1. Berikan Kasih Sayang dalam Porsi yang Cukup (kanak-kanak 5-11 tahun).
Seorang ibu harus mampu untuk dimanja dengan memberikan kasih sayang hingga Si Kecil berusia lima tahun.
Bahkan di tengah kesibukan seperti ibu dan ayah yang bekerja, Moms harus menyempatkan untuk memberikan kasih sayang dengan taraf yang cukup sebagai pola asuh anak suputra.
Jika Si Kecil tidak dimanjakan dengan porsi yang tepat, anak akan menjadi terasingkan dengan lingkungannya, dan kelak ia akan tumbuh menjadi orang yang sulit beradaptasi dengan lingkungannya.
2. Penting Memberikan Bentuk Disiplin (remaja 12-25 tahun)
Sebagai langkah pengasuhan anak suputra, Si Kecil juga perlu diberikan bentuk disiplin dari orang tuanya. Hal ini agar kelak ia tidak menjadi anak yang melawan, menjadi anak yang patuh dan melakukan kebaikan.
Anak yang terlalu dimanja saat balita menjadikan dirinya tidak mempan untuk dimarahi, apalagi dalam bentuk pemberian "hukuman". Ini karena anak cenderung bersifat melawan.
Hal sederhana seperti menegur dan memberitahu hal yang salah dan benar, taat pada aturan keluarga yang sudah dibuat, hormat kepada orang tua, dan mengamalkan ajaran Hindu dengan tepat.
3. Mendidik Anak Dewasa Sebagai Teman (maksudnya sejak 26-45 tahun)
Ketika anak menginjak dewasa, ia sudah memiliki berbagai keinginan yang mungkin tak selaras dengan keinginan orang tuanya. Ia mungkin telah punya minat yang bisa jadi tak sesuai dengan kehendak orang tuanya.
Kitab Nitisastra mengajarkan agar orang tua mengasuh anak dengan menjadikannya teman. Misalnya, lebih sering mengajaknya mengobrol, dan bukan menunjukkan status sebagai orang tua yang otoriter.
Berikan pandangan bahwa orang tua adalah sosok yang bisa diajak diskusi, dapat diandalkan. Hal ini akan mendorong anak untuk menjadi lebih terbuka dengan Moms dan Dads.
Itu dia Moms, makna dari anak suputra yang merupakan pola asuh dari ajaran Hindu. Ingin anak Moms tumbuh menjadi Hindu yang taat, tidak ada salahnya mengikuti pola asuh ini.
Oleh karena itu, ini adalah DHARMANING SANG MARAGA SISIA
“Nihan ta cilakramaning aguron-guron, Haywa tan bhakti ring guru, Haywa himaniman, Haywa tan cakti ring sang guru, Haywa tan sadhu tuhwa, Haywa nekelana sapatuduhing sang guru, Haywangideki wayangan sang guru, Haywa alungguhi palungguhaning sang guru”
Terjemahannya :
Inilah tata-tertib dalam berguru (menuntut ilmu):
Janganlah tidak bhakti terhadap guru,
Janganlah mencaci maki guru,
Jangan segan kepada guru,
Jangan tidak tulus kepada guru,
Jangan menentang segala perintah guru,
Jangan menginjak bayangan guru,
Jangan menduduki tempat duduk guru
Dalam kitab silakrama tersebut masih ada ketentuan-ketentuan yang diperuntukkan bagi siswa agar mereka tumbuh menjadi orang-orang yang disiplin mental yang tangguh, mengutip Puniatmadja (1970) ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
a. Seorang siswa tidak boleh duduk berhadap-hadapan dengan gurunya
b. Seorang siswa tidak boleh memutus-mutus pembicaraan gurunya
c. Seorang siswa harus menurut dengan apa yang diucapkan oleh gurunya
d. Apabila gurunya datang seorang siswa harus turun dari tempat duduknya
e. Bila melihat gurunya berdiri atau berjalan seorang siswa harus mengikuti di belakangnya
f. Bila bertanya kepada guru seorang siswa tidak boleh sambil menoleh kesana-kemari agar perhatian tidak pudar
g. Seorang siswa harus selalu menyambut dengan ucapan yang menyenangkan hati (Manohara).
Sloka Guru Puja berikut ini:
“Om Gurur rupam gurur dewam, Gurur Purwam Gurur Madhyam,
Gurur pantaram dewam, Guru Dewa Sudhha- Atmakam”
Terjemahannya:
Om Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Gurunya alam semesta dan para dewa, Awal mula tercipta guru dan juga merupakan pusatnya para guru. Gurunya para dewata yang agung. Guru yang suci bersih cemerlang yang menjiwai alam semesta.
Pemerintahan yang berkuasa juga adalah guru yang dihormati atas hukum dan peraturan-peraturan yang membuat masyarakat hidup damai, sejahtera dan bahagia. Para guru disekolah dan pengajar dimanapun berada juga adalah guru yang dihormati seperti kutipan pada Kitab Nitisastra II.13 berbunyi:
“Haywa maninda ring dwija daridra dumaa atemu,
Sastra teninda denira kapataka tinemu magong,
Yan kita ninda ring guru patinta maparek atemu,
Lwirnika wangsa-patra tunibeng watu remek apasah.”
Terjemahannya
“Janganlah sekali-kali mencela guru, perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu. Jika kamu mencela buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau kamu mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di batu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar