Mapulang Lingga Ring Kapurusan Griya Agung Bangkasa: Proses Spiritual Setelah Sedaraga Dwijati dan Katapak oleh Nabe Tapak
Pendahuluan
Dalam tradisi Hindu Bali, perjalanan spiritual seseorang, terutama dalam lingkungan Brahmana, memiliki tahapan yang sangat sakral dan penuh makna. Salah satu proses penting dalam perjalanan ini adalah Mapulang Lingga, yang menandai kembalinya seseorang ke jalur dharma leluhur setelah menjalani proses Sedaraga Dwijati dan mendapatkan restu dari Nabe Tapak. Proses ini merupakan bentuk penguatan spiritual sekaligus peneguhan status seseorang dalam komunitas kebrahmanaan.
Berikut adalah sloka terkait Mapulang Lingga Ring Kapurusan Griya Agung Bangkasa setelah melalui proses Sedaraga Dwijati dan katapak oleh Nabe Tapak:
Sloka dalam Aksara Dewanagari
स्वीयं लिङ्गं धर्ममार्गे पुनः प्रतिष्ठापयामि।
द्विजत्वं प्राप्य गुरुसेवया सत्यं न विचलते॥
कर्मणा धर्मपथं नित्यं चरामि स्वगृहे स्थितः।
गुरोः कृपया सत्यधर्मे चिरं स्थास्यामि अहम्॥
Transliterasi
Svīyaṁ liṅgaṁ dharmamārge punaḥ pratiṣṭhāpayāmi।
Dwijatvaṁ prāpya gurusevayā satyaṁ na vicalate॥
Karmaṇā dharmapathaṁ nityaṁ carāmi svagṛhe sthitaḥ।
Guroḥ kṛpayā satyadharme ciraṁ sthāsyāmi aham॥
Makna Sloka
"Aku meneguhkan kembali lingga suciku di jalan Dharma.
Setelah mencapai Dwijati dan melayani guru, aku tidak akan menyimpang dari kebenaran.
Dengan tindakan yang benar, aku akan selalu berjalan di jalur Dharma di rumah leluhurku.
Dengan anugerah guru, aku akan tetap teguh dalam kebenaran Dharma selamanya."
Sloka ini mencerminkan makna spiritual perjalanan seorang Dwijati yang kembali ke akar leluhur (kapurusan) setelah mendapatkan bimbingan dan restu dari Nabe Tapak. Ia berjanji untuk menjalankan Dharma dengan setia dalam kehidupannya.
Makna Mapulang Lingga
Secara harfiah, "Mapulang Lingga" berarti mengembalikan atau meneguhkan kembali lingga, yang dalam konteks spiritual merujuk pada jati diri seseorang sebagai bagian dari garis keturunan tertentu, terutama dalam sistem Griya atau keluarga besar para Brahmana. Lingga juga dapat diartikan sebagai simbol keberadaan seseorang dalam hubungan dengan leluhur dan tradisi yang diwariskan.
Kegiatan Mapulang Lingga Ring Kapurusan mengandung esensi bahwa seseorang yang telah melalui tahap Dwijati (kelahiran kedua secara spiritual) dapat kembali ke lingkungan Kapurusan atau silsilahnya, dengan status yang lebih teguh dalam menjalankan Dharma. Dalam konteks ini, Griya Agung Bangkasa adalah tempat yang memiliki nilai historis dan spiritual dalam sistem kebrahmanaan.
Berikut adalah sloka dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Dewanagari dan transliterasinya yang dapat menggambarkan makna dari upacara Mapulang Lingga, yaitu kembalinya seorang Sulinggih ke hakikat keilahian sejati:
Sloka Sanskerta
देहोऽयमपि नास्ति ममात्मरूपं
चैतन्यमेव परमार्थसत्यम्।
लिङ्गं पुनः संप्रविशामि सम्यक्
शिवाय तस्मै नम इत्यनन्तम्॥
Transliterasi
Deho’yam api nāsti mamātmarūpaṁ
Caitanyam eva paramārthasatyam।
Liṅgaṁ punaḥ saṁpraviśāmi samyak
Śivāya tasmai nama ity anantam॥
Arti
"Tubuh ini bukanlah hakikat sejati diriku,
Kesadaran murni adalah satu-satunya kebenaran tertinggi.
Sekarang aku kembali memasuki lingga dengan sempurna,
Salam hormatku kepada Shiva yang tanpa batas."
Sloka ini menggambarkan pelepasan keterikatan duniawi oleh seorang Sulinggih yang telah mencapai puncak perjalanan spiritualnya, kembali pada kesadaran murni, menyatu dengan keilahian sejati.
Proses Sedaraga Dwijati
Dwijati berasal dari kata "Dwi" yang berarti dua dan "Jati" yang berarti kelahiran. Dalam ajaran Hindu, seorang Brahmana dianggap memiliki dua kelahiran: pertama dari ibu kandungnya, dan kedua dari proses Sedaraga Dwijati, yaitu sebuah upacara sakral yang menjadikan seseorang sebagai bagian dari lingkungan kebrahmanaan secara spiritual.
Sloka
अहं आत्मा सनातनः शुद्धबुद्धस्वरूपकः।
न मे जन्म न मे मृत्युर्न बन्धो न च मे गतिः॥
न देहोऽहमिदं मिथ्या यथा स्वप्नगतो जनः।
मम रूपं परं ब्रह्म सच्चिदानन्दलक्षणम्॥
लिङ्गं त्यक्त्वा पुनः शुद्धं शिवसङ्गं प्रवेक्ष्यहम्।
यत्र नास्ति सुखं दुःखं केवलं ब्रह्म संस्थितम्॥
तस्मै नमो नमस्तुभ्यं परमात्मन्निरञ्जन।
यस्मिन्सर्वं लयं याति यत्र सर्वं प्रतिष्ठितम्॥
Transliterasi
Ahaṁ ātmā sanātanaḥ śuddha-buddha-svarūpakaḥ।
Na me janma na me mṛtyurna bandho na ca me gatiḥ॥
Na deho’hamidaṁ mithyā yathā svapnagato janaḥ।
Mama rūpaṁ paraṁ brahma saccidānanda-lakṣaṇam॥
Liṅgaṁ tyaktvā punaḥ śuddhaṁ śivasaṅgaṁ pravekṣyaham।
Yatra nāsti sukhaṁ duḥkhaṁ kevalaṁ brahma saṁsthitam॥
Tasmai namo namastubhyaṁ paramātmannirañjana।
Yasmin sarvaṁ layaṁ yāti yatra sarvaṁ pratiṣṭhitam॥
Arti dan Makna
"Aku adalah Atman yang kekal, murni, dan penuh kesadaran sejati.
Aku tidak terlahir, tidak mati, tidak terikat, dan tidak memiliki tujuan duniawi.
Tubuh ini bukanlah aku, ini hanyalah ilusi seperti seseorang dalam mimpi.
Hakikat diriku adalah Brahman yang tertinggi, yang berwujud Sat-Chit-Ananda (kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan abadi).
Setelah meninggalkan badan fana ini, aku akan kembali kepada kesucian, bersatu dengan Shiva.
Di sana tidak ada suka dan duka, hanya keberadaan Brahman yang mutlak.
Salam hormat kepadaMu, Sang Atman yang murni dan tak bercela.
Di dalamMu segalanya berakhir dan di dalamMu segalanya kembali bersemayam."
Sloka ini menggambarkan kesadaran tertinggi seorang Sulinggih dalam Mapulang Lingga, yaitu pelepasan total dari unsur duniawi dan penyatuan kembali dengan Shiva atau Brahman, hakikat tertinggi yang tanpa batas.
Proses Sedaraga Dwijati meliputi beberapa tahap utama: 1. Pembersihan diri secara lahir dan batin melalui ritual penyucian. 2. Penyematan Upavita (benang suci) yang menandai status sebagai seorang Dwijati. 3. Pengucapan Mantra Gayatri sebagai bentuk penerimaan ajaran suci. 4. Pelaksanaan disiplin spiritual sesuai dengan ajaran dharma kebrahmanaan.
Melalui upacara ini, seseorang yang telah menjalani Sedaraga Dwijati diharapkan dapat menjalankan perannya dalam masyarakat sebagai penjaga dan penyebar dharma.
Katapak oleh Nabe Tapak
Setelah melalui Sedaraga Dwijati, seorang calon Brahmana atau Sulinggih harus mendapat pengesahan dari Nabe Tapak, yaitu guru spiritual yang telah lebih dahulu menjalani laku kebrahmanaan. Katapak adalah bentuk restu dan bimbingan dari Nabe untuk memastikan bahwa individu tersebut benar-benar siap menjalani dharma dengan penuh tanggung jawab.
Dalam proses ini, Nabe Tapak akan memberikan wejangan dan tuntunan tentang: 1. Etika dan moralitas seorang Brahmana. 2. Kewajiban menjalankan Dharma secara konsisten. 3. Makna pelayanan kepada umat dan kehidupan yang berlandaskan kesucian.
Restu dari Nabe Tapak sangat penting karena menegaskan bahwa seseorang telah diterima secara penuh dalam komunitas kebrahmanaan dan siap menjalani perannya.
Kesimpulan
Mapulang Lingga Ring Kapurusan Griya Agung Bangkasa setelah melalui Sedaraga Dwijati dan mendapatkan restu dari Nabe Tapak adalah perjalanan spiritual yang penuh makna. Ini bukan sekadar sebuah ritual, tetapi sebuah transformasi menuju kehidupan yang lebih berlandaskan dharma dan kewajiban spiritual.
Dalam sistem kebrahmanaan, proses ini menegaskan hubungan seseorang dengan leluhur dan tanggung jawabnya sebagai penjaga nilai-nilai suci Hindu. Dengan demikian, seseorang yang telah menyelesaikan tahapan ini diharapkan dapat menjalankan dharma dengan penuh kesadaran dan ketulusan, serta menjadi pilar dalam pelestarian ajaran suci bagi generasi mendatang.
Prosesi Upacara Mapulang Lingga di Griya Agung Bangkasa merupakan salah satu ritual sakral dalam perjalanan spiritual seorang Sulinggih. Upacara ini menandai penyatuan diri dengan Brahman setelah seorang Sulinggih melewati berbagai tahap pendakian spiritual.
Dalam prosesi ini, terdapat beberapa tahapan penting, di antaranya:
1. Sedaraga – Proses penyucian diri secara lahir dan batin, sebagai persiapan menuju kesempurnaan spiritual.
2. Inisiasi Penapakan oleh Nabe – Seorang Sulinggih akan mendapatkan restu serta bimbingan terakhir dari Nabe (guru spiritualnya) sebelum mencapai tingkat tertinggi dalam penyatuan diri dengan Sang Hyang Widhi.
3. Terbebas dari Belenggu Material – Sulinggih yang telah mencapai tahapan ini diyakini telah melepaskan keterikatan duniawi dan siap menyatu dengan Brahman.
Upacara Mapulang Lingga menjadi tonggak penting dalam kehidupan seorang Sulinggih, menandakan bahwa perjalanan spiritualnya telah mencapai puncak, di mana ia tidak lagi terikat oleh unsur duniawi dan kembali ke hakikat keilahian yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar