Bakti Ring Para Sulinggih - Kewajiban Budaya Dan Imani Bagi Seorang Bali Katolik
Kata ‘sulinggih’ sangat akrab di telinga kita. Sebuah kata yang merujuk pada seseorang yang sangat dihormati. Orang Bali yang beriman Hindu pasti sangat akrab dengan kata ini. Sedangkan orang Bali Katolik yang dengan tekun mengikuti Pangastawa Panyuksema Agung (Doa Syukur Agung) pasti juga sangat sering mendengar kata Sang Sulinggih Aji (sebutan untuk Bapa Paus). Lalu, apa sesungguhnya makna sulinggih itu?
Makna Tradisional
Kata sulinggih berasal dari dua kata yakni ‘su’ dan ‘linggih’. ‘Su’ berarti ‘utama’ sedangkan ‘linggih’ berarti ‘kedudukan’. Arti harafiahnya adalah ‘kedudukan yang baik’. Dalam konsep relijius di Bali, sulinggih bermakna sebagai ‘kedudukan yang terhormat yang sangat suci dan sangat istimewa yang diperoleh melalui suatu persyaratan sasana (kode etik) yang ketat dan telah diberkati melalui suatu upacara pediksan yang suci’. Jadi, sesungguhnya sulinggih adalah jabatan kehormatan untuk seseorang yang disebut sebagai imam. Lalu siapa para sulinggih itu?
Dalam bidang keagamaan, masyarakat Bali dibagi menjadi dua: yakni walaka dan sulinggih.
· Walaka adalah umat secara umum, dari yang benar-benar polos sampai yang sudah mewinten (upacara sederhana yang memberikan hak kepada seseorang untuk bergerak aktif menek tuwun di sanggah pemerajan dalam membantu para pemangku atau pranda dalam upacara). Betatapun seseorang telah mendapatkan posisi yang hebat dan terhormat dalam masyarakat, seperti undagi atau dalang atau pemangku, mereka tetaplah seroang walaka biasa.
· Sulinggih adalah orang-orang yang terhormat yang karena telah medwijati berhak memimpin suatu upacara yadnya yang suci. Misalnya pandita, wiku, sadaka, pedanda, dll. Mereka telah mediksa dan telah menerima biseka kawikon menurut tradisi wangsanya, misalnya Ida Pedanda, Begawan, Rshi, Bujangga, Sri Empu, atau Jero Dukuh.
Lalu bagaimanakah tata cara seseorang untuk bisa menjadi sulinggih? Banyak orang yang memiliki suatu pemahaman yang keliru mengenai hal ini. Selama ini banyak orang mengira bahwa hanyalah kaum Brahmana saja yang boleh menjadi sulinggih. Ternyata ini tidak benar sepenuhnya. Di Bali ada banyak ‘warga’ atau ‘wangsa’. Masing-masing warga punya aturan tersendiri. Kaum ‘Tri wangsa’ memang manganut bahwa hanya kaum Brahmana yang boleh mediksa (Kemenuh, Manuaba, Keniten, Mas, Antapan). Tetapi, warga Pasek Sanak Sapta Resi atau Dukuh atau Senggu memiliki aturan lain lagi. Tetapi terlepas dari masalah warga atau wangsa itu, kunci pokoknya adalah orang itu harus mendapatkan ijin dari lembaga yang berwenang, kemudian telah mendapatkan ilmu keagamaan dari seorang ‘nabe’ atau ‘guru nabe’ (harus seorang sulinggih yang di-tua-kan). Dan sebelum medwijati, yang bersangkutan telah melewati suatu masa uji yang ketat sehingga dianggap mampu menjalankan sasana yang berat sebagai ‘perpanjangan tangan Ida Sang Hyang Widi Wasa’.
Ordination - Rm. Subhaga, SVD
Dwijati
Di atas telah disebut istilah dwijati. Apa itu Dwijati? Dwi berarti ‘dua’, jati berarti ‘sungguh’, ‘benar’, ‘sejati’. Mari kita lihat maknanya. Sebelum mediksa, beliau tetaplah seorang walaka biasa, walaupun telah menjadi calon diksa (akan ditahbiskan). Setelah dianggap lulus dengan semua ilmu keagamaan yang diajarkan oleh guru nabe, beliau harus mempersiapkan diri untuk mediksa. Ada begitu banyak upacara dan upakara yang harus disiapkan dan dilakukan oleh seorang calon sulinggih. Dari semua itu, sang calon diksa juga harus melewati dua upacara penting berikut ini:
· Upacara Amati Raga
Secara harafiah berarti ‘mati fisik’. Dalam upacara ini calon diksa harus melewati semua rangkaian upacara ‘kematian’ layaknya upacara untuk jenazah, kemudian beliau dikurung dalam suatu bilik tertutup selama tiga hari (ngekeb). Ini melambangkan keduniawian sang diksa ‘dimatikan’. Sejak ini beliau harus meninggalkan semua ciri-ciri kemanusiaannya dan tidak pernah boleh melakukan hubungan seksual lagi.
· Upacara Amati Aran
Secara harafiah berarti ‘mati nama’. Setelah mediksa, seorang sulinggih harus mengganti nama walaka-nya dengan gelar biseka kawikon yang layak disandang oleh warganya atau wangsanya. Ini sebuah kehormatan besar yang tidak ternilai. Contoh biseka kawikon: Ida Pedanda Gede Simpangan, Jero Dukuh Peguyangan, Sri Empu Pandia, dan lain sebagainya.
Setelah melewati kedua upacara penting di atas ini (amati raga dan amati aran), sang diksa telah dianggap me‘dwi-jati’ yang artinya ‘memiliki dua kejatian diri’ atau ‘mengalami kelahiran dua kali’. Pertama, dia memang sungguh telah lahir sebagai manusia biasa dengan nama walaka biasa. Kedua, setelah amati raga dan amati aran, beliau menerima biseka kawikon, berarti beliau telah lahir kembali dengan jabatan sangat terhormat sebagai manusia baru yang telah disucikan. Sejak itu beliau telah menjadi sulinggih.
Dalam rangkaian upacara pediksan itu, ada suatu upacara yang sangat mengharukan ketika sang calon diksa menunjukkan kesetiaannya kepada guru nabe yang telah membimbingnya sampai lulus. Di situ sang calon sulinggih membersihkan kaki sang guru nabe dan menciuminya. Nampak sekali adanya rasa bakti yang dalam dari seorang murid kepada gurunya; sebaliknya nampak suasana penuh kasih dari guru kepada muridnya.
Tugas Sulinggih
Tugas utama sulinggih adalah ‘muput’ upacara yadnya. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berhak membuat ‘tirta pamuput’ - air suci yang sangat penting dalam menyempurnakan dan menutup (muput) suatu upakara. Di sinilah letak tugas suci utama yang beliau terima dari Hyang Pramakawi.
Selain bertugas memimpin upacara agama, beliau juga punya kuasa mengajar. Oleh karena itu Griya (rumah tinggal sulinggih) selalu menjadi tempat bertanya. Umat sisia selalu datang ‘nangkil ka Griya’ untuk menanyakan hari baik untuk mengerjakan suatu upacara; atau bisa juga menanyakan ‘unggah-ungguh’ suatu upacara. Jadi, seorang sulinggih, selain ahli agama, pastilah seorang ahli pawukon (ilmu perhitungan hari baik atau buruk). Namun, walaupun memiliki kuasa mengajar agama, seorang sulinggih tidak mengajarkan agama dalam upacara yadnya karena dalam tradisi Hindu darta wacana (homili) tidak menjadi bagian dari upacara agama. Karena posisinya yang suci, seorang sulinggih pun tidak mengajar sekolah umum karena guru di sekolah umum adalah pekerjaan kaum walaka.
Kasih Sulinggih Dan Bakti Sisia
Setelah menjadi sulinggih, beliau harus bersikap sebagai orang tua yang mengayomi semua sisianya. Sebagai bukti kesuciannya, seorang sulinggih pasti relijius, lemah lembut, tidak gampang marah, tidak berkata ceplas-ceplos, tidak lagi duduk-duduk di tempat yang tidak layak, tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang biasa dilakukan oleh walaka, dan lainnya. Bahkan beliau bersikap begitu terhadap semua orang kendatipun bukan sisia ataupun umat dari agama lain bahkan terhadap segala mahluk hidup. Karena kesucian posisinya, seorang sulinggih selalu memanggil ‘cening’ (anak) kepada segenap umatnya. Sebuah sapaan yang penuh dengan rasa kasih sayang. Sebaliknya seorang sulinggih pria akan menyebut dirinya ‘bapa’ (bapak) dan seorang sulinggih wanita (atau istri sulinggih) akan menyebut diri beliau sebagai ‘meme’ (ibu) ketika berbicara dengan umatnya. Sebuah kerendahan hati yang sangat dalam. Walaupun beliau begitu rendah hati, sebaliknya semua warga sisia tidak boleh memanggil beliau dengan sebutan ‘bapa’ atau ‘meme’, namun selalu dengan bahasa yang paling terhormat misalnya ‘Ratu Pranda’, ‘Jero Dukuh’, atau ‘Ratu Sri Empu’, dan lainnya. Ini sebuah bentuk sikap bakti yang sangat mendalam dan sama sekali bukan sikap feodal.
Mengikuti konsep Tri Rna, setiap manusia pada hakikatnya berhutang rohani pada tiga pihak, salah satunya adalah utang rohani pada para imam sulinggih (disebut Rsi Rna). Utang ini terjadi karena tugas pelayanan pada manusia di bidang kerohanian yang beliau emban yang tidak bisa digantikan oleh manusia biasa. Tentu utang ini tidak bisa dihitung dengan uang! Inilah yang menjadi dasar penting mengapa umat wajib berbakti pada beliau. Perwujudan bakti itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, kita menggunakan bahasa Bali yang paling sempurna; tidak pernah membelakangi sulinggih, kemudian ketika menjemput seorang pranda digunakan istilah ‘mendak Pranda’; membawa alat-alat persembahyangan yang menjadi perlengkapan beliau pun dilakukan di atas bahu atau kepala; atau ketika menyajikan makanan (setelah upacara) digunakan ‘dulang sukla’ yang khusus. Apa pun yang dikatakan seorang sulinggih diyakini sebagai bagian dari pawisik Ida Sang Hyang Pramakawi. Jadi, pendek kata di mata orang Bali, sulinggih itu sangatlah terhormat dan dibaktikan di pabahan.
Hak Sosial Sulinggih
Melihat begitu mulianya status sosial beliau, lalu apa hak-hak sosial seorang sulinggih di masyarakat? Pertama, seseorang yang telah mediksa berhak luput atau bebas dari segala ayah-ayahan di banjar atau desa. Kedua, di semua tempat yang memerlukan penyebutan nama, beliau hanya boleh dipanggil dengan biseka kawikonnya saja. Nama walaka telah hilang. Ketiga, konon sesungguhnya seorang yang telah mediksa itu kebal hukum alias tidak boleh diperiksa aparat kepolisian! Apabila ada suatu sangkaan atau dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan kriminal, maka yang berhak melakukan investigasi hanyalah guru nabenya. Jika ditemukan bahwa memang yang bersangkutan bersalah, maka dia harus melepaskan kawikuannya dan kembali menjadi walaka biasa dengan segala resikonya (termasuk dipidana). Biasanya seorang sulinggih yang dianggap telah mengkhianati sesananya (entah karena berbuat kriminal, berzinah, lupa akan darma dan tatwa, dll), beliau tidak dicaci maki oleh umat tetapi akan ditinggalkan diam-diam oleh umatnya sehingga dia akan menjadi ‘sulinggih tan pasisia’ (sulinggih yang tidak punya umat).
Nyumuka
Bolehkah seorang walaka biasa mengerjakan pekerjaan sulinggih? Sama sekali tidak! Jika ada walaka yang berani melakukan hal itu, maka dia dianggap telah melakukan perbuatan ‘nyumuka’ yakni tindakan pidana keagamaan dengan sengaja melakukan tugas suci sulinggih secara tidak berhak. Sebagai contoh: tanpa hak menggunakan biseka kawikon, tanpa hak memakai wesa sulinggih, tanpa hak berani ‘muput’ karya, dan lainnya. Apa hukumannya? Konon, sekali lagi konon, pada jaman kerajaan Hindu dulu, seorang pelaku nyumuka diancam dengan hukuman ‘kalebok ring segara’ (mati dengan cara dibenamkan ke laut)! Mengapa begitu keras? Karena tindakan nyumuka dianggap ‘ngawe teraking bhuwana’ yakni membuat dunia ini ‘terak sayah’ (ditimpa malapetaka).
Para Imam yang Berkarya di Bali
INKULTURATIF KATOLIK
Suka atau tidak, kebiasaan bakti pada sulinggih ini tentu kita warisi dari para leluhur kita dan mengalir deras dalam nadi kita. Sebagai bakti kita pada para leluhur kita, maka kebiasaan yang mulia ini wajib kita pertahankan, tentu dalam perspektif iman yang baru. Di desa Buduk ada banyak Geria. Umat Katolik Buduk sampai kinipun tetap menunjukkan sikap hormat bakti kepada para sulinggih yang ada di sana. Bukankah para sulinggih itu cerminan kasih Tuhan bagi semua umat manusia? Ini tentu contoh sikap kesaksian iman yang sangat mulia. Tetapi, setelah kita menjadi Katolik, nilai-nilai apa sajakah yang bisa kita pertahankan? Setelah kita pelajari, paling tidak ada tujuh pemikiran yang perlu kita berikan perhatian, yakni:
1. Asal Sulinggih
Karena agama Katolik itu mendunia, menembus batas wilayah ruang dan waktu, maka imam Katolik itu pun berasal dari mana saja, tidak peduli dari golongan, suku atau bangsa mana pun. Tuhan yang memanggil dan memilih mereka. Maka, semua harus kita hormati sebagai sulinggih dan kita baktikan di pabahan kita. Sebagai contoh adalah kisah berikut ini. Suatu kali Bapak I Gusti Ngurah Rai Suneca, seorang tokoh Hindu dari Banjar Pendem, Dalung, dalam suatu kesempatan memberikan sambutan, beliau menyebut ‘Ida Romo Rai Sudhiarsa’ kepada Romo Dr. Ray Sudhiarsa, SVD. Betapapun beliau tahu bahwa Romo Rai lahir dari keluarga sudra wangsa, beliau tetap dengan rendah hati menambahkan kata ‘Ida’ di depan nama Romo Rai. Tentu ini sebuah sikap penghormatan yang paling tinggi padahal Bapak Rai Suneca sendiri beriman Hindu dan berasal dari keluarga ksatria wangsa. Kita pun harus bisa seperti itu yakni menghormati sulinggih kita dengan benar. Kuncinya adalah kita harus percaya bahwa ‘imam itu terhormat karena telah dipanggil, dipilih dan dikuduskan oleh Tuhan sendiri’.
2. Konsep Amati Raga
Gereja tidak akan mungkin melaksanakan Misa Requiem bagi calon imamnya sebelum beliau ditahbiskan! Mengikuti teladan Sang Guru, imam Katolik secara nyata dan bersungguh-sungguh justru melakukan amati raga dengan melakukan ‘pengingkaran diri’ berikut ini sepanjang hidupnya:
· Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan tidak berkeluarga tetapi mempersembahkan hidupnya untuk orang lain demi Kabar Gembira Kristus (Mrk 10:29-30). Imam Katolik bukan sekedar menjadi brahmacarya tetapi bahkan melaksanakan kaul ‘sukla brahmacarya’ - tidak berkeluarga dan suci murni dari hal-hal badani sejak masa mudanya (Mat 19:12, 1Kor 6:20, 1Tes 5:23).
· Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan secara total memenuhi hidupnya dengan doa puja pangastawa sehingga mampu lepas dari keduniawian dan kemudian hidup suci hati dan suci dalam tingkah laku (1Ptr 1:15, 1Ptr 2:5, Rm 12:1).
· Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan ‘mati’ atau ‘miskin’ dari hal-hal barang duniawi. Mati atau miskin di sini lebih bermakna sebagai ‘tidak membiarkan diri tergantung’ pada barang-barang duniawi karena kita semua tidak bisa melakukan apa pun tanpa dukungan materi yang cukup (Mat 10:9-10, Luk 10:4.8, Mrk 10:21, Gal 5:24).
· Imam Katolik pasti ‘pradnyan’ karena haus akan ilmu pengetahuan dan karena itu mereka harus melewati masa pendidikan yang sangat panjang (Mzm 119:66, Ams 2:6, Ams 12:1, Ams 15:2.7.14, Kol 2:3).
· Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan selalu taat kepada Uskup selaku penerus pemegang amanat para rasul dan juga kepada atasannya (ordo tempatnya bernaung), tanpa pernah memperhitungkan kepentingan pribadinya sendiri (Luk 4:43, 1Ptr 1:2, Luk 10:3, Mat 16:18, Mrk 1:38, 2Kor 4:11). Imam yang tidak taat pada titah Uskup secara otomatis telah mengeluarkan dirinya sendiri dari sistem dan struktur kegembalaan Gereja Katolik.
Semua hal di atas inilah yang menjadi sasana bagi para imam kita. Itu pasti sangat berat dan sulit dilakukan oleh kemampuan manusiawi kita. Namun di hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa tidak ada hal yang tidak mungkin (Mrk 10:27).
3. Konsep Amati Aran
Dalam tradisi Katolik, seorang Paus pasti mendapatkan panugrahan ini. Misalnya ‘Petrus’, Paus yang pertama, adalah biseka kawikon yang langsung dianugerahkan oleh Ida Hyang Yesus kepada Simon anak Yohanes (Yoh 1:42, Mat 16:18). Lalu ‘Yohanes Paulus II’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Karol Wojtyla. Dan sekarang ‘Benediktus XVI’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Kardinal Joseph Ratzinger. Baik ‘Simon’, ‘Karol Wojtyla’ ataupun ‘Joseph Ratzinger’ meninggalkan nama aslinya ini (amati aran atas nama asli itu) tetapi kemudian memakai biseka kawikon itu sampai akhir hayat beliau.
Tetapi kalau diamati, dalam perkembangan sejarah penginjilan di Bali, ada dua imam yang menerima nama baru setelah ditahbiskan. Beliau adalah Romo Servatius Subhaga SVD yang bernama asli I Nyoman Rongsong dan Romo Pancratius Mariatma SVD yang bernama asli I Made Pagi. Suatu kali dalam suatu percakapan dengan saya di depan Pastoran Tuka, Romo Subhaga SVD mengatakan bahwa nama beliau dan nama Romo Mariatma SVD itu diberikan oleh Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana. Dalam hati saya bertanya, bukankah ini sikap inkulturatif yang sangat kuat yang ditunjukkan oleh Ida Cokorda? Sebagai seorang keturunan raja Ubud, beliau tahu betul bahwa karena I Nyoman Rongsong dan I Made Pagi telah menerima panugran pediksan maka keduanya sangat layak untuk mendapatkan suatu biseka kawikon. Tentu ini sebuah keputusan budaya yang sangat tepat dan sempurna.
‘Subhaga’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “dia yang terberkati” atau “dia yang sangat beruntung”. Di Bali juga ada suatu ungkapan “subhaga wirya siniwi” yang bermakna ‘yang termasyur karena berani’. Dan memang benar, bahwa I Nyoman Rongsong adalah putra Bali pertama yang sangat beruntung karena berani untuk ‘diubah’ oleh Kristus dan kemudian boleh menerima panugran pediksan Katolik yang sangat mulia itu. Luar biasa bukan? Kemudian, setelah mengumpulkan beraneka informasi, saya menyimpulkan tiga makna untuk kata ‘Mariatma’ yakni: Maria Atma, Marya Atma atau Ma(r)i Atma. Bapak I Gusti Putu Oka dan Bapak Ketut Karepek mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Maria Atma adalah ‘dia yang berjiwa Maria’. Lalu kata Marya berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘purity’ atau ‘bright whiteness’. Jadi Marya Atma bermakna ‘jiwa yang putih murni atau suci’. Kemudian Ma(r)i Atma atau Mai Atma berarti ‘datanglah wahai jiwa’. Inilah makna Kristus yang haus akan jiwa-jiwa yang bertobat. Di salib Yesus bersabda, “Aku haus.” (Yoh 19:28). Juga Dia pernah berkata kepada wanita Samaria, “Berilah aku minum.” (Yoh 4:7). Bukankah salah satu tugas suci para imam adalah menghantarkan jiwa menuju pertobatan? Jadi, ketiga makna ‘mariatma’ ini bermakna sangat tinggi.
Nama besar ‘Subhaga’ maupun ‘Mariatma’ adalah dua biseka kawikon yang luar biasa yang menjadi kebanggaan kita semua. Namun, sangat disayangkan tradisi biseka kawikon yang dirintis oleh Almarhum Ida Cokorda Oka Sudharsana tidak dilanjutkan untuk imam-imam yang selanjutnya.
4. Imam adalah Guru
Sebagai orang Bali, kita punya konsep catur guru; salah satunya adalah Guru Swadyaya. Tuhan adalah Sang Maha Guru (Ayub 36:22). Kristus sebagai Putra Allah adalah Sang Guru (Luk 9:33. Luk 17:13, Yoh 13:13.14, dll). Maka sebagai ‘alter Christus’, imam tentulah guru dan umatnya adalah muridnya. Guru selalu menjadi teladan. Imam melakukan pengingkaran diri dengan menjadi teladan bagi umatnya (Mrk 1:17, Yoh 12:46, 1Kor 11:1). Sedangkan umat punya kewajiban imani untuk mendengarkan dan mengikuti imamnya. Ini tentu saja tugas yang sangat berat, jauh lebih berat dari jabatan sebagai guru biasa. Di Bali, biasanya sulinggih yang hidupnya sudah tidak karu-karuan alias tidak bisa digugu dan ditiru lagi, diam-diam akan ditinggalkan oleh umatnya, sehingga dia menjadi sulinggih tan pasisia. Sebagai manusia, umat Katolik pun bisa saja meninggalkan imamnya yang hidupnya sudah lepas dari rel-rel yang telah dijanjikannya sendiri ketika menerima sakramen Imamat dari Tuhan. Sekali lagi, imam sebagai guru adalah contoh dan suri teladan bagi umatnya!
5. Imamat Yang Suci
Karena Imamatnya yang suci, hidup pribadi seorang imam menyatu dengan sakramen. Beliau bukan petugas pemberi sakramen, tetapi beliau adalah bagian tidak tergantikan dari sakramen itu sendiri. Imamatnya yang kudus menyatu dan melebur dengan pribadi imam itu. Karena kemuliaan dan kesucian imamat yang diemban para imam itu, oleh kuasa Roh Kudus dan sabda Kristus yang diucapkannya, maka roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dan melalui sakramen tobat, imam juga karena imamatnya yang kudus, punya kuasa untuk melepaskan seseorang dari jerat dosa (Mat 18:18, Mat 16:19). Tugas ini sangat mulia dan tak tergantikan. Nilai ini tentu tidak ada dalam paham tradisional.
Romo Shadeg & Para Frater
6. Posisi Sosial Masyarakat
Dalam tradisi kita, karena kemuliaannya itu, semua imam kita luput dari ayah-ayahan di banjar atau pemaksan. Tetapi ada suatu pergeseran yang kuat dalam cara memanggil imam kita. Kita memanggil mereka dengan sebutan “Romo”. Ada nuansa keakraban yang sangat kuat, sikap sangat rendah hati dan sikap memposisikan diri sebagai ‘bapak’ yang penuh cinta kepada setiap umatnya. Untuk itu umat harus menghormati beliau sebagai ‘yang terhormat’; dan jangan pernah memperlakukan beliau sebagai kawan biasa. Janganlah beliau dengan enteng dipanggil, “Hai, Mo, …pagi…”
7. Konsep Nyumuka dan Rsi Rna
Walaupun gereja tidak pernah mengungkapkan bahwa umat memiliki utang rohani pada imam, tetapi sesungguhnya konsep ‘nyumuka’ ini sangat kuat dalam kehidupan menggereja kita. Buktinya? Gereja Katolik sangat mengharapkan partisipasi awam dalam kegiatan menggereja; akan tetapi Gereja juga dengan tegas telah memberikan panduan mengenai wewenang bagi awam yang memiliki kehendak baik untuk mengabdikan hidupnya bagi gereja. Intinya, betapapun awam memiliki keinginan yang mulia, awam tidak boleh mengambil tugas para imam. Hanya imam karena imamatnya yang mulia yang berhak dan boleh memberikan pelayanan sakramen. Contoh sederhana: dalam Ekaristi kita bisa melihat dengan tegas hal-hal yang hanya boleh diucapkan, didaraskan dan dilakukan oleh Imam. Kesimpulannya umat tidak boleh ‘nyumuka’! Oleh karena itu, sebagai orang Bali, ada suatu konsekuensi budaya yang patut kita akui bahwa ada suatu ‘utang’ rohani yang tak terhitung nilainya yang dimiliki oleh umat pada para imamnya (Rsi Rna).
Tugas Umat
Dari pemaparan di atas, jelas kita bisa melihat betapa mulianya seorang imam Katolik. Dalam diri imam itulah hadir kurnia imamat ilahi yang sangat mulia. Kurnia imamat tak terpisahkan dari imam yang menerimanya karena imamat itu kekal hadir dan melebur dalam diri seorang yang telah ditahbiskan. Mengingat mulianya kurnia ini, maka Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana, juga Alm. Pan Paulus dari Batulumbung, selalu menyebut Uskup dengan sebutan Ratu Pedanda. Dalam beberapa kesempatan pribadi, saya pun menggunakan istilah Ratu Peranda kepada Yang Mulia Mgr. Sylvester San Pr. Ungkapan Ida Pedanda juga sering dipakai oleh Pak Alex Nyoman Gunarsa ketika menyebut nama almarhum Romo N. Shadeg SVD. Semua ini membuktikan tingginya kemuliaan imamat di mata orang Bali.
Tugas keimamatan sangatlah sulit dan penuh dengan tantangan. Oleh karena pentingnya posisi imam dalam mendekatkan umat pada Kristus, maka setan punya kepentingan besar untuk menjatuhkan seorang imam. Dan setan tidak akan pernah berhenti tetapi akan terus menyerang dengan menggunakan segala macam jebakan: dari materi yang paling indah, dari bibir yang manis, dari yang lemah gemulai, sampai metode jebakan yang paling kasar sekalipun. Imam harus selalu siap menghadapi ini semua dengan waspada. Umat pun harus waspada akan hal ini dan siap membela imam dari godaan setan seperti ini.
Para imam kita telah mengurbankan hidup mereka bagi Tuhan dan tentu bagi kita. Untuk itu umat Katolik wajib mencintai dan menghormati imamnya. Kita adalah sisia yang menjadi domba gembalaan mereka, maka kita wajib mendukung beliau dengan menjaga kehormatan beliau dan bukan malah menggerogotinya! Mencintai imam sama sekali tidak berarti harus mati-matian ‘mengikat’ beliau untuk tinggal di satu paroki atau siap adu otot untuk mempertahankan beliau di situ. Justru umat harus mendukung seorang imam untuk menjadi semakin besar. Kalau beliau memang sudah harus pindah tugas, maka umat harus mendukung beliau untuk tunduk pada titah Uskup dan bukan justru mengompori beliau untuk melawan titah tugas itu. Kita harus mencintai beliau untuk semakin mencintai imamat yang telah beliau terima.
Semoga kita semua mempertahankan tradisi bakti pada imam ini sebagai bagian dari semangat untuk meningkatkan kualitas iman keKatolikan kita kepada Kristus. Sangatlah indah kalau ini menjadi ciri keBalian orang Bali Katolik. Pada akhirnya, akan lebih hebat lagi seandainya semua umat bisa meniru kehidupan suci para imam kita seperti dipaparkan di atas. Jika ya, maka tentu saja kehidupan menggereja akan sangat luar biasa. Semua imam akan sangat berbahagia karena tugas mulia beliau untuk mengemban umat menuju Sang Gembala Agung Kristus telah tercapai sempurna.
Saya menulis ini sebagai perwujudan bakti, hormat dan cinta saya kepada para imam kita yang telah mengurbankan hidup mereka bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar