Om Swastyastu,
Pakaian adalah suatu tren tertentu sesuai dengan fenomena yang dihadapi, namun kita sering lupa apa makna dari pakain tersebut. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, bahwa tenaga kependidikan/peserta didik wajib mengenakan busana adat Bali pada hari Kamis, Purnama, Tilem, dan Hari Jadi Provinsi Bali. Salah satu tujuan dari penggunaan busana adat ini adalah untuk memelihara kelestarian busana adat Bali dalam rangka meneguhkan jati diri dan karakter.
Adapun tata cara berbusana adat Bali yang baik yaitu :
Perempuan menggunakan Kebaya, Kamen, Selendang, Rambut ditata rapi, sedangkan laki-laki menggunakan Udeng, Baju (kemeja/safari), Kampuh, Selendang, dan Kamen.
Om Shanti,Shanti,Shanti, Om..
BAB I
PENDAHULUAN
Secara harfiah, perkataan busana diartikan pakaian yang lengkap (yang indah-indah) dan mulia; busana tidak perlu mewah (Kamus Besa Bahasa Indinesia, Depdikbud, 1990:140). Bila bertolak dari berbagai aspek, antara lain aspek estetika (keindahannya), aspek etika langsung maupun tidak langsung berfungsi memperindah dan menambah kesan mulia busana yang dikenakan seseorang. Didalamnya juga terkait nilai-nilai filosofis dan simbolik.
Permasalahannya sekarang, di balaik fenomena penampilan selebritis umat hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi (kemasan). Fenomena inilah yang oleh Sugiharto dalam Adlin (2007:2) di sebut sebagai situasi modern, dimana paradigma utamanya adalah tubuh/materi dan pikiran. Penguamaan tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme. Sedangkan pengutamaan pikiran melahirkan iptek. Dalam situasi macam itu ‘ruh’ tersisih. Yang di kedepannya adalah bagaimana saya ‘menjadi’ orang yang lebih berkualitas dan lebih bermakna.
Yang paling menonjol adalah pada kalangan remaja, bisa kita liat saat mereka berpakaian saat hendak ke pura. Mereka sudah tidak mementingkan unsur kesopanan lagi, bagi mereka yang penting adalah bisa bergaya dan terlihat wah?. Pemuda merupakan modal bangsa Indonesia yang wajib di berikan perhatian secara baik benar dari lini manapun. Termasuk juga adalah adaya upaya pasraman yowana atau pelatihan pemuda yang dilakukan oleh Peradah Provinsi Jawa Timur, sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab yang tinggi untuk turut membangun kader-kader muda Jawa Timur menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini patut diacungi jempol, oleh karena upaya seperti ini merupakan upaya positif, upaya konstruktif, serta upaya untuk mendinamiskan gerak dan perilaku para pemuda Hindu.
Dalam pengamalan ajaran agama Hindu di masyarakat dapat melalui bermacam-macam kegiatan, diantaranya adalah kegiatan persembahyangan, namun demikian di dalam kegiatan persembahyangan ini masih banyak terjadi kesimpang-siuran, terutama dalam pengertian serta etika persembahyangan. untuk perlu kita pamahami bagaimana tata cara dan etika persembahyangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Busana
Secara harfiah, perkataan busana diartikan pakaian yang lengkap (yang indah-indah) dan mulia; busana tidak perlu mewah (Kamus Besa Bahasa Indinesia, Depdikbud, 1990:140). Bila bertolak dari berbagai aspek, antara lain aspek estetika (keindahannya), aspek etika langsung maupun tidak langsung berfungsi memperindah dan menambah kesan mulia busana yang dikenakan seseorang. Didalamnya juga terkait nilai-nilai filosofis dan simbolik.
Kesan yang tidak terlalu mewah pada busana keseharian yang mungkin menjadi acuan penyusunan arti kata busana pada Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, mungkin kurang tepat untuk dikenakan busana adat Bali. Bagaimanapun, pada saat-saat tertentu dan sesuai situasi, status social pemakaiannya, bahan dan warna yang dipilihnya, kerap muncul kesan mewah pada busana adat bali, lalu tidak dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali menyukai kemewahan. Sebaliknya, kesan mewah itu lebih dekat pada kemampuan dan keinginan orang Bali untuk mengekspresikan nilai keindahan semaksimal mungkin. Hal ini memang terlihat paradoksal. Namun, justru di sana letak keindahan busana adat Bali itu sendiri.
Diihat dari tahapan kebutuhan manusia, busana (pakaian lengkap) merupakan salah satu kebutuhan primer (pokok) manusia, di samping kebutuhan akan makanan (pangan) dan perumahan (papan). Bagi masyarakat Bali, busana sebagai kebutuhan primer bisa tampak tenggelam oleh kebutuhan primer, seperti kebutuhan akan nilai keindahan, dan kebutuhan akan penghargaan. Dengan berpakaian yang bagus dan indah atau mahal pemakai merasa dan berharap bisa dihargai oleh orang lain yang berhadapan dengan dirinya.
Ditijau dari segi sejarahnya, pakaian berkembang dari bentuk yang paling sederhana, baik dari segi bahan maupun modelnya. Dimulai dari bahan dan model yang paling sederhana seperti “koteka” (pakaian dari kulit kayu) atau pembalut tubuh dari selembar kulit binatang berbulu, sampai dengan pakaian yang mementingkan nilai estetika baik dari segi mode maupun bahannya. Bersamaan dengan perjalanan waktu, busana manusia pun berkembang dengan sangat kompleks baik yang muncul secara inovatif maupun upaya penggalian akar tradisi yang demikian banyak dan kaya tersimpan diseluruh nusantara ini.
Pertumbuhan dan perkembangan rasa estetik manusia kemudian melahirkan busana yang beraneka ragam baik dari segi corak, mode maupun bahan, serta variasi harganya. Pakaian juga dapat di pergunakan untuk membedakan jenis kelamin dan status social pemakainya. Pakaian kaum bangsawan tentu berbeda corak dan dahan dengan pakaian rakyat biasa. Demikaian juga pakaian kaum eksekutif tentu berbeda dengan pakaian kaum buruh. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pakaian memiliki berbagai aspek dan segi yang demikian kompleknya.
Keterkaitannya dengan pandangan hidup manusia, corak kebudyaan bahkan kepercayan suatu bangsa atau kelompok pendukung kebudayaan tertentu juga menumbuhkembangkan keanekaragaman pkaian itu sendiri. Dengan memenuhi kebutuhan pokoknya saja (kebutuhan untuk melindungi tubuh dari cuaca), namun lebih banyak terdorong oleh kebutuhan estetik dan budayanya.
Dalam memenuhi kebutuhan estetik dan filosofisna, busana daerah Bali, misalnya berkembang seiring dengan kemampuan masyarakat Bali berfikir secara perlambang dan menangkap umpan balik sebagai akibat tindakan-tindakannya dalam proses penyesuaian diri secara aktif dengan lingkungannya. Persembahannya dengan alam lingkungannya itu, kemudian menghasilkan aspek yang nonragawi serta sikap dan tindakan yang membedakan diri mereka dengan anggota masyarakat dunia lainnya. Itulah sebabnya mengapa dalam busana pengantin Bali begitu banyak ditaburi ornament simbolik yang memiliki arti tersendiri.
Nilai-nilai filosofis itu, boleh jadi belum sempat dipahami pada saat-saat sepasang pengantin mengenakan busana pengantinnya di hadapan seorang juru rias yang sangat memahami arti simbolik berbagai aspek busana adat Bali. Boleh jdi pula, sekarang ini dan pada waktu-waktu yang akan datang pemahaman kita semakin berkurang, jika tidak ada penuntun tertulis mengenai arti symbol yang bertaburan pada busana adat Bali itu sendiri.
Berdasarkan pada nilai-nilai filosofis dan budaya sebagai pendukung pertumbuhan dan perkembangan busana daerah Bali itu, kita seakan dipertunjukkan betapa beragamnya busana daerah yang dianggap patut dan tidak hanya sebagai penutup aurat namun juga sebagai karya budaya yang mengagumkan. Kebhinekaragaman nilai budaya Bali yang berkaitan dengan aurat telah mengembangkan aneka ragam busana dari yang sekedar penutup ujung atau genital, sampai pada ragam busana yang menutup ujung kepala sampai ujung kaki. Pendek kata, melihat tata busana daerah Bali yang terikat oleh adat istiadat, nilai-nilai filosofis itu, seakan dapat dilihat pula landasan kepribadian bangsa kita yang pada hakikatnya merupakan keseluruhan abstraksi tanggapan desainernya terhadap tantangan yang mereka hadapi dalam proses penyesuaian diri secara aktif didalam lingkungan yang dipenuhi berbagai nilai yang luhur.
Apalagi kemudian pengungkapan nilai-nilai itu bersamaan degan bentuk dan wujud yang semakin komples seiring dengan perkembangan teknologi pertekstilan itu sendiri. Karena itu, tidak mudah untuk mendefinisikan apakah sebenarnya yang di maksud dengan busana daerah Bali, tanpa mengacu pada geografi dan demografi Bali, bila melihat kompleksitas nilai-nilainya.
Busana Adat Daerah Bali
Seperti disebutkan terdahulu, bahwa sulit menurunkan definisi mengenai busana adat Bali. Kalau pun kedua faktor itu diperhatikan, sangkaan orang akan menemukan satu model busana adat Bali dipulau yang indah ini hanyalah sebuah harapan yang tanpa didukung pemahaman akan kompleksitas kebudayaan Bali. Meskipun kedua faktor diatas dipahami dan di artikan disini belumlah cukup untuk menyusun suatu model busana yang bisa dipakai diseluruh kabupaten di Bali. Keadaan inilah yang menyebabkan mengapa busana adat Bali secara permukaan terlihat sama namum berbeda menurut detainya. Tampaknya dalam menentukan model busana adat Bali didaerah tertentu berlaku asas “desa, kala, patra”, sehingga busana adat Bali, sekali lagi, terlihat sama namun berbeda dan sangat rumit.
Didaerah Bali sebagai provinsi terdiri dari satu pulau induk dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas wilayah daratan pulau Bali adalam 5.632,86 km2 yang terdiri dari 8 kabupaten dan sebuah kota madya Denpasar, dengan 51 kecamatan, 515 desa serta 79 kelurahan. Dapat dibayangkan betapa rumitnya busana adat Bali, bila pengamatan terhadapnya diarahkan pada pemakaian detailnya. Pengamatan kemudian ditunjukkan kepada penulisan tentang busana adat Bali yang selengkap itu.
Dengan demikian, makna pakaian adat secara konseptual mengacu pada pakaian yang sudah dipakai secara turun temurun yang merupakan salah satu identitas dan dapat di banggakan oleh sebagian besar pendukung kebudayaan itu. Bila mengacu pada konsep diatas, maka pada hakikatnya pakaian adat Bali juga merupakan salah satu unsure kebudayaan daerah. Pakaian adat dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai nilai-nilai budaya yang pemahamannya dapat dilakukan melalui berbagai symbol yang tercermin dalam ragam hias pakaian adat tersebut. Ragam hias itu sendiri sebenarnya adalah sarana perlambangan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Hal ini senada dengan pernyataan Leslie A White bahwa seluruh tingkah laku manusia itu berpangkal pada penggunaan lambing-lambang dan lambanglah yang telah merubah kera anthropoid leluhur manusia menjadi manusia yang berkemanusiaan. Oleh karena itu, White menyatakan lebih lanjut bahwa kebudayaan merupakan suatu order atau kelas fenomena seperti benda-benda ataupun kejadian yang terwujud karena penerapan mentah yang harus dimiliki oleh manusia simbolikum.
Akibat persentuhan seniman dengan lingkungan yang demikian itu kemudian menyumbangkan pada keanekaragaman ragam hias dalam busana daerah Bali, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi:
Ragam hias yang berbentuk tumbuh-tubuhan
Ragam hias yang berbentuk binatang
Ragam hias yang berbentuk garis-garis simetris
Ragam hias yang berbentuk manusia, dan
Ragam hias yang berbentuk perembon
Selain lekatan ragam hias tersebut, sentuhan parade juga memperkokoh nilai social yang dilambangkan busana daerah Bali. Pada kain geringsing atau kain-kain perada, misalnya terdapat hiasan dengan motif wayang. Bagaimanapun wayang adalah warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan selama berabad-abad dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Wayang bisa muncul dalam bagian tertentu dalam busana daerah Bali dan bagian itu masih mampu mencuatkan nilai estetik dan filosofis yang masih perlu dikaji secara mendalam.
Dilihat dari segi pragmatisnya, maka pakaian adat daerah Bali dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu pakaian untuk upacara adat dan pakaian untuk upacara agama. Pada hakikatnya masalah adat dan agama di Bali merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Kesatuan agama dan adat tidak saja terlihat lekat di dalam kehidupan masyarakat di Bali namun juga dalam kehidupan ritual, magis dan kesenian. Karena itu tidak mudah memilah kedua aspek itu ketika kita hendak membicarakan busana yang dipakai untuk upacara agama. Justru, busana yang dipakai untuk upacara agamalah tampaknya sangat terikat akan ketentuan yang ada (adat) dan tidak dapat dilanggar sekalipun untuk kepentingan inovasi, bahkan mungkin kreatifitas.
Pakaian untuk upacara adat merupakan seperangkat pakaian yang digunakan seorang didalam kegiatan-kegiatan yang terfokus pada adat. Di Bali pelaksanaan upacara adat selalu dikaitkan dengan desa, kala, patra (tempat,waktu, keadaan). Konsep “desa-kala-patra” inilah kemudian melahirkan keanekaragaman bentuk (variasi) didalam pelaksanaan upacara adat itu sendiri. Keanekaragaman ini terjadi pula di dalam penggunaan busana Bali demikian kaya dan bervariasi.
Meskipun demikia untuk kepentingan praktis, busana adat dapat disebutkan beberapa jenis, yaitu:
Busana Upacara Adat Daur Hidup
Adapun busana adat daur hidup mencakup diantaranya:
Pakaian upacara bayi baru lahir
Pakaian upacara bayi kepus puser/pungsed
Pakaian bayi ngeroras rahina (ngutang aon)
Pakaian upacara bayi nutug kambuhan (42 hari)
Pakaian upacara bayi nelubulanin
Pakaian upacara bayi otonan
Pakaian upacara nutug kelih
Pakaian upacara potong gigi
Pakaian upacara pernikahan
Pakaian upacara ngaben
Pakaian upacara memukur
Pakaian adat yang digunakan untuk mengikuti rangkaian upacara-upacara diatas bentuknya bervariasi sesuai dengan kondisi keluarga yang bersangkutanataupun sesuai dengan golongan tri wangsa pemakainya. Hal yang terakhir ini bisa saja kurang didikuti sepenuhnya sehubungan dengan perkembangan ekonomi masyarakat Bali yang semakin baik, yang pada gilirannya melahirkan kelas-kelas social yang mapan. Mereka memilki kemampuan ekonomi, status social yang memugkinkan mereka menggunakan busana yang pada zaman dahulu hanya digunakan kalangan bangsawan. Bahkan, tidak sedikit wisatawan yang secara khusus datang ke Bali untuk memenuhi keinginannya mengenakan busana pengantin Bali dalam tingkatan tertentu tanpa halangan adat dan sosial.
Busana untuk Upaca Keagamaan
Pakaian untuk upacara keagamaan digunakan seseorang pada waktu melakukan persembahyangan di Pura, hal ini mencakup Pura Keulan, seperti sanggah, merajan, panti, dadya, dan sebagianya maupun pura yang termasuk kahyangan tiga dan sad kahyangan. Sesuai dengan tujuan pemakaiannya yang datang ke pura tertentu. Umumnya, pemakaian busana ke pura lebih menentukan warna yang melambangkan kesucian batin mereka, seperti warna putih dan kuning.
Konvensi yang secara tidak tertulis, yang mengatur pemakaian busana adat Bali tersebut tampaknya sangat diataati masyarakat Hindu di Indonesia. Kecenderungan demikian tidak saja menarik untuk dilihat namun juga merefleksikan kegairahan masyarakat Hindu untuk mendalami kemudian member bobot pada sikap spiritualitas masing-masing. Dalam hal ini, tampak berlaku sikap integritas, dalam arti, sikap spiritualitas yang sedemikian itu seyogyanya disertakan dengan pemakaian dengan pemakaian busana yang juga mencerminkan bobot spiritualitas itu sendiri. Dalam berbusanapun, masyarakat Hindu di Indonesia masih sempat mempertimbangkan harmonisasi bentuk dan isi dan keteraturan serta keharmonisan berbusana dapat dianggap sebagai bentuk yang mewadahi isi.
2.3 Bentuk-Bentuk Penampilan Selebritis Umat Hindu
Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Sebagaimana bola bumi berotasi, zaman terus berputar menghadirkan perubahan. Dinamika perubahan tidak pernah berhenti bergerak, seiring kemajuan peradapanmanusia dengan kebudayaannya yang selalu tumbuh berkembang.
Dengan merinci sedimikian rupagambaran tipikal orang Bali (modern) seperti di kemukakan terdahulu, semakin memperjelas pengetahuan kita, betapa pengaruh modernisasi dan globalisasi dalam konteks kehidupan masyarakat bali, akan menampakkan bentuknya kemudian, ketika di kaitkan dengan pola dan gaya hidup masa kiniyang lazim di sebut konsumerisme. Konsumerisme itu sendiri adalah bagian dari kapitalisme yang menonjol pemanfaatan materi misalnya dalam bentuk uang sebagai “pengendali” kehidupan.
Tak terkecuali masyarakat Bali, lebih-lebih Karena keberadaan Pulau bali sebagai wilayah huniannya yang sekaligus menjadi/dijadikan sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di tanah air, sudah pasti akan membuat akselerasi modernisasi dalam era globalisasi ini menjadi demikian deras masuk dan menyentuh, bahkan perlahan tapi pasti akan menggerus apapun di Bali yang selama ini sudah mapan keberadaanya tanpa banyak mengalami perubahan aalagi perombakan.
Dalam hal penampilan misalnya, sangat menarik untuk di kaji, bagaimana umat hindu tatkala melaksanakan kegiatan uacara persembahyangan, khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya yang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitasreligisyang sebenarnya lebih mengedepankan tuntunan etis (normaif) yang di jiwai ajaran hindu.
Permasalahannya sekarang, di balaikfenomena penampilan selsbritis umat hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi (kemasan). Fenomena inilah yang oleh Sugiharto dalam Adlin (2007:2) di sebut sebagai situasi modern, dimana paradigma utamanya adalah tubuh/materi dan pikiran. Penguamaan tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme. Sedangkan pengutamaan pikiran melahirkan iptek. Dalam situasi macam itu ‘ruh’ tersisih. Yang di kedepanka adalah bagaimana saya ‘menjadi’ orang yang lebih berkualitas dan lebih bermakna.
Elemen- elemen yang terkait dengan pertunjukan atau penampilan (performance) estetis yaitu : rupa, bentuk, gerak dan ruang. Keempat elemen ini sangat di pentingkan dalam konteks penampilan estetis. Rupa, menyangkut wajah sebagai bagian focus dari pengamatan indera penglihatan, yang hubungannya dengan penampilan selebritis menjadi titik pusat estetisisasi (tat arias wajah dan rambut) sehingga dapat membuatnya lebih indah (cantik dan tampan).
Lalu elemen bentuk, berhubungan dengan tampilan tubuh anatomis yang meliputi seluruh anggota badan yang bisa diperindah dengan penyertaan kelengkapan lainnya seperti aksesoris atau perhiasan menurut tempat; kalung di leher, anting-anting di telinga, gelang dan arloji di tangan, cincin di jari, bros/pin di bagian kancing baju teratas dari busana, atau menggunakan kacamata dan lain-lain. Setelah itu elemen gerak, tidak lain dari tingkah polah atau tingkah laku yang secara linier cenderung mengikuti atau menyesuaikan diri dengan busana yang di kenakan.
Terakhir ruang, sebagai elem tempat yang menjadi unsur penyelaras dari penampilan seseorang. Satu contoh dapat di kemukakan, apabila seseorang hendak pergi sembahyang ke pura, maka keempat elemen dasar dalam penampilan di atas (rupa, bentuk, gerak dan ruang) setidaknya akan menjadi pusat perhatian untuk di kondisikan sedemikian rupaagar selaras melalui estetisasi rupa (wajah) dan bentuk (badan) yang seterusnya akan di ikuti oleh penyesuaian gerak (tingkah laku) menurut ruang (tempat) yang sedang di masuki, dimana akan berlangsung suatu kegiatan tertentu.
Kongkretnya jika umat hindu hendak pedek tangkil ke Pura, maka estetisasi rupa (tat arias wajah dan rambut), bentuk (penyertaan perhiasan dan aksesoris) dan gerak (perilaku) di sesuaikan dengan ruang dimana pada saat itu umat sedang berada di tempat suci untuk menyembah Ida Sanghyang Widhi beserta manifestasi-Nya bukan seperti memasuki tempat umum (public area), apalagi merasa seakan-akan berada di tempat rekreasi (hiburan).
Apapun bentuk-bentuk penanpilan luar seperti halnya berbusana fashionable dengan kelengkapan aksesoris tubuh lainya, apalagi dalam konteks melaksanakan upacara persembahyangan yang lebih mengutamakan etika keagamaan, maka paduan pokoknya adalah norma etis religis, bukan semata-maa tampilan estetis dengan kecenderungan berklibad pada trend mode seperti halnya fashion show yang lumrah di peragakan oleh kalangan selebritis.
Adapun bentuk-bentuk penampilan tersebuat akan dijelaskan di bawah ini:
2.3.1Busana (pakaian)
2.3.1.1 Baju dan modelnya
Bagi kaum wanitanya, busana adat Bali untuk ke Pura yang ngetrend penggunaanya adalah baju kebaya model transparent (tipis/tembus pandang), yang biasanya di buat dari bahan brokat, di samping bahan lain seperti katun, satin, sutra atau model bordiran. Akan tetapi trend yang sedang di gemari sekarang oleh kaum wanita saat berbusana adat adalah penggunaan brokat yang lebih trendis dan modis, tentunya dengan harga yang relative lebih mahal dan di anggap sangat cocok di tapilkan sesuai selera trend mode saat ini. Selain lebih suka mengambil model kebaya transparan, variasi bentuk leher (kerah) baju kebayanya juga cenderung di buat lebih rendah sehingga tidak jarang bagian buah dada tidak tertutupi seutuhnya, yang sebenarnya secara norma dan etika kesopanan semestinya di tutup rapat. Dan itu sudah tentu bisa memecah perhatian, mengganggu konsentrasi, merangsang gairah asmara, dan bahkan mengundang selera nafsu birahi yang jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi tenang, konsentrasi dan khusuk yang sangat di buthkan dalam sutu kegiatan persembahyangan.
Sementara itu untuk kaum prianya, meski kesan sensualnya tidak begutu kelihatan, tetapi dalam hal model mereka tidak kalah trendis dan modisnya dengan kaum wanitanya, artinya bentuk, corak dan atau model baju kekinian, termasuk untuk tujuan ke Pura tetap ereka tampilkan. Kini, di kalangan umat terutama para yowana (kaum muda) tidak umum lagi menggunakan baju safari atau baju koko, yang di waktu lalu seakan-akan sadah menjadi “baju seragam” jika ke pura. Akan tetapi sekarang, dari model seragam beralih ke bentuk pilihan model beragam yang lebih fashionable guna mengekspresikan gaya kebebasannya dalam berbusana /berpakaian. Maka yang banyak di gunakan kaum pria dalam penampilannya saat ke pura belakangan ini adalah pakaian atau baju-baju seperti kemeja (disukai yang berlengan pendek), dengan berbagai variasi . bahkan ada juga yang hanya mengenakan baju kaos, dan beberapa diantaranya memadukannya dengan pemakaian jaket, rompi atau jas.
2.3.1.2Kain (kamben)
Mode yang sekarang juga berkembang dalam hal pemakaian kain (kamben), baik kaum wanita maupun prianya , rata-rata berada pada posisi sedikit di bawah atau sejajar dengan lutut (gantung macincingan) sehingga tampak jelas bentuk dan warna betis, yang tidak jarang pula apabila sedang berjalan/melangkah dapat tersingkap sampai ke bagian lebih tinggi (di atas lutut/paha). Lebih-lebih bagi kaum wanitanya, yang memakai kain dengan mode belahan tengah (bukan saling melipat), maka semakin terbuka peluang bagi tersingkapnya lebih lebar lagi hingga mendekati bagian pangkal paha, terutama pada saat sedang mengayunkan langkah kakinya ketika berjalan. Tampaknya model ini merupakan bentuk revolusi dalam hal pemakaian busana ke Pura, khususnya dalam pemakaian kain (kamben) yang sama sekali jauh dari tuntunan etika hindu yang sebenarnya sangat menjunjung tinggi, terutama kehormatan kaum wanita.
Saput (Kampuh)
Khususnya bagi kaum prianya, satu perkembangan baru lagi, dalam hal pnggunaan saput yang biasanya di gunakan untuk menutup kain (kamben) sekarang ini sudah tidak umum lagi. Bahkan tidak jarang, karena pemakaian kainnya sudah gantut, seperti saput, maka ada juga yang tidak memakai kain (kamben) lagi, melainkan cukup dengan memakai saput saja yang memang di pakai dengan gantut (sebatas lutut), lalu dengan melipat sedikit bagian ujungnya jadilah seperti ‘kancut’. Model atau cara pemakaian saput tanpa kain (kamben) atau pemakaian kain tanpa saput ini amat di gemari terutama oleh kalangan anak-anak muda (yowana) yang boleh jadi sebagai refleksi dari hasratnya agar bisa lebih bebas dalam bergerak atau melangkah.
Destar/udeng
Cara yang paling banyak di sajikan, dalam hal pemakaian udeng/destar adalah simpul ikatan ujung kain udeng tidak lagi di ikatdan dipesatukan membentuk huruf ‘V’ pada bagian dahi (kening), melainkan cukup dengan melipat (tidak diikat) satu sama lain ujung kain udeng sehingga kedua ujung udeng tidak di persatukan dalam satu ikatan simpul, tetapi di biarkan melebar ke dua arah berbeda, bukan ke satu arah ke atas. Lalu ada juga yang memakai udeng bergaya blangkon jawa (beblangkonan), dan lain-lain yang kesemua bentuk perkembangannya tidak dapat di salahkan, meski menyimpang dari konteks etis dan makna filosofisnya.
Selendang (senteng/ubud-ubed/selempot)
Umumnya dalam hal pemakaian selendang baik kalangan wanita maupun prianya, cara memakainya hanya sebatas pantat, tidak lagi bagian pinggang seperti sepatutnya. Di tambah dengan cara pemakaian selendang yang sebenarnya tidak lazim dalam etika yaitu dengan hanya menjalin pertemuan simpul selendang (panjang) lalu membiarkan kedua ujung-ujungnya menjuntai/menggelantung pada posisi yang di sukai. Dan pada pertemuan simpul (ikatan) selendang biasanya di lengkapi juga dengan jepitan yang bervariasi.
Sebenarnya penggunaan selendang yang sesuai aturan tata busana adat Bali, terutama untuk tujuan ke Pura adalah tidak membiarkan ujung selendangmenggelantug,melainkan pada pertemuan ujung selendang di lakukan penumpukan (saling menutup) dan kemudian di perkuat degan tusukan kancing. Dan penting lagi, pemakaian selendang, baik kaum wanita maupun prianyasepatutnya berada pada posisi pinggang (perut/puser) bukan di pantat seperti sekarang yang menjadi trend.
Alas kaki
Dalam pemakaian alas kaki, meskipun masih tampaknormal dan wajar, namun satu hal yang patut di petanyakan adalah penggunaan alas kaki model sandal jepit yang sudah terlanjur di konotasikan sebagai “sandal kamar mandi”. Sehingga menggunakan sandal jepit , sepertinya kurang etis jika di pakai ke Pura. Yang teratama patut mendapat sorotan lagi, yang terutama di pakai oleh kaum wanita yaitu pemakaian alas kaki ber-hak (tinggi) yang sangat selaras dengan kondisi struktur dan tekstur wilayah (mandala) Pura yang rata-rata pintu masuknya, baik yang berupa candi bentar ataupun kori agung, umumnya selalu ada tangga berundak-undak yang tidak jarang berjumlah puluhan hingga ratusan anak tannga. Hal itu tentunya dapat membahayakan keselamatan si pemakai alas kaki berhak tinggi apabila sampai salah melangkah pada setiap anak tannga.
Tata Rias
Dalam kita hendak kepura selain penampilan yang kita perhatikan tetapi juga tat arias, kita harus bisa menemptkan diri kita dimana kita akan hadir, jika memang kita akan ke Pura, maka tat arias kita harusnya sewajarnya seperti orang yang akan hendak ke Pura. Jangan terlalu berlebihan sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak di inginkan.
Adapun bentuk-bentuk tat arias tersebut dia antaranya:
Wajah
Yang paling stadar, terutama bagi kaum wanitanya dalam berpenampilan, yang pertama-tama di lakukan adalah merias wajahnya dengan segala perlengkapan kosmetik. Untuk kepentingan tat arias wajah kaum wanita ini, tidak jarang dilakukan di salon kecantikan (beauty salon) yang sudah tentu memerlukan biaya tambahan untuk dapat tampil lebih trendis dan modis sebagaimana tampilan kalangan selebritis yang terlanjur dijadikan sebagai ikon model oleh masyarakat kebanyakan , termasuk umat Hindu di era peradapan kontemporer seperti sekarang ini.
Sementara untuk kaum prianya, pemakaian make-upwajah tampaknya tidak begitu di pentingkan, bahkan amat jarangdilakukan, meskipun ada satu dua yang melakukan, itupun sebatas penggunaan bedak dasar untuk lebih mencerahkan wajah agar tidaak tampak kusam ataulusuh.
Rambut
Rambut adalah mahkota, baik bagi kaum wanita, maupun kalangan prianya, dengan adanya rambut segala model tampilan wajah secara keseluruhan dapat dengan mudah di tata sesuai selera atau mode yang sedang ngetrend, baik dalam kaitannya dengan potongan atau penataan maupun dalam hal pewarnaan. Akan tetapi untuk penampilan berbusana adat ke Pura , penataan rambutnya terutama bagi kaum wanita sepatutnya menggunakan model ‘sanggul’ atau setidaknya ‘pepusungan’.
Akan tetapi dalam pengamatan tampak sekali bagitu kurang minatnya generasi muda khususnya kalangan gadis untuk memakai tat arias rambut model sanggul. Umumnya kalangan wanita lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai, baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Dan untuk menambah penampilan estetisnya, sekaligus menjaga tat arias rambut agar tidak terkesan awut-awutan, mereka biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang kepala seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni.
Sedangkan kalangan prianya, dalam tat arias rambutpun mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan, hanya saja, karena terpengaruh made rambut model punk, cukup banyak anak-anak uda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.
Aksesoris (perhiasan)
Sebagai unsur pelengkap yang sekaligus menunjang penampilan, penggunaan akesoris dalam hal perhiasan menjadi begitu penting, dan tidak pernah di abaikan. Aksesoris atau perhiasan dimaksud adalah berupa Bros atau Pin yang biasanya di letakka pada bagian belahan dada kebaya wanita, lalu anting-anting (subeng) atau tindik yang bisa juga di pakai kaum pria, termasuk pemakaian kalung, cincin, gelang, dan juga tidak ketinggalan penggunaan arloji (jam tangan), kacamata, dan lain-lain yang kesemuanya berfungsi sebagia perhiasan tubuh.
Unsur pelengkap memang memperindah penampilan, tetapi hendaknya kita menyesuaikan diri tujuan kita kemana sehingga tidak kelihatan berlebihan. Jika kita akan pergi ke tempat suci alangkah baiknya kita memakai aksesoris yang sesuai dengan tempat tujuan kita
Kelengkapan Lainnya
Tidak mungkin saat ke Pura para umat tidak membawa barang yang sudah biasa ia gunakan, walaupun sesungguhnya barang itu tidak memiliki fungsi khusus dalam persembahyangan.
Yang di maksud dengan kelengkapan lain dalam konteks ini adalah sejumlah barang (properties) yang umumnya di pakai atau di bawa uamat saat mengikuti upacara persembahyangan di Pura, seperti:
Handphone ( telepon seluler)
Ruang dan waktu kesempatan beersembahyang di Pura pun seprtinya tidak dapat membatasi atau menghalangi umat untuk dalam keadaan “menghadap” Tuhan sekalipun tetap membawa atau menggunakan HP-nya, terutama untuk mengirim atau menerima panggilan telepon. Sama sekali tidak ada rasa risih apalagi malu terhadap umat sedharma lainnya yang sedang melakukan persembahyangan. bahkan di sela-sela waktu menunggu acara persembahyangan di mulai, seperti sudah menjadi kebiasaan di luar, di dalam purapun mereka terbiasa mengaktifkan HP bawaannya untuk sekedar main game atau berhubungan telepon dan sms.
Tas dengan berbagai model dan fungsinya
Tas genggam atau dompet, biasanya di bawa dengan di genggam (di cengkram), dan berfungsi pokok untuk tempat menyimpan KTP, SIM, ATM atau uang lembaran juga recehan.
Tas pinggang, sesuai nama dan modelnya mirip dompet, biasanya dengan ukuran lebih besar tetapi di pakai dengan cara mengikatkan di bagian pinggang (sabuk). Fungsinya, serupa dengan tas genggam atau dompet, namun karena ukurannya relative lebih besar , bisa juga di manfaatkan untuk menyimpan barang lainnya yang bisa masuk dan sekiranya di perlukan.
Tas jinjing, adalah tas yang di bawa dengan menjinjing (menenteng) pada bagian talinya, dan biasanya ukurannya jauh lebih besar dari tas genggam. Umumnya di bawa oleh kaum wanita, fungsinya untuk menyimpan alat-alat kecantikan seperti (bedak, lipstick, cermin, tissue) bahkan makanan atau minuman ringan lainnya.
Tas gendong, umumnya di bawa oleh kaum prianya dengan cara menggendong, pada posisi belakang karena rata-rata ukurannya besar. Berfungsi ganda untuk menyimpan benda atau barang apapun yang di perlukan pada saat itu.
Tas kresek, sepertinya hamper tidak pernah ketinggalan dibawa dan biasanya dapat di fungsikan untuk membawa alat kelengkapan persembahyangan seperti canang, dupa, bunga, wadah tirta dll. Termasuk sebagai wadah makanan dan minuman ringan yang acapkali dibutuhkan saat mengikuti upacara persembahyangan.
Sokasi adalah wadah (tempat) berbentuk segi empat sejenis keranjang yang di buat dari anyaman serpihan (sebitan) bamboo yang berfungsi untuk tempat haturan berupa banten pejati atau sodan.
Bokor, adalah semacam wadah berbentuk cembung, biasanya di buat dari perak, atau bahan lainnya yang berfungsi sebagai tempat haturan berupa sodan atau canang, bunga, kewangen, dupa, tempat tirta, dan lain sebagainya
Tata Busana yang Baik saat ke Pura
Diantara beragam busana untuk ke Pura, busana persembahangnlah yang paling menonjol, karena kegiatan inilah yang paling sering dilakukan, apalagi di kota-kota kegiatan “ngayah” umumnya sudah makin berkurang. Pada pengemong pura ada kalanya membeli “banten jadi”. Dahulu masyarakat Bali ke Pura sering menggunakan busana dengan warna-warna dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan paduan warna yang kontras namun serasi (warna-wrna Bali). Pemilihan warna-warna itu seolah-olah mencerminkan kecerahan hati mereka, ketika akan menghadap Sang Pencipta. Namun sekarang ada semacam kesepakatan sosial, kalau akan ke tempat suci (Pura) sebaiknya menggunakan kebaya dan kemeja yang berwarna putih atau kuning, karena kedua kedua warna itu oleh masyarakat Hindu di bali dianggap melambangkan kesucian.
Busana ke Pura terdiri atas:
2.4.1 Busana Wanita
2.4.1.1 Busana ke Pura mesenteng
Busana model ini masih terlihat digunakan di beberapa daerah pada saat upacara mepeed. Busana ini terdiri dari:
Hiasan pada bagian kepala terdiri dari:
Pusung gonjer/ pusung tagel
Bunga mawar merah satu kuntum, cempaka putih/kuning lk 25 kuntum, bunga sandat emas 6 tangkai, dan puspo limbo 2 tangkai, bacangan 1 tangkai.
Subeng cerorot
Hiasan pada bagian badan terdiri dari:
Selendang tenunan bali, warnanya diserasikan dengan warna kebaya atau wastra
Kebaya (sekarang ada kecenderungan menggunakan warna putih atau kuning)
Wastra: tenunan Bali (endek, cembong, songket)
Stagen/longtorso yang senada dengan warna kebaya atau menggunakan angkin
2.4.2Busana Pria
Pria biasaya menggunakan busana diantaranya:
Destar songket warna putih atau destar putih polos
Bunga segar ditelinga
Saput tenunan Bali
Hem/jas Bali (kemeja kerah berdiri) warna putih, krem
Umpal (tenunan Bali)
Alas kaki
Perhiasan (sesuai situasi dan kondisi)
Tata Cara Bersembahyang yang benar
2.5.1 Tata cara pelaksanaan Sembahyang
Tata cara pelaksanaan persembahyangan memiliki tatanan yang baku, karena berhubungan dengan sikap dan etika yang luhur dan mengandung nilai religius yang tinggi, sehingga sikap sembahyang haruslah benar, dalam arti tidak boleh asal sikap. Untuklebih lanjut tata cara ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
2.5.1.1 Melaksanakan suci laksana
sebelum melaksanakan persembahyanganperlu disiapkan terlebih dahulu penyucian diri, baik yang bersifat sekala maupun niskala. Penyucian diritersebut urutannya adalah sebagai berikut:
Menyuci rambut (karmas)
Sebelum mencuci rambut, ambillah air dulu misalnya dengan sebuah gayung. Kemudian dilihat bayangan muka diairtersebut sambil mengucapkan mantra dalam hati (japa). Maksud dan tujuannya adalah bagaimana jernihnya pikiran, dan mohon kesucian, kebersihan rokhani-jasmani kehadapan Sang Hyang Gangga Dewi.
Mantra:
Ong gegana murca yenamah, anyut ikang mala papa patakaning sarira
Kemudian menghadaplah kearah laut ambil menyiram kepala dan mengucapkan mantra dihati, dengan maksud bayangan air tersebut dan langit seperti hujan gerimis mengguyur kepala sambil mohon kehadapan Hyang Akasa dalam hal penyucian diri.
Mantranya:
Ong gangga dewi metu saking akasa nirmala sudha nirmala ikang sarira
Mencuci muka (araup)
Sebelum mencuci muka airnya dimantrai dulu dalam hati (japa).
Mantranya:
Ong ong waktra parisudha yenamah suaha
Berkumur (akekurah)
Mantranya:
Ong angurahi kawah candra dimuka pari sudhamam suaha.
Mandi (adyus)
Sebelum mandi, pandang air mandinya sebentar sambil mengucapkan mantra dihati, dengan tujuan menghidupkan kekuatan air (nguripang toya)
Mantranya:
Ong bapa bapa Sang Hyang Ari Jati atunkup pwasira, ingsun anakira adiyus suciakna awak ingsun, dena suda paripurna
Setelah dimantrai ambil airnya dan guyurkan ke badan secara simbolis sebanyak tiga kali, baru mandi seperti biasanya. Kalau memakai sabun, pada saat menggosokkan sabun ucapkan mantra (japa):
Ong sang hyang ratih anyendali paripurna awak sariranku yenamah suaha
Kalau mengeringkan badan (ngusap raga) ucapkan mantra (japa):
Ong jalena jaleni sarira sudhaman suaha
Memakai minyak rambut
Sebelum memakai minya rambut, inyaknya dioleskan dulu pada telapak tangan digosokkan sambil mengucapkan mantra:
Ong yang yang sarwaning asih ripinakangulun, ong budha sarwa jiwa merta yenamah
Menyisir rambut (asun)
Sebelum menisir rambut, sisirnya dulu di mantrai dalam hati. Mantranya:
Ong sang hyang ayu agaru garu gunung, umilangaken mala papa petaka galeh pateleteh ring raga sarira, ong sri dewi maharu widhi yenamah suaha.
Memakai kain (mewastra)
Pada saat memakai kain ucapkan mantra (japa).
Ong dodot angendali sariranku, hyang widyadara-widyadari asih ring rupanku, ong yenamah suaha
memakai ikat pinggang (mepetet)
Pada saat memakai ikat pinggang ucapkan mantra (japa)
Ong sang kala aepetan jati sang hyang kala sepetan anulak sarwa ala durjana yanamah
Memakai kampuh
Pada waktu memakai kampuh ucapkan mantra (japa)
Mantranya:
Ong ung wisnu sadha siwa yanamah
2.5.2 Sikap Sembahyang yang Benar
Sikap bersembahyang yang benar sungguh sangat penting dan harus dimengerti secara seksama, hati-hati dan bijaksana. Umat hindu harus cepat tanggap dan berkeinginan untuk memahami makna dan tujuan yang terkandung didalam sikap saat bersembahyang. Sesungguhnya sikap bersembahyang telah dilakukan oleh umat hindu dari sejak dulu kala sampai sekarang, namun belum dapat dipahami secara utuh mengenai makna dan tujuan yang terkandung didalam sikap tersebut. Menurut sumber-sumber ajaran Agama Hindu, bahwa sikap bersembahyang adalah merupakan manifestasi dari sikap yoga karena didasari sepenuhnya oleh kesadaran dalam tingkat pengendalian diri. Mengenai sikap bersembahyang, tidak hanya dinilai dari sudut pandang secara logika dan psikologi, namun yang lebih pening adalah berdasarkan petunjuk sastra-sastra agama hindu yang terkait dengan sikap bersembahyang. Karena dengan sikap yang benar sesuai petunjuk sastra adalah merupakan “Bahasa Karma” kehadapan Sang Hyang Widhi, mengingat tidak semua umat Hindu akan mampu mengucapkan mantra, puja, weda (jnana), oleh karena itu sangat ditekankan bersikap yang benar pada waktu bersembahyang. Bagi umat yang mampu mengucapkan mantra, puja weda bukan berarti boleh bersikap seenaknya, tetapi tetap juga harus melakukan sikap yang benar pada waktu bersembahyang. Pada waktu melakukan persembahyanganlah terjadinya penyatuan dari inti ajaran catur yoga, karena saat itu unsure Jnana yoga (pengetahuan tentag widhi tattwa), unsure karma yoga (sikap bersembahyang), unsure Bhakti yoga (adalah sarananya) dan unsure Raja yoga (tapa, brata).
Mengenai sikap bersembahyang, sesungguhnya lahir dari sikap yoga, mulai dari cara duduk, kalau bagi umat yang laki-laki duduk bersila, meniru sikap duduk para Bhatara (sikap yoga) seperti sikap sila Ardhasana, sila padmasana (sila gana), dengan tangan tercakup seperti dua sisir buah pisang yang disatukan (semua jari tangan menyatu) dan pangkal telapak tangan berada tepat pada selaning lelata atau kening (jnana cakra), sehingga siku akan membentuk sudut Sembilan puluh derajat, berarti kekuatan menyangga akan lebih lama.
Demikian juga bagi umat hindu yang perempuan dengan sikap duduk bersimpuh (bajra sana) meniru sikap yoganya Dewi Saci maupun Uma dewi. Masing-masing umat, baik yang laki-laki maupun perempuan, membayangkan (berimajinasi) sastra Ongkara didala pikiran serta langsung diserap kedalam batin.
Didalam “Lontar pustaka jati”, mengungkapkan antara lain:
“yan sira laju anembah ring Dewa, alungguh denapened, pagehakna
budhin ta, kadi tingkah mayoga,pahening idep ta, idepakna ongkara
ngadeg ring selaning lelata ketemu, lawan ongkara sumungsang
sakingluhur, dua dasa gula doh nia,ika ingaranan patemon pati kelawan
urip, wus sira angidep laju sira anembah, takupang ikang karo kalih
kadi gedang setakep aneg luhur, gedang ngaran pisang, pi ngaran
aspi, sang ngaran sang amolahaken, ngaran petitis ikang adnyana sukla
muah lungguh sira, asila gana kadi yogan Sang Hyang Ganapati”
maksudnya:
kalau umat akan bersembahyang kehadapan Dewa, duduk dengan baik dan benar, teguhkan imanmu seperti orang yang sedang melakukan yoga, sucikan pikiranmu, bayangkan ongkara ngadeg didalam bhatinmu bertemu dengan ongkara sumungsang dari atas, kira-kira dua puluh guli jauhnya, itu yang dimaksudkan dengan pertemuan antara hidup dan mati, setelah selesai membayangkan seperti itu, baru dimulai persembahyangan, dengan mencakupkan kedua tangan seperti bentuk gedang, gedang lain kata pisang, pi menjadi aspi (sunia) sang, berarti mereka yang mengolah bhatinya, artinya berkonsentrasi ditujukan terhadap bhatin yang maha suci, dan duduklah dengan sikap sil gana seperti yoganya Sang Hyang Ganapati.
Dalam Lontar “Weda Parikrama Sarahita Samapta”, menyebutkan antara lain:
“ong Prasadha stiti sarira sudha yenamah suaha”
Artinya:
Semoga tetap tegaknya badan yang suci atas karunia Sang Hyang Widhi
“Lontar Lebur Sangsa” menyebutkan antara lain:
“Ong purwa Sakti Ayu Gayu, bhatara
Guru ngamijilaken kesakten, asana
Asila padma, asanjata bajra kaget
Ke mandala giri, sura kira
Kinawatek dewata banyu mumbul
Saking ukir”…….
Maksudnya:
Sang hyang widhi dengan sebutan bhatara guru merupakan sumber sakti dan keselamatan sedang mengeluarkan kesaktin, duduk bersila padma, bersenjatakan bajra, serta berstana di puncak gunung, disambut oleh para dewata kemudian air dari gunung tersebut
Dalam petikan “Weda Parikrama Sarahita Samapta” mengungkapkan tentang sikap duduk uamat, seorang perempuan antara lain:
“Mahadewi Saci dewi asana asimpuh
Giri dewa guru uma dewi asana
Asimpuh padma”
Maksudnya:
Saktinya Sang Hyang Mahadewa yang bernama Saci Dewi, bersikap duduk bersimpuh seperti tegaknya gunung, sedangkan saktinya Dewa Guru bernama Uma Dewi bersikap duduk bersimpuh seperti kembang teratai (padma)
Memperhatikan dan menyimak semua intisari dari petikan lontar-lontar diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwa sikap disaat melaksankan persembahyangan sesungguhnya adalah sikap yoga, meniru sikap yoganya para Dewa-Dewi, sehingga lahirlah sikap laki-laki dan perempuan pada saat melaksanakan persembahyangan.
Duduk menghadap ke arah matahari terbit atau kea rah gunung/perbukitan, dengan dilipatkan ke belakang dan telapak kaki menengadah ke atas, sehingga telapak kaki ditindih oleh pantat. Sikap ini adalah menggunakan sikap yoganya Sang Hyang Saci Dewi (saktinya Hyang Mhadewa).
Sikap bersimpuh yang lain antara lain yaitu: duduk menghadap pemujaan mengarah kematahari terbit atau mengarah kegunung, dengan melipat kaki kesamping kanan membentuk sudut, sehingga kedua batis berhimpit oleh pantat sebelah kanan (sikap yoganya sang hyang uma dewi). Dari beberapa sikap bersimpuh salah satu boleh dilakukan pada waktu melakukan sembahyang.
Upaya Membangun Pribadi Pemuda Hindu Beretika dan Cerdas
Bagaimana mengupayakan untuk membangun pemuda Hindu yang beretika dan cerdas? Sesungguhnya ada banyak upaya yang bisa ditempuh dalam membangun pribadi pemuda Hindu yang beretika dan cerdas. Setidaknya dapat dilakukan baik secara perseorangan, secara kelompok, baik dalam berkeluarga, dalam masyarakat secara kelembagaan nonformal, secara instuisi formal, maupun lainya lagi yang memiliki kepedulian terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Hindu. Tidak ada istilah terbatas atau langkanya upaya yang bisa ditempuh untuk menuju peningkatan kualitas sembr daya manusia Hindu. Kapanpun itu bisa dilakukan dan siapapun bisa menggerakkan selaku organisatornya. Yang terpenting adalah adanya langkah nyata dan positif ke arah membangun pribadi pemuda Hindu.
Pada sisi lain sering yang menjadi kendala adanya langkanya sumber materi sajian yang disajikan pedoman dalam mengupayakannya. Belum lagi masih sedikitnya para figure hindu yang memiliki kepedulian untuk membina para generasi muda Hindu, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai faktor penghambat dalam beruparya secara nyata. Kemudian masih juga ada hambatan masalah pendanaan untuk melakukan pengkaderan Hindu yang berkualitas, maka hal ini secara otomatis akan menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Bila semua itu menjadi pemikiran semata, maka upaya apapun yang akan dilakukan pasti saja menimbulkan hambatan dan kebuntuan dalam penyenggaraannya.
Guna mengantisipasi terhadap semua fenomena itu, maka insane-insan hindu hendakya memiliki jiwa pantang menyerah serta sedapat mungkin untuk dapat memberdayakan potensi local yang tersedia untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tiada upaya yang tidak akan mencapai suatu hasil. Disini diperlukan juga ada keberanian, tekad yang bulat, semangat yang tinggi, adanya kerjasama dan koordinasi yang baik dengan berbgai lini, sehingga suatu masalah bisa dipecahkan secara bersama-sama dan bebannya dirasakan lebih ringan. Hal ini yang patut dan terus digalang oleh para pemuda Hindu dimanapun mereka berada.
Pada bagian ini mencoba memberikan beberapa upaya yang bisa ditempuh dalam mebangun pribadi pemuda Hindu yang beretika dan cerdas, seperti berikut ini:
2.6.1 Melakukan Kegiatan Tirtha Yatra
Tirtha Yatra adalah perjalanan suci ke tempat-tempat yang suci/pura disekitar lingkungan atau masyarakat Hindu berada. Kegiatan ini bermakna untuk mendekatkan diri dengan Hyang Pencipta atau Hyang Widhi Wasa. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menjalin suasana kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, serta keharmonisan di antara sesame generasi muda Hindu. Inti dari kegiatan ini adalah melakukan pemujaan dan persembahyangan bersama untuk menghormati Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan seluruh prabhawa Tuhan. Dalam kegiatan ini selain melakukan persembahyangan juga dapat dilakukan kegiatan kerja bhakti atau kebersihan sekitar lingkungan Pura. Juga dapat dilakukan wejangan mengenai ajaran agama Hindu dari salah satu pemuda atau pemudi yang telah memiliki wawasan tentang ajaran agama Hindu ataupun materi lainnya yang baik untuk dibicarakan, seperti tentang materi lingkungan, materi susila, materi pengetahuan sosial, materi teknologi dan ilmu pengetahuan, materi seni dan budaya, dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan tirtha yatra ini dapat dipilih beberapa tempat suci yang terdekat atau sesuai kesepakatan para pemuda, sehingga adanya kepastian lokasi mengenai pura yang dijadikan tempat tirtha yatra. Dari kegiatan ini dapat dipetik maknanya yakni untuk meningkatkan wawasan para pemuda tentang keberadaan suatu pura, dapat mengenal lingkungan sekitar, dapat menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap tempat suci dengan latar alam yang indah dan menyergakan, juga dapat memupuk rasa saling memilki, rasa peduli terhadap potensialam yang memiliki nilai religius, juga dapat membina diri dan kelompok pemuda yang berlaku sopan, santun, ramah, suka memelihara, dan sebagainya. Jadi tirtha yatra sebagai salah satu aktivitas yang positif bagi pemuda Hindu dengan biaya yang relative murah, namun maknanya sangat kaya dan mulia.
Melakukan Kegiatan Dharma Tula
Dharma Tula adalah kegiatan untuk berdialog, berdiskusi, Tanya jawab mengenai materi ajaran Agama Hindu. Materi dapat dipilih tentang filsafat/tattwa, etika atau susila, dan upacara atau ritual. Selain itu dapat di diskusikan mengenai materi itihasa (mahabarata dan Ramayana), materi purana, materi upanisad, materi seni budaya Hindu dalam susastra Hindu atau niti sastra, materi ekonomi Hindu atau artha sastra, materi politik Hindu atau rajaniti sastra, materi pertanian atau warta, materi kehidupan sosial dalam masyarakat atau samaj janman, materi agama Hindu dan materi antar agaa jika dipandang perlu, dan materi lainnya yang relevan dan sangat akurat untuk dibicarakan oleh pemuda Hindu. Pemilihan topik-topik dharma tula perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang bersifat urgent oleh karena sangat bermanfaat bagi pemuda dan juga berguna bagi masyarakat luas.
Mengenai pelaksanaan dharma tula dapat dipilih tempat yang praktis dan sederhana tanpa harus menyewa, misalnya wantilan suatu Pura, di pasraman, di sekolah/kampus, di tempat terbuka di sekitar lingkungan yang serta dan nyaman, serta di tempat lainnya yang mendukung kegiatan tersebut. Kemudian mengenai nara sumber tidak harus mendatangkan pakar atau tokoh dari jauh, oleh karena akan menghabiskan biaya yang besar. Bisa saja dipilih figure setempat yang memadai wawasan tentang agama Hindu. Tidak itu saja, maka salah seorang pemuda bisa juga tampil sebagai pembicara secara bergiliran sambil melatih diri dan mencari pengalaman sebagai nara sumber. Jika semakin sering dilatih maka hal itu menjadi terbiasa dan berpeluang untuk membuka pintu kecerdasan dalam berfikir, berwacana, dan menguasai audien.
Melakukan Utsawa Dharma Wacana
Utsawa Dharma Wacana yaitu lomba pidato agama Hindu. Atau lomba wejangan materi-materi agama Hindu sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing daerah. Kegiatan ini dapat dikelola secara sederhana dan murah. Pemuda Hindu dapat mengundang komponen umat Hindu, khususnya bagi generasi muda Hindu, kalangan pelajar (siswa dan mahasiswa), ataupun lapisan masyarakat lainnya yang mendukung kegiatan utsawa dhrma wacana yang tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, pemahaman, serta bertambahnya teori-teori agama Hindu dalam bentuk wacana atau lisan, sehingga upaya untuk mencerdaskan umat Hindu secara umum dapat menjadi kenyataan.
Topik-topik dalam utsawa dharma wacana dapat ditentukan oleh panitia kecil lomba dengan memohon para pemuka atau tokoh yang memiliki wawasan tentang pidato untuk membantu sebagai jurinya. Sedangkan kriteria lomba dapat ditentukan secara spontan yang terkait dengan teknis lomba, seperti: pengusaan materi, relevansi teks, penampilan, penguasaan bahas (bahasa Indonesia atau bahasa Daerah), serta ketepatan waktu lomba. Kriteria ini bisa di sesuaikan dengan kondisi masing-masing dan kesepakatan yang ditentukan pleh panitia lomba, guna diketahui oleh setiap peserta lomba. Jadi media ini adalah sangat efektif bagi pemuda Hindu untuk menggali dan mengeskpresikan materi agama Hindu di hadapan publik. Dari penampilan ini sebagai upaya meningkatkan kecerdasan pemuda Hindu.
Melakukan Kegiatan Pasraman Yowana
Kegiatan pasraman yowana merupakan upaya memberikan pendidikan agama Hindu kepada para generasi muda Hindu dalam bentuk yang sederhana sesuai tradisi, adat-istiadat, dresta, kondisi setempat, maupun tata kesepakatan yang dilakukan oleh para tokoh, sesepuh, pemuka agama, maupun para pemuka masyarakat lainnya yang peduli dengan aktivitas pasraman agama Hindu. Sifatnya bisa saja secara regular (teratur) maupun incidental (berkala), yang terpenting adalah adanya upaya positif untuk memberikan pembekalan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni kepada pemuda Hindu.
Pelaksanaan pasraman yowana ini dapat dipilih secara sederhana dengan kapasitas waktu yang tidak terlalu lama, adanya figure yang menuntun, tersedianya materi yang sesuai dengan rencana, adanya bentuk kerja sama yang baik dengan berbagai lini guna terlaksananya kegiatan pasraman yowana. Mengenai peserta kegiatan ini dapat dipilih para remaja Hindu yang memiliki minat dan bakat belajar yang tinggi untuk mendalami materi ajaran agama Hindu. Selain itu juga memberikan kesempatan kepada setiap pemuda Hindu untuk memancing berfikir kritis, kreatif, aktif, dinamis, adaptif, luwes, cerdas dan bertanggung jawab terhadap perkembangan kepemudaan serta dinamika kehidupan beragama Hindu.
Melakukan Kegiatan Sosial ke Masyarakat
Melakukan kegiatan sosial dalam masyarakat dimaksudkan untuk mengenal kondisi secara langsung di tengah-tengah masyarakat luas. Pemuda Hindu perlu banyak belajar di tengah masyarakat, oleh karena tempat yang paling efektif untuk membina berbagai pengalaman serta membina ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan lainnya. Adapun kegiatan sosial yang bisa dilakukan adalah membantu masyarakat yang tertimpa bencana alam gempa bumi, bencana banjir, bencana gunung meletus, bencana tanah longsor, bencana angin ribut, bencana tabrakan kereta api/mobil dan yang sejenis lainnya. Upaya memberikan pertolongan kepada khalayak umum adalah perilaku susila dan terpuji bagi semua insan di dunia ini.
Wujud bantuan sosial kepada masyarakat yang tertimpa bencana dapat dilakukanmemberikan bantuan berupa bantuan pakaian, makanan, uang, bantuan tenaga, bantuan ide atau pemikiran positif untuk memberikan solusi terbaik terhadap masalah yang di hadapinya. Semua jenis kegiatan itu selain bernialai relawan, bernilai persembahan atau yajna, bahwa hal itu adalah perilaku susila atau subhakarma. Kebaikan itu akan mendatangkan kebaikan juga pelakunya. Tidak ada salahnya para Pemuda Hindu berlaku baik kepada insane manusia di dunia ini, yang pada akhirnya juga dapat berpahala kebaikan bagi para pemuda Hindu yang berkarma kebaikan. Hal ini telah diajarkan dalam ajaran yajna, ajaran Bhakti, serta ajaran suci lainnya dalam agama Hindu.
Melakukan Utsawa Dharma Gita
Kegiatan Utsawa Dharma Gita adalah pelaksanakan lomba nyanyian lagu-lagu keagamaan Hindu. Kegiatan ini sebenarnya sudah lazim dan sering dilakukan oleh umat Hindu Indonesia. Pelaksanaan utsawa dharma gita telah berkali-kali dilangsungkan, baik di tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, maupun tingkat nasional. Selain itu, bahwa kegiatan utsawa dharma gita ini merupakan media untuk umat Hindu melakukan kompetisi antara yang satu dengan yang lainnya secara positif untuk memperoleh prestasi yang terbaik dalam olah vocal perspektif agama Hindu.
Materi utsawa dharma gita pada umumnya adalah lagu-lagu keagamaan Hindu yang meliputi kidung, sloka, phalawakya, macepat, dan kakaawin. Materi kidung materi berupa kidung yang lazim dilagukan dalam upacara dewa yajna dan pada umunya berbahasa Bali, Jawa, Dayak, Sasak, ataupun dari kidung lainnya dari wilayah Indonesia. Materi sloka adalah materi lagu yang di ambilkan dari sumber-sumber suci agama Hindu, seperti dari pustaka suci veda berupa rgveda, yajurveda, samaveda, atharvaveda, bhagavadgita, sarasamuscaya, manawadharmasastra, purana, upanisad, itihasa, dan sumber suci lainnya dalam pustaka suci agama Hindu. Materi sloka adalah ajaran-ajaran agaa Hindu yang berbahasa Sansekerta.
Kemudian phalawakya adalah lagu keagamaan Hindu yang secara umum berbahasa Jawa Kuna yang diambil dari beberapa pustaka suci Hindu seperti dalam sarasamuscaya, Mahabharata, Ramayana, Niti Sastra, Slokantara, Silakrama, maupun sumber lainnya dalam agama Hindu. Materi macepat adalah materi dari beberapa pupuh yang biasanya berbahasa Jawa Kuna atau Bali diantaranya sinom, pucung, ginada, ginanti, pangkur, maskumambang, dan yang lainnya. Sedangkan materi kakawin adalah nyanyian suci Hindu yang secara khusus dalam melagukannya menggunakan guru laghu yaitu ketentuan berat dan ringan, panjang dan pendek, keras dan lembut, serta ketentuan lainnya. Sumber materi kakawin adalah dalam sumber suci agama Hindu berupa kakawin Mahabharata, kakawin Ramayana, kakawin bharata yudha, kakawin sutasoma, kakawin arjuna wiwaha, kakawin bhomantaka, kakawin siwaratrikalpa, kakawin niti sastra, dan sebagainnya.
Jadi pelaksanaan utsawa dharma gita sesungguhnya untuk meningkatkan kecintaan para pemuda terhadap nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam dharma gita tersebut. Prekteknya adalah dilakukan pada tempat tertentu oleh panitia atau umat hindu pada umumnya dengan melibatkan warga Hindu dari unsure pemuda, pemudi, pelajar, para wanita, kelompok pencinta dharma gita, dan umat Hindu pada umumnya. Dalam penampiln lomba ini dapat dilakukan penjurian untuk menetukan siapa sebagai pemenangnya. Biasanya kriterianya adalah ekspresi suara, penampilan, nada/irama, kekompakan, serta kriteria lainnya yang di pandang perlu.
Melakukan Dana Punya ke Panti Asuhan
Kegiatan dana punya adalah upaya positif untuk memberikan bantuan atau sumbangan berupa material atau sejenisny kepada para umat Hindu yang membutuhkan. Salah satunya adalah dilakukan di panti asuhan, oleh karena di tempat itu ada banyak umat yang diasuh, dibina, dituntun oleh para pengelolanya untuk bisa melanjutkan hidupnya termasuk juga kegiatan belajar agama Hindu. Panti asuhan adalah salah satu bentuk atau wadah untuk membina umat Hindu menuju peningkatan kualitas diri. Hal ini juga menjadi bagian bentuk kepedulian para pemuda Hindu.
Model lainnya selain dari pada panti asuhan, bisa saja berupa yayasan yang diupayakan oleh umat Hindu untuk menampung para generasi muda yang yatim, yang yatim piatu, anak yang cacat, anak yang terlantar, anak yang miskin, orang tua jompo, orang yang lemah fisiknya, dan sebagainnya. Bila para pemuda Hindu memiliki kepedulian terhadap wadah ini, itu berarti adanya nilai kemanusiaan, nilai prihatin, serta kesusilaan bagi pemuda itu sendiri. Jadi peranannya disini adalah turut membantu dari pendiikan, bantuan ceramah agama Hindu, bantuan dana, serta bantuannya yang bernilai positif.
Melakukan Kegiatan Kerja Bhakti di Pura
Kerja bhakti di Pura merupkan kegiatan cinta dan peduli terhadap suasana, kondisi, serta keberadaan, suatu pura. Wujud kecintaan pemuda Hindu terhadap tempat sucinya dapat dilakukan dengan melakukan kerja bhakti, melakukan kebersihan, melakukan perbaikan, melakukan penanaman bunga, dan perindang lain untuk menghijaukan lingkungan pura. Dlam hal ini bahwa pemuda Hindudapat saja melakukan reboisasi atau penghijauan terhadap lingkungan pura yang Nampak gersang, gundul, polui, dan kondisinya yang masih tercemar oleh faktor lainnya.
Selain kegiatan kebersihan di pura, maka sekaligus dapat dilkukan upaya pengenalan jenis tanaman upakara, pengenalan bunga yang bisa digunakan untuk keperluan yajna, jenis material yang ada di sekitar pura yang bernilai religius, bernilai ussadha, bernilai kebutuhan bhoga, dan sebagainya. Jadi kegiatan kerja bhakti ke suatu pura tidak semata hanya bertujuan merawat pura supaya tetap apik dan asri, tetapi juga untuk membangkitkan nilai spirit para pemuda Hindu sehingga pada akhirnya dapat terwujud pemuda yang berkualitas, pemuda yang handal yakni pemuda yang suputra dan suputri.
Melakukan Kegiatan Dharma Witarka
Dharma Witarka adalah kegiatan dialog atau pembicaraan materi agama Hindu yang memiliki kemiripan dengan Dharma Tula. Dalam kegiatan dharma witarka ini yang di tonjolkan adalah adanya adu kcerdasan dan keterampilan mengemukakan pendapat secara ratio, cermat, cekatan, tepat, cepat, serta berdasarkan sumber yang akurat mengenai materi yang di bicarakan. Dalam kegiatan ini juga diperlukan adanya dewan juri untuk menilai dari segi ketepatan materi, penguasaan materi, penmpilan peserta, penguasaan bahasa/mengungkapkan secara baik dan benar, ketepatan materi, dan komponen lain yang relevan. Sama dengan Utsawa dharma gita dan utsawa dharma wacana, maka kegiatan dharma witarka juga dapat di lombakan untuk menggairahkan, membangkitkan, meningkatkan, serta memupuk semangat berkompetisi untuk menguasai dan memahami materi agama Hindu. Cara ini adalah sangat efektif bila diupayakan secara rutin dan teratur oleh para pemuda Hindu, guna mempertebal semangat keberagamaan Hindu serta semangat untuk mencintai agama Hindu.
Dalam pelaksanaannya bisa saja di lakukan di lingkungan sekolah, kampus, pasraman, lembaga pendidikan dari lembaga swadaya masyarakat, di sekitar pura, dilingkungan keluarga dalam kapasitas yang sederhana dan memadahi. Bila upaya ini diwujudkan secara rutin dan teratur, maka diyakini tingkat kecerdasan dan etika Hindu dari segenap pemuda Hindu semakin baik dari masa ke masa. Tidak saja itu, juga masa depan pemuda Hindu semakin mantap dalam keberadaannya untuk mengisi pembangunan di bidang agama serta pembinaan generasi muda Hindu menuju pemuda Hindu yang berkualitas.
Melakukan Pasraman Brahmacarya
Pasraman Brahmacarya adalah upaya menggalang kelompok belajar dalam masyarakat Hinu untuk dituntun menuju peningkatan kualitas belajar agama Hindu serta materi lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Kegiatan ini adalah sebagai bentuk dari umat Hindu untuk selalu belajar dan berguru untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Dalam penerapan system belajar pada pasraman brahmacarya ini maka wajib ada penuntun suci berupa dang acarya atau guru kerohanian, yang memiliki tugas spiritual atau tugas kesucian, guna menuntun, mendampingi, mengawasi, memberikan keteladanan, serta panutan lainnya secara teori maupun praktis. Sistem ini memerlukan tempat khusus sebagai tempat tetap untuk melakukan kegiatan belajar dan praktek keagamaan Hindu. Jadi tempat khusus ini berupa ashram atau pasraman, sejenis padepokan atau pesantren. Dalam masyarakat Hindu di Bali lebih popular dengan istilah sekaa pesantian. Jadi ashram ini adalah secara khusus sebagai tempat belajar bagi umat Hindu tanpa memandang usia dan kedudukan sosialnya. Jika di Bali ada banyak dilihat keberadaan ashram belakangan ini, juga kalau di Jawa hal ini sydah dikenal baik oleh masyarakat Hindu.
Memahami Veda
Apakah Veda itu? Dapat dipahami oleh umat manusia secara benar bahwa Veda adalah pustaka suci umat Hindu dunia. Veda bukan saja sebagai tuntunan umat hindu di India, tetapi sesungguhnya siapapun sebagai umat Hindu wajib memahami isi pustaka sucinya. Diketahui bahwa keberadaan umat Hindu bukan saja ada di India, tetapi ada di berbagai negara, wilayah, daerah ataupun desa-desa di seluruh dunia.
Dapat diuraikan juga bahwa Veda memiliki kumpulan suci yang terdiri atas empat yang dinamai catur veda samhita, meliputi kumpulan do’a-do’a hindu (rgveda samhita), kumpulan ajaran ritual atau yajna hindu (yajurveda samhita), kumpulan lagu-lagu suci agama hindu (samaveda samhita), dan umpulan berbagai pengetahuan suci rohani dan magis hindu (atharvavaeda samhita). Jadi dapat dikatakan bahwa Veda tersebut memiliki berbagai kumpulan utama yang di golomgkan kedalam pustaka suci yang merupakan sabda atau wahyu Hyang Widhi Wasa. Sedangkan bagian dari pustaka suci lainnya adalah pustaka suci yang tergolong smrti (ingatan) yang mencakup vedangga dan upaveda.
Kelompok vedangga adalah siksa (phonetik), wyakarana (tatabahasa), chanda (lagu), nirukta (sinonim dan antonym), jyotisa (astronomi), dan kalpa (ritual). Demikian juga upaveda meliputi: purana, ithihasa, artha sastra/nitisastra/raja dharma/danda niti (ilmu kepemimpinan), ayurveda (ilmu pengobatan), dan gandharvaveda (ilmu seni). Begitulah veda yang memuat berbagai isi ajaran suci tentang berbagai pengetahuan yang bermakna memberikan tuntunan spiritual dan fisikal bagi umat Hindu pada khususnya dan umat manusia di dunia pada umumnya. Diketahui bahwa umat Hindu sangat meyakini dan menyucikan isi ajaran dalam pustaka suci veda. Jangankan umat Hindu, bahwa dalam perkembangan terakhir ada juga berbagai kalangan umat manusia yang non Hindu sangat tertarik dan mengagumi isi ajaran dalam pustaka suci veda. Terlebih lagi isi ajaran yang terdapat dalam bhagavadgita, itihasa, purana, dan sebagainya.
Sebagai upaya untuk membangun pribadi pemuda dan pemudi Hindu yang beretika dan cerdas menurut ajaran agama Hindu, maka para pemuda Hindu wajib memahami dan menerapkan formula ajaran agama Hindu melalui pemahaman dan aplikasi ajaran filsafat Hindu atau tattwa/darsana, pemahaman dan penerapan ajaran tata susila Hindu, serta penghayatan dan mengamalkan mengenai upacara agama Hindu secara rutin (nitya karma) maupun dalam waktu-waktu yang telah di tentukan (naimitika karma). Ketiga formulasi inti ajaran agama Hindu sesuai sumber dalam Veda, hendakna dipahami secara utuh dan berintegratif antara satu ajaran dengan ajaran yang lainnya yang saling mendukung dan menyatu dalam implementasinya.
Pentingnya par pemuda dan pemudi Hindu untuk memahami makna ajaran agama Hindu melalui tattwa, juga sangat bermanfaat pula materi etika atau tata susil Hindu untuk dijadikan landasan berpijak, berlaku, dan berkarma, agar gerak lakunya mengarah kepada perbuatan yang baik (susila atau subhakarma) bukan sebaliknya yakni perbuatan salah (asusila atau asubhakarma). Hal ini bukan merupakan cita-cita pemuda Hindu, oleh karena cita-cita pemuda Hindu adalah untuk terwujudnya kader muda Hindu yang bijaksana (gunamantha), arif (prajna), cerdas (wisesa), berlaku baik (sadhu), berbuat baik (sukarma/subhakarma), rajin bekerja (karmani) bukan malas bekerja (akarmani), berlaku penuh nilai (mulya karma), serta menjadi pemuda-pemudi yamg baik dan benar (suputra-suputri).
Dalam rangka untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, maka ada beberapa upaya positif yang dapat di lakukan bagi peningkatan kualitas pemuda-pemudi Hindu, antara lain: melakukan kegiatan Tirtha yatra, melakukan dharma tula, melakukan utsawa dharma wacana, melakukan kegiatan dharma witarka, melakukan kegiatan pasraman yowana, melakukan utsawa dharma gita, melakukan pasraman brahmacarya, dll. Bilamana semua upaya tersebut bisa diwujudkan dalam realitas hidup dan kehidupan para pemuda Hindu, diyakini bahwa cita-cita untuk membangun pemuda Hindu yang beretika dan cerdas bisa menjadi kenyataan. Tidak hanya itu diyakini dapat terwujudnya kader Hindu yang berkualitas bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Hal ini diperlukan upaya secara rutin dan upaya berbagai pihak, baik oleh yang bersangkutan, para orang tua, para pemuka/tokoh, para pengajar, para Pembina di tingkat nonformal maupun formal, serta pihak-pihak lainnya selagi yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing. Sebagai kata kuncinya adalah upaya membangun pemuda Hindu yang beretika dan cerdas berdasarkan ajaran agama Hindu, sebagai targetnya adalah terwujudnya pemuda Hindu yang suputra dan suputri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan di ataranya:
Pengertian busana adat Bali adalah sulit menurunkan definisi mengenai busana adat Bali. Kalau pun kedua faktor itu diperhatikan, sangkaan orang akan menemukan satu model busana adat Bali dipulau yang indah ini hanyalah sebuah harapan yang tanpa didukung pemahaman akan kompleksitas kebudayaan Bali. Meskipun kedua faktor diatas dipahami dan di artikan disini belumlah cukup untuk menyusun suatu model busana yang bisa dipakai diseluruh kabupaten di Bali. Keadaan inilah yang menyebabkan mengapa busana adat Bali secara permukaan terlihat sama namum berbeda menurut detainya. Tampaknya dalam menentukan model busana adat Bali didaerah tertentu berlaku asas “desa, kala, patra”, sehingga busana adat Bali, sekali lagi, terlihat sama namun berbeda dan sangat rumit.
Bentuk-Bentuk Penampilan Selebritis Umat Hindu diantaranya:
Busana/pakaian yang tidak sesuai dengan etika orang yang ingin bersembahyang, tata rias yang berlebihan
Tata busana yang benar saat ke pura adalah memakai kebaya bagi yang wanita sedangkan yang pria memakai kemeja/safari yang berwarna putuh/kuning, kamben, memakai selendang bagi wanita, saput dan udeng bagi pria. Kemudia emakai alas kaki dan make up yang sewajarnya saja.
Tata cara persembahyangan yang benar adalah melaksanakan suci laksana terlebih dahulu kemudian mengambil sikap sesuai dengan jenis kelamin masing-masing. Mengenai sikap bersembahyang, sesungguhnya lahir dari sikap yoga, mulai dari cara duduk, kalau bagi umat yang laki-laki duduk bersila, meniru sikap duduk para Bhatara (sikap yoga) seperti sikap sila Ardhasana, sila padmasana (sila gana), dengan tangan tercakup seperti dua sisir buah pisang yang disatukan (semua jari tangan menyatu) dan pangkal telapak tangan berada tepat pada selaning lelata atau kening (jnana cakra), sehingga siku akan membentuk sudut Sembilan puluh derajat, berarti kekuatan menyangga akan lebih lama. Demikian juga bagi umat hindu yang perempuan dengan sikap duduk bersimpuh (bajra sana) meniru sikap yoganya Dewi Saci maupun Uma dewi. Masing-masing umat, baik yang laki-laki maupun perempuan, membayangkan (berimajinasi) sastra Ongkara didala pikiran serta langsung diserap kedalam batin.
Sikap bersembahyang yang benar adalah Duduk menghadap ke arah matahari terbit atau kea rah gunung/perbukitan, dengan dilipatkan ke belakang dan telapak kaki menengadah ke atas, sehingga telapak kaki ditindih oleh pantat. Sikap ini adalah menggunakan sikap yoganya Sang Hyang Saci Dewi (saktinya Hyang Mhadewa).Sikap bersimpuh yang lain antara lain yaitu: duduk menghadap pemujaan mengarah kematahari terbit atau mengarah kegunung, dengan melipat kaki kesamping kanan membentuk sudut, sehingga kedua batis berhimpit oleh pantat sebelah kanan (sikap yoganya sang hyang uma dewi). Dari beberapa sikap bersimpuh salah satu boleh dilakukan pada waktu melakukan sembahyang.
Upaya membangun pribadi pemuda Hindu beretika dan cerdas dapat dilakukan dengan cara diantaranya:
Melakukan Kegiatan Tirtha Yatra
Melakukan Kegiatan Dharma Tula
Melakukan Utsawa Dharma Wacana
Melakukan Kegiatan Pasraman Yowana
Melakukan Kegiatan Sosial ke Masyarakat
Melakukan Utsawa Dharma Gita
Melakukan Dana Punya ke Panti Asuhan
Melakukan Kegiatan Kerja Bhakti di Pura
Melakukan Kegiatan Dharma Witarka
Melakukan Pasraman Brahmacarya
Memahami Veda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar