Sistem Ajaran Aguron-Guron Griya Agung Bangkasa
Model sistem pendidikan aguron-guron di Griya Agung Bangkasa menggunakan sebuah sistem pendidikan yang dikenal sebagai "garis kapurusan param-pàra". Sistem ini dilaksanakan dengan cara “pengas-ramaan" oleh para guru/nabe terhadap para sisya/muridnya yang kemudian memperoleh bobot kontekstual terkait dengan konsep jñàna yajña, trikàya parisuddha, triguru dan konsep Sìlàcara lainnya, dan model Pendidikan dalam Naskah Silakrama
Pendidikan aguron-guron dikembangkan atas dua sub model. Model pertama dikembangkan dengan ideologi sakala ‘realis' dengan tujuan Parartha ‘kesejahtraan', yaitu agawe suka nikang rat ‘menjadikan siswa berkarakter dan dapat bekerja untuk kebahagiaan bersama di dunia. Sedangkan yang kedua adalah ideologi niskala ‘idealis' dengan tujuan paramartha, yaitu matutur ikang atma ri jatinya ‘menjadikan siswa sadar akan jati dirinya, bahwa ia sesungguhnya adalah roh' atau sinar Ilahi. Model pendidikan aguron-guron merupakan kearifan lokal yang menjungjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi. Oleh karena itu terus diperhatikan dan dikembangkan untuk memelihara karakter bangsa, membangun landasan teori pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya.
Aguron-Guron adalah proses berguru dalam pembelajaran khusus untuk dapat menjadi seorang sulinggih yaitu pada tingkatan bhiksuka dimana telah terlepas dari ikatan duniawi yang bertujuan untuk dapat memantapkan dan mengabdikan hidup sepenuhnya dibidang kebenaran dan kesucian dimana dalam beberapa kitab suci disebutkan :
Guru sebagai Nabe, maksudnya seorang guru mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi kemampuan pembelajaran peserta didik.
Upaya guru membentuk moral siswa,
dipertegas lagi dalam kitab Sarasamucchaya,
sebagai berikut:
“…prawrtyaning manah rumuhun ajarakna,
tlu kwehnya, pratyekanya, si tan engin
adngkya ri drbyaning len, si tan krodha ring
sarwa sattwa, si mamituhwa ri
hananing karmapala, nahan tang tiga
ulahaning manah, kahrtyaning indriya
ika…”
Terjemahannya:
“…ajarkanlah terlebih dahulu hakikat
pikiran kepada anak didik, yang terdiri atas
tiga bagian, yaitu tidak dengki kepada milik
orang lain, tidak marah kepada segala
makhluk, dan meyakini adanya hukum
karma. Demikianlah gerak pikiran harus
dikendalikan melalui pengendalian hawa
nafsu…”
Selama masa aguron-guron, siswa
yang pasrah dan tulus penuh kepada seorang
guru akan mendapatkan berkah berupa
kemampuan untuk mengatasi keakuan palsu
siswa. Keakuan palsu merupakan penghalang
paling besar dan paling kuat dalam perjalanan
siswa untuk mendapatkan ilmu agama.
Dalam Manawa Dharmasastra II seloka 169 dan 170, disebutkan proses pembelajaran ini dilaksanakan agar nantinya dapat melahirkan para sulinggih seperti berikut :
- Satyawadi; memberikan wejangan penuh tata krama,
- Apta; selalu berkata benar,
- Patirthaning-Rat; kehadirannya membawa kesejukan, dan
- Upadesa (memberikan pencerahan).
Lontar Silakrama sebagai sasana bagi para sulinggih dan para sadhu agar nantinya juga dapat mengamalkan ajaran etika, tata susila dalam mengabdikan hidupnya di bidang kebenaran dan kesucian hati.
Lontar Silakramaning Aguron-Guron sebagai berikut:
“…iti Silakrama warahana maring
kayosihan rusit ing rusit ika, yadyan kurang
apangrasa, lamun umiring sarasa ning
Silakrama, pada dening sida mntas, yan
ahyun wruha tlasaning pangrasa, makadi
wruha tlasaning pangrasa kang ginuru
maka nguni ika ta anūt sarasa ning
Silakrama…”
Terjemahannya:
“…ajaran moral Silakrama ini hendaklah
diajarkan kepada anak didik dengan penuh
kasih sayang, dengan segala kepelikannya,
sekalipun anak didik belum mampu
merasakan hikmahnya dengan sempurna,
tetapi jika siswa bersungguh-sungguh
mendalami dan menghayati segala nilai dan
makna ajaran moralsilakrama, anak didik
akan mampu menemukan jalan terang
menuju kemerdekaan lahir batin. Apalagi
benar- benar mendalami dan menghayati
hingga ke puncak segala rasa, terutama
tujuan akhir pembelajaran yang dibelajarkan
oleh guru, bilamana didasari dan sesuai
dengan ajaran Silakrama (etiket)”.
Silakramaning aguron-guron merupakan bentuk ketaatan, keikhlasan pengabdian sisya/murid terhadap guru yang harus dibuktikan melalui kesungguhan dan keseriusan untuk mengabdi dan mendedikasikan dirinya secara total terhadap gurunya. Pengabdian tersebut ditunjukkan dengan loyalitas kerja tanpa mengenal lelah untuk kepentingan gurunya. Dengan begitu sisya/murid akan diakui, dihargai dan nantinya akan diberikan tuntunan serta penghargaan berupa ilmu pengetahuan dan mantera-mantera yang berguna bagi murid tersebut. Seorang sisya/murid wajib tunduk kepada perintah guru (guru susrusa), dan dirinya dianggap berhasil apabila ia mampu melayani dan melakukan hal terbaik yang diperintahkan gurunya. Demikian yang dilakukan oleh seorang sisya/murid Arunika, Utamanyu, Weda dan Utangka di dalam cerita Dhomya Adiparwa ini. Sebagai sisya/murid masing-masing mampu melakukan pekerjaan sesuai yang diinginkan oleh gurunya.
Dimana dalam Lontar Wratisasana disebutkan untuk tercapainya tingkat kesempurnaan.
Diusahakan untuk dapat hidup sederhana;
- Tidak mewah,
-Tidak hura-hura,
Dan berlaku yang ringan dalam kehidupan ini.
Gemar belajar (adhyaya), mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan (adhyapaka), rajin belajar (swadhaya), rajin berpantang dan upawasa (brata), tekun memusatkan pikiran (dhyana), dan rajin menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (yoga) seperti seorang brahmana;
Menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan;
Serta mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Di Griya Agung Bangkasa, proses pembelajaran aguron-guron dari seorang sisya kepada seorang Guru Nabe ini dalam beberapa istilah disebutkan sebagai berikut :
- Nabe sebagai guru utama dalam proses pendidikan & pembelajaran khusus dalam tradisi aguron-guron.
- Sisya, para murid sebagai calon pendeta (sulinggih) yang hendak menerjunkan diri dalam hidup keagamaan sebagai “parasraya”.
Guru dan murid adalah satu kesatuan dimana akan selalu ada ikatan bathin antara guru dan murid.
Pada waktu seseorang melakukan diksa/dwijati, Seorang sisya akan lahir kedua kalinya yang pertama lahir dari rahim Ibu dan yang kedua lahir dari gurunya sebagai putra dharma.
Sehingga ada prosesi napak Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia dengan selalu menghormati guru maka apa yang beliau ajarkan akan meresap di dalam diri.
Karena demikian pentingnya peran guru maka hati-hatilah memilih seorang guru. Di dalam Lontar Siwa Sasana dikatakan syarat-syarat sesorang yang patut di jadikan guru/acarya/sadhaka sebagai Nabe yaitu :
- Ahli weda,yang menguasai bagian-bagian Sanghyang Catur Weda.
- Teguh melaksanakan Dharma dan yasa kirti.
- Berbudi baik, tabah, teguh hati dalam tapa brata.
- Dapat menaklukan hawa nafsu, dapat melepaskan diri dari kenikmatan duniawi.
Memiliki sifat satya :
- Selalu berkata jujur, setia pada janji dan dia tidak berkata yang kasar, memfitnah, berbohong, menghina sesama sadhaka, tidak menghina orang lain.
- Dan tidak mencerca kerja dan brata sesama sadhaka.
- Selalu mengucapkan kata kata yang benar manis dan lemah lembut, menarik hati dan bersahaja
Dia tidak licik, sombong dan congkak seperti :
- Tidak memiliki sifat matsarya, sifat dengki dan iri hati yang disebutkan hanya akan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan ini.
- Tidak memiliki sifat Metraya yang penuh dengan kepalsuan spiritual.
Dia selalu berpikir bersih, tenang, pengampun, kasih sayang, tidak mudah marah, selalu lapang hati berdasarkan catur paramita (maîtri, karuna, mudita dan upeksa).
Keutamaan guru yang berbudi luhur seperti disebutkan :
Lakshmi duhkha sahasrani
Samsara papa nasanam
Parate naraka nasty
Siwa lokam avapnutyat
Inilah kemuliaannya dia yang berguru kepada yang maha suci ialah :
Hilangnya noda kecemaran orang itu. Atau ia tidak akan tersentuh oleh segala marabahaya, duka nestapa, bebas dari samsara malapataka.
Berapun banyaknya kepapaan orang, berapapun besarnya, meskipun seribu banyaknya, sebesar bumi dan gunung semeru besarnya dan beratnya, tentu akan lenyap dan hilang sama sekali. Bila didiksa (diinisiasi) oleh pandita guru maha pandita.
Besarnya kesucian pandita guru maha agung mampu menghilangkan papa muridnya. Sebab itu maka hendaknya dipilih pandita guru yang dapat dijadikan tempat berguru oleh sisyanya.
Dalam mengungkap model pendidikan aguron-guron di Griya Agung Bangkasa ini juga dikembangkan dengan ideologi sakala dan niskala :
Secara sekala yaitu ‘realis’ dengan tujuan Parartha ‘kesejahtraan’, yaitu agawe suka nikang rat ‘menjadikan siswa berkarakter dan dapat bekerja untuk kebahagiaan bersama di dunia ini.
Sehingga ajaran tri parartha itu sudah sepatutnya selalu dipahami dan di amalkan oleh umat manusia, dengan demikian kesempurnaan hidup ini akan menjadi kenyataan.
Sedangkan secara niskala ‘idealis’ dengan tujuan paramartha, yaitu matutur ikang atma ri jatinya ‘menjadikan siswa sadar akan jati dirinya, bahwa ia sesungguhnya adalah roh’ sebagai inti yang menjiwai setiap makhluk hidup untuk dapat kembali ke asalnya.
Dengan selalu berpedoman pada dasa paramartha sebagai penuntun dalam tingkah laku yang baik untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa) yaiu sukha tan pa wali dukha.
Ajaran aguron-guron di Griya Agung Bangkasa ini sebagai penddikan berbasis kearifan lokal yang menjungjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi;
Oleh karena itu terus diperhatikan dan dikembangkan untuk memelihara karakter bangsa, membangun landasan teori pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya.
Uniknya sistem ajaran aguron-guron di Griya Agung Bangkasa ini dikenal dengan adanya sebutan guru siksa. Apa itu Guru Siksa di Kepurusan Griya Agung Bangkasa?
Guru artinya berat/menanggung beban.
Guru Siksa adalah mereka yang memberikan kita pergaulan rohani, memberikan petunjuk rohani dan diskusi.
Seorang guru siksa itu harus seorang sanyasi/mereka yang sudah mencapai tingkat guru spiritual dan paling dituakan di kapurusan Griya Agung Bangkasa. Disebut sebagai guru siksa karena merekalah yang membuat kita tertarik dan masuk dalam jalan kerohanian kesadaran dalam penurunan ajaran kerohanian dalam suksesi/garis perguruan (parampara), yang menanggung beban dalam membimbing seorang murid dan membuka tabir kegelapan dunia materialnya menuju dunia spiritual. Dengan kata lain guru siksa adalah seorang instructor dalam memahami kerohanian.
Jadi dalam sistem ajaran aguron-guron di Griya Agung Bangkasa ini, Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba lah di menyandang sebutan sebagai Guru Siksa itu.
Lontar Silakramaning Aguron-Guron
merupakan sebuah teks didaktik yang
mengandung ajaran moral seorang siswa dalam proses pembelajaran. Konsep-konsep yang ditawarkan penuh dengan nilai dan makna edukatif yang layak dijadikan sumber acuan.
Moral yang ditanamkan dalam ajaran Lontar
Silakramaning Aguron-Guron adalah moral
yang memiliki esensi keluhuran budi dan
kelakukan baik. Aguron-guron adalah proses
pembelajaran yang diberikan seorang guru
kepada muridnya. Sistem pendidikan aguron-
guron merupakan suatu proses pembelajaran
mengenai pendidikan moral budi pekerti luhur, dengan harapan agar mencapai perkembangan
kepribadian sikap mental dan budi pekerti yang
luhur dengan jalan mengamalkan ajaran Sang
Hyang Widhi Wasa. Selama masa aguron-
guron, siswa yang pasrah dan tulus penuh
kepada seorang guru akan mendapatkan berkah berupa kemampuan untuk mengatasi keakuan palsu siswa. Dalam konteks ini hubungan Guru dengan siswanya adalah bahwa peran guru sangat penting untuk tidak semata membimbing, tetapi guru harus bisa menjadi contoh suri teladan bagi siswanya.
Upaya untuk menanamkan moral pada
anak didik dimulai dengan pencermatan dan
membangun kesadaran pada diri anak didik
tentang kelemahan sepuluh indria yang ada di
dalam diri. Kesepuluh indria itu sangat rentan
memengaruhi pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia. Sehingga guru sangat berperan penting dalam membangun moral anak didik dengan memberi keteladanan dan penuh kesabaran, serta membangun suasana
pembelajaran yang kondusif, nyaman, aman
bagi anak didik sehingga anak didik merasa
dekat dengan guru. Lontar Silakramaning
Aguron-Guron menegaskan bahwa siswa tidak
semata mendalami ilmu pengetahuan, tetapi
para siswa harus memiliki moral yang baik agar pengetahuan yang didapatinya tidak semata untuk kepentingan dirinya, tetapi harus mampu diabdikan demi kepentingan orang banyak, yang tercermin dari sikap moralnya; baik dikaitkan dengan Tuhan, alam sekitarnya, dan sesama manusia.
Komponen Pendidikan aguron-guron di Griya Agung Bangkasa dalam pendidikan aguron-guron mencakup :
(1) Komponen pelaku pendidikan, yaitu guru yang memberikan materi belajar.
Dalam hal ini Guru adalah orang yang patut dimuliakan; pembimbing spiritual (Zoetmulder, 1995: 321; 322; 1371). Sugriwa, (1967: 1-3) dalam Dwijendra Tatwa (Riwayat Hidup Dhanghyang Dwijendra) menguraikan tentang nama-nama guru agama Hindu Bali yang dikenal, baik zaman Bali purba maupun setelah mendapat pengaruh ajaran Siwa Sidharta dan Buddha Mahayana yang disebut Hindu atau Agama Hindu Bali yaitu: Dhanghyang Markandeya, Empu Sangkul, Sira Empu Manik Angkeran, Ma-harsi Anggastya, Empu Kuturan.
(2) Komponen Bahan Belajar atau Materi Pendidikan Agama. Dalam Kitab Upanisad menguraikan tentang belajar, yaitu merupakan usaha pendewasaan diri yang melibatkan interaksi antara siswa (sisya) dengan gurualam proses belajar (adhyaya) dan mengajar (adhyaapayitum) yang sekarang dikenal sebagai pembelajaran (svadhyaya adhyaapayitum atau svadhyaya pravacane).
Kata kunci pendidikan aguron-guron di Griya Agung Bangkasa adalah kesiapan dari kedua belah pihak, murid maupun guru. Sistem aguron-guron di Griya Agung Bangkasa menekankan pembelajaran dengan pendekatan partisipatif. Siswa aktif menyusun pengetahuan sendiri dengan berbagai macam cara atau metode pembelajaran seperti mengembangkan kemampuan bertanya, berdiskusi, meneliti perilaku alam dan lain-lain. Sebagai contoh adalah Satyakama yang dianjurkan Rsi Gautama menyusun pengetahuan secara mandiri dengan meneliti perilaku dan tanda-tanda semesta sebelum mengkaji landasan tattwa secara mendalam (Chandogya Upanisad). Upanisad menjamin siswa mengembangkan kreativitas, berinovasi melewati garis-garis kebiasaan dalam pembelajaran,
(3) Komponen Cara Penyampaian atau Metode Pendidikan aguron-guron di Griya Agung Bangkasa. Dalam Pedoman Pembinaan Umat Hindu yang telah dapat rekomendasi atau pengesahan pada Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia yang berlangsung pada tanggal 4-7 Februari 1988, menetapkan metode pendidikan agama Hindu adalah (a) Dharma Wacana; (b) Dharma Tula; (c) Dharma Gita; (d) Dharma Shantih; (e) Dharma Yatra; dan (f) Dharma Sadana.
(4) Komponen Sasaran Didik dan Pembinaan. Dalam Upanisad menekankan bahwa belajar merupakan esensi hidup manusia. Secara tradisi ada dua cara belajar dalam ajaran Upanisad. Belajar secara interaktif dengan guru (gurukulo) dan belajar tanpa bimbingan guru (swadhyaya). Terkait dengan hal ini, sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung proses belajar terdiri dari sumber yang berasal dari guru (gurutah) dan sastra (sastratah) yang dapat dilihat dalam bentuk pustaka maupun referensi lainnya.
(5) Menilai Hasil Pembinaan Pendidikan Hindu. Ajaran-ajaran yang diberikan oleh guru kepada murid-muridnya tidak diberikan sembarangan. Dalam artian, siswa yang akan mendapat pengetahuan/ajaran tersebut harus melewati beberapa prosesi yang telah ditetapkan oleh sang guru. Ketika tiba saatnya, maka sang guru akan memberitahu kepada murid yang telah dianggapnya memenuhi syarat tersebut. Pengamatan sang guru terhadap siswa yang akan dipilih dan memenuhi syarat dilakukan secara cermat, seksama dan terus-menerus sepanjang waktu.
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentu-kan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Media pembelajaran dalam bentuk PowerPoint/LCD berisi gambar-gambar bergerak yang dilengkapi dengan audio untuk memudahkan pemahaman materi terutama materi-materi yang sulit dipahami bila hanya menggunakan tulisan dan gambar atau foto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar