Kala= Waktu
Tattwa= Kebenaran
Kebenaran tentang waktu
Dalam ajaran agama Hindu, Kala (Devanagari: कल) adalah putera Dewa Siwa yang bergi dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang
Kepala Kala dari Candi Jago.
Kālá selain berarti waktu juga berarti hitam, bentuk feminimnya adalah Kālī. Dalam satuan waktu tradisional Hindu, satu kala adalah 144 detik.
Disebutkan beliau Batara Siwa bermasa Batari Batari Giriputri pergi bertamasya melihat-lihat keindahan samudra. Setibanya diatas samudra, Batara Siwa dikuasai nafsu asmara lalu beliau bermaksud melakukan hubungan seks dengan Hyang Giriputri. Namun kehendak Batara Siwa tersebut ditolak oleh Hyang Giriputri, karena beliau teringat akan kedudukan sebagai para Hyang. Hal tersebut membuat Hyang Siwa sangat murka, lalu beliau bersabda : "Duhai junjunganku janganlah seperti itu, karena tiada dapat ditahan nafsu kakanda ini, maka jika tiada diperkenankan membuat kanda merasa tiada bahagia".
Pada akhirnya beliau berdua saling bersikap perkasa, maka sebelum pada batas waktunya nafsu Hyang Siwa, lalu keluar air mani beliau yang kemudian jatuh ke samudra. Selanjutnya Hyang Siwa kembali ke sorga bersama Hyang Giriputri. Tiada disebutkan lagi perihal Batara Siwa dengan Batari Giriputri, kini disebutkan Beliau Hyang Brahma dan Hyang Wisnu yang melihat air mani tersebut, terlihat pula keadaan air samudra yang ombaknya bergerumuh membumbung tinggi. Selanjutnya kedua Beliau itu melakukan Yoga Semadi yang kemudian air mani (kama) itu segera berwujud raksasa yang sangat besar dan mengerikan rupanya, membuat Hyang Brahma dan Hyang Wisnu segera melarikan diri.
Tiada diceritakan tentang kemana kepergiannya Hyang Brahma dan Hyang Wisnu, disebutkan si Raksasan berkeinginan mengetahui ayah dan ibunya yang kemudian laut menjadi kosong. Dipandang ke timur kosong, ke utara kosong, ke bawah kosong dan ke atas kosong. Kemudian si raksasan menjerit bagaikan suara singa, sehingga lautan bergetar serta semua surga keseluruhannya goyah kekiri dan kekanan. Membuat para Dewata Nawasangha pada keluar yang kemudian terlihat oleh beliau-beliau itu. Raksasa yang berwajah mengerikan, menjerit bagai suara singa memekakkan telinga membuat para Batara Dewata Nawasangha sangat murka yang segera menyambut dengan anak panah dan mengeroyok si Raksasa. Namun si raksasa merasa gentar kemudian ia berucap : "Ah ah aku merasa bahagia dapat bertemu, jangan kalian menyerang aku, aku meminta yang benar."
Dijawab oleh para Dewata : "Ah ah janganlah engkau banyak bicara, karena engkau raksasa angkara murka tiada urung engkau akan terbunuh". Kemudian terjadilah peperangan yang pada akhirnya para Dewata merasa terdesak kemudian mereka melarikan diri dan datang ketempatnya Batara Siwa. Dengan serempak Beliau-beliau itu datang dan menghaturkan sembah : "Mohon ampun junjunganku, ada musuh paduka yang datang ke tempat kedudukan paduka, kedatangannya membuat kehancuran Sorgaloka. Seluruh putra paduka hamba ini tiada dapat menghalanginya. Jika paduka tiada berkenan keluar untuk menghalangi seluruh surga ini akan hancur lebur".
Hyang Siwa bersabda : "Ah, Uh, Ah, Mah, janganlah kalian merasa ragu, kini aku akan keluar dan kemudian bertemu dengan si Raksasa, lalu beliau bersabda : "Hai engkau Raksasa besar, engkau berdosa yang sangat besar, kini tiada urung engkau akan kubunuh". Si Raksana menjawab : "Segeralah kini engkau keluar". Maka terjadilah peperangan yang bukan main dahsyatnya saling terjang, saling tikam. Namun pada akhirnya Hyang Siwa segera melarikan diri, karena si Raksasa tidak dapat ditundukkan dengan senjata Bajra. Itulah yang menyebabkan Batara Siwa dikejar dalam keadaan melarikan diri itu, tubuh beliau menggigil lalu bersembunyi disuatu tempat yang sangat jauh. Namun pada akhirnya Hyang Siwa kembali dan kemudian Beliau bersabda :" Hai engkau Raksasa, apa kesalahan Sang Caturlokapala sehingga engkau menyerang para Dewata Surgaloka.
Si Raksasa segera menjawab :"Aku bukan bermaksud berperang, aku hanya ingin bertanya kepada mereka sebab aku tiada mengetahui siapa ayah dan ibuku". "Jika begitu potong terlebih dahulu taringmu yang disebelah kanan yang merupakan jalan untuk bertemu dengan ayah dan ibumu. Aku tiada berbohong kepadamu, kini ada anugerahku kepadamu : Jah, Tas, Mat mudah-mudahan engkau mendapat kesempurnaan, engkau perwujudan semua yang bergerak dan engkau selaku penguasanya. Bermaksud engkau membunuhnya atau bermaksud menghidupkannya, engkau yang mempunyai wewenang itu, karena engkau adalah putraku dan ibumu adalah Batari Uma". Demikianlah sabda Hyang Siwa. Adapun sabdanya Batari Uma :"Duhai putraku ada anugerahku kepada putraku, namun jangan meremehkan, masuklah engkau ke Desa Pakraman tinggallah di Pura Dalem dan Durga namamu, dimana mana itu disebabkan oleh ibumu Hyang Batari bernama Batari Durga. Ayahmu Batara Siwa memberikan nama Batara Kala pada saat taringmu dipotong. Itulah namamu yang berkedudukan sebagai dewanya watak Kala, Durga Pisaca, Wil, Danuja, Kingkara Raksasa dan berbagai bentuk penyakit dan hama, segala macam racun yang sangat ampuh. Namun di Desa engkau wajar mengatur segala yang dimangsa. Jika aku berkedudukan di Dalem, maka gelarku Batari Durga Dewi, karena aku yang menganugerahkan kepadamu. Itulah sebabnya aku bernama Durga Dewi. Engkau dipinggir dan namamu Kalika. Jika di Bale Agung maka namamu Jutisrama. Jak Tas Mat, mudah-mudahan akan dapat mencapai kesempurnaan pikiran".
Kesimpulannya
Terjadinya perselisihan antara Dewa Siwa dengan anaknya yang bernama Bhatara Kala, karena Bhatara Kala di lahirkan atas menetesnya air mani Bhatara Siwa dilautan yang disebut dengan hari kama salah yaitu hari Jumat wuku wayang. Yang mana Yeh dan Toya di cemari oleh Bhatara Kala sehingga menjadi Kotor dan peristiwa ini di ketahuai ke esokan harinya oleh Dewa Siwa sehingga di hari Saniscara Wuku Wayang Dewa Siwa mengolah ( menyuling ) Yeh dan Toya yang Kotor menjadi Tirta dan Tirta hasil dari Penyulingan melalui Memutar manadara Giri di Buana Agung melahirkan Amertha dan Amertha dalam Wujut Tirta di Guanakan sebagai Pengeruatan Malaning Jagat ( sapuh leger ).
Ketika Hari Kelahiran baik Kelahiran buana alit ( manusia ) kelahiran buana agung ( pujawali ) yang bertepatan dengan Sukra Wuku Wayang maka solusinya Mengahdirkan Sulinggih yang Meraga Siwa untuk merubah Yeh dan Toya yang kotor menjadi Tirta karena seorang Sulinggih telah memutar Mandara Giri di Buana Alit sehingga bisa Mekarya Tirta , dan tirta yang di hasilkan oleh Seorang Sulinggih meraga Siwa bisa di manfaakan untuk kepentingan Upacara , karena Upacara kelahiran tidak bisa di tiadakan walau dalam keadaan apapun , kecuali upacara Madewasa( berencana ) baru bisa di batalkan.
Jika tidak bisa menghadirkan Sulinggih ( nuhur) karena terbentur Biaya, maka Nunas Tirta Jangkep ke Griya dan Jro Mangku di mintakan untuk Nganteb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar