Sejarah Bongkasa Kaitannya dengan Ki Dalang Tangsub
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
MAJALAH SEPENFOURABS, LILIN DHARMA - Ki Dalang Tangsub Pencetus Desa Bongkasa di Abiansemal, Badung
Desa Pakraman Bongkasa yang terletak di sebelah Barat Sungai Ayung, dikenal sebagai desa dengan objek wisata Arung Jeramnya di Sungai Ayung dan wisata swing. Desa Pakraman ini diusung oleh 11 banjar, yakni Banjar Karang Dalem I , Karang Dalem II , Tegal Kuning ,Tanggayuda , Sayan ,Kedewatan , Pengembungan, Teguan , Kambang , Kutaraga, dan Banjar Toh Pati .
Desa Bongkasa ternyata tak hanya menyimpan keunikan alamnya. Ia juga menyimpan sejarah yang unik. Konon Desa Bongkasa dahulu merupakan hutan yang angker, dihuni oleh binatang buas dan keadaan tanahnya yang berpalung-palung, yang merupakan wilayah kekuasaan Raja Mengwi yang batas timurnya adalah Sungai Ayung.
Dalam babad Kiyai I Gusti Agung Pasek Gelgel Bangkasa (Jro Ketut Dalang Tangsub) disebutkan pula nama Rangdilangit atau Bangkasa. Nama Bangkasa itu dikaitkan dengan kedatangan Bhatara Sakti Wau Rauh ke Bali tahun 1489. Beliaulah yang menurunkan Brahmana Manuaba, Keniten, Mas, Antapan, dan Kemenuh.
Sebenarnya dahulu desa ini disebut Randalangit lalu menjadi Bangkasa. Bangkasa itu dikaitkan dengan kedatangan Bhatara Sakti Wau Rauh ke Bali tahun 1489.
Dalam kutipan lontar gaguritan I Ketut Bongkling, diceritakan I Ketut Tangsub mendapat hadiah dari Raja Mengwi setelah I Ketut Tangsub berhasil menyembuhkan Istri Raja. Ketika di Hutan Teguhwana, ia lantas masuk melalui sisi paling Barat. Pada sebuah ketinggian, Ketut Tangsub tersentak kaget (kaplak ngeh) sehingga tempat ini sekarang dikenal dengan nama Bet Tegeh/Petegeh. Di tempat ketinggian tersebut Ketut Tangsub duduk beristirahat dengan memegang gandek yang dibawanya, sambil membuat geguritan Pupuh Ginada Bebungklingan yang disurat pada daun lontar.
Di tempat Kaplak Ngeh tersebutlah I Ketut Tangsub memotong (punggel/punggul) kawasan daerah hutan Teguhwana tersebut, konon dengan membuatkan atau membelokkan aliran sungai. Kemudian tempat itu mulai dirabas sedikit demi sedikit bersama beberapa orang prajurit. Tempat itu kemudian diberi nama Rang di Langit, langit merah keputih-putihan keemasan diartikan Bangkasa ( bang atau merah di angkasa), tepatnya di Hutan Teguhwana.
Di sisi lain, diceritakan pula bagaimana Ketut Tangsub saat tengah belajar di Desa Manuaba Ubud.
Keberadaan desa ini juga tidak lepas dari Pura Griya Sakti Manuaba di Desa Manuaba Ubud. Ketut Tangsub memang di panggil menghadap kesana dengan ayahnya I Gede Bawa oleh Bhatara Sakti.
Diceritakan, Brahmana Manu Aba pergi ke Gunung Aba. Di sana beliau bertemu dengan I Gede Bawa. I Gede Bawa kemudian kawin dengan Ni Putu Sandi yang akhirnya melahirkan 6 orang keturunan, masing-masing bernama I Gede Harsa, I Made Tanggu (Ki Pasek Bendesa), I Nyoman Gde Pasek, I Ketut Tangsub, I Gede Gredegan, Ni Luh Putu Ngawi lahir di Banjar Tengah Desa Manuaba Tegalalang, Gianyar.
Anak yang keempat (I Ketut Tangsub) sangat tekun dan rajin bersemadi, maka akhirnya beliau menjadi sangat sakti. Oleh sebab itulah semasa hidupnya I Gede Bawa bersama anaknya I Ketut Tangsub dipanggil untuk diam di Pesraman Ida Brahmana Sakti Manuaba dan diberikan kepercayaan untuk mendampingi Ida Bhatara Sakti kemana saja. I Ketut Tangsub juga diperbolehkan untuk mempelajari Weda, Tattwa Kediatmikan, Usada, dan Darma Pawayangan. Pada tahun 1825 Masehi, lanjut Sugata, I Ketut Tangsub yang juga dalang ( Ki Dalang Tangsub) disiasati oleh anak-anak Ida Brahmana Nyoman Buruan (Ida Brahmana Sakti) yang iri melihat kedekatan I Ketut Tangsub dengan berbagai anugerah yang diberikan oleh Ida Brahmana Sakti. Agar tidak lagi dekat bersama Ida Brahmana Sakti, anak-anak dari Ida Pedanda Sakti menyuruh Ki Ngurah Batulepang untuk menyerang Ki Dalang Tangsub.
Desa Manuaba akhirnya berhasil diduduki. Ida Brahmana Sakti tetap tinggal di Manuaba bersama I Gede Bawa, sedangkan Ida Brahmana Istri yang tidak menyenangi sikap putra-putranya, beliaupun mengungsi dengan Ki Dalang Tangsub ke Desa Kuum Sembung di bawah Kerajaan Kawyapura (Mengwi).
Setelah sekian lama, barulah Ida Brahmana Sakti mengetahui ternyata masalah yang timbul dikarenakan ulah anak-anaknya. Maka dari itu, beliau (Ida Brahmana Sakti) murka dan mengutuk semua putra-putranya sampai ke anak cucunya kelak, tidak diizinkan mempelajari, menggunakan Aji Kediatmikan, bahkan menyembah (memuja) beliau Ida Brahmana Sakti, dan kapan hal itu dilakukan, seketika itu semuanya akan lenyap.
Melihat kemurkaan Ida Brahmana Sakti, semua putra-putrinya lari menjauh dari Desa Manuaba.
Sugata menambahkan, Ki Dalang Tangsub selama ada di Desa Kuum mempunyai kebiasaan jalan-jalan, di samping juga memiliki pemikiran yang kritis, cerdas. Sosok pria tampan ini, juga sangat lincah serta gesit dalam segala hal pekerjaan. Pada suatu ketika, Ki Dalang Tangsub diberi kesempatan untuk menguji kemampuan untuk mengobati istri Raja Kawyapura (Mengwi), yang konon terkena sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Saat keberangkatannya, Ki Dalang Tangsub hanya membawa kompek gandek yang berisi sirih, kapur, tembakau pinang, penglocokan, sebuah keris, dan lontar.
Di perjalanan lantas bertemu dengan I Dewa Wayan Senggu. Ki Dalang Tangsub disuruh pulang karena tak bakalan mampu mengobati sakit istri Sang Raja. Ki Dalang Tangsub bersedia pulang asal I Dewa Wayan Senggu bisa menjawab pertanyaannya. Seperti apa pertanyaannya? Ki Dalang Tangsub menanyakan, bagaimana tulisan suara angin yang bertiup kencang dan suara burung sawah hujan?
Senggu tidak bisa memenuhi permintaan Ki Dalang Tangsub. Kepada Dewa Wayan Senggu, Ki Dalang Tangsub mengatakan bahwa di rumahnya ada sebuah pustaka yang banyak mengandung ajaran etika, filsafat, dan tattwa. Dengan demikian Ki Dalang Tangsub menyarankan agar siapa pun tidak mengaku diri pandai sebelum bisa membuktikan yang sebenarnya. Uraian tersebut dapat dilihat dalam salah satu bait yang terdapat pada Kidung Perembon karya Ki Dalang Tangsub, alih aksara oleh W.Simpen AB. Lewat kidung, Ki Dalang Tangsub mengingatkan kepada semua orang agar tidak sombong, mengaku paling bisa, biar orang lain yang menilai, karena tantangan dan rintangan akan terus ada, dan masih banyak yang harus dipelajari lagi. Dalam Pupuh Ginada dituangkan syair :
Eda ngaden awak bisa,
depang anake ngadanin,
geginanne buka nyampat,
anak sai tumbuh luhu,
ilang luhu buke katah,
yadin ririh, enu liyu pelajahan.
Nah, setelah selesai merabas hutan yang angker (Teguh), Ki Dalang Tangsub melangsungkan perkawinannya dengan Ni Gusti Agung Ayu Pasti (Jro Iti). Dari perkawinan itu lahir dua orang putra, yaitu I Gede Rata dan I Nyoman Dangin. Pemondokan itu selanjutnya diberi nama Teguhwana. Kini, nama daerah tersebut adalah Banjar Teguan.
Hutan Teguhwana yang ditempati Ki Dalang Tangsub menjadi aman, tentram, gemah ripah lohjinawi. Tempat kediaman Ki Dalang Tangsub bersama beberapa prajurit dari Mengwi di hutan Teguhwana itu diberi nama Pengembungan yang konon asal katanya dari pembeman atau bengbengan (tempat berkumpul). Di hutan itu beliau mendapatkan petunjuk yang baik, lalu melakukan tapa, brata, yoga, semadhi. Di dalam yoganya itu, beliau mendapatkan bhisama (wahyu, pawisik atau suara gaib), bahwa Ki Dalang Tangsub agar mendirikan sebuah palinggih Turus Lumbung dan melakukan pemujaan dengan segenap ilmu yang telah diajarkan oleh Ida Bhatara Sakti.
Ki Dalang Tangsub, selain dikenal sebagai murid dari Bhatara Sakti Manuaba, juga dikenal sebagai pendiri sekaligus sastrawan dari Desa Bongkasa. Berkat kesaktiannya, banyak kejadian aneh terjadi.
Dalam beberapa lontar yang ditemukan di Pura Griya Sakti Manuaba, dikisahkan bagaimana didirikannya Pura Griya Sakti Manuaba dan Pura Pucak Pule Bongkasa.
Diceritakan dahulu, dengan segenap kekuatan yang dimiliki Ki Dalang Tangsub mendapatkan cipta kehadiran Ida Bhatara Sakti Manuaba yang muncul pada Palinggih Turus Lumbung. Di Palinggih sederhana itu tiba tiba
muncul Manik Galih (potongan tulang kaki Ida Bhatara Sakti), sebuah Keris pejenengan. Selain itu, muncul juga selendang milik istri Ida Bhatara Sakti, dan Badjra yang sering digunakan oleh Ida Bhatara Sakti untuk melakukan pemujaan.
Oleh sebab itulah, Ki Dalang Tangsub membuat sebuah Palinggih Pajenengan di tempat Turus Lumbung tersebut, dan sampai sekarang tempat itu diberinama Pura Griya Sakti Manuaba. Pura ini berada di.kawasan Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Abiansemal Badung. “Genta yang ada di Pura Griya Sakti Manuaba itu, juga ada di Pura Griya Sakti di Desa Manuaba, bentuknya hampir serupa.
Dikisahkan pula, di tepi siring tegalan tersebut ada tegalan yang tidak bisa dijadikan sawah, karena sulit mengalirkan air kesana. Ki Dalang Tangsub bersama sejumlah penduduk lalu berjanji di sebuah Pohon Pule. Mereka berjanji, bila daerah tersebut bisa dialiri air, mereka akan sanggup nyungsung Pohon Pule itu. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya daerah kering itu bisa diisi air. Sampai saat ini, Pohon Pule tersebut masih berdiri dan dinamai juga Pura Pucak Pule yang disungsung secara turun temurun.
Sumber :
#tubaba@griyangbang//Guru Bahasa Bali SMP Negeri 4 Abiansemal//I Gede Sugata Yadnya Manuaba#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar