini selaras dengan pentingnya introspeksi dan penguatan bratha. Dalam konteks modern, ketika banyak individu mencari validasi eksternal, kita justru diajak untuk tidak larut dalam euforia, namun menguatkan niat (bratha) dalam perjalanan spiritual dan kehidupan. Introspeksi membuka ruang jujur untuk mengenali kekurangan, potensi, dan arah tujuan hidup, tanpa perlu menghakimi diri sendiri maupun orang lain.

Berdamai dengan Diri

Berdamai dengan diri bukanlah tanda menyerah, melainkan bentuk keberanian untuk menerima kenyataan dengan penuh kesadaran. Ia menjadi fondasi membentuk jati diri yang kuat—bukan dari apa yang dimiliki atau dilihat orang, tetapi dari keselarasan antara nilai hidup dan tindakan nyata. Seseorang yang sadar akan dirinya tidak butuh banyak suara untuk membuktikan eksistensinya. Ia cukup dengan keheningan, karena dari situlah muncul kekuatan sejati.

Penyeimbangan Lahir dan Bhatin

Euforia dunia sering kali mengacaukan keseimbangan antara tubuh dan batin. Melalui penguatan bratha—yang bisa berupa pengendalian konsumsi, kesadaran berpikir, keteraturan hidup, hingga pembiasaan spiritual seperti japa, yoga, dan meditasi—manusia mampu mengarahkan keretanya menuju kebijaksanaan, bukan kenikmatan sesaat.

Penutup

Dalam sunyinya niat yang teguh, terdapat kekuatan untuk tidak ikut terbawa arus. Ketika yang lain merayakan luar, kita memilih menata dalam. Inilah kekuatan jati diri yang terbentuk melalui introspeksi, bukan impresi. Maka, marilah kita kuatkan bratha, bukan untuk melawan dunia, tetapi untuk mengenali dan menyeimbangkan diri, lahir dan bhatin—sehingga perjalanan ini menjadi suci, jernih, dan bermakna.

Konsep Pembangunan Pelinggih Padma Tiga dan Padma Ngelayang

Konsep Pembangunan Pelinggih Padma Tiga dan Padma Ngelayang oleh Ida Batara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Daksa Manuaba di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak
Pembangunan pelinggih Padma Tiga dan Padma Ngelayang di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa oleh Ida Batara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Daksa Manuaba merupakan bentuk nyata dari upaya pelestarian serta penguatan ajaran Siwaisme di Bali. Padma Tiga sebagai simbol pemujaan Tri Purusa dan Padma Ngelayang sebagai stana Ida Bhatara Sanghyang Pasupati menegaskan pentingnya spiritualitas dalam tatanan pura Bali. Artikel ini juga menyoroti dibangunnya Bale Gajah sebagai tempat pemujan bagi para sulinggih, mencerminkan kesinambungan antara ajaran Weda, ritual, dan peran pendeta dalam menjaga kesucian pura.

Kata Kunci: Padma Tiga, Padma Ngelayang, Siwaisme, Tri Purusa, Ida Bhatara Pasupati, Pura Panataran Agung, Daksa Manuaba



1. Pendahuluan

Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa merupakan salah satu pura penting dalam sistem keagamaan Hindu Bali. Inisiatif Ida Batara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Daksa Manuaba dalam membangun pelinggih Padma Tiga dan Padma Ngelayang memperkuat posisi pura ini sebagai pusat spiritual dan pelestarian ajaran Siwaisme. Pembangunan ini mengadopsi konsep Penataran Agung Besakih sebagai pusat spiritual tertinggi, terutama dalam penerapan struktur Padma Tiga sebagai stana Tri Purusa dan Padma Ngelayang sebagai wujud penghormatan kepada Ida Bhatara Sanghyang Pasupati, sumber utama kekuatan dan kesucian para sulinggih.


---

2. Replika Sakral: Padma Tiga dan Tri Purusa

Padma Tiga di Pura Panataran Agung dibangun mengikuti struktur Padma Bhuwana di Besakih, melambangkan tiga aspek utama ketuhanan dalam Siwaisme yang dikenal sebagai Tri Purusa:

Paramaśiwa: aspek Tuhan yang mutlak, tidak berbentuk, tidak tergambarkan, dan melampaui segala realitas duniawi.

Sadāśiwa: aspek ketuhanan yang mulai berfungsi melalui lima kekuatan utama (panca krtya).

Śiwātmā: aspek Tuhan yang bersemayam dalam diri makhluk hidup sebagai Atman.


Pelinggih ini bukan sekadar struktur fisik, melainkan pusat meditasi dan pemujaan yang menghubungkan manusia dengan kesadaran ilahi dalam tiga manifestasinya.



3. Padma Ngelayang sebagai Stana Ida Bhatara Sanghyang Pasupati

Pembangunan Padma Ngelayang sebagai tempat bersemayamnya Ida Bhatara Sanghyang Pasupati memiliki arti penting dalam konteks spiritual. Sanghyang Pasupati dipandang sebagai sumber kekuatan suci bagi para sulinggih dan penjaga tatanan spiritual Bali. Kehadirannya dalam bentuk Padma Ngelayang mengukuhkan posisi pura sebagai tempat penguatan roh-roh suci dan pelindung ajaran suci Weda. Dalam ajaran tradisi Pasek, Ida Bhatara Sanghyang Pasupati adalah penuntun utama para rsi dan mpu, termasuk Mpu Gana yang merupakan tokoh sentral di Pundukdawa.


---

4. Bale Gajah: Simbol Spiritualitas dan Kewibawaan Sulinggih

Bale Gajah yang dibangun sebagai tempat pemujan para sulinggih menandakan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Bentuk bale ini melambangkan kekuatan dan kestabilan spiritual, di mana para sulinggih dapat melaksanakan yadnya dan japa tapa secara khusus. Gajah dalam ikonografi Hindu merupakan lambang kecerdasan, kekuatan, dan pengusir rintangan, menjadikan Bale Gajah sebagai ruang sakral yang menunjang spiritualitas sulinggih agar mampu menjadi penghubung antara umat dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


---

5. Konteks Besar: Penataran Agung Pundukdawa dan Konsep Tri Purusa

Sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Siwaisme yang berkembang kuat di Pundukdawa, Penataran Agung dan Padma Tiga menjadi pusat spiritualisasi masyarakat Hindu. Pembangunan Padma Tiga dan Padma Ngelayang di Pundukdawa dapat dipahami sebagai pewarisan konsep Penataran Agung Besakih, di mana struktur pura bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat filsafat Hindu yang menekankan bahwa Tuhan (Siwa) hadir dalam tiga tingkatan eksistensi (Tri Purusa), dan tetap membimbing umat manusia dalam perwujudan Pasupati.


---

6. Kesimpulan

Pembangunan pelinggih Padma Tiga, Padma Ngelayang, dan Bale Gajah oleh Ida Batara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Daksa Manuaba bukan hanya tindakan spiritual, tetapi juga manifestasi filosofi tinggi ajaran Siwaisme dalam kehidupan religius masyarakat Hindu Bali. Struktur suci ini tidak hanya meniru Penataran Agung Besakih, tetapi juga menghidupkan kembali konsep-konsep mendalam seperti Tri Purusa, Pasupati, dan peran sentral sulinggih dalam menjaga kesucian dharma. Dengan demikian, Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Pundukdawa menjadi pusat spiritual alternatif yang tetap berakar kuat pada nilai-nilai ajaran Weda dan Siwaisme.


Referensi:

Lontar-lontar Siwaisme Bali

Catatan Sejarah dan Pura Pundukdawa

Ajaran Kapurusan Griya Agung Bangkasa

Weda Smrti dan Agama Tattwa Bali

Observasi lapangan dan wawancara tokoh spiritual Pasek


Makna Sakral Angka Tiga Puluh Tiga

Makna Sakral Angka Tiga Puluh Tiga (33) dalam Spiritualitas Hindu Bali: Tinjauan Tattwa, Weda, dan Praktik Ritual

Abstrak:
Angka tiga puluh tiga (33) memiliki kedudukan penting dalam spiritualitas Hindu Bali, baik sebagai simbol kosmologis maupun sebagai jumlah manifestasi Dewa dalam ajaran tattwa. Artikel ini menelaah secara mendalam makna filosofis dan teologis angka 33 berdasarkan kitab suci Weda, struktur teologi Hindu Bali, dan penggunaannya dalam ritual-ritual keagamaan. Penelitian ini juga menyajikan kutipan sloka dari Rgveda yang menyebut secara eksplisit jumlah para Dewa sebagai 33, lengkap dengan transliterasi dan maknanya.


---

Pendahuluan

Dalam sistem spiritual dan kosmologi Hindu Bali, angka bukan hanya lambang kuantitatif, namun juga mengandung nilai kualitatif yang mendalam. Angka 33 menempati posisi yang istimewa dalam berbagai aspek keagamaan, filosofi, dan budaya Bali. Melalui telaah pustaka dan interpretasi teks suci, artikel ini menguraikan bagaimana angka 33 diinterpretasikan sebagai jumlah manifestasi Tuhan dalam bentuk para dewa, serta aplikasinya dalam praktik keagamaan.


---

1. Konsep Teologi Hindu Bali: Penjumlahan Sakral

Dalam ajaran Hindu Dharma di Bali, dikenal konsep-konsep simbolik seperti:

Tri Kona (3) – aspek pencipta, pemelihara, dan pelebur

Sad Winaya (6) – prinsip moral dan etika

Dasa Rudra (10) – sepuluh manifestasi kekuatan pembinasaan

Eka Dasa Rudra (11) – sebelas bentuk Rudra yang menjadi pusat upacara besar di Pura Besakih


Jika seluruh angka tersebut dijumlahkan: 3 + 6 + 10 + 11 = 33, yang kemudian diinterpretasikan sebagai jumlah manifestasi Tuhan dalam bentuk para dewa.


---

2. Tiga Puluh Tiga Dewa dalam Kitab Weda

Dalam Rgveda disebutkan secara eksplisit bahwa jumlah para dewa utama adalah 33, yang terdiri dari:

8 Vasu – dewa-dewa unsur alam

11 Rudra – dewa kekuatan hidup dan penghancur

12 Aditya – dewa-dewa waktu dan hukum kosmik

1 Indra – raja para dewa

1 Prajapati – dewa pencipta atau leluhur para makhluk


Sloka Rgveda X.52.6 (Sumber: Rgveda Mandala 10)

Sanskerta:
trīṃśat trayas triṃśad devāḥ
ye divi sthāḥ pṛthivyām ye antarikṣe
te no ‘vantu suvidatrāso agniḥ

Transliterasi:
triṁśat trayas triṁśad devāḥ
ye divi sthāḥ pṛthivyām ye antarikṣe
te no 'vantu suvidatrāsaḥ agniḥ

Makna:
Tiga puluh tiga dewa—yang tinggal di langit, bumi, dan ruang antaranya—semoga mereka melindungi kami dengan pengetahuan yang bijaksana, bersama Agni (api suci).

Sloka ini memperlihatkan pemahaman kosmologis bahwa dewa-dewa tersebar di tiga dunia: svarga (langit), bhumi (bumi), dan antariksa (antar ruang), melambangkan kekuatan Tuhan yang meliputi segalanya.


---

3. Angka 33 sebagai Simbol Kesempurnaan Spiritual

Angka 33 secara filosofi mewakili tahapan kesadaran spiritual yang matang, di mana manusia mendekati kesempurnaan dalam olah rasa, pikir, karsa, dan spiritualitas (O4 dalam konsep Bali modern). Dalam konteks tattwa, semakin tinggi angka, semakin menunjukkan banyaknya aspek Tuhan yang disadari manusia.


---

4. Representasi dalam Upacara dan Ritual

Dalam praktik keagamaan Hindu Bali, angka 33 muncul dalam skema besar seperti:

Eka Dasa Rudra, upacara penyucian universal di Pura Besakih, dilaksanakan setiap 100 tahun

Penggunaan simbolik angka-angka dalam penempatan pelinggih dan susunan canang atau banten

Pemilihan jumlah pendeta, sulinggih, dan pelaksana dalam upacara besar sering kali mengacu pada simbolisme angka ini



---

Kesimpulan

Angka 33 dalam spiritualitas Hindu Bali adalah angka sakral yang mencerminkan kesatuan antara Tuhan, alam, dan manusia. Berdasarkan kitab suci Rgveda dan ajaran tattwa lokal Bali, angka ini menandakan jumlah manifestasi Dewa, kesempurnaan spiritual, dan keseimbangan kosmik. Memahami makna ini tidak hanya memperkaya pengetahuan keagamaan, tetapi juga memperdalam praktik keimanan dan spiritualitas umat Hindu di Bali.


Pasupati

Banten Pasupati dan Mantra Pasupati

Banten Pasupati

Pasupati (Pāśupatāstra) dalam kisah Mahabharata adalah panah sakti yang oleh Batara Guru dianugerahkan kepada Arjuna setelah berhasil dalam laku tapanya di Indrakila yang terjadi saat Pandawa menjalani hukuman buang selama dua belas tahun dalam hutan. Panah yang berujung bulan sabit ini pernah digunakan oleh Batara Guru saat menghancurkan Tripura, tiga kota kaum Asura yang selalu mengancam para dewa. Dengan panah ini pula Arjuna membinasakan Prabu Niwatakawaca. Dalam perang Bharatayuddha, Arjuna menggunakan panah ini untuk mengalahkan musuh-musuhnya, antara lain Jayadrata dan Karna yang dipenggal nya dengan panah ini.

Makna Pasupati
Upacara Pasupati bermakna pemujaan memohon berkah kepada Hyang Widhi (Sang Hyang Pasupati) untuk dapat menghidupkan dan memberikan kekuatan magis terhadap benda-benda tertentu yang akan dikeramatkan. Dalam kepercayaan umat Hindu (ajaran Sanatana Dharma) di Bali, upacara Pasupati merupakan bagian dan upacara Dewa Yadnya. Proses pasupati bisa dengan hanya mengisi energi atau kekuatan tuhan atau menstanakan sumber kekuatan tertentu di dalam benda tersebut. Tergantung kemampuan orang yang melakukan upacara pasupati tersebut. dalam Bhagavadgita IV.33, disebutkan bahwa:
srayan dravyamayad yajnaj
jnanayajnah paramtapa
sarvam karma 'khilam partha
jnane perimsamapyate

Artinya:
Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa lebih bermutu daripada persembahan materi dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu-pengetahuan, Oh Parta…

Salah satu hari suci agama Hindu yang cukup istimewa adalah Tumpek Landep yang jatuh setiap 210 hari sekali tepatnya pada setiap hari Saniscara Kliwon wuku Landep.

Secara umum untuk merayakannya, masyarakat Hindu menggelar kegiatan ritual yangkhusus dipersembahkan untuk benda-benda dan teknologi, yang berkat jasanya telah mampu memberikan kemudahan bagi umat dalam mencapai tujuan hidup. Utamanya adalah benda-benda pusaka, semisal keris, tombak, sampai kepada kendaraan bermotor, komputer, dan sebagainya.

Disamping hal tersebut, sesungguhnya hari suci Tumpek Landep merupakan hari Rerahinan gumi dimana umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan kecerdasan, pikiran tajam serta kemampuan yang tinggi kepada umat manusia (Viveka dan Vinaya), sehingga mampu menciptakan berbagai benda yang dapat memudahkan hidup termasuk teknologi. Mesti disadari, dalam konteks itu umat bukanlah memuja benda-benda tersebut, tetapi memuja kebesaran Tuhan.

Upacara pasupati merupakan bagian dan upacara Dewa Yadnya, upacara ini ditata dalam suatu keyakinan yang terkait dengan Tri Rna. Upacara pasupati yang diyakini oleh manusia sejak dulu kala sampai kini hidup dalam proses budaya dan budaya tradisi kecil ke tradisi besar dan hidup sampai tradisi modern. Upacara ini bertujuan untuk menghidupkan serta memohon kekuatan magis terhadap benda-benda tertentu yang akan dikeramatkan. Menurut keyakinan Hindu khususnya di Bali segala sesuatu yang diciptakan oleh Ida Hyang Widhi mempunyai jiwa, termasuk yang diciptakan oleh manusia mempunyai jiwa/kekuatan magis dengan cara memohon kehadapan Sang Pencipta menggunakan upacara Pasupati. Seperti contohnya yaitu benda yang disakralkan berupa Pratima, keris, barong, rangda, dan lain-lain. Hal itu dapat dibuktikan dalam beberapa sloka dalam kitab suci agama Hindu yang berbunyi, sebagai berikut:
Bhurita Indra Wiryam tawa smaya 
Sya stoturma dhawan kamana prna
Anu tedyavabhahah wiryani nama
Iyam ca te prthiwi nama ojase

Artinya:
Keselamatan-Mu sungguh hebat, Dewa Indra. Kami adalah milik-Mu, kabulkanlah Madhawan. Permohonan pemuja-Mu, langit yang megah seperti engkau. Kepada-Mu dan untuk kesaktian-Mu bumi mengabdi (Reg Weda).

Pemikiran di atas mengandung makna, penggambaran hubungan manusia dengan Tuhannya dapat melalui permohonan doa, kesucian pikiran ada kekuatan magic yang diyakini berkah Ida Hyang Widhi Wasa yang dilimpahkan pada umatnya. Secara simbolik upacara Pasupati berarti memberkahi jiwa (kekuatan magic) pada benda-benda budaya yang mempunyai nilai luhur dan memberikan kesejahteraan pada umatnya.

Dalam rangka sakralisasi maupun penyucian suatu benda seperti keris, barong, arca, pratime, pis bolong dan lain-lain harus melalui upacara prayascita dulu yang bermakna menghilangkan noda/kotoran yang melekat karena proses pembuatan benda tersebut. Secara niskala selanjutnya diadakan proses upacara “Dewa Prayascita”. Ada juga menyebut dibuat upacara Pasupati yang bermakna memberkahi kekuatan sinar suci Ida Hyang Widhi Wasa pada benda-benda tersebut. Ada pula mengatakan bahwa khusus upacara Pasupati bagi arca, Dewa-Dewa dilengkapi penulisan huruf magic. Mengacu pada pemikiran diatas upacara Pasupati di Bali masih ditradisikan di Bali, dimana benda seperti arca, barong, keris, Pis Bolong dan lain-lain setelah dipasupati, amat diyakini oleh masyarakat, bahwa benda tersebut memiliki roh atau jiwatman dan terkandung kekuatan suci Ida Hyang Widhi/Ida Hyang Pasupati dan juga menjadi sungsungan masyarakat.

Keyakinan Upacara diatas juga dibenarkan pula oleh pendapat tokoh antropologi yang mengatakan bahwa sistem kepercayaan masyarakat mengandung keyakinan dengan dunia gaib. Dewa - dewa, mahiuk halus, kekuatan sakti serta kehidupan yang akan datang pada wujud dunia dan alam semesta. Pemikiran diatas dikaitkan dengan upacara Pasupati membenarkan bahwa keyakinan yang tebal pada masyarakat setelah benda tersebut diupacarai pasupati akan diberkahi kekuatan sakti para dewa sebagai manifestasi Ida Hyang Widhi Wasa. Penulis juga pernah membaca pada lontar Tutur pasupati yang menggambarkan bahwa dengan memohon para dewa untuk memusnahkan segala kotoran untuk menemukan kesucian pada bhuwana alit dan bhuwana agung dengan berbagai mantra dan upakara, maka dari itu upacara pasupati tergolong upacara dewa yadnya. Upacara pasupati sebagai media sakralisasi, seperti telah dijelaskan di atas pelaksanaan upacara pasupati bervariasi menurut desa, kala dan patra masing-masing desa di Bali.

Sarana Upacara Banten Pasupati
Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini.

Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, Dupa Pasupati dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Banten Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati dengan kelengkapan banten prayascita, sorohan alit, banten durmanggala dan pejati.

Cara penyusunannya, dari bawah ke atas Tebasan pasupati

Kulit sayut
Tumpeng barak
Raka – raka dan jaja
Kojong balung/prangkatan (5 kojong jadi 1) yang berisi kacang, saur, Gerang, telur dan tuung (terong)
Sampian nagasari, penyeneng, sampian kembang (terbuat dari don andong)
Pejati dan peras dengan sampian dari don andong, canangnya menggunakan bunga merah
Lis/buu alit (dari don andong)
dupa 9 batang
ayam biying mepanggang
segehan bang

banten prayascita untuk Pasupati

tumpeng mepekir, 5 buah
tulung, 5 buah
siwer 1, dengan tanceb cerawis
tipat pendawa
kwangen dan don dadap 5, masing 2 ditancapkan di tumpeng
raka-raka dan kacang saur
sampian nagasari

dapetan tumpeng 7, alas ngiu (ngiru)
taledan 2 – masing -masing di isi : taledan pertama: tumpeng 2, raka-raka kacang saur dan sampian nagasari. taledan ke dua: tumpeng 3, tulung, bantal, tipat penyeneng, raka2 kacang saur dan sampian pusung
sayut 2 – masing -masing di isi : sayut pertama; gibungan lempeh 1, raka2 kacang saur dan sampian nagasari dan sayut berikutnya; gibungan lanying 4, raka2 kacang saur dan sampian nagasari
di tengah2 isi cawan, isi base tampin, beras, benang tebus, pis bolong 3, penyenyeng

sorohan alit untuk Pasupati

taledan mesibeh/mesrebeng
kulit sayut 2 , di sampingnya
kulit peras di tengah2 antara sayut
ujung peras isi katak-kituk, sesisir pisang, sedikit jajan, nasi dan saur, isi plaus kecil, smua dsb nasi sasah, sidampingnya isi pisang tebu raka-raka
belakang nasi sasah isi tumpeng, 11 buah
kulit sayut isi nasi pulungan 4
kulit sayut lagi satu, sisi gibungan alit 1
di kulit peras isi tulung, 3 buah
isi kacang saur raka-raka
sampian pusung 2, di taruh bagian depan
di atas sayut sampian naga sari, 2 buah
atas kulit sayut sampian nagasari 1
penyeneng, tatakan celemih, isi base tampin, beras, benang tebus
lis / buu alit
banten bersihan

banten durmanggala dengan klungah nyuh mulung (gadang)
Banten Pejati untuk melengkapi Banten Pasupati sebagai hulu upacara pasupati tersebut.

Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu umat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh...!

Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga.

Sebenarnya siapapun dapat “menghidupkan / me-pasupati” Rerajahan / barang setelah melalui beberapa ritual tertentu, seperti membacakan “mantra pangurip”. Namun hendaknya sebelum mantra ini diucapkan sebaiknya pahami benar maksud gambar Rerajahan yang akan di “pasupati” agar tidak menjadi bumerang dikemudian hari.

Pedanda (karena Brahmana adalah sebutan untuk klan/keluarga pendeta Hindu, namun tidak selalu menjadi atau memiliki kemampuan menjadi pedanda) dan Pemangku juga Balian (paranormal) adalah praktisi-praktisi yang mendalami pembuatan Rerajahan, tentu saja mereka mampu menginisiasi rerajahan.

Mantra Pasupati:
Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip. 
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang
Ang-Ung-Mang,
Om Brahma pasupati,
Om Visnu Pasupati,
Om Siva sampurna ya namah svaha

Kemudian masukkan bunga ke dalam air yang telah disiapkan
Dengan demikian maka air tadi sudah menjadi Tirtha Pasupati, dan siap digunakan untuk mempasupati diri sendiri dan benda-benda lainnya.

Catatan:
……………………….Titik-titik pada mantra di atas adalah sesuatu yang mau dipasupati)-dalam hal ini adalah air untuk tirtha pasupati. Dalam hal tertentu dapat dipakai mempasupati yang lainnya..tergantung kebutuhan (tapi tetap saya sarankan hanya untuk Dharma, karena jika akan dipakai untuk hal-hal negatif maka mantra tersebut tidak akan berguna bahkan akan mencederai yang mengucapkannya)!!
Mantra di atas bersumber dari lontar Sulayang Gni Pura Luhur Lempuyang, koleksi pribadi.

Mantra Pasupati berikut juga bisa digunakan: 

Om ang ung pasupati badjra yuda agni raksa rupaya purwa muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati pasa yuda agni raksa rupaya pascine muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati cakra yuda agni raksa rupaya utara muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati padma yuda agni raksa rupaya madya muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati para mantra pasupatnya ong pat
Om ang brahma urip
Om ung wisnu urip
Om mang iswara urip
Urip (3x) Tang rerajahan
Om dewa urip, manusia urip, sing teka pada urip
Om kedep sidhi mandi mantra sakti

Atau dapat juga menggunakan mantra Pasupati berikut: 
Ong ang ung,
teka ater (3x)
ang ah, teka mandi (3x) ang.
(jeda sesaat)

Ong betare indra turun saking suargan,
angater puja mantranku,
mantranku sakti,
sing pasanganku teka pangan,
rumasuk ring jadma menusa,
jeneng betara pasupati.
Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.
(jeda sesaat)

Om bayu sabda idep, urip bayu, urip sabda, urip sarana, uriping urip, ya nama swaha. Om aku sakti, urip hyang tunggal, lamun urip sang hyang tunggal, urip sang hyang wisesa, teka urip 3x

Atau menggunakan mantra Pasupati berikut
MENYUCIKAN BAHAN
ong sameton tasira matemahan ongkara
Malecat ring angkasa tumiba ring pertiwi
Matemahan sarwe maletik
Mabayu, masabda, maidep
Bayunta pinake sabdan I ngulun
Pejah kita ring brahma
Urip kita ring wisnu
Begawan ciwakrama mengawas-ngawasi sarwa waletik

MANTRA NGERAJAH
ong saraswati sudha sudha ya namah swaha

PENGURIP RERAJAHAN
ong ang ung mang
Ang betara brahma pangurip bayu
Ung betara wisnu pangurip sabda
Mang betara iswara pangurip idep
Ong sanghyang wisesa pengurip saluiring rerajahan
Teke urip (3x) ang ung mang ong

PENGURIP SERANA
ong urip bayu sabda idep
Bayu teke bayu urip
Sabda teke sabda urip
Idep teke idep urip
Uriping urip teke urip (3x)

Hasilnya dari proses pasupati tidak akan sama antara orang yang 1 (satu) dengan yang lainnya tergantung tingkat kesucian masing – masing orang, memang semua orang bisa melakukan pasupati, asal tahu tatacara dan langkah – langkahnya. istilah balinya “eed upacara” tapi tetap hasilnya tidak akan sama kekuatan yang terpancarkan, bahkan bias – bisa kekuatan tersebut bahkan akan berefek buruk pada yang menggunakan barang – barang hasil pasupati jika salah dalam melakukan upacara tersebut.
Kewaskitaan sangat diperlukan karena proses tersebut mesti disaksikan sendiri apakah sdh benar atau hanya pikiran semata.

Pada proses pasupati orang yang melakukan upacara tersebut mesti bisa berbadan dewa atau menyatu atau sama kedudukan yang menyembah dengan yang disembah pada saat itu sehingga proses penghadiran dewa yang dikehendaki kekuatan nya benar- benar hadir dan mengisi benda yang akan dipasupati atau manifestasi Tuhan tersebut berstana atau berdiam diri langsung di benda yang diupacarai.

Kalau hanya berbekal keyakinan saya bs melakukan hal tersebut tanpa diimbangi dengan uraian diatas sama saja kita tidak tahu dengan apa yang kita lakukan dan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selama dan sesudah proses pasupati terjadi.

Jadi kesimpulannya semua bisa melakukan hal upacara pasupati tersebut tapi tetap akan diberikan ijin oleh Tuhan apa tidak itu tergantung dari manusia yang melakukan upacara tersebut.

Proses pasupati tidak sesimpel yang dipikirkan dengan hanya memegang benda yang akan dipasupati dan meniatkan benda itu berubah jd apa yang dikehendaki itu justru akan menjadi bumerang bagi yang mempasupati benda tersebut, karena dengan kesaktian penciptanya, justru kekuatan yang ada di benda tersebut akan menekan yang memakai benda tersebut sehingga berefek sangat buruk pada yang memakainya, akibatnya lama kelamaan aura kesaktian penciptanya ini akan menggencet jiwa pemakainya yang bisa mengakibatkan ketidakharmonisan didalam rumahtangga, misalnya : rasa takut, merinding, gelisah, rasa marah yang tidak terkontrol, dll

Semua itu tidak terlepas dari energi ghanta dalam mempasupati sebuah benda, dengan kekuatan kesucian yang dimiliki pembina setiap benda yang dipegang saja sudah bercahaya apalagi beliau melakukan proses pasupati pastinya akan jauh lebih dasyat energi yang terpancar untuk keharmonisan alam sekitarnya dari benda yang sudah dipasupati beliau.

Permohonan kepada sang hyang pasupati dan diberikannya restu melalui kekuatan ghanta pada jaman sekarang ini akan membuat setiap benda menjadi berfungsi sangat sempurna sesuai dengan dasar benda tersebut dan program yang dimasukkan ke benda tersebut akan berjalan lebih berguna bagi yang menggunakannya.

Etikanya memang memohonkan pada sang hyang pasupati tp kekuatan yang berstana di benda yang dipasupati adalah kekuatan energi ghanta yang sudah difungsikan sesuai utk memfungsikan benda yang dipasupati karena kekuatan yang relevan pada jaman ini adalah energi ghanta, semua benda yang dipasupati akan menjadi metaksu dengan berdiamnya sumber energi pd benda tersebut yaitu adhitaksu.

Silahkan dibandingkan benda-benda yang sudah dipasupati apapun itu dengan benda-benda yang dipasupati dengan energi ghanta pasti akan jauh dari yang diharapkan fungsinya

Atau silahkan pasupati sendiri benda-benda yang anda punyai (jika anda sudah merasa mampu) dan bandingkan dengan hasil pasupati dari ida nabe, apakah akan sama hasilnya???? Silahkan dinilai sendiri……..

Mengenai pemakaian produk seperti kalung ghanta atau dupa gandasidhi atau minyak dan lainnya yang diproduksi melalui proses pasupatian itu memang sasarannya ke orang diluar anggota ghanta, tapi jika ada sisya (murid) yang mau membelinya alangkah dihargai hal tersebut disamping utk menambah keyakinan, hal itu juga bisa membantu secara finansial yayasan serta juga menunjukkan kebanggaan sisya dengan ghantayoga.

Sisya yang selalu membicarakan mengenai ghantayoga menunjukkan keyakinananya dan kebanggaannya akan ajaran yang dipelajari serta pengetahuannya sdh meningkat akan ajaran ghantayoga dan mau membagikan vibrasi energi ghanta ke orang lain daripada membicarakan keilmuan lain diluar yang telah diajarkan dari ghanta, menunjukkan sisya tersebut jarang bahkan tidak pernah melatih ajaran ghantayoga dalam kesehariannya dan semakin tidak mengerti akan ajaran ghanta yoga dan karena hanya ingin menunjukkan pengetahuannya sehingga yang dibicarakan selalu hal-hal yang di luar ghanta yoga utk menutupi ketidak mengerti nya terhadap ajaran ghanta yang notebene tidak pernah dilatih dan dikonsultasikan ke pembina, itu menunjukkan sisya tersebut sudah menurun keyakinannya terhadap ghanta yoga dan diharapkan sisya tersebut segera berkonsultasi sesering mungkin dengan pembina dan jika hal tersebut tidak bisa menambahkan keyakinan terhadap ajaran ghanta yoga sebaiknya sisya tersebut segera mungkin mengundurkan diri dari yayasan daripada meng-kotaminasi sisya yang lainya dan menimbulkan keraguan bagi sisya yang mudah goyah keyakinannya atau yang baru setengah-setengah keyakinannya terhadap ajaran ghanta yoga.

Ajaran ghanta yoga keluarnya dari guru ghanta yoga itu sendiri, jadi apapun yang dikatakan guru ghanta yoga itulah yang mesti dijalankan karena itu merupakan kebenaran yang mesti diikuti, semua itu merupakan tanggung jawab beliau dengan berani memberikan saran terhadap sisyanya otomatis hal itu akan ditanggung sendiri oleh sang guru sampai hal yang disarankan tersebut menjadi kenyataan dalam kehidupan sisyanya, jadi jika semua saran dr guru diragukan bahkan tidak dijalankan itu menunjukkan sisya sdh tidak ada respect terhadap gurunya dan itu menunjukkan pula ketidak bergunanya seseorang belajar di ghanta yoga dan saran yang terbaik bagi sisya tersebut adalah agar sisya tersebut segera pula mengundurkan diri dari ajaran ghanta yoga.

Berikut adalah artikel ilmiah yang membahas tentang Mantra Pasupati, lengkap dengan sokasinya (teks mantra), transliterasi, dan maknanya:


---

Mantra Pasupati: Kajian Teks, Transliterasi, dan Makna Spiritual

Pendahuluan

Mantra Pasupati merupakan salah satu mantra suci dalam tradisi Hindu Bali yang berkaitan dengan kekuatan penyucian, pemberdayaan, dan penghidupan (pangurip). Mantra ini sering digunakan dalam upacara sakral seperti pasupati pusaka (penyucian senjata/alat suci), pewintenan, dan ritual lainnya yang membutuhkan penyucian spiritual. Kajian ini bertujuan untuk membahas teks asli mantra, memberikan transliterasi dalam aksara Latin, serta memaparkan makna filosofis dan spiritualnya.


Teks Mantra Pasupati (Sokasi) dan Transliterasi

Teks Asli (Sokasi)

Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha  
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,  
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha  
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati  
Tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti,  
Angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci,  
Angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi,  
Angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya  
Teka urip, teka urip, teka urip.  
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........  
Om eka vastu avighnam svaha  
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang  
Ang-Ung-Mang,  
Om Brahma pasupati,  
Om Visnu Pasupati,  
Om Siva sampurna ya namah svaha

Transliterasi Latin (Sansekerta dan Bahasa Bali Campuran)

Om Saṅhyang Pasupati Aṅ-Uṅ Maṅ ya namaḥ svāhā  
Om Brahmā astra pasupati, Viṣṇu astra pasupati,  
Śiva astra pasupati, Om ya namaḥ svāhā  
Om Saṅhyang Sūrya Candra tumurun maring Saṅhyang Āji Sarasvatī  
Tumurun maring Saṅhyang Gaṇa, aṅgawe pasupati mahāśakti,  
Aṅgawe pasupati mahāsiddhi, aṅgawe pasupati mahāśuci,  
Aṅgawe paṅurip mahāśakti, aṅgawe paṅurip mahāsiddhi,  
Aṅgawe paṅurip mahāśuci, aṅurip sahananing rāja karya  
Teka urip, teka urip, teka urip.  
Om Saṅhyang Ākāśa Pṛthivī pasupati, aṅurip........  
Om eka vastu avighnam svāhā  
Om Saṅ-Baṅ-Taṅ-Aṅ-Iṅ-Naṅ-Maṅ-Siṅ-Waṅ-Yaṅ  
Aṅ-Uṅ-Maṅ,  
Om Brahmā pasupati,  
Om Viṣṇu pasupati,  
Om Śiva sampūrṇa ya namaḥ svāhā


---

Makna dan Interpretasi Filosofis

Mantra Pasupati memiliki struktur dan makna yang kaya secara spiritual. Berikut penjelasan beberapa bagian pentingnya:

1. Invokasi Awal

> "Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha"
Mengandung seruan dan pemujaan kepada kekuatan suci Sanghyang Pasupati sebagai energi pemurnian dan pelindung. Suku kata Ang-Ung-Mang adalah bija mantra yang melambangkan kekuatan Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai trinitas dalam penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan.



2. Tiga Dewa Utama Sebagai Pasupati

> "Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati, Siva astra pasupati"
Menggambarkan bahwa kekuatan pasupati bersumber dari ketiga dewa utama (Trimurti), yang masing-masing memiliki fungsi dalam semesta sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur.



3. Kekuatan Penyucian dan Penghidupan

> "Angawe pasupati maha sakti... teka urip"
Rangkaian ini memohon agar kekuatan pasupati tidak hanya menyucikan secara spiritual tetapi juga memberikan kekuatan hidup (urip), daya cipta (karya), serta keagungan dalam tindakan dan kehidupan.



4. Elemen Kosmik: Akasa dan Pertivi

> "Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati"
Menunjukkan bahwa energi pasupati meresap dalam unsur langit (akasa) dan bumi (pertivi), menjadikannya kekuatan universal yang mendasari kehidupan dan kesucian di alam semesta.



5. Mantra Bija dan Penutup

> "Om Sang-Bang-Tang..." dan "Om Siva sampurna ya namah svaha"
Penggunaan suku kata suci sebagai bija mantra memperkuat energi spiritual. Penutup dengan “Śiva sampūrṇa” memohon penyempurnaan dari energi Śiwa dalam penyucian total.

Kesimpulan

Mantra Pasupati adalah cerminan dari kekuatan spiritual Hindu Bali yang bersumber dari Trimurti dan unsur alam semesta. Melalui susunan mantra yang terdiri dari pujian, permohonan, serta penyatuan energi sakral, mantra ini bukan hanya alat ritual, tetapi juga sebuah jalan spiritual menuju pembersihan, penguatan, dan pencerahan hidup. Pemahaman terhadap struktur dan makna mantra ini penting untuk melestarikan dan mengaplikasikannya dengan benar dalam konteks spiritual maupun budaya Bali.


NGEMARGIANG SARANA PENGURIP-URIP PADA BANGUNAN

Dalam tradisi Bali, setiap proses pembangunan tidak hanya bersifat fisik semata, tetapi juga menyangkut aspek spiritual. Salah satu bagian penting dalam pembangunan adalah ngemargiang sarana pengurip-urip, yaitu memberikan unsur kehidupan pada sebuah bangunan agar memiliki kekuatan niskala dan harmonis secara sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata).

Pengertian Sarana Pengurip-urip

Sarana pengurip-urip adalah perlambang unsur kehidupan yang ditempatkan pada bangunan baru, seperti rumah tinggal, bale, atau pura. Unsur ini berfungsi sebagai penyemangat atau jiwa dari bangunan tersebut agar diberkati, dilindungi, dan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.

Unsur-Unsur Pengurip-urip dan Penempatannya

  1. Getih (Darah Ayam Merah)

    • Tempatkan di: Pusat bangunan atau titik tengah pondasi utama (biasanya saat nedunang atau mendem dasar).
    • Makna: Melambangkan unsur kehidupan dan pengorbanan.
  2. Arang

    • Tempatkan di: Empat penjuru pondasi bangunan (timur, selatan, barat, utara).
    • Makna: Melambangkan kekuatan api sebagai pembersih dan pelindung dari gangguan negatif.
  3. Kunyit

    • Tempatkan di: Tengah bangunan bersama dengan getih, atau di tiang guru (tiang utama).
    • Makna: Sebagai simbol kesucian dan pengobatan.
  4. Pamor (Logam Campuran)

    • Tempatkan di: Dasar pondasi atau di pusat bangunan, biasanya disimpan dalam wadah kecil (bokor) bersama getih dan kunyit.
    • Makna: Melambangkan kekuatan logam dan pelindung terhadap energi negatif.

Penulisan Aksara Bali

Penulisan aksara Bali sebagai bagian dari pengurip-urip sering disebut nyurat aksara sakral atau aksara pengurip. Aksara ini biasanya ditulis menggunakan kajang putih dan tinta dari bahan alami seperti jelaga (lebu geni). Aksara yang ditulis biasanya adalah aksara suci seperti Ang, Ung, Mang, Ing, atau Ongkara.

  • Urutan Proses Penulisan:
    1. Pembersihan tempat (melukat) dan persembahyangan.
    2. Menyiapkan sarana: Kain putih, tinta, dan alat tulis (biasanya lidi atau pena khusus).
    3. Menulis aksara suci dimulai dari arah timur searah jarum jam (purwa daksina).
    4. Aksara ditempatkan di tengah bangunan, atau diselipkan bersama sarana pengurip lainnya.
    5. Pemendeman aksara dan sarana dilakukan oleh pandita/pemangku dengan mantra dan upacara tertentu.

Penutup

Tradisi ngemargiang sarana pengurip-urip mencerminkan betapa harmonisnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam budaya Bali. Penempatan unsur-unsur seperti getih, arang, kunyit, pamor, dan aksara Bali tidak dilakukan sembarangan, namun dengan penuh makna dan perhitungan spiritual agar bangunan menjadi tempat yang layak, aman, dan penuh berkah.