"Keringat Leluhur di Tanah Para Dewa: Antara Penjaga Tradisi dan Pedagang Budaya dalam Perspektif Etika Hindu"
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Artikel ini menyoroti ironi sosial dalam dinamika pelestarian budaya Hindu di tengah arus globalisasi dan komodifikasi budaya. Melalui puisi reflektif yang menggambarkan perjuangan kaum penjaga warisan leluhur dan kontrasnya dengan pihak luar yang mengeksploitasi budaya demi keuntungan, artikel ini ditelaah dengan pendekatan filsafat Hindu serta dikaitkan dengan ajaran Weda dan sloka-sloka yang relevan.
---
Pendahuluan:
Di tanah Bali, yang sering disebut "Pulau Dewata", budaya dan spiritualitas bukan hanya warisan, tetapi nadi kehidupan. Namun di tengah kemegahan pariwisata dan konsumsi budaya massal, terdapat ketimpangan: mereka yang menjaga tetap hidup sederhana, sementara yang menjual hidup dalam kemewahan.
---
Teks Puitis Reflektif:
Di tanah para dewa,
di bawah bayang kemilau,
sosok renta memanggul warisan leluhur—
keringatnya menetes demi menjaga nyala tradisi.
Sementara itu, di sudut yang lain,
tangan-tangan asing menangguk untung
dari budaya yang tak mereka pahami,
tertawa di atas jerih payah
yang tak pernah mereka rasakan.
Yang setia menjaga, tetap sederhana;
yang pandai menjual, hidup dalam kemewahan.
---
Sloka Hindu Terkait:
1. Bahasa Sanskerta:
न हि कश्चित्क्षणमपि जातु तिष्ठत्यकर्मकृत्।
कार्यते ह्यवशः कर्म सर्वः प्रकृतिजैर्गुणैः॥
Transliterasi:
Na hi kaścit-kṣaṇam-api jātu tiṣṭhaty-akarmakṛt,
Kāryate hy-avaśaḥ karma sarvaḥ prakṛti-jair-guṇaiḥ.
Makna:
"Tak seorang pun dapat tinggal diam tanpa berbuat apa-apa; setiap orang, tanpa sadar, digerakkan oleh sifat-sifat alami yang melekat padanya."
(Bhagavad Gītā 3.5)
Tafsir:
Para penjaga budaya digerakkan oleh dharma mereka—kesadaran untuk menjaga tradisi. Sementara para pencari untung, digerakkan oleh guna dan keinginan duniawi.
---
2. Bahasa Sanskerta:
धर्मेण हीना पशवः समाना
Transliterasi:
Dharmeṇa hīnā paśavaḥ samānāḥ
Makna:
"Mereka yang tanpa dharma tidak berbeda dengan binatang."
(Manusmṛti 2.12)
Tafsir:
Mereka yang mengeksploitasi budaya tanpa memahami atau menghormatinya, bertindak tanpa dharma, sehingga kehilangan nilai kemanusiaannya.
---
3. Bahasa Sanskerta:
यथा चतुर्भ्यः पात्रेभ्यः स्वर्णं सम्पद्यते शुद्धिम्।
तथा धर्मे चतुर्वर्गं कालेन लभते नरः॥
Transliterasi:
Yathā caturbhyaḥ pātrebhyaḥ svarṇaṃ sampadyate śuddhim,
Tathā dharme caturvargaṃ kālena labhate naraḥ.
Makna:
"Sebagaimana emas dimurnikan dalam empat wadah, demikian pula manusia melalui dharma akan memperoleh keempat tujuan hidup (puruṣārtha) seiring waktu."
(Mahābhārata, Anuśāsanaparva)
Tafsir:
Para pemikul warisan budaya memurnikan diri mereka melalui kesetiaan pada dharma, meskipun tanpa kemewahan duniawi.
---
Pembahasan Filosofis dan Etika Hindu:
Dalam etika Hindu, keutamaan tidak diukur dari kekayaan lahiriah, tetapi kesetiaan pada svadharma (kewajiban pribadi). Mereka yang menjaga tradisi menjalankan karma yoga—tindakan tanpa pamrih. Sedangkan mereka yang menjual budaya tanpa pemahaman, jatuh dalam jerat rāga dan moha (keterikatan dan kebingungan), yang menurut Bhagavad Gītā adalah penghalang pencerahan.
Dilema Moral:
Apakah kekayaan hasil komodifikasi budaya dapat menggantikan kemuliaan keringat leluhur? Dalam perspektif Hindu, jawabannya jelas: tidak. Apa yang sakral tak bisa diukur dengan nilai tukar pasar.
---
Penutup:
Artikel ini menekankan bahwa pelestarian budaya tidak boleh digantikan oleh eksploitasi. Hormat kepada tradisi adalah bentuk tertinggi dari dharma. Di balik setiap gerakan tangan renta, tersimpan api suci warisan leluhur yang tak boleh padam.
---
Referensi:
Bhagavad Gītā, bab III
Manusmṛti, bab II
Mahābhārata, Anuśāsanaparva
Koentjaraningrat (1981), Pengantar Ilmu Antropologi
Titib, I Made (2003), Veda dan Upanishad: Sebuah Tinjauan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar