TUMPEK KANDANG (UYE)
Wawancara
1. Apakah makna dari tumpek kandang?
Tumpek Uye jatuh setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Sabtu Kliwon wuku Uye. Di Bali, hari Tumpek Uye juga sering disebut dengan istilah Tumpek Kandang.
Sang Hyang Widhi dipuja dalam fungsi beliau sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati yang sering disebut Rare Angon atau pengembala binatang.
Tujuannya bukan menyembah binatang namun lebih kepada untuk menyebarkan kasih sayang ke semua makhluk salah satunya binatang dan tetap melestarikan jenis binatang tersebut.
Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini memiliki jiwa yang berasal dari Ida Sang Hyang Widhi. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtra) adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya. Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Fungsi dan Makna
Tumpek Kandang merupakan ritual yang begitu penting bagi masyarakat terutama mereka yang menggantungkan mata pencahariannya pada bidang peternakan. Bagi para peternak tentu hewan piaraan atau hewan ternak menjadi sangat penting bagi kehidupannya karena ternak inilah sumber penghidupan dan kesejahteraan. Mengingat keberadaan hewan ternak sebagai sumber kesejahteraan sehingga hewan-hewan ternak ini diberikan posisi yang terhormat dan mulia. Binatang adalah kamadhenu (pemuas keinginan/kama manusia). Mitos dan mistik merupakan cara masyarakat agraris untuk memaknai pemuliaan kepada binatang tersebut sehingga setiap ritual yang berkenaan hewan piaraan atau ternak selalu dihubungkan Yang Transenden, yakni Sanghyang Rare Angon sebagai dewa penguasa seluruh binatang dalam konteks lokal (Bali).
Beberapa mitologi Hewan Suci yang tertuang dalam berbagai kitab Purana, misalnya sapi adalah jenis binatang peliharaan yang sangat dimuliakan umat Hindu. Sapi dalam tradisi Hindu hendaknya dihormati sebagai ibu, di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain sebagainya (Visvanathan, 2001:236). Dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa Tuhan mengambil wujud sebagai Garuda untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan kepada umat manusia. Ada hewan suci lainnya, seperti angsa, merak, naga, dan lain-lain. Dalam hal ini Tuhan dihadirkan dalam wujud-wujud tertentu sebagaimana umat manusia mendambakannya hingga lahirlah konsep ista dewata (dewa-dewa pujaan). Tuhan hadir berwujud atau tidak berwujud (Sarupa atau Nirrupa), personal atau impersonal sesuai dengan kemampuan imajinatif dan ekspresif manusia. Barong disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau raja pohon, ia juga disebut Prajapati, raja dari semua binatang buas. Dalam ajaran Saiwasiddhanta, Siva disebut Pasupati, pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Demikianlah agama Hindu turut memuliakan tradisi religius Tumpek Kandang, yakni wujud pemujaan kepada Hyang Siwa Pasupati, atau oleh masyarakat Hindu Bali umumnya disebut Sanghyang Rare Angon.
Upacara Agama Hindu pada dasarnya dibangun oleh tiga kesadaran sebagai satu kesatuan, yakni kesadaran ketuhanan (teosentris), kesadaran humanis (antroposentris), dan kesadaran alam (kosmosentris). Ketiga kesadaran ini merupakan tiga penyebab kebahagiaan manusia (tri hita karana) sehingga ketiga-tiganya harus hadir secara simultan dan integral dalam sebuah ritual. Dalam upacara Tumpek Kandang, kesadaran ketuhanan diwujudkan dengan pemujaan kepada Sanghyang Rare Angon yang menjadi jiwa seluruh binatang, khususnya hewan ternak dan piaraan. Kemudian, kesadaran humanis bahwa otonan wawalungan sama artinya dengan upacara kepada manusia sehingga upacara ini adalah upaya memanusiakan binatang. Memperlakukan binatang seperti halnya manusia, merupakan kesadaran humanis eksistensial bahwa binatang (juga tumbuh-tumbuhan) turut membangun eksistensi manusia. Dapat dibayangkan ketika manusia tanpa tumbuh-tumbuhan dan binatang, mustahil eksistensinya akan terjaga di dunia ini. Sementara itu, kesadaran kosmis bahwa upacara tumpek merupakan cara manusia membangun dan melestarikan lingkungan alam dan budayanya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, sedangkan pelestarian lingkungan budaya bahwa melalui upacara ini manusia menyatakan sikap hidupnya kepada alam dan lingkungan sehingga manusia dapat menyelaraskan diri dengan harmoni semesta. Dengan demikian Tumpek Kandang adalah cara umat Hindu membangun kesadaran universal untuk mewujudkan kebahagiaan dunia, seperti dijelaskan dalam Yajurveda XVI.48 ”Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia”.
Menurut Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa menekankan bahwa : "Tumpek Uye sejatinya adalah kurban suci untuk semua jenis binatang yang ada di alam semesta ini seperti golongan sato, mina, paksi, manuk, serta gumatat-gumitit. Tujuannya untuk memberikan penyupatan agar kelahiran berikutnya dari roh hewan-hewan tersebut bisa meningkat kualitas tingkat kehidupannya. Namun, beliau menilai penyupatan itu tidak semata-mata untuk binatang dalam pengertian fisik yang ada di bhuwana agung (alam semesta), tetapi juga nonfisik berupa sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia (bhuwana alit)".
2. Apa tumpek kandang ditujukan kepada hewan ternak/ keseluruhan hewan?
Pada saat Tumpek Kandang, hewan khususnya ternak dibuatkan otonan. Dalam prosesi ritual itu umat memohon ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi agar ternak peliharaannya diberkati kerahayuan. Tetapi, secara filsafati kembali kami tekankan, perayaan Tumpek Uye/Tumpek Kandang itu mengandung makna bahwa umat hendaknya mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Dalam konteks ekonomi, prosesi ritual itu mengamanatkan sektor pertanian dalam arti luas (peternakan) bisa dikembangkan untuk memperkuat sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Dikatakannya, dalam Sarasamuscaya ada disebutkan “Ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana,” yang artinya jangan tidak sayang kepada binatang, karena binatang atau makhluk adalah kekuatan alam. Itu artinya, umat mesti mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Khusus pada perayaan Tumpek Kandang, umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Pasupati agar hewan peliharaannya diberkati kerahayuan. Sebab, hewan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Misalnya, sapi atau kerbau bagi para petani memiliki peran yang sangat besar dalam membantu aktivitas agrarisnya. Sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selain dipakai membajak sawah, sapi juga membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraan. Harga jualnya cukup menggiurkan, sehingga bisa dijadikan modal oleh petani untuk meningkatkan pendidikan bagi putra-putrinya dan membiayai keperluan hidup yang lain.
Demikian pula ternak yang lain seperti babi, kambing, ayam, itik. Bahkan, babi bagi masyarakat Hindu di Bali sering dijadikan semacam tabungan atau celengan. Ketika umat menyelenggarakan hajatan, babi tersebut dipotong atau jika kepepet uang, ternak yang sering disebut ubuhan tatakan banyu tersebut bisa dijual.
Sebagai hewan yang ditakdirkan sebagai ubuan tunu, ayam, itik, babi dan sebagainya sering dijadikan sumber protein untuk menunjang kehidupan manusia. Untuk kepentingan itu hewan ternak memang terus dikembangkan. Tetapi, khusus hewan-hewan yang lain, terutama satwa langka, umat mesti melestarikannya seperti penyu hijau, burung jalak Bali, menjangan, kera dan sebagainya. Hewan-hewan langka tersebut mesti dijaga agar tidak sampai mengalami kepunahan.
Untuk menjaga kepunahan satwa langka, di Bali dikaitkan dengan mitologi. Hewan-hewan tertentu dikatakan sebagai duwe Ida Batara (milik Tuhan), seperti sapi putih duwe, bojog (kera) duwe, lelawah (kelelawar) duwe, lelipi (ular) duwe dan sebagainya. Lewat mitologi seperti itu sesungguhnya umat diajak untuk menjaga dan melestarikan satwa lewat konsep religi. Mitologi seperti itu sepertinya jauh lebih kuat daripada seruan atau ajakan untuk melestarikan satwa langka.
3. Adakah cerita yg melatar belakangi tumpek kandang?
Cerita yang melatar belakangi adalah proses upacara Aswameda Yadnya yang merupakan upacara pelepasan seribu ekor kuda sebagai bentuk cinta kasih.
Cerita dalam lontar Atma Presangsa
Cerita Swarga Rohana Parwa yang menceritakan Yudistira sampai di sorga di hantarkan oleh seekor anjing
Satwa-satwa Cerita Tantri
Lontar-lontar prasi tentang cerita binatang
4. Bagaimana prosesi upacara dari tumpek kandang?
Mengenai Tumpek Kandang sebagaimana tersurat dalam Lontar Sundarigama adalah sebagai berikut.
”Uye, Saniscara Kliwon, Tumpek Kandang, prakrti ring sarwa sato, patik wenang paru hana upadana nia, yan ia sapi, kebo, asti, salwir nia satoraja...”
Artinya:
Wuku Uye, pada Saniscara Kliwon, adalah Tumpek Kandang, yaitu hari untuk mengupacarai semua jenis binatang ternak dan binatang lainnya. Adapaun upacaranya: jika Sapi, Kerbau, Gajah, dan binatang besar lainnya (sato agung)...
Landasan filosofis dan teologisnya juga dapat ditemukan dalam teks selanjutnya, sebagai berikut.
”...kalingania iking widhana ring manusa, amarid saking Sanghyang Rare Angon, wenang ayabin, pituhun ya ring manusa, sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan, Sanghyang Rare Angon, cariranira utama”.
Artinya:
Adapun penjelasannya bahwa banten-banten ini, serta upacaranya itu seperti mengupacarai manusia karena konon binatang-binatang itu dijiwai oleh Sanghyang Rare Angon. Itulah sebabnya patut diupacarai. Sebenarnya, manusia itu adalah makhluk utamanya daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya. Demikianlah Sanghyang Rare Angon menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama Beliau.
Untuk bebanten selamatan bagi binatang tersebut berbeda-beda menurut macam/golongan binatang-binatang itu antara lain:
Untuk bebantenan selamatan bagi sapi, kerbau, gajah, kuda, dan yang semacamnya dibuatkan bebanten: tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang raka.
Untuk selamatan bagi babi dan sejenisnya: Tumpeng-canang raka, penyeneng, ketipat dan belayag.
Untuk bebanten sebangsa unggas, seperti: ayam, itik, burung, angsa dan lain-lainnya dibuatkan bebanten berupa bermacam-macam ketupat sesuai dengan nama atau unggas itu dilengkapi dengan penyeneng, tetebus dan kembang payas.
Dan untuk pemujaan dilakukan di sanggah/merajan, pengastawa Sang Rare Angon yaitu dewanya ternak dengan persembahan (hayapan / widhi-widhana) berupa suci, peras, daksina, penyeneng, canang lenga wangi, burat wangi dan pesucian.
Banten Alit (terkecil/nista):
Pras Penyeneng, Guru, tegen-tegenan yang isinya nasi yang dibungkus dengan daun pisang, buah pinang yang lebih dari satu biji, kemudian dilengkapi dengan daksina yang berisi kelapa yang sudah dihilangkan kulitnya, telur, tipat, beras secukupnya, dan diatasnya ditaruh canang sari.
Ini Mantra Upacara Tumpek Kandang dengan Banten Alit:
Om indahta hita Sang Rare Angon anganturajken praspenyeneng, daksina, angaturaken ring Sang Angambel urip para wewalungane, amogitha anglungsur panugrahan ngicenin keslamatan lan kerahayuan kedirghayusaan.
Terjemahannya :
Semoga bahagia Sang Rare Angon mempersembahkan mempersembahkan daksina, mempersembahkan atas nama Tuhan yang memelihara hewan berkaki empat, memeohon penganugrahan semoga memberikan keselamatan panjang umur.
Banten Madya (sedang)
Sesayut, pengambean, pengulapan, pras pemyeneng, dan jerimpen kemudian juga dilengkapi dengan daksina yang berisi kelapa yang sudah dihilangkan kulitnya, telur, tipat, beras secukupnya, dan diatasnya ditaruh canang sari.Selanjutnya wakul, wakul ini terbuat dari daun ron atau daun dari pohon sengon, kemudian tangkih yang dibuat dari daun kelapa atau janur yang isinya saur, kacang, dan telur, serta dilenkapi dengan sampian latih guak.
Mantra Upacara Tumpek Kandang dengan Banten Madya:
Om Sri namah, namah swaha
Om puja sanjana astra, sastra pakulun angadeg Sang Rare Angon, reh manusan nira angaturin inggihan wewantenan sane katur sesayut pengulapan, pengmbean,lan pisang guru. yening wenten sekirang langkung, niki wenten berasa sokan, jinah satak laweh stukal sane katur ring peras agung, amogitha nunas pengampura. Om Ang, Mang, Namah Swaha.
Terjemhannya :
Ya Tuhan dalam menifestasi sebagai Sang Rare Angon, hamba-Mu mengaturkan kepada-Mu sesaji berupa sesayut pengulapan, pengambean, dan pisang guru, jikalau ada kurang lebih ini hamba mempersembahkan mempersembahkan pengambean, uang 200 kepeng benang segulung, dan kalau ada yang kurang hamba mohon maaf.
Banten Agung (utama)
Sayut pengambean, pras penyeneng, banten guru, sayut pengulapan, pucak manik,, banten penyegjeg, banten pengiring, sayut tebasan, sayut telepokan, tegentegenan, dan banten guling.
Mantra Upacara Tumpek Kandang dengan Banten Agung (Utama):
Ong Indah te kita pada saking purwa desa sinangaken tapa muliha kita maring purwa desa, manebah te kita maring Sang Hyang Iswra lan Sang Rare Angon. Om sang namah linggan tan wus sang mangkana, pasang sarga kita ring Sang Hyang Iswara.
Ayuwa tan te kita, menganti tikena Sang Hyang Rare Angon, angaturin Ida wewantenan sane akatur sesayut pengambean, penyegjeg lan pengulapan, reh manusan nira angaturin amogitha nglungsur kerahayuan kerahajengan, lan keselamatan, kirang langkung atur tityang, tityang nunas pengampura, beras sokan , jinah satak lawes tukel sane katur ring pras agung.
Terjemahannya :
Ya Tuhan yang bersetana di timur, yang bersetana dan ber yoga dengan sangat mulia hamba dari arah timur, menyembah-Mu dalam wujud Sang Hyang Iswara dan Sang
Hyang Rare Angon.
Setelah itu memohon maaf kepada-Mu Sang Hyang Iswara sebagai pengganti Sang Rare Angon, menghaturkan kepda-Mu sesaji yang dipersembahkan sesayut pengambean, penyegjeg lan pengulapan, karena hamba-Mu mempersembahkan dengan kerendahan hati memohon keselamatan kurang lebih permohonan hamba mohon maaf, beras sewakul, benagng segulung, uang 200 kepeng, yang hamba persembahkan dalam bentuk pras agung.
Tata Cara Pelaksanaan
Tujuan utama dari pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk kebahagiaan semua makhluk (bhuta hita, sarwa prani hita). Dalam bait ke-4, Lontar Sundarigama juga dijelaskan bahwa “pada saat hari yang uttama (kala wayutama) adalah waktu pesucian para dewa-dewi, bhatara-bhatari, widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau beryoga semedi untuk kebahagiaan dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta melaksanakan pujawali untuk menyambut cinta kasih yang akan dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara”. Dengan demikian maka melalui persembahan bhakti pada Hyang Widhi Wasa tatkala hari-hari suci adalah utama demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia. Adapun tata cara pelaksanaan upacara Tumpek Kandang seperti dijelaskan dalam lontar Sundarigama berikut ini.
”...upadania: tumpeng, tebasan, pareresikan, panyeneng, jerimpen. Yan ing Bawi : Tumpeng, penyeneng, canang raka. Yan ring babi ina : anaman bakkok, belayang tunggal lawan sagawon. Yan ing sarwa paksi: ayam, itik, angsa, dolong, titiran, kukur, kunang salwir nia: anaman manut rupania, yang paksi anaman paksi, yan ayam anaman ayam, duluran nyeneng, tetebus mwang kembang pahes”.
Artinya :
” adalah tumpeng, tetebasan, pareresik, penyeneng, dan jerimpen. Kalau terhadap Babi jantan (bangkung) adalah tumpeng tebasan, penyeneng, dan canang raka. Kalau ternak Babi betina persembahannya adalah ketupat belekok, belayang tunggal, dan sagu. Kalau untuk jenis burung, ayam, itik, titiran, demikian pula perkutut, dan sejenisnya maka persembahannya adalah ketupat menurut bentuk rupanya, yaitu kalau burung berupa ketupat burung, kalau ayam dengan ketupat berupa ayam. Lain daripada itu juga dengan banten penyeneng, tetebus, dan kembang payas.
”... sedengnging latri tan wenang anambut karya, meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken Sanghyang Dharma, mwang kawyiadnyana sastra kabeh, mangkan telas kangetakna haywa sang wruhing tattwa yeki tan mituhu, mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu ring saparania, apania mangkana, wwang tan pakarti, tan payasa, tan pakrama, sania lawan sato, binania amangan sega. Yan sang wiku tan manut, dudu sira Wiku, ranak ira Sanghyang Dharma”.
Artinya:
Pada malam harinya, tidak dibenarkan mengambil pekerjaan jasmani, melainkan hanya melakukan renungan suci, yakni mengheningkan cipta dan diarahkan untuk menyadari Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga diarahkan kepada inti sari ajaran agama seluruhnya. Demikianlah semuanya agar diingat-ingat, terutama harus disadari oleh orang yang mendalami tattwa. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya tidak akan mendapatkan keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa demikian? Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), dapatlah disamakan dengan binatang, bedanya hanya karena ia memakan nasi. Jika sang Wiku yang bijaksana tidak menuruti ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang disayangi oleh Sanghyang Dharma.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tata cara pelaksanaan upacara Tumpek Kandang dilaksanakan dengan mempersembahkan babantenan seperti yang telah disebutkan. Wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan persembahan, melakukan puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi, Beliau yang Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia. Pada malam harinya, upacara Tumpek Kandang adalah malam yang baik untuk melakukan renungan suci, tapa-brata-yoga-samadhi. Hubungan transendental terus-menerus ditujukan kepada Sanghyang Dharma, Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia senantiasa dituntun oleh dharma, demi tercapainya tujuan tertinggi (purusa artha), yakni moksartham jagadhita ya ca itu dharma. Hal ini seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14
”ikang dharma ngarania, henuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning banyaga nentasing tasik”
(’..yang disebut dharma adalah jalan menuju sorga, seperti sebuah perahu yang digunakan nelayan untuk menyeberangi samudera’).
Pelaksanaan Tumpek Kandang memiliki tujuan:
Melestarikan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi, yang merupakan warisan adiluhung dari Leluhur/Tetua Bali dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan Alam, Manusia/Krama, dan Kebudayaan Bali secara niskala-sakala, yang orisinil, genuine Bali,
Menjadikan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi untuk mengembangkan Manusia/Krama Bali yang berkarakter, berjati diri, berkualitas, berdaya saing, dan bertanggung jawab guna menghadapi permasalahan dan tantangan dinamika perkembangan zaman dalam skala lokal, nasional, dan global,
Menjadikan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi sebagai dasar untuk mengembangkan tata-titi kehidupan masyarakat Bali dalam Bali Era Baru guna mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang kang tata-titi tentram kerta raharja.
5. Adakah masalah yang terjadi terkait dengan tumpek kandang?
Wujud luar nampak bergeser, maknanya tetap sama
Seorang mahasiswi
Nama: Ni Pitu Meilyna Krisnayanti
Mahasiswi Instiki Denpasar
Nim 19104041
Jurusan TI DGN
Alamat Br Trijata Mambal
Mahasiswi ini sempat menanyakan kepada penulis, bukankah semua hari-hari raya itu adalah ekspresi dari masyarakat agraris ? Bagaimana halnya dengan masyarakat kita yang mulai berubah menjadi masyarakat agraris ? Memang nampak terjadinya pergeseran namun prosesnya secara evolusi. Seperti halnya di India, dahulu tidak ada orang mengupacarai kendaraan bermotor, televisi atau komputer. Di sana kini juga seperti di Bali. Pada hari Tumpek Landep orang membuat upacara selamatan untuk segala benda yyang terbuat dari besi, pada hal pada mulanya hanya untuk senjata saja. Demikian pula terhadap sebagian fungsi sapi digantikan dengan traktor, kini traktor diupacarai, tetapi hal ini tidakk dilakukan pada waktu Tumpek Uye, melainkan pada waktu Tumpek Landep. Bila kita melihat di Bali sopir bemo, bus wisata atau penumpang umum, bahkan juga dilakukan oleh kusir dokar, yakni mempersembahkkan sesajen atau canang pada dashboard kendaraannya, di India juga dilakukan hal yang sama, merekka tidak mempersembahkan canang, melainkan karangan bunga kecil yyang dipersembahkkan terhadap arca-arca kecil atau gambar-gambar dewa yang diletakkan pada dashboard kendaraannya. Apakah pemujaan melalui gambar atau arca itu, sebagai perwujudan berhala. Bagi umat Hindu yang idipuja atau disembah adalah Tuhan Yang Mahaesa, para dewa manifestasi-Nya dan juga para rsi atau leluhur. Arca-arca atau pratima dan berbagai benda sarana pemujaan itu hanya berfungsi sebagai media, sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahaesa, menifestasi-Nya atau siapa saja yang dipuja.
Implementasi Nilai Tumpek Kandang
Tumpek Kandang, meskipun pada dasarnya adalah persembahan untuk semua jenis binatang, tetapi dalam praktiknya lebih diprioritaskan bagi binatang ternak dan piaraan. Ini menegaskan bahwa masyarakat pada masa lalu, juga masa sekarang telah terbiasa melakukan pilihan rasional pada hal-hal yang sangat dekat dan dianggap penting dalam kehidupannya. Pilihan rasional ini pula menyebabkan ritual keagamaan selalu mengalami reinterpretasi dan rekontekstualisasi pada setiap zaman. Esensi Tumpek Kandang dapat dipertahaknakan, ketika masyarakat menyadari dan merasakan pentingnya hewan ternak dan piaraan dalam kehidupannya. Untuk itu pemberdayaan bidang peternakan menjadi nilai penting yang perlu direvitalisasi dalam setiap pelaksanaan upacara Tumpek Kandang. Upaya pemberdayaan bidang peternakan dapat dimulai dengan membangun kesadaran masyarakat bahwa bidang peternakan bernilai ekonomis tinggi apabila digeluti dan ditekuni secara sungguh-sungguh.
Hal ini menghendaki agar peternakan dikelola secara profesional sehingga bidang ini dapat menjadi tumpuan keluarga peternak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, makna Tumpek Kandang sebagai hari cinta kasih kepada binatang dapat divitalkan maknanya menjadi kecintaan pada profesi sebagai peternak karena menyayangi binatang ternak dan piaraan merupakan dasar untuk mengelola peternakan dengan baik. Pada gilirannya, Tumpek Kandang akan kembali menemukan makna sakralnya bahwa Sanghyang Rare Angon yang telah menjaga hewan ternak, serta memberikan kemakmuran dan kebahagiaan pada pemiliknya, akan senantiasa dipuja dan disuguhi persembahan terbaik oleh para peternak yang budiman.
Tumpek Kandang adalah ritual sakral yang telah dilaksanakan oleh umat Hindu secara turun-temurun. Pemujaan kepada Sanghyang Rare Angon, penguasa para binatang, merupakan bentuk kasih universal umat Hindu kepada semua makhluk untuk menciptakan kebahagiaan semesta (sarwa prani hita). Bagi masyarakat modern yang kehidupannya terikat pada rasionalitas dan berorientasi pada kesejahteraan hidup material (ekonomi), maka makna upacara Tumpek Kandang perlu direvitalisasi dalam konteks pemberdayaan bidang peternakan. Dengan demikian ritual ini semakin fungsional bagi masyarakat karena Sang Hyang Rare Angon dihadirkan dalam hewan ternak dan piaraan yang memberikan kesejahteraan pada manusia.
Hemat kami walaupun telah terjadi proses industrialisasi, essensi beragama akan tetap dilaksanakan. Pada usaha industri, Tuhan beriman Hyang Mahaesa dalam wuju-Nya sebagai dewi Laksmi, dewi yang memberikan kemakmuran dan kebahagiaan akan selalu dihadirkan oleh para pengusaha yang beriman.
Kembali kepada topik tulisan ini, kapada binatang saja umat manusia hendaknya mengembangkan cinta kasihnya apa lagi kepada sesama manusia, tentunya kasih sayang hendaknya lebih bersemi lagi. Semogalah.
#tubaba@griyangbang//Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia
Yajurveda XVI.48//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar