Selasa, 05 Agustus 2025

Saya Memang Pewaris, Bukan Perintis”Sastra, Agama, dan Budaya Bali dalam Jejak Ki Dalang Tangsub dan Hyang Abra Sinuhun

🪔 “Saya Memang Pewaris, Bukan Perintis”
Sastra, Agama, dan Budaya Bali dalam Jejak Ki Dalang Tangsub dan Hyang Abra Sinuhun
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

**Pukulun Hyang Kawisuara,
Miwah Sang Hyang Saraswati,
 Tabe Titang Mupul Sastra,
 Wong Abian Tuna Tulus,
 Minta Sastra Kahuripan,
 Dewa Gusti,
 Tabe Titiang Tan Cantula.**
 (Pupuh Ginada, Kidung Primbon Ki Dalang Tangsub)

Dalam jalinan hidup yang dianyam oleh leluhur, saya hadir bukan sebagai perintis, tetapi pewaris. Di atas tapak kaki Ki Dalang Tangsub, di bawah lindungan Hyang Abra Sinuhun, saya memikul pusaka suci berupa sastra, agama, seni, dan budaya Bali. Warisan ini bukan hanya mahkota kehormatan—tetapi api abadi yang mesti saya rawat agar tidak padam, agar tetap menghangatkan dunia hingga generasi mendatang.
🕉️ Pewaris Sebagai Dharma, Bukan Sekadar Status
Menjadi pewaris sejati tidak berhenti pada pewarisan nama atau garis keturunan. Lebih dalam dari itu, pewarisan adalah pengabdian spiritual. Saya sadar, tugas saya bukan menciptakan sesuatu yang baru secara lahiriah, melainkan menjaga, menghidupkan, dan mentransformasikan warisan yang sudah sempurna dalam kebijaksanaan zaman dulu.
Bali tidak kekurangan perintis, tetapi membutuhkan pewaris yang setia dan sadar akan dharmanya. Dalam ruang sunyi batin saya, saya mendengar pesan itu dengan jelas:
 "Jaga warisan kami, dan jagalah jiwamu di dalamnya."

📖 Sastra sebagai Nafas Kehidupan
Dalam setiap goresan aksara Bali, dalam setiap bait kidung primbon, saya menemukan kehidupan yang tak pernah usang. Sastra bukan sekadar tulisan, tetapi wahyu yang menjelma jadi puisi dan pitutur.
 Kidung Primbon Ki Dalang Tangsub adalah warisan spiritual sekaligus literer. Di dalamnya, saya menemukan kodrat sebagai ‘Wong Abian Tuna Tulus’—seorang anak dari ladang suci yang memohon kepada Dewata agar diberi sastra sebagai sumber kehidupan.
Sastra adalah denyut nadi Bali. Bila ia diam, maka budaya pun pelan-pelan mati.
🎭 Seni dan Dalang: Panggung Kesadaran
Ki Dalang Tangsub bukan sekadar tokoh pewayangan—beliau adalah filsuf dalam rupa rakyat, brahmana dalam bentuk seniman. Dari tangan dan suara beliau, tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bima, hingga Dewa Ruci, menjadi hidup dan mengajar nilai dharma kepada rakyat kecil.
Sebagai pewaris, saya tidak hanya mendengar, tetapi belajar menjiwai. Bahwa dalang bukan sekadar memainkan wayang, tetapi membangkitkan kesadaran kolektif umat manusia agar kembali pada kebajikan.

🪷 Ngrajegang Agama dan Budaya
Ngrajegang tidak sama dengan mempertontonkan. Menghidupkan agama bukan berarti memperbanyak upacara, tetapi menumbuhkan rasa bhakti yang jujur dan tulus dalam hati. Saya warisi ajaran itu dari kakek dan ayah saya, dua api suci yang tak pernah redup dalam jiwa saya.
Setiap saya menyiapkan banten, melagukan kidung, menulis aksara, atau membimbing anak-anak Bali belajar menari, saya tidak sedang melestarikan masa lalu. Saya sedang memperpanjang napas peradaban, agar taksu Bali tetap bersinar walau dunia berubah cepat.

💫 Inovasi Tradisi: Memahat Masa Depan dengan Alat Lama
Saya tidak takut dengan teknologi. Saya tidak alergi terhadap kemajuan. Justru, saya mengangkat warisan ke ruang digital—mengarsipkan lontar, mengunggah wayang, membagikan kidung, dan menulis ulang primbon dalam bentuk interaktif.
Saya percaya, warisan suci ini bukan milik masa lalu. Ia milik semua zaman. Dan saya, sebagai pewaris, adalah jembatan antara tanah leluhur dan cakrawala masa depan.

✨ Persembahan kepada Dua Cahaya Hidup Saya
Buku ini saya persembahkan kepada pria yang paling saya kagumi:
 Seorang sahabat yang sentuhannya menghangatkan diri saya;
 Seorang pembimbing yang kebijaksanaannya menuntun diri saya;
 Seorang pendorong semangat yang kata-katanya mengangkat diri saya;
 Seorang pemimpin yang saya cintai untuk saya ikuti…
Kakek & Ayah Saya, Hyang Abra Sinuhun Ki Dalang Tangsub
Dari beliau, saya belajar bahwa menjadi manusia Bali bukan soal lahir di Bali, tetapi hidup dan mencintai Bali secara utuh—lahir, batin, dan karya.

Penutup: Pewaris yang Mewaris Kehidupan
Saya memang pewaris, bukan perintis. Tapi di dalam darah pewarisan itulah, saya perintis jalan baru untuk generasi mendatang. Jalan yang tetap berakar, namun tak kaku. Jalan yang berani terbuka, namun tak melupakan leluhur.
Saya warisi kidung, saya rawat sastra, saya jaga agama, saya kobarkan seni, saya cintai Bali.
Karena di situlah saya menemukan hakikat hidup:
 Menjadi manusia yang menghidupi warisan, bukan sekadar memilikinya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar