Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Akhir-akhir ini, fenomena bunuh diri kembali marak terjadi di tengah masyarakat. Kondisi ini mencerminkan adanya persoalan mendalam dalam aspek mental dan spiritual masyarakat. Artikel ini mengajak pembaca untuk merenung melalui lensa kearifan Hindu, khususnya dengan merujuk pada sloka Sansekerta yang memberikan nilai-nilai kehidupan dan pengendalian diri. Dalam konteks ini, introspeksi atas kondisi mental kolektif sangatlah penting sebagai upaya preventif dan kuratif terhadap tindakan-tindakan destruktif terhadap diri sendiri.
Pendahuluan:
Berita mengenai kasus bunuh diri kembali mewarnai media, dari remaja hingga dewasa, dari kota hingga desa. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis mental sekaligus krisis spiritual yang belum tertangani secara utuh. Di tengah derasnya arus modernitas, banyak individu kehilangan pegangan batiniah yang sesungguhnya telah diwariskan dalam ajaran-ajaran luhur. Agama Hindu, melalui pustaka sucinya, menekankan pentingnya pengendalian diri (atma nigraha) dan pemaknaan hidup yang sejati.
Kutipan Sloka Bhagavad Gita VI.5: उद्धरेदात्मनाऽत्मानं नात्मानमवसादयेत् । आत्मैव ह्यात्मनो बन्धुरात्मैव रिपुरात्मनः ॥
Transliterasi:
Uddhared ātmanātmānaṁ nātmānam avasādayet; Ātmaiva hyātmano bandhur ātmaiva ripur ātmanaḥ
Makna:
"Hendaknya seseorang mengangkat dirinya sendiri melalui kekuatan jiwanya, dan jangan membiarkan dirinya merosot. Diri sendirilah sahabat bagi dirinya, dan diri sendirilah musuh bagi dirinya."
Pembahasan:
Sloka ini memberikan pesan kuat bahwa kunci utama dalam menghadapi tekanan hidup dan gejolak batin ada pada pengendalian diri. Ketika seseorang kehilangan arah dan makna dalam hidup, ia berpotensi menjadi musuh bagi dirinya sendiri. Kegagalan dalam memahami jati diri sejati (ātman) dan terputusnya koneksi spiritual menyebabkan seseorang mudah larut dalam keputusasaan.
Fenomena bunuh diri tidak hanya dapat dijelaskan dari perspektif psikologis semata, tetapi juga spiritual. Di era digital saat ini, tekanan sosial, krisis eksistensial, dan perasaan kesepian meningkat, namun tidak selalu diimbangi dengan penguatan batin. Dalam ajaran Hindu, upaya penguatan mental dan spiritual sangat ditekankan melalui meditasi (dhyana), tapa (pengendalian diri), dan satsang (berkumpul dalam suasana spiritual).
Berikut adalah sloka 4 baris dalam bahasa Sanskerta yang saya susun sebagai refleksi dari kesimpulan tersebut, lengkap dengan transliterasi dan maknanya:
Sloka (Sanskrta):
समाजे दुःखदं दृश्यं, आत्मनः क्लेशवर्धनम्।
न दर्शकः स्यान्नरः, न च दोषवदं वदेत्॥
सामूहिकं प्रयत्नं, चेतसो विकसनाय च।
दीपनं हि आत्मदीपं, शान्तये मार्गदर्शनम्॥
Sloka:
Samāje duḥkhadaṁ dṛśyaṁ, ātmanaḥ kleśavardhanam; Na darśakaḥ syān naraḥ, na ca doṣavadaṁ vadet; Sāmūhikaṁ prayatnaṁ, cetaso vikasanāya ca; Dīpanaṁ hi ātmadīpaṁ, śāntaye mārgadarśanam
Makna:
Di masyarakat tampak penderitaan yang menyakitkan, memperparah luka batin manusia; Janganlah manusia hanya menjadi penonton, apalagi menyalahkan yang terluka; Perlu adanya usaha kolektif untuk mengembangkan ketenangan batin; Menyalakan pelita dalam diri adalah penunjuk jalan menuju kedamaian sejati.
Sloka ini bersifat orisinal dan disusun untuk menggambarkan urgensi empati, aksi kolektif, dan penyembuhan batin sebagai tanggapan terhadap krisis mental dan spiritual di masyarakat.
Penutup:
Kita perlu merenung dari kejadian-kejadian yang telah berlalu. Jangan hanya menjadi penonton, apalagi penghakim. Perlu ada gerakan bersama dalam membangun kembali kesehatan mental dan spiritual masyarakat. Sloka dari Bhagavad Gita di atas mengingatkan kita bahwa harapan akan pemulihan selalu ada, asalkan kita bersedia menyalakan kembali cahaya di dalam diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar