Merebu
Sugihan Jawa, yaitu membersihkan bagian luar dari pura atau dari manusia itu sendiri yang ditandai dengan melaksanakan pembersihan sekala (yang kelihatan nyata) pembersihan luar (jaba/jawa). Setelah pembersihan luar, telah dilakukan maka pembersihan atau penyucian di dalam diri manusia yang berupa pikiran, tingkah laku, laksana atau perbuatan juga harus dibersihkan. Perayaan penyucian hal-hal yang berada di dalam diri sendiri itulah, dilambangkan dengan Sugihan Bali (penyucian di dalam diri atau penyucian niskala).
Sarana penyucian atau pembersihan di dalam diri menggunakan upacara "Parebuan".
Adapun sarana yang dipakai parebuan ini adalah babi guling, bebek atau ayam guling, dan juga telur guling. Sehingga dalam upacara rahinan sugihan pasti dibarengi dengan upacara marerebu atau parebuan.
Sarana babi guling, bebek guling, ayam guling, ataupun telor guling ini sesungguhnya bukan haturan atau persembahan kepada Ida bhatara-bhatari. Tetapi hal tersebut adalah sarana untuk menyucikan atau membersihkan kotoran-kotoran dalam pikiran, tingkah laku manusia itu sendiri.
Sebab pada dasarnya, ida bhatara-bhatari tidak membutuhkan persembahan yang seperti itu, karena beliau ngalap sari atau selalu berada pada tingkat kesucian.
Sehingga daging parebuan, sesungguhnya adalah sarana untuk membersihkan pikiran dan kekotoran dalam diri manusia.
Dalam menyongsong datangnya hari suci Galungan, maka manusia harus siap dalam keadaan bersih, baik itu bersih lahir maupun batin.
Sebab upacara parebuan berasal dari kata rebu yang kemudian menjadi kata marebu, ngarebu, dan menjadi parebuan.
Kata rebu menurut kamus Kawi-Indonesia oleh Prof.Drs.S. Wojowasito, artinya adalah menghibur. Sedangkan arti kata ngarebu juga berarti ngerebut. Sehingga kata kata parebuan, ngarebu, marebu dalam konteks upacara rahinan sugihan adalah upacara merebut-rebutan untuk bersenang-senang dalam menyambut Galungan.
Yang artinya bahwa upacara marebu yang dilaksanakan pada rahinan sugihan, adalah bertujuan untuk menyucikan atau menghilangkan pikiran atau hal-hal negatif dalam diri manusia, sehingga kita bisa bersuka-ria dan dalam hati yang jernih dan bersih menghadapi turunnya Sang Bhuta Tiga Galungan.
Sebab Sang Bhuta Tiga Galungan yang dipercaya selalu menggoda kehidupan umat manusia.
Oleh sebab itu, dalam ajaran Hindu di Bali disampaikan agar hati-hati dan selalu berhati bersih dan suci disaat menyongsong datangnya Galungan.
Sebab sebelum Buda Kliwon Dungulan atau hari raya Galungan, maka Sang Bhuta Tiga Galungan akan turun menggoda manusia. Sehingga manusia harus bisa menahan hal-hal negatif dalam diri atau bisa anyekung jnana suda nirmala yaitu mengendalikan diri dari hal yang negatif.
Maka untuk menyucikan di dalam diri (bhuana alit) akan dilakukan parebuan, sedangkan pembersihan alam semesta (bhuana agung) ditandai dengan melaksanakan bersih-bersih di lingkungan pura atau merajan.
Sejatinya upacara parebuan, marebu, ngarebu, marerebu saat rahinan sugihan itu bertujuan untuk menyatukan keluarga, kerabat sehingga bisa bersenang-senang menghadapi hari raya Galungan.
Oleh sebab itu sarana upacara marebu ini, terdiri dari makanan berupa guling babi, guling bebek, guling telor dan sebagainya.
Sarana upacara marerebu seperti makanan tersebut, sepatutnya dan harus dimakan bersama-sama di pura atau di merajan setelah matur piuning upacara sugihan selesai.
Dengan demikian yang tadinya ada rasa marah, rasa dendam, akan sirna karena telah melaksanakan makan bersama-sama dalam situasi gembira. Maka parebuan ini sesungguhnya adalah ritual penyucian atau pembersihan ke dalam hati sendiri.
Sehingga makna dari upacara marebu saat Sugihan adalah simbol penyucian atau pembersihan bhuana alit yang berupa pikiran, perilaku, bahkan perbuatan untuk menyongsong datangnya hari raya Galungan yang sangat disucikan. Dengan jalan memakan atau menyucikan organ dalam.
Oleh karena itu setelah melakukan parebuan, diusahakan makan bersama-sama di pura atau merajan dan jangan disimpan sendiri dibawa pulang. Karena spirit kebersamaan akan menimbulkan ketenangan batin dan pikiran, sehingga hati menjadi suci dan bersih.
Parebuan tidak harus dengan babi guling, parebuan disesuaikan dengan kemampuan dan jumlah orang yang akan diajak menikmati upacara parebuan itu.
Marebu boleh menggunakan babi guling bagi yang mampu, boleh itik guling, bahkan boleh telor guling bagi yang kurang mampu.
Sebab dalam beragama tidak ada paksaan dan beragama sebenarnya untuk ketenangan dan kebahagiaan serta kedamaian.
Oleh sebab itu melakukan upacara marebu saat sugihan, tidak harus dengan babi guling, boleh dengan yang lebih kecil sesuai dengan kemampuannya.
Karena sesungguhnya parebuan, yang berupa guling adalah bukan dipersembahkan kepada ida bhatara-bhatari, tetapi hanya matur piuning, dan akan digunakan untuk sarana penyucian manusia dalam mencapai kebahagiaan.
Sehingga upacara marebu pada rahinan sugihan memiliki makna dan nilai filosofis untuk menyucikan atau membersihkan bhuana alit (manusia) berupa rohani pikiran dan perilaku, sedangkan Sugihan Jawa adalah pembersihan bhuana agung (alam semesta), untuk menyongsong datangnya hari raya besar suci Galungan. Ngerebu adalah salah satu upacara yang berkaitan dengan hari Raya Galungan.
Jadi merebu atau ngerebu biasanya dilakukan saat upacara Sugian. Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang Guna Sattwam.
Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna Sattwam-nya.Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnana nirmalakna.
Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri. Dari semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar