Senin, 24 Agustus 2020
TATEBASAN PAMAHAYU SOT MIWAH MELIK
Kaketus saking lontar "Lawar Capung Ki Dalang Tangsub, Griya Agung Bangkasa"
Olih: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
TATEBASAN PAMAHAYU SOT MIWAH MELIK :
Medasar antuk dulang, duwur nyane susunin antuk aled sesayut, duwur nyane dagingin beras aperapata, base tampelan, benang atukel, jinah 225, duwur nyane susunin antuk nasi maklongkong 1, duwur nasine medaging tulung urip 1 medaging nasi ulam taluh bekasem, kawangen 11 siki, sesanganan, raka-raka sejangkep nyane, sangku medaging toya anyar, penyeneng alit (tahenan) 1, Pras alit 1, sampyan nagasari, canang pahyasan, Sesayut puniki munggah Sanggar Kamulan.
Tebasan Semaya Pati
Tumpeng kapurancak asiki, ayam binanda, Yan wong Lanang ayam muani yan wong istri ayam luh, ayam bang suku dara, benang bang linamasan, sekul winaranta sinisir, kacang alimas, pinang atakep timun asiki, kacang ambungan, buah bancangan, woh-wohan jangkep, tamas, kulit sayut, raka, tumpeng besar, 4 sau petik berisi ; nasi saur, nasi saur, uyah, pesucian, sampyan jit goak, carunia ring ring sanggar Astawa sedahan semaya Pati, Hyang kala Pati.
BAYUH OTON SANAN EMPEG
Umat hindu di Bali mempercayai bahwa, kelahiran seorang anak dan dalam kehidupan selanjutnya (semasa hidupnya) tiada terhindar oleh keadaan yang dalam urutan keluarganya memiliki kakak dan adik yang telah meninggal dunia, wajib melaksanakan upacara Sanan Empeg dengan mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali.
"Sanan Empeg ini bermakna, di mana orang yang terlahir dan memiliki kakak atau adik yang sudah meninggal dunia, dikhawatirkan kehidupannya tidak seimbang” dan patut ditebus/dibayuh/diruwat. Pustaka “Kembangrampe Lawarcapung” karangan Ki Dalang Tangsub, disebutkan bahwa:
“Iti ngaran pinahayu sanan empeg, maka pangilanganing papa pataka nira sang kari mahuripa, wus tininggalana de kakang arinia nguni, teka katekang papa gati sangsara ning pancering kakang arinia lawan kawitan ira. Mangkana pwa ya mapan wus kaparisudha dening rsinggana makabehan. Gunaning pamahayu sanan empeg kaweruhaken denta anakku, ika marmania angentasaken sakwehing lara rogha ring raganta”.
Artinya:
Ini namanya usaha pengentasan (bayuh/ruwatan) Sanan Empeg, sebagai sarana menghilangkan dan melenyapkan segala dosa dan kemalangan orang yang masih hidup, setelah ditinggalkan (mati) oleh saudaranya (yaitu kakak dan adknya) duluan, sampai dengan lima bentuk inti kesengsaraan yang ditinggalkan/diakibatkan oleh kakak dan aknya (yang telah mati) beserta leluhurnya. Demikianlah pahalanya oleh karena telah disucikan oleh para Rsi/Pandita seluruhnya. Gunanya Bayuh Sanan Empeg, ketahuilah olehmu anakku, itu adalah untuk mengentaskan/membebaskan segala kesengsaraan dalam dirimu.
Untuk menyeimbangkan itu, Sang mabayuh "Sanan Empeg" diwajibkan memiluk sejaji dengan "sanan" (alat pikulan berupa sebilah bambu), di mana beban di bagian depan dan belakang harus seimbang. Dengan beban yang seimbang itu mereka kemudian berjalan berputar mengitari tumpukan "banten" yang telah disiapkan. Sanan dimaksud melambangkan keseimbangan kehidupan.
Anak yang demikian wajib untuk dibayuh sesuai pawetuannya, juga ditambahkan dengan tatanan sebagai berikut :
UPAKARANYA :
Surya: Dewa-Dewi dan di bawahnya Gelarsangha serta dilengkapi dengan ganjaran agung, mapenjor tiying gading apasang.
Kamulan: Pejati asoroh, Suci dan Canang Buratwangi saha nunas Wangsuhpada.
Pemedalan (kori): Bakar tujuh bungkul tempurung kelapa (nyuh maadan), usahakan apinya tidak boleh padam selama prosesi upacara berlangsung di Mrajan (matur piuning dijaga oleh orang yang di pandang bisa menggelar dan dipercaya)
Kutipan Sastra:
“Mapugpug madudus ring arepang lebuhing lawang, Upakarania: daksina pras ajuman 1, mabe sato biying, nasi wong-wongan bang, kepelan bang, getih matah atakir, segehan cacah, kepelan mancawarna, be bawang jahe. Saranania audus: gumpeng ketang, injin, padi, menyan, cendana, kayu sakti, welilang, trosi, mejakani, mejameju, mejakeling, samparwantu. Laluhunia: luhun pasar, pateluan, sema, pamuhunan, pempatan lan luhun margha agung”.
Bale: Ayaban minimal Tumpeng solas meBebangkit.
Tegen-tegenan: Tipat Nganten, Takilan, sarwa Pala Bungkal, Pala Gantung lan Pala Rambat.
Upakara Bayuh Oton jangkep nganut dina pawetuan sang pinayuhen. Wewehin bebayuhania:
“Sesayut pulingga adulang, sorohan guling bebangkit, suci 5 soroh, katutuan 1 soroh, sarwa genep sapretekaning bebangkit. Guling ika matatakin ngiyu anyar rinajah ‘Yama Mahakala’ segha sawakul, segha wakulan apasang, makakecer 1, tebu cemeng 5 keleng, jrimpen nyinggal apasang, jrimpen tunggul apasang, tumpeng putih kuning, raka genep, iwak sato putih siyungan mapanggang, belayag galahan, bungkak 5 warna, itik ginuling, pencok kacang, lalampad, sarwa pisang, sampiyan plawus, jangan sakawali, sukla pawitra, keraras biyu mas, daksina pras ajengan 2 soroh, artha 5555, lis gadang, lis gde, padudusan agung jangkep, isuh-isuh, panyeneng, kampuh gringsing, benang tatebus tri datu, sasagi genep. Malih beras 5 catu, lawe bang 5 tukel, belayag 50, sato bang pinanggang, tadah pawitra, nasi sokan sapanjang, grih baranak, mabe putih siyungan mapanggang, jinah 777, pisang sawarnania pada 7 bulih, bayuhan nganut dina.”.
(Buku Widhi Sastra)
PROSESI UPACARA :
Bersamaan dengan upacara bayuh oton digelar oleh Sang Sulinggih, Sang Pinayuh Sanan Empeg matur piuning di Kemulan – Taksu, diikuti dengan membakar Kawu Bulu pitung bungkul dan tidak boleh padam apinya selama prosesi.
Selesai matur piuning, kemudian sang pinayuhen di dudus dengan sarana mapugpug madudus setelah itu buka pakaian dan “Ampiggan” di atas bara api kawu bulu selanjutnya bersalin dengan pakaian lainnya.
Sang Sulinggih melakukan penglukatan terhadap anak yang di bayuh. Sang Pinayuh saat melukat menghadapi segan agung serta menggunakan selembar kain Gringsing Sanan Empeg.
Setelah itu Sang Pinayuh diajak adyus di lebuh dengan menggunakan berbagai mata air/pancuran (sesuai bayuh otonya).
Geringsing Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi anak yang melakukan prosesi bayuh/ruwatan kelahiran. Kain Gringsing Sanan Empeg ini terkenal di masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Serta kain ini juga bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam
Perlu diketahui bahwa pada semua kain Geringsing (double ikat) pasti ada “telupuhnya” (motif pinggirnya) dan juga “penekek” (bagian paling pinggir). Serta proses pembuatannya pun sangat sakral. Kadang-kadang diisi pula tambang, “tetubahan” semacam hiasan kreasi di pinggir kain sesuai selera pembuat.
Rentetannya adalah sebagai berikut : setelah proses pembuatan dimulai, diawali dengan mencelupkan benang kedalam minyak lilin (minyak kemiri/malem) dan air serbuk kayu dalam wadah yang terbuat dan tanah liat (jeding) kemudian ditutup dengan kain putih hitam (gotia) guna menghindari adanya pengaruh roh jahat (leak).
Setelah ikatan pertama disimpulkan disertai dengan yadnya kecil yang terdiri dan : kembang sepatu, dauh sirih gulung, kapur sirih dan 2 set uang kepeng 11, pada lubangnya digantungkan benang katun yang diikat 2 kendi. Ikatan terakhir pada bahan hanya dapat diikat oleh wanita yang lewat masa menapouse.
Setelah berganti pakaian dengan tetap memakai kain Gringsing Sanan Empeg, Si anak yang di ruwat/bayuh menghaapi upakara lanjut mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali dengan sambil memikul Tegen-tegenan yang diakhiri dengan memakan Takilan dan apa yang bisa dinikmati.
Setelah makan pala bungkah, pala gantung dan pala rambat di tanam pada Lebuh kiri, kanan dan batas rumah.
Selanjutnya semuan pakaian yang digunakan dalam prosesi ruatan/mabayuh (melukat) dibakar di jalan dan abunya dimasukan ke dalam klungah nyuh sudamala lalu dianyut (lengkapi dengan pejati asoroh). Kemudian kenakan pakaian Sembahnyang.
Si anak yang di ruwat/bayuh menghadapi banten tataban Oton.
Prosesi diakhiri dengan Muspa dan Majaya-jaya.
Dengan dilakukannya Bayuh/ruwatan (pembebasan atau pelepasan) Sanan Empeg ini diharapkan anak yang diruwat yang hidupnya hina dan sengsara dapat berubah kemudian hidupnya lebih mulia dan bahagia.
JENIS UPAKARA BAYUH TAMPEL BOLONG ANUT PAWUKUAN
Dari berbagai jenis ruwatan yang ada di Bali jenis upakaranya memang telah dibakukan dan harus diselesaikan oleh seorang Pinandita, Bhawati dan Sulinggih yang ahli ruwat serta harus disertai dengan berbagai jenis sarana upakara saji. Adapun jenis upakara saji yang diperlukan antara lain : gecok, mentah mateng, lele sejoda, tumpeng pucuk mas, ingkung, opor, abon-abon, sega golong, panggang ingkung, tukon pasa pisang pulut, benang (merah, putih, kuning, hitam, baro-baro, pliringan, kalangan), pondok tetel, tumpeng janganan, tumpeng robyong, ambeng asahan, rasukan sapengadeg, mori, cencengan pitik sejoda, gagar, mayang, cerik poleng, gadung mlati, pandan binetot, bangun tulak, sindur tumbar pecah, cara apmil gading.
Banten Bayuh Dewasa Ala
Caru ring paturon;
Suci dene genep adanan, muwang caru ring natar, luwirnia sega 11 (solas), gelar sanga jangan sakewali, rumbah gile, sasak mentah (nasi atangkih berisi darah mentah), muwah sekul mawadah wakul, iwak pejagalan, wiwidean anut sasih, sekul segegem iwaknia amel-amel, muah seselambunan, wawidehan olah dene sangkep, sajeng aguci, pancakolika, langsub sapere karania, payascite suci asoroh, segeh timbanan sakulak panci, iwak sate brumbun muwang sate wiring pinanggang, sahe raka sarwa galahan, genep sapere karania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar