Om, Saraswati namostu bhyam
Warade kama rupini
Siddha rastu karaksami
Siddhi bhawantu sadam.
Artinya:
Om, Dewi Saraswati yang mulia dan maha indah, cantik dan maha mulia.
Semoga kami dilindungi dengan sesempurna-sempurnanya.
Semoga kami selalu dilimpahi kekuatan.
Om, Pranamya sarwa dewanca
para matma nama wanca.
rupa siddhi myaham.
Artinya:
Om, kami selalu bersedia menerima restuMu ya para Dewa dan Hyang Widhi, yang mempunyai tangan kuat. Saraswati yang berbadan suci mulia.
Om Padma patra wimalaksi padma kesala warni nityam nama Saraswat.
Artinya:
Om, teratai yang tak ternoda, Padma yang indah bercahaya.
Dewi yang selalu indah bercahaya, kami selalu menjungjungMu Saraswati.
Om, Saraswati sweta warna ya namah.
Om, Saraswati nila warna ya namah.
Om, Saraswati pita warna ya namah.
Om, Saraswati rakta warna ya namah.
Om, Saraswati wisma warna ya namah.
Jika ada orang lain di luar penganut agama Hindu Bali mempertanyakan, apakah kalian memuja patung perempuan bertangan empat dengan mengendarai angsa? Kalian tidak akan gundah, namun dapat menjawab dengan memberikan penjelasan singkat, seperti tradisi pengajaran Wali itu, tidak harus semua dijelaskan, jika terketuk hatinya, maka tak hanya ranting, cabang, bahkan hingga akar Sang Hyang Aksara akan menjawab.
Disamping memiliki kekayaan ritus air, Agama Hindu Bali memiliki tata krama pemujaan kepada Sang Hyang Aksara, yang dalam keseharian dikenal sebagai pemujaan kepada Dewi Saraswati. Air dan Aksara menjadi dasar memahami asal muasal kehidupan di bumi. Lahir, hidup dan mati bekalnya adalah Aksara. Pemujaan kepada Sang Hyang Aksara tidaklah berhenti kepada 'sang dewi' . Namun sebenarnya berakar kepada bait-bait suci yang lampau, yang mengisyaratkan kedalaman tatwa akan asal muasal. Pada Manuskrip suci Sundari Gading, dijelaskan bahwa pada mulanya," tan hana, tan hana bhuta, tan hana manusa" dan manuskrip ini mengisyaratkan mengenai asal-muasal semesta dan kehidupan bahwa yang merekatkan semua ini dalam bhuwana agung dan alit adalah aksara. Disebutkan bahwa Sang Sundari Ghading, duk tan hana paran-paran, nora hana gumi langit, kewala bhur, hana akasa, Hyang Sarining Tawang, sire angawetwaken, ika ri wekasan nga: Sanghyang Sundari Ghading, sakeng rika pawijilanira kabeh, sira sarining Sanghyang Sundari Gadhing, mayoga sira, mijil tan pawak, marupa tan parupa, kewala hana rupa, kadi cakra ika, lwir kadilawe sabnetar, rinapit denira, mwang abang, ireng. Riwekasan mijil Sanghyang Sundari Gadhing sakeng lung cakra ika, swetawarnira, riwekasan, nga: Sang Hyang Panca sunya nirmala, hning warnanira jati, mwah riwekasan, ingaranan Sang Hyang Widhi Wisesa," dari proses itu akan lahir kemudian," mijil sirsa, tan pacaksu, sirsa dudu sirsa, sekala niskala, ri wkasan, ingaran Ekaaksara, dudu gaksara, ri wus mangkana, waneh mwah mijil saking tariping cakra, ya panon, nora panon, warnani, saget bang, saget ireng, saget putih, sampuri wkasan, yatika ingaranan Sanghyang Dwi aksara.....dst" berbilang-bilang manuskrip suci mengenai tatwa agung ini, mengenai mengapa kemudian dirayakan pemujaan kepada Sang Hyang Aksara, yang dalam 'sekalanya' itulah ritus kepada Dewi Saraswati.
Hindu Bali menyimpan bait-bait sucinya tidak dalam satu kitab, seperti agama-agama lain, bahwa tidak juga seperti Hindu di India, yang membaginya dalam empat kitab suci besar, Catur Weda. Hindu di Bali seperti pohon besar, pabila memulai mempelajari agama tua ini dari satu dahan ranting, maka akan cabang pohonnya ditemukan, namun jika penuh kesabaran dan pelahan membuka wawasan, pohon besar itu adalah pengetahuan yang mengakar ke langit dan bumi. Sekala Niskala, merekatkan Bhuwana Agung dan Alit.
Pemujaan kepada Sang Hyang Aksara ini dapat dilihat dalam bentangan yang panjang dalam manuskrip-manuskrip suci bahkan pada era Ritus pemujaan Dewi Sri, ditemukan juga puja kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Ritus suci kepada Dewi Sri dan Rambut Sadhana ini telah mengisyaratkan hadirnya juga pemujaan kepada Sang Hyang Aksara," Bu. Wa, Kulawu, pathirtan Sang Hyang Sadana mabanten.....dst, haswan Saraswati tirthaniya, “Pukulun Kaki Komara, Komara Jati, komara hidep, sire mangundang Rambut Sadana, den katur ing anak putu buyut, pada tumurun teka sabran rahina wengi, esuk sore, Rambut Sadana, gumlar aketi, kasuruweyan, mendak angibekin kadaton ing hulun, Rambut Kulah-Kalih, sira hamongmong, helingakna, tutur-tutur haywalali, inget-inget haywalupa" pernyataan ini kemudian menetapkan jika ada ritus kepada Sang Hyang Rambut Sedana, maka Sa. U. Watugung, patirthan Sang Hyang Aji Saraswati, disebutkan dalam manuskrip ini; mantra pengalukatan untuk bantennya adalah ," tirthaniya nunas ring Bhatara Surya, kukus harum, panglukataniya, perhatikan mantranya: “Ong pustakem wyanjanem wame, sangka dwajanca daksina, dadanti Sangkara dewi, purna bhusana saprabha, abhiwetajnan sidyat. Puji sthayastu rawapi. Sarwa
kleshawinasanem, ganadipa taye namah"
Hingga kini sering para orang tua di Bali, bila tiba hari raya Saraswati memperingatkan kepada anak-anak agar tidak membaca bukunya pada hari itu, semacam 'nyepi kepada kegiatan membaca', peringatan itu menimbulkan pertanyaan dan ternyata peringatan itu yang seolah gugon tuwon dalam manuksrip yang tua ditemukan bahwa ketentuan itu memang ada, disaat Sang Hyang Aji Saraswati melakukan yoganya," Muwah sahanan ing pustakan linggen ing Akshara, pada puja walinen. Rahina ika tan kawenang mamaca pustaka, yan purugen, tinemah de Sang Hyang Saraswati. Yan sire ngodalin, kari kangin suryane, yan singit kawuh, wawu wenang mamaca, apan Sang Hyang Saraswati, wus matukeng suniyata"---jadi ada ketentuan selama matahari masih dalam garis edarnya di timur bumi (arah mata angin masing-masing) pemujaan dilakukan dan bila sudah matahari surut ke barat, barulah diizinkan kembali melakukan kegiatan membaca.
Sang Hyang aji Saraswati ini juga mengenal brata disebutkan dalam manuskrip suci Indik Brata, jadi agama Hindu Bali memiliki berbagai macam puasa (brata), salah satunya adalah “Hana brata anararaswati, nga: tan amangan sekul ingiliran, tumpeng pinanganta, iwaknya uyah, sataun 3 lek samayanya. Bhatara raja Laksmi hyangnya, pha: teka guna, mwang kasiddhyan, subhaga kita, mantranya saat melakukan brata ini: Ong Ang laksmi Ning puri de nama, yahahyas....dst"
Perhatikan kemudian pada tradisi saha: Ritus Sarsawati ini disebut dengan Panganter canang anggen nyaraswati; iki pangante canange atanding, kawasa anggen nyaraswati wenang kawasa, sebenarnya melakukan ritus ini dengan canang saja jika itu batas kemampuannya diperkenankan. Disertai mantra; Pukulun Bhagawan Aksara Walikilya, Bhagawan Sastra Walikilya, Sanghyang Saraswati makadi Sanghyang Paramestiguru cokor idewa sami katuran sarining canang sateges miwah sekare sukupak matapakan beras muwah jinah 66 katur ring cokor idewa sami, ica cokor idewa anyari kalihica cokor idewa angaturaken tamba katiba ring sunya, canange mebaas pipis ika wenang.telas"
Mari kemudian bandingkan dengan manuskrip yang berkaitan dengan pengelukatan saraswati," Ang brahma saraswati dityam, sarwwa wighna winasanam, brahmaaghni wiswa rupanaman, sarwwa puja mahottanam.....dst" (kategori kuta mantra, mohon maaf tidak dituliskan secara lengkap)
Ritus ini kemudian menjadi begitu lengkap, menjawab semua alasan argumen mengapa pemujaan saraswati dilakukan, yakni bagaimana ketika manuskrip suci membabarkan mengenai Sang Aji Saraswati, mengenai seluruh perjalanan huruf suci di bhuwana agung dan bhuwana alit, itu semua mungkin kemudian nampak sederhana ketika dirayakan di sekolah di merajan, di kamar kost; namun sesungguhnya, mengisyaratkan agama Hindu Bali, memiliki ritus mengenai puja Aksara ini dengan sangat detail dan lengkap. Dan kerap dikategorikan jika yang ingin mendalaminya; sebagai wilayah kadiatmikan, katatwaan, yakni jauh lebih mendalam dari sekedar filsafat, lebih dalam dari teologi itu sendiri.
MAKNA DARI PERAYAAN DEWI SARASWATI.
Dari perayaan ini kita dapat mengambil hik-mahnya, antara lain:
1. Kita harus bersyukur kepada Hyang Widhi atas kemurahan-Nya yang telah menganugrahkan vidya (ilmu pengetahuan) dan kecerdasan kepada kita semua.
2. Dengan vidya kita harus terbebas dari avidya (kebodohan) dan menuju ke pencerahan, kebe-naran sejati (sat) dan kebahagiaan abadi.
3. Selama ini secara spiritual kita masih tertidur lelap dan diselimuti oleh sang maya (ketidak-benaran) dan avidyam (kebodohan). Dengan vidya ini mari kita berusaha untuk melek/eling/bangun dan tidur kita, hilangkan selimut maya, sadarilah bahwa kita adalah atma, dan akhirnya tercapailah nirwana.
4. Kita belajar dan angsa untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. Angsa bisa menyaring air, memisahkan makanan dan kotoran walaupun di air yang keruh/kotor atau lumpur. Juga jadilah orang baik, seperti buruk merak yang berbulu cantik, indah dan cemerlang walaupun hidupnya di hutan.
5. Kita masih memerlukan/mempelajari ilmu pengetahuan dan sains yang sekuler, tetapi harus diimbangi dengan ilmu spiritual dengan peng-hayatan dan bakti yang tulus.
6.Laksanakan Puja/sembahyang sesuai de-ngan kepercayaannya masing-masing secara sederhana dengan bakti yang tulus/ihlas, bisa dirumah, kuil, atau pura dan lain-lain.
Jadi makna pemujaan Dewi Saraswati adalah memuja dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan memfokuskan pada aspek Dewi Sa-raswati (simbol vidya) atas karunia ilmu penge-tahuan yang di karuniakan kepada kita semua, sehingga akan terbebas dan avidyam (kebodoh-an), agar dibimbing menuju ke kedamaian yang abadi dan pencerahan sempurna.
Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan mesarnbang semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menernukan pencerahan Ida Hyang Saraswati
Puja astawa yang disiapkan ialah : Sesayut yoga sidhi beralas taledan dan alasnya daun sokasi berupa nasi putih daging guling, itik, raka-raka sampian kernbang payasan. Sesayut ini dihaturkan di atas tempat tidur, dipersembahkan ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati.
Keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni asuci laksana dipagi buta berkeramas dengan air kumkuman. Ke hadapan Hyang Saraswati dihaturkan ajuman kuning dan tamba inum. Tamba inum ini terdiri dari air cendana, beras putih dan bawang lalu diminum, sesudahnya bersantap nasi kuning garam, telur, disertai dengan puja mantram:
Om, Ang Çarira sampurna ya namah swaha.
Semua ini mengandung maksud, mengambil air yang berkhasiat pengetahuan.
#tubaba@griyangbang//damai di hati selalu//berbekal pengetahuan mengenai diri sendiri#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar