Makalah
TEOLOGI AGAMA BUDDHA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang besar di dunia. Kata Buddha sendiri diambil dari kata Buddh yang berarti membangun. Sedangkan orang Buddha sendiri artinya orang yang membangun. Ada juga sebutan lain yakni Bhagavat artinya yang luhur serta Tathagat artinya yang sempurna. Selanjutnya seorang Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan kekuatannya sendiri. Dalam alur sejarah agama-agama di India zaman agama Buddha dimulai sejak tahun 500 SM hingga tahun 300 M. Secara historis, agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu. Agama itu timbul di daerah India Utara (daerah Kerajaan Magadha).
Banyak orang yang belum mengerti mengenai ajaran agama Buddha terutama mereka yang bukan pemeluk agama itu. Makalah ini mencoba menelisik lebih dalam lagi mengenai seluk beluk agama Buddha.
B. Permasalahan
Bagaimana kajian historis dan pembawa agama Buddha?
Bagaimana teologi, kitab suci dan sakramen dalam agama Buddha?
Bagaimana perspektif Islam mengenai agama Buddha?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Historis dan Pembawa Agama Buddha
Agama Buddha muncul pada abad ke-6 S.M. di India Utara (daerah Kerajaan Magadha) diajarkan oleh sang Gautama atau Sidharta (hidup 560 S.M. s/d 480 S.M). Ayah dari Pangeran Sidhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahāmāyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Sidharta dikaruniai anak bernama Rahula.
Menurut riwayat hidupnya, Gautama mula-mula beragama Hindu mengikuti orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh kehidupan masyarakat yang mungkin dapat melemahkan kepercayaan/keimanannya dalam agama, maka dia tidak diizinkan melihat kenyataan hidup di luar istana. Dia mengalami pendidikan isolatif dari masyarakat luas di luar istana. Untuk menentramkan kehidupannya dia senantiasa dikelilingi dengan kehidupan serba mewah yang khas istana yang penuh dengan kenikmatan dan kelezatan.[1] segala keinginannya akan dikabulkan asalkan ia mau menetap di istana dan kelak bersedia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia menolak hidup yang diliputi serba kemewahan bahkan ia tertarik untuk hidup sederhana sebagai pertapa.
Setelah ia menginjak usia 29 tahun, terbitlah keinsyafan batinnya, bahwa hidup keduniaan dalam suasana kemewahan di istana tidaklah dapat memberi ketentraman batinnya. Timbulnya keinsyafan demikian itu karena di waktu ia bercengkrama telah melihat beberapa peristiwa yang sangat mengesankan. Ia melihat seorang tua yang sangat lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh penderitaan. Ia berfikir bahwa bagaimanapun juga orang hidup itu akhirnya pasti akan mengalami tua yang penuh penderitaan itu. Ia melihat orang sakit yang merasakan penderitaan karena penyakitnya itu. Ia juga melihat orang mati, yang meskipun tubuhya masih tampak utuh, tetapi sudah tidak mempunyai daya apapun. Ia harus berpisah dengan harta, tahta dan segala sesuata yang dicintainya. Terakhir ia melihat seorang pendeta pertapa yang meskipun hidup miskin tapi tampak cerah wajahnya melambangkan kedamaian yang terdapat dalam batinnya. Maka Sidharta sangat tertarik untuk menempuh jalan hidup orang petapa ini. Dari beberapa yang dijumpainya itu, ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa hidup di dunia ini penuh penderitaan. Akhinya ia memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ia mengembara masuk keluar hutan, berpuasa dan bertapa guna untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia bersemedi di bawah pohon boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya pengetahuan tentang kebenaran yang sejati. Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.[2]
Buddha mengembara di India Utara untuk menyebarkan ajaran. Banyak yang percaya kepadanya. Ia hidup dari pemberian-pemberian para pengikutnya. Kelima orang muridnya di Benares menjadi muridnya yang pertama. Di dalam pengajarannya Buddha senantiasa memperhatikan sifat para pendengarnya dan tingkat-tingkat perkembangan rohani mereka. Oleh karena itu, kepada beberapa orang Buddha ia hanya mengajarkan menjalani hidup susila, dengan membayangkan kesenangan surga di kemudian hari atau suatu penjelmaan kembali yang bagus sebagai pahala mereka.[3]
Setelah 45 tahun mendakwahkan ajaran-ajarannya yang sangat ditentang oleh kaum pendeta Hinduisme itu akhirnya dia wafat dalam usia 80 tahun. Janazahnya dibakar dan abunya dibagi-bagikan kepada raja-raja yg mengikuti ajarannya. Kota tempat Buddha wafat itu ialah Kusinagara.
Dengan demikian pengikut-pengikutnya memandang adanya empat tempat yang disucikan selama-lamanya. Empat kota suci tersebut menurut pemeluk ajaran Budha ialah:
1. Kapilavastu: tempat kelahiran Gautama
2. Bodhgaya: tempat dimana Gautama mendapat ilham pertama
3. Benares (kasi): tempat dia pertama kali mengajarkan ilham
4. Kusinagara : tempat dimana dia wafat dalam usia 80 tahun.
Agama Buddha diperkirakan masuk ke nusantara sejak abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dapat dinyatakan dengan penemuan patung Budha dari perunggu di Jember dan Sulawesi Selatan. Patung-patung itu menunjukkan gaya seni Amarawati.
Agama Budha di nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hien pada awal abad ke-5 Masehi. Dalam laporan tersebut, Fa Hien menceritakan bahwa selama bermukim di Jawa, ia mencatat adanya komunitas Budha yang tidak begitu besar di antara penduduk pribumi.
Seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman, putera dari seorang raja Kashmir di India, yang datang ke negeri Cho-Po untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Negeri Cho-Po mungkin terletak di Jawa atau Sumatera. Pengaruh Buddha mulai luntur ketika kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1292 M, dan posisinya digeser oleh Islam.
B. Teologi, Kitab Suci dan Sakramen dalam Agama Buddha
Teologi Agama Buddha
Buddha Gautama menerima dan melanjutkan ajaran agama Brahma/Hindu tentang karma. Yakni hukum sebab akibat dari tindak laku di dalam kehidupan, dan ajaran tentang samsara, yakni lahir berulang kali ke dunia sebagai lanjutan karma dan ajaran tentang moksa yakni pemurnian hidup itu guna terbebas dari Karma dan Samsara. Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran tentang karma dan samsara itu akan tetapi ia menyelidiki dan meneliti pangkal sebab dari keseluruhannya itu, dan merumuskan di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran tentang Moksa itu, akan tetapi ia tidak dapat menerima dan membenarkan upacara-upacara kebaktian penuh korban mencapai moksa itu, dan lalu menunjukkan jalan yang hakiki bagi mencapai Moksha yang dirumuskan dengan Delapan Jalan Kebaktian.
Kotbah Pertama Budha Gautama di Isipathana, Taman Menjangan, dekat Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai “Empat Kebenaran Utama” yang pada dasarnya merupakan pendekatan Budha dalam memecahkan masalah kehidupan ini dan Delapan Jalan Kebaktian itu.
Empat Kebenaran Utama (khutbah pertama sang Buddha), yaitu:
a. “Dukha” Lahirnya manusia, menjadi tua dan meninggal dunia.
b. “Samudaya” Penderitaan itu disebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu.
c. “Nirodha” Penderitaan dapat dihilangkan, dengan hati ikhlas dan hawa nafsu ditahan.
d. “Magga” (jalan), Budha mengemukakan empat tingkatan jalan yang harus dilalui yaitu :
- Sila (kebajikan)
- Samadhi (perenungan)
- Panna (pengetahuan atau hikmat)
- Wimukti (kelepasan)
Kemudian keempat tingkatan ini diselaraskan dengan delapan jalan tengah atau delapan jalan kebenaran (Astavida) atau Arya Attangika Mangga :
a. Berpandangan yang benar
b. Berniat yang benar
c. Berbicara yang benar
d. Berbuat yang benar
e. Berpenghidupan yang benar
f. Berusaha yang benar
g. Berperhatian yang benar
h. Memusatkan pemikiran yang benar
Ada tiga pengakuan dalam agama budha yaitu :
a. Buddhan saranan gacchami (saya berlindung di dalam Buddha)
b. Dhamman saranam gacchami (saya berlindung di dalam dhamman)
c. Sangham saranam gacchami (saya berlindung di dalam sangha).
Dassasila (sepuluh peraturan ) bagi penganut agama budha
Setiap penganut agama Buddha dari golongan bikshu, maupun pengikut biasa harus berusaha mencapai keselamatan dan melepaskan diri dari lingkungan hawa nafsu, dan memiliki akhlak serta sifat-sifat keutamaan dengan menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sang Buddha, Dassasila (sepuluh peraturan), yaitu;
a. jangan mengganggu dan menyakiti makhluk
b. jangan mengambil apa yang tidak diberikan
c. jangan berzina
d. jangan berkata bohong
e. jangan meminum barang yang bisa memabukkan
Dan untuk golongan biksu ditambah lima lagi :
f. jangan makan bukan pada waktunya
g. jangan menonton dan menghadiri pertunjukan
h. jangan memakai perhiasan emas dan wangi-wangian.
i. jangan tidur di tempat yang enak
j. jangan mau menerima hadiah uang.
Rukun syarat beragama budha
Adapun rukun beragama Buddha dan ketentuan-ketentuan dalam beragama Buddha adalah sebagai berikut :
a. Tiap-tiap orang hendaklah berusaha mengetahui Buddha itu sedalam-dalamnya.
b. Manusia harus mempunyai sukma yang halus.
c. Manusia jangan sampai melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain
d. Manusia harus mencari penghidupan yang tidak mendatangkan kebinasaan bagi orang lain.
e. Tiap-tiap orang harus mempunyai niat yang suci dan bersih.
f. Tiap-tiap orang hendaknya memikirkan semua mahkluk.
g. Manusia hendaklah mempunyai roh yang kuat untuk menciptakan kebaikan dan menghilangkan kejahatan.
Pengikut agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok, Kelompok pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok kedua adalah masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.
Kitab Suci Agama Buddha
Sebelum kitab suci agama Buddha tersusun seperti sekarang, awalnya hanyalah diteruskan dari lisan kelisan oleh para pemukanya. Dapat berupa khotbah, kata mutiara, syair, cerita, peraturan dan lain-lain. Kumpulan tersebut kemudian dikelompokkan masing-masing yang disebut Pittaka (keranjang) yang kemudian terkenal dengan sebutan Tripittaka (tiga keranjang). Penyusunan kitab suci secara lengkap dilakukan pada masa raja Ashoka (313 SM), dan diteliti ulang pada 77 SM. Adapun kitab tersebut adalah:[4]
a. Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan kotbah Buddha Gautama. Bagian terbesar berisi percakapan antara Buddha dengan muridnya. Didalamnya juga termasuk kitab-kitab tenang pertekunan (meditasi), dan peribadatan, himpunan kata-kata hikmat, himpunan sajak-sajak agamawi, kisah berbagai orang suci. Keseluruhan himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
b. Vinaya Pitaka, berisikan Pattimokkha, yakni peraturan tata hidup setiap anggota biara-biara (sangha). Di dalam himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang disebut dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
c. Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar dalam agama Buddha, bermakna : dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Berisikan berbagai himpunan yang mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan, berisikan pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula Visuddhi maga (jalan menuju kesucian)
Sakramen dalam Agama Buddha
Dilihat dari sejarah Buddha, Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan. Pada jaman Buddha, upacara hanya dilakukan untuk penahbisan bhikkhu/bhikkhuni dan samanera (calon bhikku/bhikkuni). Namun upacara yang sekarang kita lihat dan dilakukan oleh umat Buddha merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut Vattha yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air dan sebagainya sehingga mereka semua bersama dengan umat lalu duduk selanjutnya mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Setelah Sang Buddha wafat, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
Upacara keagamaan atau peribadatan dalam Agama Buddha dikenal dengan istilah “Puja” atau “Puja Bakti”. Puja berarti ritual penghormatan. Penghormatan atau pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada objek yang benar atau patut dan didasarkan pada pandangan benar. Dalam Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
1. Amisa Puja (memuja secara materi)
Makna amisa puja secara harfiah berarti pemujaan dengan persembahan seperti: lilin, dupa, bunga, air, buah dan sebagainya. Sedangkan asal mula amisa puja ini berawal dari kebiasaan bhikkhu Ananda, siswa setia Buddha. Setiap hari beliau selalu mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar cendana, menyiapkan bunga-bunga, mengatur giliran umat yang ingin menemui atau menyampaikan dana makanan, merawat dan melayani Sang Buddha.
2. Patipatti Puja (memuja secara praktik)
Makna patipatti puja secara harfiah berarti pemujaan melalui pelaksanaan atau praktik. Seperti berlindung pada Tiratana, melaksanakan lima kemoralan Pancasila Buddhis, bertekad melaksanakan Atthanga sila/delapan kemoralan dihari uposatha, pengendalian terhadap enam indera, mencari nafkah hidup secara benar dan praktik meditasi.
Dalam agama Buddha terdapat empat hari raya besar, yaitu:
a. Waisak
Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta.
b. Kathina
Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha
c. Asadha
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja/Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha memaparkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
d. Magha Puja
Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.
C. Perspektif Islam Mengenai Agama Buddha
a. Ajaran tentang Tuhan
Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi. Dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, dalam bahasa Pali disebutkan “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Islam merupakan agama yang mengkonsepkan Tuhan secara jelas, dari nama, dzat sampai sifatnya. Namun kedua agama ini mengajarkan bahwa Tuhan itu tunggal.
b. Ajaran tentang KitabSuci
Menurut Buddhisme, kitab suci merupakan “wahyu” yang ditulis oleh pengikut Buddha. Kitab suci merupakan dasar utama ajaran-ajaran Buddhism.
Menurut Islam, kitab suci adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada nabi dan ditulis oleh para pengikutnya. Kitab suci merupakan dasar utama ajaran Islam.
D. Analisis
Tuhan dalam agama Buddha yang bersifat non-teis (yakni, pada umumnya tidak mengajarkan keberadaan Tuhan sang pencipta atau bergantung kepada Tuhan sang pencipta dalam usaha mencapai pencerahan. Buddha Gautama tidak pernah mengajarkan cara-cara menyembah kepada Tuhan maupun konsepsi ketuhanan meskipun dalam wejangannya kadang-kadang menyebut Tuhan, ia lebih banyak menekankan pada ajaran hidup suci, sehingga banyak para ahli sejarah agama dan sarjana teologi Islam mengatakan agama Buddha sebagai ajaran moral belaka. Jika diperhatikan dalam perkataan atau khotbah-khotbah Buddha Gautama dan soal jawabnya dengan kelima temannya di Benares, ia tidak percaya kepada Tuhan-Tuhan yang banyak, dewa-dewa, dan berhala-berhala yang dipuja dan disembah seperti halnya dalam agama Hindu, bahkan penyembahan demikian dicela dalam ajaran Buddha dan oleh sang Buddha Gautama itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Buddha lahir pada abad ke-6 S.M. di India Utara diajarkan oleh Sidharta Gautama. Ayahnya adalah seorang raja Maghada bernama Suddodhana, ibunya bernama Mahāmāyā Dewi. Sidharta menikah dengan seorang putri bernama Tasodhara dan dikaruniai seorang putra bernama Rahula.
Buddha mengajarkan empat kebenaran utama yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, Magga. Serta adanya delapan jalan kebaikan dan sepuluh larangan.
Kitab suci agama budha adalah Tripittaka yang terdiri dari tiga komponen yaitu : Sutta Pittaka, Vinaya Pittaka, dan Abidharma Pittaka.
Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
B. Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1997. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press.
Manaf, Mujahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
JR, A. G.Honig. 1997. Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
HM. Arifin, 1997, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press, hal. 94
Mujahid Abdul Manaf, 1996, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.25-26.
A. G.Honig JR, 1997, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia, hal.178.
Harun Hadiwijono, 2010, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, hal. 63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar