CERPEN “KEMBAR BUNCING”
Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.
Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.
“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.
Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.
“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.
Balai dipenuhi warga. Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”
“Panen akan gagal lagi.”
“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balaidesa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balaidesa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balaidesa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balaidesa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balaidesa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.
Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.
Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.
Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.
Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.
Tiada cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar