Selasa, 12 November 2024

Sloka Tingkat Pendidikan Hindu


Makna Anak Suputra, Pola Asuh Anak Menurut Ajaran Hindu

Anak suputra adalah anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas, bijaksana, dan membanggakan keluarga. Anak suputra ini akan mengangkat harkat dan martabat orang tua.

Kata "putra" itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang disayang. Kelahiran anak suputra ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan dalam ajaran Hindu.

Kitab Nitisastra yang merupakan rujukan utama umat Hindu selain Kitab Veda, mengajarkan banyak hal bagaimana seharusnya mengasuh anak agar kelak bisa menjadi anak suputra. 

Nitisastra Sloka 3.18 menyebutkan: 

laalayet panca varsani, 
dasa varsani taadyet, 
praapte to sodase varse, 
putram mitravadaacaret. 

Artinya:
Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun (kanak-kanak 5-11 tahun), 

Berikanlah hukuman (maksudnya pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya (remaja 12-25 tahun), 

Kalau ia sudah dewasa (maksudnya sejak 26-45 tahun) didiklah dia sebagai teman.

1. Berikan Kasih Sayang dalam Porsi yang Cukup (kanak-kanak 5-11 tahun). 

Seorang ibu harus mampu untuk dimanja dengan memberikan kasih sayang hingga Si Kecil berusia lima tahun. 

Bahkan di tengah kesibukan seperti ibu dan ayah yang bekerja, Moms harus menyempatkan untuk memberikan kasih sayang dengan taraf yang cukup sebagai pola asuh anak suputra.

Jika Si Kecil tidak dimanjakan dengan porsi yang tepat, anak akan menjadi terasingkan dengan lingkungannya, dan kelak ia akan tumbuh menjadi orang yang sulit beradaptasi dengan lingkungannya.

2. Penting Memberikan Bentuk Disiplin (remaja 12-25 tahun)

Sebagai langkah pengasuhan anak suputra, Si Kecil juga perlu diberikan bentuk disiplin dari orang tuanya. Hal ini agar kelak ia tidak menjadi anak yang melawan, menjadi anak yang patuh dan melakukan kebaikan.

Anak yang terlalu dimanja saat balita menjadikan dirinya tidak mempan untuk dimarahi, apalagi dalam bentuk pemberian "hukuman". Ini karena anak cenderung bersifat melawan.

Hal sederhana seperti menegur dan memberitahu hal yang salah dan benar, taat pada aturan keluarga yang sudah dibuat, hormat kepada orang tua, dan mengamalkan ajaran Hindu dengan tepat.

3. Mendidik Anak Dewasa Sebagai Teman (maksudnya sejak 26-45 tahun)

Ketika anak menginjak dewasa, ia sudah memiliki berbagai keinginan yang mungkin tak selaras dengan keinginan orang tuanya. Ia mungkin telah punya minat yang bisa jadi tak sesuai dengan kehendak orang tuanya.

Kitab Nitisastra mengajarkan agar orang tua mengasuh anak dengan menjadikannya teman. Misalnya, lebih sering mengajaknya mengobrol, dan bukan menunjukkan status sebagai orang tua yang otoriter.

Berikan pandangan bahwa orang tua adalah sosok yang bisa diajak diskusi, dapat diandalkan. Hal ini akan mendorong anak untuk menjadi lebih terbuka dengan Moms dan Dads.

Itu dia Moms, makna dari anak suputra yang merupakan pola asuh dari ajaran Hindu. Ingin anak Moms tumbuh menjadi Hindu yang taat, tidak ada salahnya mengikuti pola asuh ini.

Oleh karena itu, ini adalah DHARMANING SANG MARAGA SISIA

“Nihan ta cilakramaning aguron-guron, Haywa tan bhakti ring guru, Haywa himaniman, Haywa tan cakti ring sang guru, Haywa tan sadhu tuhwa, Haywa  nekelana  sapatuduhing  sang  guru, Haywangideki  wayangan  sang  guru,  Haywa alungguhi palungguhaning sang guru” 

Terjemahannya :

Inilah tata-tertib dalam berguru (menuntut ilmu):

Janganlah tidak bhakti terhadap guru,  

Janganlah  mencaci  maki  guru,  

Jangan segan  kepada  guru, 

Jangan  tidak  tulus  kepada guru,  

Jangan  menentang  segala  perintah  guru, 

Jangan  menginjak  bayangan  guru,  

Jangan menduduki tempat duduk guru 


Dalam kitab silakrama tersebut masih  ada  ketentuan-ketentuan  yang diperuntukkan  bagi siswa  agar mereka  tumbuh menjadi orang-orang yang disiplin mental yang tangguh,  mengutip  Puniatmadja  (1970) ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut : 

a. Seorang siswa tidak boleh duduk berhadap-hadapan dengan gurunya 

b. Seorang siswa  tidak boleh  memutus-mutus pembicaraan gurunya 

c. Seorang  siswa  harus  menurut  dengan  apa yang diucapkan oleh gurunya 

d. Apabila gurunya datang seorang siswa harus turun dari tempat duduknya 

e. Bila  melihat gurunya  berdiri  atau berjalan seorang  siswa  harus  mengikuti  di belakangnya 

f. Bila  bertanya  kepada  guru  seorang  siswa tidak boleh sambil  menoleh kesana-kemari agar perhatian tidak pudar 

g. Seorang  siswa  harus  selalu  menyambut dengan  ucapan  yang  menyenangkan  hati (Manohara). 


Sloka Guru Puja berikut ini:

“Om Gurur rupam gurur dewam, Gurur Purwam Gurur Madhyam,

Gurur pantaram dewam, Guru Dewa Sudhha- Atmakam”


Terjemahannya:

Om Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Gurunya alam semesta dan para dewa, Awal mula tercipta guru dan juga merupakan pusatnya para guru. Gurunya para dewata yang agung. Guru yang suci bersih cemerlang yang menjiwai alam semesta.

Pemerintahan yang berkuasa juga adalah guru yang dihormati atas hukum dan peraturan-peraturan yang membuat masyarakat hidup damai, sejahtera dan bahagia. Para guru disekolah dan pengajar dimanapun berada juga adalah guru yang dihormati seperti kutipan pada Kitab Nitisastra II.13 berbunyi:

“Haywa maninda ring dwija daridra dumaa atemu,

Sastra teninda denira kapataka tinemu magong,

Yan kita ninda ring guru patinta maparek atemu,

Lwirnika wangsa-patra tunibeng watu remek apasah.”


 Terjemahannya

“Janganlah sekali-kali mencela guru, perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu. Jika kamu mencela buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau kamu mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di batu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar