Selasa, 28 November 2023

Sang Pelopor Pemersatu Pasemetonan

Sang Pelopor pemersatu pasemetonan

Orang-orang ikut terpesona
Penampilannya sederhana namun ia berwibawa

Orasinya sangat bersahaja

Raga dan jiwanya dipertaruhkan untuk persatuan pasemetonan tercinta

Seseorang yang memiliki dedikasi tinggi

Atas kesadaran diri ingin membentuk generasi Pasek yang sujati

Pundukdawa ini menjadi bagian Catur Parahyangan yang memiliki nilai tinggi

Gaungannya menumbuhkan semangat para pretisentana Ida Bhatara Kawitan
Sang Pelopor pemersatu pasemetonan

Elok perangainya menjadi tauladan generasi muda

Lantang ajakannya membahana

Usai sudah pengabdianmu
Dalam perjalanan di mercapada yang tak bertepi

Pura Panataran Agung Catur Parahyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana yang berdiri tegak

Menjadi saksi bisu akan karya baktimu
Engkau rintis pembangunan dengan trah warga Pasek

Meletakkan batu pertama untuk bersujud kepada Ida Bhatara Kawitan. 

Terima kasih wahai Sang Pelopor pemersatu pasemetonan
Karyamu abadi dalam lembaran sejarah
Sang Pelopor pergi dengan senyum di kulum

Selamat jalan wahai Sang Pelopor
Namamu abadi dalam lembaran sejarah
Terima kasih kami ucapkan

Senin, 27 November 2023

Puisi Sang Pelopor

Sang Pelopor
Di kala asa terlelap dalam khayal
Pekikan parau menyuarakan cita serta angan
Terpendam mimpi warih Ida Bhatara Kawitan
Hati kecil tertunduk lesu menanti malam tenggelam

Terbitnya fajar memangku harap
Harap yang telah lama dinanti warih Ida Bhatara Kawitan
Harap tuk menaungi impian yang tertanam dalam palung nan tak berujung
Kini mengapung, memberi peluang memeluk jaman

Sang pelopor berjalan melukis warna pelangi di Pundukdawa
Dialah manggala, protagonis jagat pretisentana kawitan
Dialah sosok yang meraut wajah berseri para penerus warih Ida Bhatara Kawitan

Masa hingga masa, waktu demi waktu
Satu persatu tunas warih Ida Bhatara Kawitan menembus makna tak terhingga
Mengepakkan sayap perkasa, menebarkan harum karisma warih Ida Bhatara Kawitan 

Semua gambaran dari kerasnya pengorbananmu

Meski kadang sakit letih menyapa,
Seuntai senyum tak lekat menaruh sapa
Meski hidup tak selaras jasa,
Senantiasa berhati besar dengan ikhlas mengabdi demi warih Ida Bhatara Kawitan yang sejahtera.

VASUDHAIVA KUTUMBAKAM

Beberapa filosof dunia ternama pernah mengatakan bahwa tidak perlu sedarah untuk menjadi keluarga. 

Para filosof ini menggunakan nurani mereka untuk membangun peradaban walaupun mungkin mereka seorang atheis. Atheis hanya orang yang tidak percaya Tuhan, tapi bukan berarti mereka tidak memiliki nilai kemanusiaan. 

Jika Kita berasal dari Ayah dan Ibu yang sama maka kita adalah saudara kandung. 

Jika Kita berasal dari Kakek dan Nenek yang sama maka kita adalah saudara sepupu. 

Jika kita berguru dengan guru yang sama maka kita adalah saudara seperguruan. 

Namun jika berasal dari Sosok yang sama yang menciptakan Kita yakni Tuhan Yang Maha Esa maka sesungguhnya kita semua yang berada di Bumi ini adalah saudara sejati.

sarva-yoniṣu kaunteya
mūrtayaḥ sambhavānti yāḥ
tāsāḿ brahma mahad yonir
ahaḿ bīja-pradaḥ pitā

Hendaknya dimengerti bahwa segala jenis kehidupan dimungkinkan oleh kelahiran di alam material ini, dan bahwa Akulah ayah yang memberi benih, wahai putera Kuntī. ( Bhagavad Gita 14.4 )

Salah satu dari 4 prinsip dharma yakni daya yang berarti cinta kasih, manusia hendaknya menunjukkan cinta kasih itu kepada semua mahluk hidup baik sesama manusia, hewan dan juga tumbuhan. Cinta kasih dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah saling membantu saat saudara yang lain mengalami duka atau penderitaan.

Kembangkanlah nilai-nilai VASUDHAIVA KUTUMBAKAM maka hidup ini akan jadi lebih baik.

Om sarve bhavantu sukhinah 
Semoga semua mahkluk berbahagia. 

Sabtu, 25 November 2023

Ngajegang Bali Melarapang Ngemargiang Darmaning Agama Hindu

DASA AKSARA SEBAGAI SUMBER KEKUATAN ALAM

Dasa Aksara yang merupakan 10 hurup suci sumber kekuatan alam
Semoga tiada halangan.
Ini merupakan wejangan yang teramat mulia, diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup – urup yang sangat disucikan, diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang ‘dasa aksara’. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya dan sangat erat hubungannya dengan dewata nawasanga. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma (lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya: “OM”. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak didalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung) .

Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan ini.
Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau.
Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat jahat yang sangat banyak, sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup. Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha –wa, yang kemudian disebut dasa sita. Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la – nya, yang kemudian disebut ‘dasa sila’ dan ‘dasa bayu’. Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi ‘dasa aksara’.

Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: Hana caraka gata mangaba sawala pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba berpengalaman membawa surat, sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya (akhirnya) keduanya menjadi mayat.
Kedelapan belas aksara ini merupakan wreastra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut swalalita yaitu Ah dan Ang; merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Kedua aksara swalalita ini dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu kelengkapan aksara berupa ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang melambangkan matahari berbentuk bulatan dan nada melambangkan bintang yang dilukis sebagai segi tiga. Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan aksara huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong, dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre.

Kelengkapan ketiga aksara swalalita ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari dewa, sehingga bentuk windu adalah lambang agni, Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk ardha-candra adalah lambang air, Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk nada adalah lambang udara, Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti.

Kedudukan kedelapan belas aksara Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut:
Ha di ubun-ubun
Na di antara kedua alis
Ca di dalam kedua mata
Ra di kedua telinga
Ka di dalam hidung
Da di dalam mulut
Ta di dalam dada
Sa di tangan (lengan) kanan
Wa di tangan (lengan) kiri
La di hidung
Ma di dalam dada kanan
Ga di dalam dada kiri
Ba di pusar
Nga di dalam alat kelamin
Pa di dalam pantat (anus)
Ja di kedua tungkai (kaki)
Ya di tulang belakang
Nya di tulang ekor

Kelengkapan atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh manusia, yakni:
Ulu di kepala (dalam otak)
Taling di hidung
Surang di rambut
Nania di lengan (tangan)
Wisah di telinga
Pepet di batok kepala
Cecek di lidah
Guwung di kulit
Suku di tungkai (kaki)
Carik di persendian
Pamada di alur jantung
ini merupakan maksud/arti dari sastra wreastra, dibaca dari belakang. diantaranya;
nyaya, berarti sang Hyang Pasupati, tuhan
japa, berarti sang hyang mantra,
ngaba, berarti Sang Hyang guna,
gama, berarti kekal, abadi,
lawa, berarti manusia
sata, berarti hewan dan binatang
daka, berarti pendeta, nabi, orang suci
raca, berarti tumbuhan
naha, berarti moksa, nirvana

ini pertemuan sastra yang delapan belas (wreastra) , bertemu ujung dengan pengkalnya menjadi dasa aksara, diantaranya;
ha – nya menjadi sa
na – ya menjadi na
ca – ja menjadi ba
ra – pa menjadi ma
ka – nga menjadi ta
da – ba menjadi si
ta – ga menjadi a
sa – ma menjadi wa
wa – la menjadi i & ya
begini cara menempatkan sang hyang dasa aksara didalam badan, yang merupakan linggih (stana) dewata nawasanga di dalam tubuh manusia, diantaranya;
sa ditempatkan di jantung, dewa Iswara.
ba ditempatkan di hati, dewa Brahma.
ta ditempatkan di kambung, dewa Mahadewa.
a ditempatkan di empedu, dewa Wisnu.
I ditempatkan di dasar hati, dewa Siwa.
na ditempatkan di paru - paru, dewa Maheswara.
ma ditempatkan di usus halus, dewa Rudra.
si ditempatkan di ginjal, dewa Sangkara.
wa ditempatkan di pancreas, dewa Sambhu.
ya ditempatkan di ujung hati, Dewa Siwa.
Ada pula yang memberikan ulasan tentang dasa aksara ini bahwa setiap aksara itu mempunyai arti sendiri-sendiri, yaitu:
Sa berarti satu
Ba berarti bayu
Ta berarti tatingkah
A berarti awak
I berarti idep
Nama berarti hormat
Siwa berarti Siwa
Ya berarti yukti

Dengan pengertian seperti itu, maka arti dari dasa aksara ini adalah orang yang mempunyai tingkah laku dan pikiran (idep) yang luhur saja yang mampu mempergunakan beyu kekuatan dari Siwa. Dengan menyatukan tingkah laku dan pikirannya dia akan mampu mempergunakan dasa bayu untuk kesehjateraan buana alit dan buana agung.

Dasa aksara tersebut terbentuk dari dua jenis aksara suci, yaitu panca tirta dan panca brahma.
yang disebut panca tirta, adalah sebagai berikut:
sang sebagai tirta sanjiwani, untuk pangelukatan (membersihkan).
Bang sebagai tirta kamandalu, untuk pangeleburan (menghancurkan).
Tang merupakan tirta kundalini, utuk pemunah (menghilangkan).
Ang merupakan tirta mahatirta, untuk kasidian (agar sakti).
Ing merupakan tirta pawitra, untuk pangesengan (membakar).
Ini yang dikatakan panca brahma, berada dalam diri manusia. Ini aksaranya;
Nang disimpan di suara.
Mang disimpan di tenaga
Sing disimpan di hati/perasaan
Wang disimpan di pikiran
Yang disimpan di nafas.
 Kemudian balikkan hurup tersebut:
Yang disimpan di jiwa
Wang disimpan di guna/aura
Sing disimpan di pangkal tenggorokan
Mang disimpan di lidah
Nang disimpan di mulut
Bila Dasa aksara diringkas, aksara yang ada di panca tirtha dipasangkan dengan aksara panca brahma akan muncul Sang Hyang Panca Aksara. Inilah panca aksara tersebut:
Sa + Na menjadi Mang
Ba + Ma menjadi Ang
Ta + Si menjadi Ong
A + Wa menjadi Ung
I + Ya menjadi Yang

panca brahma dan panca tirta diringkas menjadi tri aksara (a, u, ma).
Setelah itu baru turun arda candra (bulan sabit), windu (lingkaran) dan nada (titik). Baru boleh di ucapkan sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang.
Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma ditambah dengan tri aksara dan eka aksara akan terjadi catur dasa aksara.
Catur dasa aksara ini terdiri atas: sa-ba-ta-a-i ditambah na-ma-si-wa-ya, serta digabung dengan ang-ung-mang dan ong-kara yang erat kaitannya dengan catur-dasa-bayu, suatu kekuatan yang ada di dalam buana alit dan buana agung, yang memungkinkan manusia dan dunia hidup dengan wajar.
Ini menyimpan Rwa bhineda (dua sisi dunia), ini suaranya; Ong Ung.
Ong di hati putih, ung di hati hitam.
Ung di empedu, ong di pankreas.
Ong di dubur, ung di usus.
lafalkan aksara tersebut lalu letakkan dalam tubuh kita dan alam semesta. Ini rangkuman intisari dari sastra yang berjumlah lima hurup, yang digunakan untuk memuja tuhan, memanggil, menghaturkan persembahan, memohon anugrah dari tuhan YME, diantaranya:
mantra untuk memuja tuhan, Mang Ang Ong Ung Yang.
mantra untuk memanggil agar tuhan berkenan hadir, Ang Ong Ung Yang Mang 
mantra untuk mempersembahan sesajen jamuan dari kita, Ong Ung Yang Mang Ang 
mantra untuk memohon anugrah dari tuhan YME, Ung Yang Mang Ang Ong
Ini suara inti sari; ekam evam dwityam Brahman, disebut ONG. Berupa api rwa bhineda Ang, berupa air rwa bineda Ah.
dasar mantra antuk tri aksara; Mang Ang Ung 
kemulan mantra; Ang Ung Mang 
pengastiti widhi dewa bethara; Ung Mang Ang 
iki pengeraksa jiwa antuk catur aksara; Mang Ang Ung Ong 
pengundang bhuta dengen antuk kahuripan; Ang Ung Ong Mang 
pemageh bayu ring raga antuk catur resi; Ung Ong Mang Ang 
pangemit bayu antuk catur dewati; Ong Mang Ang Ung
Menurut Lontar Kanda Pat, jika manusia dapat menguasai cara penggunaan pangangge sastra atau sastra busana, maka dia dianggap telah menguasai ajaran Durga, dewi kematian yang ada di kuburan.. Seseorang yang mampu mempergunakan wisah, yakni, huruf h, maka orang tersebut akan mampu melakukan aneluh, membencanai orang lain. Bila dia mampu mempergunakan aksara wisah dan taling maka dia dapat melakukan tranjana (ilmu sihir). Kalau dia mampu mempergunakan wisah dan cecek, maka dia akan dapat melaksanakan hanuju, menunjukkan kekuatannya ke suatu sasaran yang tepat.
Seseorang yang dapat memanfaatkan busana sastra wisah, taling, cecek, dan suku sekaligus maka dia dapat menjadi leak. Dia adalah seorang leak ahli bathin yang amat besar.
Dia mampu mengendalikan semua kekuatan negatif atau pangiwa yang ada di dunia ini. Untuk mampu menggunakan aksara pangangge ini yang merupakan gambar dan lambing yang rumit ini perlu ketekunan dan kemauan keras untuk mempelajarinya. Jika salah mempelajarinya maka kekuatan aksara ini akan dapat membahayakan jiwa orang yang mempelajarinya. Tetapi bagi orang yang mampu mempelajarinya dengan baik, maka orang ini dapat mempergunakan kekuatan aksara ini untuk tujuan baik sehingga menjadi balian panengen, untuk menyembuhkan orang sakit akibat terkena sihir balian pangiwa. Untuk mempelajari lebih dalam mengenai aksara pangangge ini dapat dibaca di dalam lontar Tutur Karakah Durakah, Panglukuhan Dasaksara, Tutur Karakah Saraswati, Tutur Bhuwana Mabah, Usada Tiwas Punggung, Usada Netra dan lainnya lagi.
Setiap aksara apalagi setelah digabungkan beberapa aksara sehingga menjadi dasa aksara, panca aksara, catur aksara, tri aksara, dwi aksara, dan eka aksara mempunyai gambar atau lambang sendiri-sendiri dengan kekuatan bayu atau vayu yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesehjateraan umat manusia. Tetapi ada pula orang yang mempelajari aksara ini dengan tujuan utnuk membuat sakit orang lain, sehingga dia disebut balian pangiwa. Hal ini tentunya tidak dikehendaki oleh umat manusia.


demikianlah sastra yang ada di alam ini yang berada juga didalam tubuh kita. Jagalah kesucian dan keseimbangan dari hurup suci tersebut. Semoga setelah membaca dan meresapi sastra ini, dunia ini akan menjadi semakin sejahtera

Komentar

Postingan populer dari blog ini
NGEMARGIANG PECARUAN
Desember 29, 2018
NGEMARGIANG PECARUAN I PRANAYAMA II. NGASTAWA TIRTA III. NGERESIK 1. NGELINGGIHANG SURYA Om om parama siwa surya lingga sunya ya namah Om om sada siwa surya lingga niska aya namah Om om sada rudra surya lingga ati ya namah Om om maha dewa surya lingga nira ya nam Om mam iswara surya lingga parama ya namah Om ung wisnu surya lingga antara ya namah Om am brahma surya lingga ya namah Om hram hrim syah surya lingga ya namah Om i ba sa ta a ya na ma si wa ya mam um am Om sa ba ta a i na ma si wa ya am um mam 1. Surya Astawa Om aditya sya paramjyotir, Rakta teja nama stute Sweta pangkaja madiasta, Baskara ya namah stute Om aditya garba pawana, aditya janopa surya Surya rasmir hrsi kesa, Surya satwam maha wiriam Om aditia jata wedasa, aditia janopa surya surya rasmir hrsi kesa, surya satwam maha wiriam Om hrang hring sah parama siwa aditya ya namah suaha. 3. BRAHMA ASTAWA Om namaste begawan agni Namaste begawan hari Namaste begawan isa Sarwa baksa huta sana O
BACA SELENGKAPNYA
TATA LUNGGUH PEMANGKU RITATKALA NGEMARGIANG UPACARA MANUSA YADNYA MAPAG/TIGA BULANAN DAN OTONAN
Desember 19, 2016
TATA LUNGGUH PEMANGKU RITATKALA NGEMARGIANG UPACARA MANUSA YADNYA MAPAG/TIGA BULANAN DAN OTONAN AGEM AGEMAN KEPEMANGKUAN BAGIAN I PEMBERSIHAN DIRI 1. DUDUK MENGHADAP UPACARA Om Padma Sana Ya Namah Om Prasada Stiti Sarira Siwa Suci Nirmala ya Namah OM I BA SA TA A YA NA MA SI WA MAM UM AM OM SA BA TA A I NA MA SI WA YA AM UM MAM Namah Om Am Pradana Purusa Sang Yogaya Windu Dewaya, Boktra Jagat Nataya, Dewa-Dewi Sang Yogaya, Parama Siwa Ya Namah. 2. Membersihkan Kedua Tangan KANAN : Om sudamam swaha KIRI : Om ati sudamam swaha 3. Pranayama (Tangan Amusti Ring Ulu Hati) Ring Hati : Om Ang Brahma ya namah Ring Ampru : Om Ung Wisnu ya Namah Ring Papusuh : Om Mang Iswara ya namah 4. Tangan arung. Ong sri guru jagat paro byo yenamah swaha 5. Tangan Nungkayak Ong tirta sawitra rakta nila warna amerta suda nirmala ya namah swaha. 5. Puspa Ong puspa danta ye namah swaha
BACA SELENGKAPNYA
Puja Mlaspas
Desember 21, 2018
Puja Melaspas Bangunan Ini puja untuk Melaspas Bangun sejak Mabuk untuk umum Puja makuh Bangunan. Om, Ang, Ah, Dewa-dewi maworana ya namah. Puja Panyapsap Bangunan. Sarana, payuk pere misi toya anyar, ambengan 11 katih. Om, Bhagawan Brahma anyapuh halning wewangun, pring taru ginawe umah, suddha malanta manadi kayu pring. Om, Suddha mala, suddha papa, suddha, suddha wariastu swaha. Puja Ngurip Bangunan . Om, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, Wiswakarma prayojanam, Bhuwana kreta ya namah, hayu wreddhi ya namah. Menjalankan Pangurip-urip. Om, Bhagawan Sukra angurip sarwa wewangunan, kayu pring ginawe umah, rah sata wana bayunta urip sang uga wangun, teka urip 3x. Puja Tirta Pemlaspas Bangunan. Om Sang Hyang Parama Wisesa sura sakti, sira anguripaken sarwa tumuwuh, anguripaken wewangunan kabeh, purwa, ghneyan, daksina, nairiti, pascima, wayabya, uttara, airsanya, sor, luhur, sami padha kauripana den nira Sang Hyang Parama Wisesa murti sakti, apu

Kamis, 23 November 2023

Pengilen munggah Bhawati

Pengilen munggah Bhawati 

1,mebusana,rauh argapatra
2,ngarga plukatan,pebersi han lan pengeresikan raris  ngilenang
3,mebusana agung
4,pungu2,pengastawan
5,pedudusan
6,upasaksi kesurya,pertiwi
   glarsanga,
7,caru piodal
8,pekeling piodal soang2 pelinggih,,
9,ngayap bakti piodal 
10,muspaang piodal

Nyurud Ayu munggah Bhawati
1.pekeling pejati suang pelinggih
 2,ngayapang bakti pewintenan Bhawati,lwire
Bakti saraswati,tebasan, Pasupati,soroan bebangkit.
3,ngayapang bakti keluur
   Suci soroan pekoleman,dll
4,nanak sungkem ring ortu,
   raris mlukat
5,medengen2,muspa
6,napak sederaga

7,ngayap surya prajepati,sor
8,ngayap ring pesucian
9,ngayap banten teben lan 

   saji tarpana,raris caru
   bruumbun
10,pituduh sedaraga raris 
     memone utawi neng 1 jm
11 metangi,mesucian,mera
    jah,miyas
12,memeresik,petiik rambut,
    mejjjaya2,metapak
13,ngayap bakti pewintenan
    bhhawati
 14,muspa,nunas tirta
15,natab ayaban,,pras,,pedamel.

Wawancara Basa Bali

1. Napi manten pikobet ring para sisiane miwah sastrawan sane wenten ring Bali ri sajeroning mikukuhan tur ngelimbakang karya seni  utawi sastra Bali ring tengahin aab jagat teknologi sane serba cepat sekadi mangkine?

Panyawis:

Sajeroning nitenin mikukuhang sahasa ngalimbakang karya seni miwah sastra Bali, Bali ngemanggehang Pariwisata Budaya pinaka daya tarik wisatawane sane pinih utama.

Duaning asapunika, budaya Baline patut kaupapira mangda prasida ajeg, kukuh miwah lestari. Yening budaya Bali ne sampun rered utawi runtuh, pariwisata Baline pacang taler sayan rered tur padem, mawinan pawangunan ring Bali nenten pacang prasida mamargi antar.

Sane mangkin, asapunapi tata carane mangda budaya Bali ne prasida ajeg kantos kapungkur wekas? 

Para jana Bali ne saking dumun sampun kaloktah pinaka masyarakat gotong royong, nginggilang rasa sagilik-saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya utawi ngelarang kesatuan miwah persatuan mangda prasida ngemolihang kasukertan. Dasar kahuripan puniki raris kemargiang antuk :

Mikukuhang tur ngrajegang Sang Hyang Agama Puniki manut ring pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Nginggilang tata prawertining Maagama Hindu tegesnyane ring ngelimbakang seni budaya Bali patut kadasarin antuk sasunduk miwah tata sulur agama.

Ngrajegang Tata sukertaning desa saha pawongannyane sekala lan niskala.

Puniki mepiteges mangda sareng sami mamiara tata sukerta utawi keamanan desa antuk ngemargiang daging awig-awig Desa Pakraman sekala miwah niskala.

Nincapang Pangweruh, Kasusilan, miwah Pangupajiwa.

Tegesnyane nenten surud-surud melajahang rage, nelebang daging sastra agama miwah teknologi maka bekel kahuripan anggen ngerereh pangupajiwa.


2. Napi pangaptine ring kawentenan masa depan sastra Baline, risejeroning pelestarian tradisi utawi keni imbas paweweh anyar sane prasida menarik minat generasi muda?

Panyawis:

Sajaba punika, utsaha ngajegang sastra, seni miwah budaya Bali ketah kadasarin antuk dasar panglimbakan pawangunan adat Bali ne, warisan leluhur sane pinih utama sane kawastanin ajahan “Tri Hita Karana” minakadi Parahyangan, Pawongan, miwah Palemahan.

Tetujon Malajahin utawi Nyelehin Susatra Bali

a)     Mgiwikanin nilai nilai budaya adiluhung sane pacang mawiguna sajeroning nglimbakan budaya          budaya Baline
b)     Anggen tetimbang midabdabin budaya baline rikala ngarepin aab jagate
c)     Kaange nincapang rasa bangga makrama Bali
d)     Kaange buatan nincapang seni, Ilen ilen, miwah unen unen ring Bali
e)     Molihang daging daging tatwa agama kaangen nincapang sradha bhaktine ring Ida Hyang Widhi Wasa

Kadi asapunika titiang prasida maatur-atur ring galahe sane becik puniki. Matur suksme banget antuk uratian Ida-dane sinamian. Menawi ta wenten iwang atur titiang, lugrayang titiang ngelungsur geng rena pengampura.

PIDATO BAHASA BALI

WISATA BUDAYA

Para Darsika miwah uleman sane wangiang titiang,

Taler para Ida dane utawi semeton pamilet sane sihin titiang,


“Om Swastyastu”

Angayubagia uningayang titiang majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, saantukan wantah sangkaning asung kertha wara nugraha Ida, mawinan iraga prasida kacunduk sadu arep sakadi mangkin ring galahe sane becik puniki. Ampure ping banget lungsurin titiang ring Ida dane sinamian riantuk tambet titiange kalintang, nanging purun nglangkungin linggih Ida dane pacang maatur-atur samatra nganinin Indik ” Bali Wisata Budaya



Ida-dane Pamiarsa sane kasumayang titiang,

Sakadi sane ketah kauningin, kantos mangkin Pulau Bali kantun kaangken pinaka “Pulau Seni Budaya, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, Pulau Seribu Pura miwah Pulau Sorga utawi The Last Paradise”. Sajaba punika Bali kabaos pinaka daerah tatujon wisata Indonesia Bagian Tengah. Sajeroning nitenin linggihe pinaka daerah tatujon wisata, Bali ngemanggehang Pariwisata Budaya pinaka daya tarik wisatawane sane pinih utama.

Duaning asapunika, budaya Baline patut kaupapira mangda prasida ajeg, kukuh miwah lestari. Yening budaya Bali ne sampun rered utawi runtuh, pariwisata Baline pacang taler sayan rered tur padem, mawinan pawangunan ring Bali nenten pacang prasida mamargi antar.


Sane mangkin, ngiring baosang, asapunapi tata carane mangda budaya Bali ne prasida ajeg kantos kapungkur wekas? Para jana Bali ne saking dumun sampun kaloktah pinaka masyarakat gotong royong, nginggilang rasa sagilik-saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya utawi ngelarang kesatuan miwah persatuan mangda prasida ngemolihang kasukertan. Dasar kahuripan puniki raris kemargiang antuk :

Mikukuhang tur ngrajegang Sang Hyang Agama Puniki manut ring pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Nginggilang tata prawertining Maagama Hindu tegesnyane ring ngelimbakang seni budaya Bali patut kadasarin antuk sasunduk miwah tata sulur agama.

Ngrajegang Tata sukertaning desa saha pawongannyane sekala lan niskala.


Puniki mepiteges mangda sareng sami mamiara tata sukerta utawi keamanan desa antuk ngemargiang daging awig-awig Desa Pakraman sekala miwah niskala.

Nincapang Pangweruh, Kasusilan, miwah Pangupajiwa.

Tegesnyane nenten surud-surud melajahang rage, nelebang daging sastra agama miwah teknologi maka bekel kahuripan anggen ngerereh pangupajiwa.



Ida-dane, sane wangiang titiang,

Sajaba punika, utsaha ngajegang seni miwah budaya Bali ketah kadasarin antuk dasar panglimbakan pawangunan adat Bali ne, warisan leluhur sane pinih utama sane kawastanin ajahan “Tri Hita Karana” minakadi Parahyangan, Pawongan,miwah Palemahan.



Ida dane miwah semeton sami sane banget mustikayang titiang,

Kadi asapunika titiang prasida maatur-atur ring galahe sane becik puniki. Matur suksme banget antuk uratian Ida-dane sinamian. Menawi ta wenten iwang atur titiang, lugrayang titiang ngelungsur geng rena pengampura. Pinaka pamuput atur, pinih untat sineb titiang antuk Parama Shanti,

“Om Shanti Shanti Shanti Om”



Wawancara

1. Apa saja masalah utama yang dihadapi oleh para seniman maupun sastrawan di Bali dalam mempertahankan dan mengembangkan karya seni dan sastra mereka di tengah perkembangan teknologi dan budaya yang cepat?

Jawaban
Pada era global sekarang ini, dunia terlihat kecil, informasi meluncur dengan cepat dari suatu sudut ke sudut dunia yang lain. Semua saling berkhabar, semua saling mempengaruhi. Bahkan masyarakat dunia sekarang ini dapat berbagi perasaan senang, gembira ataupun berduka cita, misalnya bencana kelaparan di Afrika dapat dirasakan oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. 

Karya sastra Pantun sebagai karya seni budaya daerah yang sudah mendunia memiliki potensi yang besar menembus ke peradaban dunia saat ini melalui dunia cybersastra. Laman ini adalah tempat bagi sastrawan untuk mengirimkan karya mereka ke dunia maya. Melalui cybersastra tersebut, karya pantun dapat tersebar di dunia maya dengan demikian, karya bangsa mampu bersaing dengan negara-negara di dunia. 

Istilah cybersastra mulai populer sejak tahun 2001, yakni pada saat budaya internet mulai 
berkecamuk di negeri kita. Dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi, cybersastra semakin berkembang dan telah menyuguhkan realitas tersendiri bagi pemerhati sastra. Gerakan cybersastra menghendaki keterampilan atau skill teknologi komunikasi. Dari sini, telah muncul pula sebuah komunitas baru dalam sastra, yaitu komunitas cybersastra.

Isu-isu penting dalam mentransformasi pantun dalam dunia cyber adalah isu universal seperti 
karakter bangsa dan gender. Dua isu ini penting untuk negara-negara berkembang karena masalah kaum perempuan yang diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, pendidikan yang tinggi diprioritaskan untuk laki-laki, demikian juga dengan pekerjaan yang berupah tinggi biasanya untuk laki-laki. Masalah-masalah perempuan yang berada di negara maju yang pasti berbeda dengan masalah-masalah yang dihadapi para perempuan di negara yang sedang 
berkembang sehingga isu-isu penting mereka adalah membicarakan hak-hak perempuan dalam masalah seksual dan juga peran perempuan dalam politik. 

Isu dari timur (negara-negara Islam) mengemukakan hak-hak perempuan di ranah publik dan masalah-masalah kewajiban memakai jilbab dan cadar. Dari karya sastra dapat diketahui bahwa ajaran agama pun banyak dimanipulasi untuk mempertahankan status Quo, kekuasaan yang berada ditangan laki-laki

2. Apa harapan Anda untuk masa depan sastra Bali, baik dalam hal pelestarian tradisi maupun pengembangan baru yang dapat menarik minat generasi muda?

Jawaban
Mampu menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada dalam masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. 

Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang anggota masyarakat khususnya kita sebagai generasi muda dalam mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga budaya lokal diantaranya adalah Mau mempelajari budaya tersebut, baik hanya sekedar mengenal atau bisa juga dengan ikut mempraktikkannya dalam kehidupan kita, Ikut berpartisipasi apabila ada kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan, Mengajarkan kebudayaan itu pada generasi penerus sehingga kebudayaan itu tidak musnah dan tetap dapat bertahan, Mencintai budaya sendiri tanpa merendahkan dan melecehkan budaya orang lain, Mempraktikkan penggunaan budaya itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya berbahasa, Menghilangkan perasaan gengsi ataupun malu dengan kebudayaan yang kita miliki, Menghindari sikap primordialisme dan etnosentrisme, Ajarkan budaya kepada orang lain.

Upaya pelestarian budaya tidak cukup hanya dilakukan melalui berbagai pertunjukkan secara regular. Hal utama yang juga harus dilakukan adalah pemberian apresiasi dan pemahaman tentang filosofi serta nilai dari keberadaan objek budaya, warisan dan tradisi yang tumbuh dimasyarakat secara turun temurun khususnya kepada generasi muda. Disamping itu kebudayaan juga harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan produk kebudayan secara kreatif seperti seni pertunjukan, kulineri, fashion show, film dan kegiatan ekonomi kreatif lainnya

Hal ini penting dilakukan, agar masyarakat, khususnya generasi muda termotivasi dan memiliki pemahaman yang baik dan terlibat aktif dalam melakukan proses internalisasi nilai-nilai budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu, 22 November 2023

Sastra Ki Dalang Tangsub

Ki Dalang Tangsub

Kidung Perémbon pecakné lontar masurat antuk aksara Bali. Kidungé puniki kagentosin antuk aksara latin tur kadadosang buku antuk dané Wayan Simpen AB. Bukuné punika kacétak ring Cempaka 2 Denpasar tur kawedarang ring bulan Agustus 1988. Sakéng bukuné puniki, titiang uning, siosan ring dalang, Ki Dalang Tangsub taler pangawi.

Duk Ki Dalang Tangsub kantun nyeneng, pastikaang titiang, pinaka dalang, dané waged pisan nyolahang wayang. Wikan taler ring sarwa sekar. Napi té sekar raré, sekar alit, sekar madya utawi segar agung. Wikan taler nembangang miwah nanjekang tembang manut embat-embatan lelampahan wayang sané solahanga. Pastikaang titiang taler, wikan ngalintihang bantang carita tur ngembatang bun satua ritatkala nyolahang wayang. Tur wikan ngamédalang babanyolan. Napi té babanyolan sané ngranayang sang nonton ica utawi kedék ingkel-ingkel, utawi babanyolan marupa sasimbingan. Sasimbingan sané ngranayang sang kasimbing éling. Boya sasimbingan ngawinang sang kasimbing bendu utawi gedeg. Utawi sungkan kayun. Sakit ati, yén jabaang titiang atur titiangé.

Pastika taler Ki Dalang Tangsub ngamargiang sesanan dalang. Ngamargiang kukuh lan pageh. Pastikaang titiang, sasidan-sidan ngutsahayang sumangdéna nénten mamurug sesanan dalang. Mamurug antuk laksana nénten becik ritatkala nyolahang wayang. Taler tatkala wénten ring paambiaran genah kramané sami ngamargiang kauripan. Sapunika taler, pastikaang titiang, pinaka dalang, Ki Dalang Tangsub nénten mamurug darma pawayangan antuk parilaksana kaon napkala nyolahang wayang, ring ajeng para panonton. Indiké puniki, manut tetampén titiangé, ngranayang Ki Dalang Tangsub, kasub kantos mangkin. Kasub pinaka dalang kabinawa kawikanané nyolahang wayang.
Sapunapi dané pinaka pangawi? Pinaka pangawi, Ki Dalang Tangsub ngawinang titiang angob. Napi awanan sapunika? Kidung Perémbon kakawian danéné, becik pisan. Kidung Perémbon madaging limang kakawian marupa carita sané malintihan. Pangawit, gaguritan Ketut Bagus. Gaguritan pangawit puniki pinaka pokok carita. Raris, kalanturang antuk gaguritan Siwa Tiga. Indiké puniki kaceritaang antuk Ketut Bagus ring Ni Soka, miwah Ni Jempiring. Usan puniki Ni Jempiring nyaritaang Basur ring gaguritan Basur. Usan puniki kalanturang antuk gaguritan I Ketut Bungkling. Panguntat I Ketut Bungkling nyaritaang indik Kidung Cowak.

Yéning nénten teleb ngwacén utawi maos, sinah mitaenang gaguritan sané karipta ring sajeroning kidung Perémbon sami masiosan. Pastika mitaénang, nénten malintihan. Saantukan dagingné sami masiosan. Gaguritan I Ketut Bagus nyeritaang anak wikan mapi-mapi tambet. Gaguritan Siwa Tiga nyaritaang indik Ni Soka miwah Ni Jempiring. Gaguritan Basur nyaritaang indik I Gedé Basur. Gaguritan I Ketut Bungkling nyaritaang anak mawasta I Ketut Bungkling sané jail tur senéng nungkasin baos anak sios. Kidung Cowak madaging pitutur.

Raris napi sané ngawinang gaguritan ring sajeroning kidung Perémbon é malintihan? Sané janten boya sané kacaritayang utawi daging carita. Sané ngawinang malintihan, satua sané maruntutan antuk wénten sané nyaritaang. Sané nyaritaang anak sané kacaritaang ring gaguritan sadurungné. Nénten iwang yén nikaang, sané ngawinang malintihan, anak sané nyaritaang satua anaké punika, sané sadurungné, sampun kacaritaang.
Asledéran, kidung Perémbon puniki kanten pateh ring Kidung Tantri. Yéning telebang maos utawi ngwacén, banget masiosan. Kidung Tantri, nyaritaang carita sané makilit. Nénten lempas ring inan satuané. Kidung Perémbon puniki dagingné carita tatimbalan. Masiosan ring pokok (inan) carita sané mamurda Gaguritan I Ketut Bagus.

Kidung Perémbon , manut tetampén titiangé, kakawian sané ngawewehin kawéntenan gaguritan ring sajebag jagat Bali. Ngawewehin antuk kakawian sios ring sané sampun naen kakawi. Manawi té, ring sajeroning gaguritan, kantos mangkin durung wénten kakawian sakadi sané kakawi antuk Ki Dalang Tangsub. Durung wénten titiang ngaturang, kantos mangkin durung panggih gaguritan sané dagingné sang kacaritaang salagentos macarita. Nyaritaang indik masiosan, sakéwantén masikian ring sajeroning gaguritan sané kakawi. Ring téori saśtra, kidung Perémbon nganggé bantang cerita berbingkai.
Ring kawéntenané pinaka dalang lan pangawi, nénten iwang yéning nikaang: Ki Dalang Tangsub dalang sané wikan nalang lan masastra. Arang wénten dalang madua kawikanan ngangkep. Katahan, sané panggihin, dados dalang wikané nyolahang wayang. Dados pangawi, wikané ngawi gaguritan utawi nganggit paparikan.

Manawi té, wénten patakén: napi pangrabdané ngawi ring sajeroning dados dalang? Ngawi, ngranaang uning ring kosa basa, basa basita, miwah pangweruhan indik tatwa, susila lan upacara. Utamin ipun uning ring indik tatwa. Riantukan daging gaguritan yadin marupa carita pikenohné uleng ring tutur. Tutur punika ngranjing soroh tatwa. Ritepengan dados dalang, akéh jaga ngamedalang tutur. Akeh taler jaga ngamedalang kosa basa, basa basita, ritatkala sang kacaritaang matutur-tuturan utawi mabaosan. Deriki sang nonton uning utawi wikan, sang dalang cacep napi nenten niwakang kosa basa utawi basa basita. Cacep napi nenten nembangang pupuh utawi kakawin. Pupuh sane katembangang. Manut napi nénten kosa basa miwah basa basitané. Sapunika taler kakawin sané katembangang.

Manut gatra, mangkin, ring Bali, dalangé lintang ring satus akéhné. Sakéwanten durung piragi gatra, wénten dalang sané wikan ngawi. Napi té ngawi gaguritan utawi kakawin. Durung naen piragi gatra wénten dalang wikan masastra. Masastra ring sajeroning ngawi sajabaning Ki Dalang Tangsub. Dane wikan tur pascad ring sastra. 

Eda ngadén awak bisa, 
depang anaké ngadanin, 
gaginané buka nyampat, 
anak sai tumbuh luhu, 
ilang luhu ebuk katah, 
yadin ririh, 
liu enu palajahang.

Pupuh Ginada puniki sampun séket tiban uningin titiang. Sampun sakéng séket tiban titiang apal ngendingang. Nanging ten uningin, ring dija kaunggahang. Artin ipun, titiang ten uning, ring kakawian sané mamurda napi kaunggahang. Sira ngawi kakawian punika. Napi unteng kakawian punika, sakéng séket tiban taler titiang nénten uning.
Sané ngawinang nénten uning, babon sané ngunggahang pupuhé punika durung panggihin. Sapunika taler, titiang nénten teleb ngamanahin, napi sujatiné unteng pupuhé punika. Napi eda ngadén awak bisa, nyampat, buk, luhu, napi liu enu palajahang.

Mangkin wawu titiang uning. Pupuhé inucap kaunggahang ring kidung Perémbon . Ring pahan gaguritan Basur. Indiké puniki wawu mangkin uningin. Wawu mangkin uningin wénten ring sajéroning, Gaguritan Basur, gaguritan sané kacaritayang antuk Ni Jampiring. Sané kacaritain Ni Soka. Tur, wawu uningin, gaguritan Basur jaga kalanturang malih antuk gaguritan I Ketut Bungkling. Sané nyaritaang Gaguritan I Ketut Bungkling anak sios. Nénten Ni Jampiring.

Mangkin wawu titiang uning sané ngawi gaguritan Basur sané mungguh ring kidung perémboné Ki Dalang Tangsub. Wawu titiang uning, Ki Dalang Tangsub, kawitan danéné ring désa Tangsub, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar tur naen jenek derika. Dané késah ka désa Nuaba riantukan kapidanda antuk Raja Gianyar I Déwa Manggis. Ring Nuaba, dané nunas pasayuban ring Ida Pranda Sakti Buruan karejek antuk Ki Nglurah Batulépang. Ida Pranda Sakti Buruan késah sakéng derika ka désa Kuum sebung ring wawengkon Puri Mengwi. Ki Dalang Tangsub ngiringang Ida Pranda Sakti Buruan ka désa Kuum Sebung. Sakéng derika Ki Dalang Tangsub késah ka désa Bongkasa ring Abiansemal.

Risampuné jenek ring désa Bongkasa. Risampuné nénten malih wénten anak ngrejek, dané raris ngawi. Derika embas kakawian danéné sané mamurda Kidung Perémbon. Kadi sané sampun aturang titiang. Kidung Perémbon puniki madaging limang paletan gaguritan. Limang paletan gaguritan punika. Gaguritan I Ketut Bagus, Gaguritan Siwa Tiga, Gaguritan Basur, Gaguritan I Ketut Bungkling, Gaguritan Cowak. Daging kidung perémbon puniki, indik tatwa jnana, indik kiwa tengen, indik kawikanan miwah katambetan jatma, indik aab jagat, indik cecangkitan sané kawetuang antuk sang sadu sané mapi-mapi tambet.

Yéning pinaka dalang dados ranjingang, soroh anak wikan macarita, wawu titiang uning, Ki Dalang Tangsub sang wikan macarita. Carita sané madaging pikenoh teleb. Carita sané sakéng silib madaging pitutur. Pitutur sané mapakéling, sumangdéna dados jatma setata ngardi rahayu. Sumangdéna pakardiné sané kaon kalebur. Kalebur dados pakardi becik. Pitutur sané ngélingang, sumangdéna pinaka jatma iraga setata éling.

Mangkin, ngiring baosang unteng pupuh ginada inucap sané kaunggahang ring gaguritan Basuré. Sadurungné, jagi kawitin titiang nyurat. Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, gaginané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin ririh, liu enu palajahang.

Risampuné teleb titiang ngwacén, sinambil ngendingang ring keneh, sané dados unteng pupuhé inucap: nyampat. Nyampat punika, pakaryan sané sadina-dina ambil. Sané kasampatang luhu. Luhuné ten naen telas. Araina wénten kémanten luhu. Riantukan luhuné magenah ring betén, sinah luhuné madampingan sareng buk. Ring telasé nyampatang luhu, buké kari katah wénten. Buké, tan mari wénten. Kawéntenan buké tan pegat-pegat. Rupané kadi tepung. Alus kawentenané. Yadiastun alus yén polih nyipenin panyingakan, pedih antuka.

Ki Dalang Tangsub, ring tepengan puniki, teleb pisan marna anak nyampat. Teleb pisan mikayunin napi sané kasampatang. Napi timpalné sané kasampatang. Manawi, sinambi nyambat, dané taler mapikayun: kéné anaké nyampat. Luhuné tetep dogen ada. Kéné anaké nyampat, telah luhuné buké nu katah ada. Pantes, yén keto, pagaé nyampaté selid sanja bakat jemak. Di kenkéné peteng bakat jemak. Manawi té dané mapikayun malih, nyampat yén kéto patuh tekén malajah. Ané palajahin waluya kahanan luhu miwah buké. Sing telah-telah palajahin. Yén kéto, ngalih duegé ketil gati. Amul encén ja duegé, ada dogén ané tondén palajahin. Ada dogén kecag dadi paplajahan.

Sakéng sané telatarang titiang wawu, nénten iwang yén nikaang, Ki Dalang Tangsub nganirgamayang: anaké malajah nénten araina, nénten awuku, nénten asasih, nénten awarsa, nénten taler roras warsa kantos duang dasa warsa. Anaké malajah auripan. Riantukan sakantun atma wénten ring anggané, sakari kénak, iraga tan mari nyampat.

Duaning malajah ten pegat-pegat, nenten patut iraga ngangken dueg. Riantukan sané mawasta anak dueg, anak sampun jangkep malajahin paplajahan. Ngrereh mangda jangkep méweh pisah. Napi mawinan? Sané palajahin sayan sué sayan ngakéhang. Usan malajahin niki, metu malih palajahan sios. Metunné nénten asiki, nanging akéh. Yéning dados aturang, antuk akéhé wénten sané palajahin, sépanan kantos malajah. Mancan dados dueg, sepanan taler. Sané ngranayang sané palajahin sayan maweweh tan péndah gebiuran ombak ritatkala segarané kebek. Pitaenang ragané sampun dueg, belogé kantun kémanten nyantolin. Riantukan kari akéh sané nénten uningin.

Siosan ring luhu miwah buké kanirgamayang sané ruruh pinaka palajahan, taler kanirgamayang sané ngawinang belog. Punika awinan sampatang.


Minggu, 19 November 2023

BAYUH TAMPEL BOLONG (MENGENTASKAN SEMUA KELAHIRAN)

BAYUH TAMPEL BOLONG (MENGENTASKAN SEMUA KELAHIRAN) DAN MELIK

Melik itu sebenarnya merupakan sebuah anugrah yang luar biasa, Jika Orang Itu Sudah melaksanakan penebusan Melik 3 Kali, Rajin2 Sembayang, Melukat dan melaksanakan Pewintenan Saraswati. Biasanya Orang Seperti Ini Akan Jadi Orang Yang Sukses, Bermatabat dan “Kesihin Widhi”. Kalau tidak penebusan biasanya rejeki akan sret, sering bertengkar dirumah tangga tanpa henti, sakit sakitan, Salah paham dikeluarga berujung percerain, tak bisa punya keturunan, bahkan berumur pendek dan lain sebagainya.

Ada orang yang baru bisa bertiori belum menjadi Praktisi, mengatakan Melik itu tidak apa, cukup berdoa saja, dan berpikir positif. Mereka itu tidak mengalami bisa saja mereka berkata seperti itu, tapi bagi yang mengalami mereka akan sulit menerima itu karena hidupnya dalam penderitaan hidup, rejeki sret dan kesakitan atau ada salah satu kelurganya sudah meninggal karena melik. Sama seperti melihat orang sakit dirumah sakit, pasien tidak hanya cukup dengan berpikir postif dan berdoa TAPI MEMERLUKAN TIDAKAN MEDIS UNTUK KESEHATANYA. Sama juga seperti penyakit niskala dan melik, tidak cukup hanya berdoa dan berpikir positif, semua perlu TINDAKAN SESUAI PETUNJUK SASTRA/LONTAR YANG ADA.


ADA TIGA JENIS MELIK YANG SANGAT BERBAHAYA KETIKA LAMBAT MELAKSANAKAN PENEBUSAN.

Pertama, MELIK ADNYANA/WIDHI, orang ini akan bisa merasakan, atau bisa melihat Roh Halus, dan bahkan bisa berkominikasi dengannya. Orang melik adnyana, biasanya diawali dengan mimpi mimpi ke Pura, Ketemu orang Pakain Putih, Ketemu Petapakan Bhatara ( Rangda atau Barong ), Mimpi bersenggama dengan orang tak dikenal/keluarga, Mimpi Mesiat dengan Leak. Celakanya kalau dia ( orang melik ) kalah dalam mesiat lawan LIak, besok ia akan sakit dan bahkan meninggal saat tidur. Orang melik adnyana biasanya berpotensi jadi Balian atau mangku kalau dia punya keturuan/waris mangku/balian dan senang belajar spiritual.


Kedua, MELIK APIT WANGKE, yaitu ada kadengan di kelamin manusia, baik lelaki atau perempuan. Efek negatif melik ini biasanya, rejeki sret, kisruh dalam rumah tangga, emosi tidak terkendali, sulit jodoh, dan kalau buruk sekali karma masa lalunya, biasanya ia kan mandul, bercerai atau pasangan hidupnya meninggal muda. Kalau misalnya 1 pasangan itu keduanya berisi kadengan, biasanya akan kalah salah satu yang kurang spritualnya, misalnya belum ditebusin melik. Melukat dan sembahyang.

Ketiga, MELIK DURGA, yaitu ada bercak hitam pada lidah seseorang, lidah masepak, sering mimpi ke pura mrajapati, ke Pura Dalem dan Kuburan. Efek melik ini tidak main main, biasanya orang melik durga akan kedalih bisa ngeliak, menjanda, anak meninggal satu, difitnah dan dikucilkan oleh keluarga dekatnya bahkan masyarakat. Salah satu saja cirri yang dialami diatas, sebaiknya segera melaksanakan penebusan melik.

SELAIN ITU ADA JUGA MELIK LAINNYA, YANG PATUT UNTUK DILAKSANAKAN PENEBUSAN MELIK.

TANDA TANDA MELIK CECIREN
1.MELIK CAKRA, Artinya Ada berupa salah satu sanjata dewata nawa sanga dalam tubuhnya, kadang hanya bisa dilihat tokoh spiritual atau kelihatan nyata di kulit.
2. Kadengan Celedung Nginyah ada di tengah tengah alis.
3.Sujenan Di Bokong, 4. Rambut Putih Hanya Beberapa Helai Tak Bisa Hilang, 5. Rambut Gimbal, 6 Jari Tangan/Kaki Lebih, 7. Lidah Poleng, 8.Isuan Lebih dari satu dll.                                                        
MELIK KELAHIRAN, melik ini disebabkan oleh kelahiran manusia itu sendiri.
Diantaranya :
 1.Orang yang lahir di Wuku Wayang,2. Anak Tunggal ( tak bersaudara ),4. Tiba sampir ( anak yang lahir berkalungfkan tali pusar ),5. Tiba Angker ( anak yang lahir berbelit tali pusar/tidak menangis ),6. Jempina ( anak lahir premature ),7. Margana ( anak lahir ditengah perjalanan ),8. Wahana ( anak lahir ditengah keramaian ),9. Julungwangi ( anak lahir tatkala matahari terbit ),10. Julungsungsang ( anak lahir tatkala tepat tengah matahari ),11. Julung sarab / julung macan / julung caplok ( anak lahir menjelang matahari terbenam ),12. Walika ( orang kerdil ),13. Wujil ( orang cebol ),14. Kembar ( dua anak lahir bersamaan dalam sehari ),15. Buncing / Dampit ( dua anak beda jenis kelamin lahir bersamaan dalm sehari ),16. Tawang Gantungan ( anak kembar selisih satu hari ),17. Pancoran Apit Telaga ( tiga bersaurdara – perempuan – laki – perempuan ),18. Telaga Apit Pancoran ( laki – perempuan – laki ),19. Sanan Empeg ( anak lahir diapit saudaranya meninggal ),20. Pipilan ( Lima bersaurdara empat perempuan satu laki ),21. Padangon ( Lima bersaudara empat laki satu perempuan),22.Lulang ( Bersaudara 2, Keduanya Perempuan ),23. Luluta ( Bersaudara 3, Ketiganya Lelaki ),24. Kedukan ( Bersaudara 3, Ketiganya perempuan ).

Selain kelahiran melik ada juga beberapa kelahiran yang sangat memerlukan ruwatan khusus, untuk menetralisir efek negative kelahiran yang sangat lebih dominan mempengaruhi kelahiran seseorang.
KELAHIRAN MENURUT WUKU : Diantaranya Wuku Sinta, Ukir, Kulantir, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Merakih, Tambir, Medangkungan, Uye, Perangbakat, Bala, Wayang, Dukut, dan Watugunung.
                                        

KELAHIRAN MENURUT SAPTAWARA PANCAWARA, Diantaranya : Redite Umanis, Redite Pon, Redite Kliwon, Coma Paing, Coma Pon, Anggara Umanis, Anggara Wage, Anggara Kliwon, Buda Umanis, Buda Wage, Buda Kliwon, Wraspati Umanis, Wraspati Pahing, Wraspati Pon, Wraspati Kliwon, Sukra Umanis, Sukra Umanis, Sukra Paing, Sukra Pon, Sukra Kliwon, Saniscara Umanis, Sanicara Wage, Sanicara Kliwon,

Apakah Anda Termasuk Katagori Kelahiran ditulis diatas?? Dari Kelahiran di atas, sebenarnya ada yang indikasi melik, ada yang Lintang Panes, Membuat Rejeki Merosot, Kesakitan, Mandul dll. Namun tidak bisa kami jelaskan satu persatu, karena terlalu panjang penjabarannya. Untuk lebih jelasnya silahkan saja, datang ke tempat, sambil Ngelereh Sewitra, Nanti kita bahas bersama sama.

Selain itu ada juga kelahiran yang memerlukan ruwatan, yang bisa dilaksanakan Oleh semua kelahiran :

BAYUH TAMPEL BOLONG (MENGENTASKAN HUKUM DERAAN KELAHIRAN) 

PENEBUSAN SAPUH LARA PATI PEMANUMADIAN.

1.Natan Nemu Urip, penebusan/pebayuhan bagi yang tidak pernah meotonan, tidak tau otonan.

2, Nemu Baya, penebusan bagi yang sering Kesakitan Sering Kena Tipu, Sering di Fitnah, Selalu gagal dalam mencapai keiinginannya.

3.Senggama Kaon, Penebusan Mala Bagi Sering Berhubungan Badan Sebelum Menikah, Berhubungan Badan Dengan dalam Status Selingkuh, Berhubungan Badan Sesama Jenis

4. Semara Dudu, Sulit Mendapatkan Jodoh, atau Kawin cerai berkali kali dan Mandul

5.Lumbung Ketiup Angin, Sulit Rejeki, Mengalami Kebangkrutan, dan Rejeki tak Pernah Mesari ( Gali Lobang Tutup Lobang )

6.Mala Kauripan, Penebusan Mala, Karena menikah Saat Hamil dan Potong Gigi Saat Hamil , serta lelaki tidak bisa panjangan rambut saat istri hamil, karena tugas kerja dan keperluan dinas.

7. Satru Aturu, Sering mimpi buruk, Mimpi Mesiat, Sering mendengarkan Suara Aneh, Sering Mimpi dapat Paica, Mimpi Ada Blabar Agung/Sunama dll

8. Rare Ngambek Detya, Penebusan untuk anak yang membandel, sulit dinasehati, tidak mau belajar/sekolah, Ngelawan orang, dll

9. Mangku Putung, Penebusan bagi yang keturan mangku, balian dan sejenisnya , yang tidak bisa mewariskan tugas leluhurnya.

10 . Rare Kepingit, Penebusan untuk anak hasil “ NUNAS”

11. Lare Salah oton,dan Salah Aran, Penebusan bagi yang salah menentukan oton dan nama terlalu berat/mendatangkan masalah.

JADI SEMUA KELAHIRAN HENDAKNYA DIRUAT DENGAN BAYUH TAMPEL BOLONG


1) UPAKARA BAYUH SAPULEGER

1. Banten Sang awayang: suci  saruntutan asoroh maulam itik betutu, pulagembal, masekar taman, pajegan, canang pangkonan, santun sarwa 4, maarta 500, peras penyeneng, segeh agung utawi suci  saruntutan asoroh maulam itik putih, peras ajuman, canang gantal medaging jinah   krecen   sepehe   satus (1900) jinah bolong, sesantun gede soroh 4, medaging jinah 1132 bidang.

2. Genah Tirta Sang Mpu Leger Sangku Sudhamala metatang dulang medaging beras, benang, arta 225, medaging sekar 11 warna, mesamsam, wija kuning.

3. Tebasan Sungsang Sumbel 1 tanding: Tumpeng abungkul kaapit antuk ulam ayam 2, ulun ulam ayame asiki meajeng keluhur (menghadap ke atas), asiki ngasor (menghadap ke bawah) , meraka galahan, kacang komak mawadah tamas dados awadah.

4. Tebasan Sapu Leger: Tumpeng abungkul matusuk antuk carang bingin, maulam ayam, majaja tabagan biyu galahan, lebeng matah, bantal galahan, rerasmen kacang komak, mejijih ketan injin, ketipat tulung, pisang payasan, peras lis mewadah ngiyu anyar, metaled kampil, metatakan beras, kacang komak matah, bantal matah, jaja matah, biyu matah, menyibakang genahnyane ring sane melakar lebeng, tekaning sungsang sumbele, kedenga-kedengi, seraka dadi angiyu, metangkeb saput poleng. Kedenga-kedengi = nasi mesuwer busung susunin tumpeng asiki, meraka jaja kukus ketan, jaja kukus injin 7 tanding dados adulang.

5. Tebasan Tadah Kala: Nasi popolan mabucu telu mataled antuk don tunjung, matusuk bungan tunjung, matatakan saput poleng, sirah nasine mabucu telu madaging getih bawi, maulam urab barak, urab putih, kacang komak dados adulang. Tebasan kala melaradan: Nasi kuning mewadah takir, nasi warna maulam balung, taluh medadar buah bancangan, base gulungan mawadah sok, matanjeb busung 5 akatih, madaging tuak abotol, arak sarebad, berem beras, raka – raka galahan dados adulang.

6. Tebasan penulak bhaya = tumpeng asiki kacang-kacang, raka-raka galahan

7. Tebasan Pangenteg bhayu = Tumpeng asiki, maiter antuk rerasmen, rujak atakir, raka-raka sajangkepnyane.

8. Tebasan Pangalang Hati = Penek bolong,   be   hatin ayam,       mawilahan (jangkep), durmanggala, prayascita, pageh tuwuh, bubuh plasa atakir, biaung buluh atakir, nasi mesisir atakir, nasi widia  misi unti atakir

9. Sesayut dirga yusa ring kamanusan = Nasi sasah mesuwer, maiter antuk penek papat, ulamnya betutu ayam, muncuk dadap, celekontong  ( wakul saji alit antuk busung ) 4, kawangen 4 dagingin crawis.

10. Daksina Panebusan Bhaya:  madaging beras 8 patan, kelapa 8 bungkul, taluh 8 bungkul, gula 8 bungkul, madaging jinag 8100.


2) Tebasan Tampel Bolong
TATEBASAN PAMAHAYU SOT MIWAH MELIK

Kaketus saking lontar "Lawar Capung Ki Dalang Tangsub, Griya Agung Bangkasa"

Olih: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd


TATEBASAN PAMAHAYU SOT MIWAH MELIK :

Medasar antuk dulang, duwur nyane susunin antuk aled sesayut, duwur nyane dagingin beras aperapata, base tampelan, benang atukel, jinah 225, duwur nyane susunin antuk nasi maklongkong 1, duwur nasine medaging tulung urip 1 medaging nasi ulam taluh bekasem, kawangen 11 siki, sesanganan, raka-raka sejangkep nyane, sangku medaging toya anyar, penyeneng alit (tahenan) 1, Pras alit 1, sampyan nagasari, canang pahyasan, Sesayut puniki munggah Sanggar Kamulan.


Tebasan Semaya Pati 

Tumpeng kapurancak asiki, ayam binanda, Yan wong Lanang ayam muani yan wong istri ayam luh, ayam bang suku dara, benang bang linamasan, sekul winaranta sinisir, kacang alimas, pinang atakep timun asiki, kacang ambungan, buah bancangan, woh-wohan jangkep, tamas, kulit sayut, raka, tumpeng besar, 4 sau petik berisi ; nasi saur, nasi saur, uyah, pesucian, sampyan jit goak, carunia ring ring sanggar Astawa sedahan semaya Pati, Hyang kala Pati. 


BAYUH OTON SANAN EMPEG

Umat hindu di Bali mempercayai bahwa, kelahiran seorang anak dan dalam kehidupan selanjutnya (semasa hidupnya) tiada terhindar oleh keadaan yang dalam urutan keluarganya memiliki kakak dan adik yang telah meninggal dunia, wajib melaksanakan upacara Sanan Empeg dengan mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali. 

"Sanan Empeg ini bermakna, di mana orang yang terlahir dan memiliki kakak atau adik yang sudah meninggal dunia, dikhawatirkan kehidupannya tidak seimbang” dan patut ditebus/dibayuh/diruwat.  Pustaka “Kembangrampe Lawarcapung” karangan Ki Dalang Tangsub, disebutkan bahwa:

“Iti ngaran pinahayu sanan empeg, maka pangilanganing papa pataka nira sang kari mahuripa, wus tininggalana de kakang arinia nguni, teka katekang papa gati sangsara ning pancering kakang arinia lawan kawitan ira. Mangkana pwa ya mapan wus kaparisudha dening rsinggana makabehan. Gunaning pamahayu sanan empeg kaweruhaken denta anakku, ika marmania angentasaken sakwehing lara rogha ring raganta”. 

Artinya: 

Ini namanya usaha pengentasan (bayuh/ruwatan) Sanan Empeg, sebagai sarana menghilangkan dan melenyapkan segala dosa dan kemalangan orang yang masih hidup, setelah ditinggalkan (mati) oleh saudaranya (yaitu kakak dan adknya) duluan, sampai dengan lima bentuk inti kesengsaraan yang ditinggalkan/diakibatkan oleh kakak dan aknya (yang telah mati) beserta leluhurnya. Demikianlah pahalanya oleh karena telah disucikan oleh para Rsi/Pandita seluruhnya. Gunanya Bayuh Sanan Empeg, ketahuilah olehmu anakku, itu adalah untuk mengentaskan/membebaskan segala kesengsaraan dalam dirimu.

Untuk menyeimbangkan itu, Sang mabayuh "Sanan Empeg" diwajibkan memiluk sejaji dengan "sanan" (alat pikulan berupa sebilah bambu), di mana beban di bagian depan dan belakang harus seimbang. Dengan beban yang seimbang itu mereka kemudian berjalan berputar mengitari tumpukan "banten" yang telah disiapkan. Sanan dimaksud melambangkan keseimbangan kehidupan. 

Anak yang demikian wajib untuk dibayuh sesuai pawetuannya, juga ditambahkan dengan tatanan sebagai berikut :


UPAKARANYA :

Surya: Dewa-Dewi dan di bawahnya Gelarsangha serta dilengkapi dengan ganjaran agung, mapenjor tiying gading apasang.

Kamulan: Pejati asoroh, Suci dan Canang Buratwangi saha nunas Wangsuhpada.

Pemedalan (kori): Bakar tujuh bungkul tempurung kelapa (nyuh maadan), usahakan apinya tidak boleh padam selama prosesi upacara berlangsung di Mrajan (matur piuning dijaga oleh orang yang di pandang bisa menggelar dan dipercaya)

Kutipan Sastra:

“Mapugpug madudus ring arepang lebuhing lawang, Upakarania: daksina pras ajuman 1, mabe sato biying, nasi wong-wongan bang, kepelan bang, getih matah atakir, segehan cacah, kepelan mancawarna, be bawang jahe. Saranania audus: gumpeng ketang, injin, padi, menyan, cendana, kayu sakti, welilang, trosi, mejakani, mejameju, mejakeling, samparwantu. Laluhunia: luhun pasar, pateluan, sema, pamuhunan, pempatan lan luhun margha agung”.

Bale: Ayaban minimal Tumpeng solas meBebangkit.

Tegen-tegenan: Tipat Nganten, Takilan, sarwa Pala Bungkal, Pala Gantung lan Pala Rambat.

Upakara Bayuh Oton jangkep nganut dina pawetuan sang pinayuhen. Wewehin bebayuhania:

“Sesayut pulingga adulang, sorohan guling bebangkit, suci 5 soroh, katutuan 1 soroh, sarwa genep sapretekaning bebangkit. Guling ika matatakin ngiyu anyar rinajah ‘Yama Mahakala’ segha sawakul, segha wakulan apasang, makakecer 1, tebu cemeng 5 keleng, jrimpen nyinggal apasang, jrimpen tunggul apasang, tumpeng putih kuning, raka genep, iwak sato putih siyungan mapanggang, belayag galahan, bungkak 5 warna, itik ginuling, pencok kacang, lalampad, sarwa pisang, sampiyan plawus, jangan sakawali, sukla pawitra, keraras biyu mas, daksina pras ajengan 2 soroh, artha 5555, lis gadang, lis gde, padudusan agung jangkep, isuh-isuh, panyeneng, kampuh gringsing, benang tatebus tri datu, sasagi genep. Malih beras 5 catu, lawe bang 5 tukel, belayag 50, sato bang pinanggang, tadah pawitra, nasi sokan sapanjang, grih baranak, mabe putih siyungan mapanggang, jinah 777, pisang sawarnania pada 7 bulih, bayuhan nganut dina.”.

(Buku Widhi Sastra)


PROSESI UPACARA :

Bersamaan dengan upacara bayuh oton digelar oleh Sang Sulinggih, Sang Pinayuh Sanan Empeg matur piuning di Kemulan – Taksu, diikuti dengan membakar Kawu Bulu pitung bungkul dan tidak boleh padam apinya selama prosesi.

Selesai matur piuning, kemudian sang pinayuhen di dudus dengan sarana mapugpug madudus setelah itu buka pakaian dan “Ampiggan” di atas bara api kawu bulu selanjutnya bersalin dengan pakaian lainnya.

Sang Sulinggih melakukan penglukatan terhadap anak yang di bayuh. Sang Pinayuh saat melukat menghadapi segan agung serta menggunakan selembar kain Gringsing Sanan Empeg.

Setelah itu Sang Pinayuh diajak adyus di lebuh dengan menggunakan berbagai mata air/pancuran (sesuai bayuh otonya).

Geringsing Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi anak yang melakukan prosesi bayuh/ruwatan kelahiran. Kain Gringsing Sanan Empeg ini terkenal di masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Serta kain ini juga bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam

Perlu diketahui bahwa pada semua kain Geringsing (double ikat) pasti ada “telupuhnya” (motif pinggirnya) dan juga “penekek” (bagian paling pinggir). Serta proses pembuatannya pun sangat sakral. Kadang-kadang diisi pula tambang, “tetubahan” semacam hiasan kreasi di pinggir kain sesuai selera pembuat.

Rentetannya adalah sebagai berikut : setelah proses pembuatan dimulai, diawali dengan mencelupkan benang kedalam minyak lilin (minyak kemiri/malem) dan air serbuk kayu dalam wadah yang terbuat dan tanah liat (jeding) kemudian ditutup dengan kain putih hitam (gotia) guna menghindari adanya pengaruh roh jahat (leak).

Setelah ikatan pertama disimpulkan disertai dengan yadnya kecil yang terdiri dan : kembang sepatu, dauh sirih gulung, kapur sirih dan 2 set uang kepeng 11, pada lubangnya digantungkan benang katun yang diikat 2 kendi. Ikatan terakhir pada bahan hanya dapat diikat oleh wanita yang lewat masa menapouse.

Setelah berganti pakaian dengan tetap memakai kain Gringsing Sanan Empeg, Si anak yang di ruwat/bayuh menghaapi upakara lanjut mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali dengan sambil memikul Tegen-tegenan yang diakhiri dengan memakan Takilan dan apa yang bisa dinikmati.

Setelah makan pala bungkah, pala gantung dan pala rambat di tanam pada Lebuh kiri, kanan dan batas rumah.

Selanjutnya semuan pakaian yang digunakan dalam prosesi ruatan/mabayuh (melukat) dibakar di jalan dan abunya dimasukan ke dalam klungah nyuh sudamala lalu dianyut (lengkapi dengan pejati asoroh). Kemudian kenakan pakaian Sembahnyang.

Si anak yang di ruwat/bayuh menghadapi banten tataban Oton.

Prosesi diakhiri dengan Muspa dan Majaya-jaya.

Dengan dilakukannya Bayuh/ruwatan (pembebasan atau pelepasan) Sanan Empeg ini diharapkan anak yang diruwat yang hidupnya hina dan sengsara dapat berubah kemudian hidupnya lebih mulia dan bahagia.


JENIS UPAKARA BAYUH TAMPEL BOLONG ANUT PAWUKUAN

Dari berbagai jenis ruwatan yang ada di Bali jenis upakaranya memang telah dibakukan dan harus diselesaikan oleh seorang Pinandita, Bhawati dan Sulinggih yang ahli ruwat serta harus disertai dengan berbagai jenis sarana upakara saji. Adapun jenis upakara saji yang diperlukan antara lain : gecok, mentah mateng, lele sejoda, tumpeng pucuk mas, ingkung, opor, abon-abon, sega golong, panggang ingkung, tukon pasa pisang pulut, benang (merah, putih, kuning, hitam, baro-baro, pliringan, kalangan), pondok tetel, tumpeng janganan, tumpeng robyong, ambeng asahan, rasukan sapengadeg, mori, cencengan pitik sejoda, gagar, mayang, cerik poleng, gadung mlati, pandan binetot, bangun tulak, sindur tumbar pecah, cara apmil gading.


Banten Bayuh Dewasa Ala

Caru  ring paturon;

Suci dene genep adanan, muwang caru ring natar, luwirnia sega 11 (solas), gelar sanga jangan sakewali, rumbah gile, sasak mentah (nasi atangkih berisi darah mentah), muwah sekul mawadah wakul, iwak pejagalan, wiwidean anut sasih, sekul segegem iwaknia amel-amel, muah seselambunan, wawidehan olah dene sangkep, sajeng aguci, pancakolika, langsub sapere  karania, payascite suci asoroh, segeh timbanan sakulak panci, iwak sate brumbun muwang sate wiring pinanggang, sahe raka sarwa galahan, genep sapere karania.


Penegakan Disiplin

Guru merupakan seorang tenaga pendidik profesional yang bertugas mendidik, mengajarkan suatu ilmu, membimbing, melatih, memberikan penilaian, serta melakukan evaluasi kepada seluruh muridnya.

Namun, seiring berkembangnya zaman tugas seorang guru semakin sulit sehingga dituntut memiliki strategi. Terutama dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh murid.

Akhir-akhir ini banyak sekali beredar berita mengenai guru yang menegakkan disiplin namun dilaporkan. Seperti kisah guru yang dilaporkan karena memotong rambut muridnya.

Sangat disayangkan kalau kasus penegak disiplin yang dilakukan oleh guru-guru harus berujung ke ranah hukum. 

Alangkah baiknya guru bisa memberi teguran yang lebih edukatif kepada siswa seperti dengan cara memberi tugas tambahan atau yang berkaitan dengan pembelajaran.

Dalam konteks ini, jika mencukur rambut siswa secara tuntas dan pantas saya kira (tindakan guru) bukan sebuah pelanggaran. Karena tidak sedikit guru mencukur rambut tidak tuntas sebagai bentuk hukuman kepada anak.

Dilihat dari laporan-laporan mengenai hal ini, terdapat pada Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak yang bunyinya:

Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, serta tindak penganiayaan terhadap anak, akan ditindak pidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan denda paling banyak sekitar Rp 72 juta.


Senin, 13 November 2023

Liak

Liak kebaosang tuah Lina Aksara (Aksara Mati); Laya Aksara (Papitehan Aksara); Linging Aksara (Kecap Aksara/Munyin Aksara); 

Suksemannyane pateh sakadi tiuk, yan tiuke ada ring tangan ibu-ibu sane majejahitan pastika lakar ngawetuang canang anggen ngrastitiang jagat. Kewala yaning tiuke ento wenten ring tangan para garong/penjahat pacang dados penyabut nyawa, sane puniki kabaosang liak matah. Nah ada nak wikan maosang yen suba bisa ngidupang saananing aksarane ane mati ento, kone anake suba madan bisa ngeliak.

indik liak utawi leak, desti, teluh naranjana, aji wugig, pelet, maka miwah sane lian-lianan kawiaktiannyane pateh sakadi kabaos ring ajeng inucap, sakemawon indik tatuek maka miwah pangaptiannyane matiyosan. Indike punika meweh kabuktyang kawentenannyane. Yening pacang uning indike punika mangdane mlajahin sastra maka miwah ngelarang tapa brata yoga samadhi sane pingit turmaning mauttama. mawinan sampunang pisan nyugjagang indike punika duaning nenten pacang mikolihang dharma pamutus, samaliha wenten kode etik-nyane, kocap.

Aji pangiwa matiyosan ring sane kabawos leak. aji pangiwa punika identik ring sane mapakardi nenten rahayu utawi jadig, satata nyakitin, ngawe grubug. Sakemawon yening leak, ipun identik ring sane kabawos nyuti rupa. wenten sane iseng, wenten sane hobby. Kawiaktiannyane leak punika wenten kakalih. Wenten sane ngardi rahayu taler wenten sane ngardi kawon. 

Sane patut ajerihin boya ja rikalaning ipun ngalengse sakemawon rikalaning ipun kantun marupa manusa dahat nyakitin, ipun pacang ngamargiang aji wugig. Mawinan patut yatna utawi plapanin ngambel urip iraga. Rikalaning ipun marupa leak nyuti rupa, sadurungnyane ipun masang pangeres utawi pagaan utawi panangkeb, pelindung radius sekian meter. Mangdane anake sane nyingak pacang makesyab utawi takut. Sakemawon ipun nenten nyakitin. 

Sakemawon, sameton sami yening nyingak kadi sapunika mangdane nenten ngorta, nenten mekarya satua indike sapunika duaning wenten kode etik-nyane. sapasira sane dados leak mangdane dirahasiakan. duaning ratun sarwa leak wantah tunggil inggih punika tabih pakulun Ida Bhatari Uma (Ida Bhatari Durgha).

Kategesang malih, Pengiwa sampun janten pakaryan ala, Yening liak utawi leak nika kantun medaging rwa bhineda (kaon kelawan becik), kari wenten kasinahane.

Ungkuran puniki kruna leak sampun sosod artos ipun. Liak mangkin, sekancan ne jele kabaos liak. Liak ilang sandal kaine; Liak iba, batis akene jekjeka; Leak apa, liwat socane. Miwah liak-liak sane tiosan. Kasujatiane liak nak becik maosang sastra.

Minggu, 12 November 2023

TATINGKES NYOLAHANG TAPEL

TATINGKES NYOLAHANG TAPEL IDA BHATARA HYANG SINUHUN

Olih: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S
(Tubaba//Griya Agung Bangkasa) 


NYALUK TAPEL, MANTRA :

Om, Siwa Sudhamam, Athi Sudhamam, Sarira Sudhamam, mala hilang Yanamah 

NGAMBIL LIDAH, MANTRA

Om, Ang Bhatari Durgha Maha Sakti, Suksma Yanamah Swaha

MASEGEH AGUNG, MANTRA

Ih Nini Calonarang, idhepku Bhatari Durgha ngaweh ri kita, iki tadah segalelaba, wus mukti lelaban raksanen awak sariranku Sang Panyongsong, Om Ang Ah Bhuta Kala Bhucari Yanamah Swaha. 

PANGIDER-IDERAN

Jumujug sira Hyang Sinuhun maring utara, Bhatara Wishnu asung winugraha, dadi katon Hyang Sinuhun atumpang catur, mahireng rupan sira, atatayungan sanjata cakra, pasurupan sira mareng nyali, angelebur sakwehing sarwa satru ikang rat. Om Ang Ya Namo Namah Swaha.

Jumujug pwa sira Hyang Sinuhun maring purwa, Bhatara Iswara asung winugrahan, dadhyanta katon Hyang Sinuhun atumpang lima, sweta rupan sira, atatayungan sanjata Bajra, pasurupan sira mareng papusuhan, angilangaken sahananing sarwa klesaning rat kabeh. Om Sang Ya Namo Namah Swaha. 

Jumujug sira Hyang Sinuhun maring daksina, Bhatara Brahma asung winugrahan, dadhyanta katon pewayangan sira Hyang Sinuhun atumpang siya, bang rupania, atatayungan sanjata Gada, pasurupan sira mareng hati, angelebur sakwehing sarwa Satru jagat bhuwana kabeh. Om Bang Ya Namo Namah Swaha. 

Jumujung pwa sira Hyang Sinuhun maring Pascima, Bhatara Mahadewa asung Winugrahan, dadhyanta katon pewayangan sira Hyang Sinuhun atumpang pitu, jenar pewayangan sira Hyang Sinuhun, atatayungan sanjata Padma, pasurupan sira mareng Unduhan. Anglebur sarwa papa ikang rat kabeh. Om Yang Ya Namo Namah Swaha. 

Jumujug pwa sira Hyang Sinuhun mareng Madhya, Bhatara Siwa asung winugrahan, dadhyanta katon pewayangan sira Hyang Sinuhun atumpang kutus, maca warna rupan sira, atatayungan senjata Padma, pasurupan sira mareng Unduhan. Angilangaken sahananing dasa malaning rat bhuwana kabeh. Om Ing Yang Ya Namo Namah Swaha. 

Risampun Bhatara Panca Dewata asung winugrahan, kabhinawa pewayangan sira Hyang Sinuhun, res-res hatining para damuh manusha kabeh, apan sira Hyang Sinuhun angrangsuk punang bhusana kawisesan Brahmana putus. 
Asinjang kupo talo sutra, abapang asayut sarpa mandhi. Abhawa sira agni makutha kurung, akakudung sira sutra petak, rinajahing dening Durgha Sakti

Atapakan sira Bhadawang Nala, panunggalan sira Hyang Sinuhun, tinayungan dening Kala Cakra, apan sira Singha Bhargawa. 

Sigra…………… umesat mareng antariksa, harep lawan bintang trangana ( mamargi tanggun kalangan).

Dadia ta katon de Hyang Sinuhun kang Madhya loka, tan hana jurang tan hana pangkung, tan pasah kadi Tegal Panangsaran, katon………manusha aturu agegulingan, henak swacittan sira Hyang Sinuhun

Katon taru kalpa wreksa ripantaraning rat bhuwana, Pasayuban wong anesti, aneluh anranjana.

Aslimpet sira Hyang Sinuhun genitri rudraksa, asosocan sira mas manik, akekudung sira jinah jajaringan, abasma sira asahan cendana.

Angadeg sira Hyang Sinuhun angereh nyatur desa, angrasuk punang japa mantra, anyuku tunggal, angrangsuk kunang aji siwer mas -canting mas.

OM ANG BHRAHMA SANDYA NAMU NAMAH

OM UNG WISNU SANDYA NAMU NAMAH

OM MANG ISWARA SANDYA NAMU NAMAH

 

OM URUBIRA DEWA BRAHMA, ARENG IRA DADI DEWA WISNU. MALEKETIK LALATUN NIRA DADI DEWA LUDRA. KUKUSE DEWA ISWARA LELATU DEWA SENGKARA KEMBANGI AWU DEWA SAMBU. MALEPUGE DEWA MAHESWARA. AMBUNING ASEP MULIH RING DEWA BARUNA NGADEG SIRA ABENER RING MADYA MATEMAHAN SANGHYANG TAYA. AYOGA SIRA RING AKASA MERBUK ARUM SUGANDHA DIRA TERUS TEKENG SAPTA PETALA PANYUK SAMANING AGNDHA ARUM. SIRA MATEMAHAN SANG HYANG WIDYA DARA WIDYADARI SAMANGKANA  DADIN DEWA BARHMA SANGKAP PADA DEWA RING AKASA RING TELENGING AWUN AWUN  HANA MERU TUMPANG SOLAS RING KANA HANA LINGGIH SIRA PADA DEWA BATARA APUPUL UMASTUNA SIDHI RAHAYUNING JAGAT

OM SANG BANG TANG ANG ING NANG MANG SING WANG YANG

OM ANG UNG MANG

 

OM RINAHUAN SARINING DUPA PURWA MANGISEP SARINING KUSUMA

OM RINAHUAN SARINING DUPA DAKSINA MANGISEP SARINING MENYAN

OM RINAHUAN SARINING DUPA PASCIMA MANGISEP SARINING CENDANA

OM RINAHUAN SARINING DUPA UTARA MANGISEP SARINING ASTANGGI GAHARU

OM RINAHUAN SARINING DUPA RING MADYA MANGISEP SARINING MENYAN PANGGIL YA TA PADA RINAHUAN SAHA GENTA GENTI PINAKA SABDA DEWA BHATARA TINABUH RING KAYANGAN PERNAH INGULUN AMUJA MUJA

TURUN PADA DEWA  BATARA KASANGA DENING DUPA WANGI ANUUT DALAM RIRIS ALIT. YATA MAKA SASIRAT PARA HYANG  ANYAM BUHANG AMERTHA PANGILANGANING SARWA PAPA KLESA  LARA ROGANING JATMA MANUSA RING MERCAPADA

OM SRI DEWA YA NAMAH SWAHA.

OM PRANAMYA DEWA SANG LINGGAM

SARWA BUTA KALA SIRNAM

PRANAMYA SIWA SIWARTAM

SARWA JAGAT PRAMO DITAM



KETERANGAN

Topeng Ida Bhatara Hyang Sinuhun wujudnya seorang sulinggih tampan dan angker. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah saat ngider buana (kesegala arah) untuk menetralisir bhuta. Ngider buana yang dilakukan pada tarian topeng Ida Bhatara Hyang Sinuhun tidak terlepas dari peranan Dewata Nawa Sanga dalam segala penjuru arah yang menjadi kekuatan penegteg jagat atau kestabilan alam ini. Dalam tarian topeng Ida Bhatara Hyang Sinuhun terdapat adegan penari topeng Ida Bhatara Hyang Sinuhun ucap-ucap ngider buana sambil berputar ke kanan searah perputaran jarum jam yang disebut dengan murwa daksina yang memiliki makna penetralisir bhuta atau nyomyang bhuta yang kerap mengganggu, agar meningkat menuju alam dewa dengan harapan dapat membantu kesejahteraan hidup manusia pada fase berikutnya. Tarian tapel Ida Bhatara Hyang Sinuhun dalam kaitannya dengan ritual berposisi pada catuspata, sebuah titik sentral pusat keseimbangan antara alam bhur, bwah, dan swah. Secara vertikal memupuk kesadaran akan kekuatan bhutadi dari kekuatan bumi dengan kekuatan akasa sebagai unsur utama panca maha bhuta yang membentuk dunia dengan segala isinya. Secara horizontal ke samping sesama manusia sebagai mahluk individu dalam ikatan sosial kekerabatan dalam masyarakat hendak hidup serasi selaras berdampingan berdasar cinta kasih demi kesejahteraan bersama.

Adapun dalam tari topeng Ida Bhatara Hyang Sinuhun terdapat adegan ngider buana dengan tujuan atau memiliki makna penetralisir bhuta atau nyomyang bhuta agar meningkat menuju alam dewa menurut posisinya masing-masing sesuai dengan Dewata Nawa Sanga. Dalam Dewata Nawa Sanga tersebut terdapat sepuluh aksara suci atau wijaksara, yaitu : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma, si, wa, ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk sebuah kalimat, yang bunyinya sabatai nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa. Diantara para dewa, Sang Hyang Siwa paling dimuliakan oleh umat Hindu di Bali.

Akan tetapi dalam pementasan tari Ida Bhatara Hyang Sinuhun ngider buana yang dilakukan hanyalah di lima arah mata angin yaitu : Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah. Dalam tari tapel Ida Bhatara Hyang Sinuhun tersebut ada pengubahan dari dasa aksara menjadi panca aksara untuk mewakili semua arah mata angin. Panca aksara  terdiri dari lima aksara suci yakni penggabungan secara berurutan dari masing-masing aksar suci pada Panca Brahma (sang, bang, tang, ang, ing) dengan Panca Tirta (nang, mang, sing, wang, yang) sehingga diperoleh Sang menyatu dengan Nang menjadi Mang, Bang menyatu dengan Mang menjadi Ang, Tang menyatu dengan Sing menjadi Ong, Ang menyatu dengan Wang menjadi Ung, Ing menyatu dengan Yang menjadi Yang.



Selasa, 07 November 2023

Marahnya Guru wujud cinta

Marahnya seorang guru adalah tanda kasih sayang guru terhadap anak didiknya. Seorang guru tidak akan marah jika  siswa-siswi nya tidak berbuat salah, dan seorang guru marah bukan berarti tidak sayang melainkan ini adalah tanda kasih sayang seorang guru untuk kalian. Hakikat orang marah adalah menyayangi tetapi, kebiasaan orang salah tafsir, jika siswa-siswi ada melakukan kesalahan sudah sepatutnya untuk ditegur karena dia merasa sayang terhadap siswanya. Jika seorang guru tidak sayang mungkin kalian akan dibiarkan dengan kelakuan kalian yang tidak baik. Diharapkan agar siswa dapat merubah kebiasaan buruk yang sudah membudaya dikalangan siswa-siswi, tempatkanlah diri kalian sesuai dengan ketentuan. Ayo dengan perhatian guru, rubahlah kebiasaan buruk dan sadar diri jika merasa itu tidak baik maka berbuatlah menjadi lebih baik jangan menunggu perintah.

Tapi kita harus tetap eling ring Siwa sasana dan putra sesana rikala aguron-guron, jika kita tetap agama Hindu

Apamano Na Kartavyo Gururaam Cha Variyasaam |
Loke Pratischtitaanaam Cha Vidushaam Shastradhariraam ||35||

Di sini Tuhan melarang penghinaan (Apamaan) terhadap lima tipe orang. Yang pertama - Guru atau Pembimbing adalah institusi yang sangat sakral dalam agama Hindu. Sesungguhnya penghormatan yang besar diberikan kepada seorang Guru sehingga mereka dianggap sebagai wujud Tuhan. 'Gu' berarti ketidaktahuan atau kegelapan dan 'ru' berarti menghancurkan

Tirta Gamana Uluwatu & Ulundanu

Om Swastiastu

Manut baos Ida Sinuhun Putri, titiang kanikayang nyantenang sane prasida ngiring Ida Bhatara tanggal 11 lan 12 puniki, saking Griya Agung Bangkasa :

1. 
2. Ida Nabe Rsi Agung Griya Renon
3. Ida Nabe Padangsumbu
4. Ida Bhawati Wardana lan Ida Bhawati Istri
5. Jro Mk Gde Wirya lan Jro Mk Gde Iva 11/12
6. Jmk Warja lan Jmk Sujani (tgl 12) 
7.  Jmk Pande (tgl 11)
8. 
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Bayuh 25/11/23 Tumpek Wayang

Peserta Bayuh SapuLeger dan Tampel Bolong Tgl 25 November 2023 jam 09.00

NAMA & OTONAN:

1. I kadek aska dwi pramana & saniscar, paing kelawu
2. I Made Suatmaja/ saniscara paing wuku langkir 
3. Ni Putu Sutiyani / sukra wage wuku landep 
4. Ni Putu Ari Dwijayanthi / somo paing wuku merakih 
5. I Made Indra Divayana/ Saniscara pon wuku sinta 
6. Ni Wayan Danty Rahardja// Buda Pon Bala
7. I Nengah Suka Nadi// Waraspati Wage Watugunung
8. I Made Khrisna Dhana// Waraspati Umanis Pahang
9. I Gede Yogi Isha Mahadewa// Saniscara Pon Matal
10. Ni Kadek Triayu Dewi Pertiwi//Redite Wage Landep
11. I Komang Dhamma Cahaya Nirwana// Buda Pahing Klurut
12. Ni Pitu Emmy Sintya Dewi/Saniscara Pon Sinta, 
13. I Putu Deni Hermawan/Respati Pon Landep
14. Ni Putu Purwaningsih/Budha Pahing Krulut
15. Ni luh asih angara manis wayang .
16. Ni Kadek Saraswati Puja Dewi, Soma Paing Ukir
17. Kadek Emiyani/Buda Pahing Wayang
18. Ni Putu Ayudia Meisya Dewantari / Anggara Kliwon Kulantir
19. Ditha Andini Saraswati/Buda Pon Pujut
20. I Putu Hendra Jimiarta/Saniscara Wage   Prangbakat
21.Ni Luh Ayunik/Saniscara paing menail
22.Ni Kadek Sekar Rini /Redite Pon Medangsia
23.Ni Komang Sintia Dewi/waraspati umanis sinta
24.I Ketut Sumberdana/soma wage julungwangi
25.Ni nyoman Sini
26.I Komang Suardita/Jumat Wage
27. Ni Gusti Ayu Astitik Manik/Soma Pahing

28. I Wayan agustya sugiri
Otonan : Anggara, Kliwon, medangsia
29.Ni Nyoman Basunari
Otonan : Buda, Kliwon, Gumbreg
30. I gede Adinatha Sutabawa
Otonan : Redite, Kliwon, watugunung
31.Ni Made Anuradha Sugiari
Otonan : Redite, Kliwon, Pujut.

32. I Ketut Mulawarman Otonan soma langkir
33. Ni Wayan Linda Purnami Otonan buda kliwon ugu
34. I Gede Acyutha Dharma Purnawarman Otonan buda kliwon pahang
35. Ni Luh sari otonan : Soma kliwon wayang 
36. I Wayan Gede Agus Wijaya// angara manis krulut
37.Ni Luh gede purnama Dewi// wraspati Kliwon menail
38. I Wayan Arimbawa// radite Wage uye
39.Ni Made Sujati// wraspati Kliwon ukir
40. Satria Siswa Kls 9 
41. Putu Nanda Suksma Pradnya Dewi/Buda Kliwon Sinta
42. Kadek Roger Denanta Guna Wibawa/Soma Pon Dungulan
43. Ketut Indra Tri Adisty Putri/Wrespati Paing Julungwangi
44. I Wayan Bagiarta Gunawan/Wrespati Pon Wariga.
45. I Made Satria Negara/Sukra Umanis Warigadean
46.
47.
48.
49.
50

Dst

Sabtu, 04 November 2023

Tantra, Yatra dan Mantra


TANTRA


Dalam melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk Bhakti umat Hindu dapat dilakukan dengan menggunakan: mantra, yantra, tantra, yajña, dan yoga. Mantra adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan tingkatannya. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Yajña yaitu pengabdia yang ulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian. Dan Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga (yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi) (Bhagavan Shri Sathya Sai Baba, 1995: 12).

MANTRA

Secara etimologi Mantra berasal dari suku kata Man (Manana) dan kata Tra (Trana) yang berarti pembebasan dari ikatan samsara atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi Man dan Tra itulah disebut mantra yang berarti dapat memanggil datang (Amantrana). 

Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang bijak dan yang dapat membawa seseorang yang mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti mantra yang tertingi. Arti mantra yang lebih rendah adalah rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi, tergantung dari motif pengucapan mantra tersebut. 

Mantra adalah sebuah kekuatan kata yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan material, yang dapat dipergunakan demi kesejahteraan ataupun penghancuran diri seseorang. 

Mantra seperti energi atom yaitu suatu tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bhakti seseorang yang mempergunakannya. 

Sabda adalah Brahman, karena itu yang menjadi penyebab Brāhmanda manifestasi chit sakti itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Vishvasara Tantra, yaitu ”Parabrahman itu sebagai sabda Brahman yang substansinya semua adalah mantra, dan yang berada di dalam wujud jivātma”. Bentuk itu sebagian tidak beraksara (Dhvani), sebagian lagi beraksara (Varna). Yang tidak beraksara itulah yang memunculkan yang beraksara, dan itulah aspek yang halus dari Śākti yang menghidupkan jiwa itu (Svami Rama: 1984: 24).

Sedangkan Prapancha Sara mengatakan bahwa: ’ Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam wujud halus (Suksma). Dari penjelasan tersebut, dapata dipahami bahwa Mantra merupakan aspek dari Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini. 

Secara filosofis sabda itu adalah guna dari Akasa atau ruang ethernal. Tetapi sabda itu bukan produksi Akasa. Sabda memanifestasikan diri di dalam Akasa. Sabda itu adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa atau di rongga tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan sesuai dengan gerakan-gerakan Praṇa vāyu dan proses menarik napas dan mengeluarkan napas.

Mantra disusun dengan menggunakan akṣara-akṣara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara (ritme) dan varna (bunyi). 

Huruf-huruf penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai perwujudan Śastra dan Tantra yang terdiri atas Mantra adalah Paramātma., 

Veda sebagai Jivātma, Dharsana sebagai indriya, Puraṇa sebagai jasad, dan Smṛti sebagai anggota. Karena itu Tantra merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra. Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk menasehati diri (Ātmanivedana)
Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. 

1. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda. 
2. Mantra tiga suku kata disebutKartari, yang terdiri dari empat suku kata smpai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh sampai duapuluh suku kata disebut Mantra, dan 
3. Mantra yang terdiri lebih dari duapuluh suku kata disebut Mālā. 

Tetapi istilah Vija juga diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.
Jenis-jenis Mantra
Berdasarkan sumbernya mantra ada bermacam-macam jenis yang secara garis besar dapat dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika mantra, dan Puraṇik mantra. 

Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra (mantra yang diucapkan guna untuk pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapka guna kemakmuran duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra (mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk menghancurkan atau menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatan-perbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam). 

Disamping itu mantra juga dapat dibagi menjadi:
1. Mantra: yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa)
2. Stotra: doa-doa kepada para devata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika memimpin persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa dari seoarang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya, misalnya doa memohon anak, dan sebagainya.
3. Kāvaca Mantra: mantra yang dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari berbagai rintangan.

Dalam kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat kesukarannya, yaitu:
1. Paroksa Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan mantra jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami.
2. Adyatmika Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang lebih rendah. Mantra ini dapat dicapai maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih kotor, tidak mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini.
3. Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami. Untuk menjangkau makna mantra ini dapat hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan indriya.

Disamping itu ada juga jenis mantra yang ditulis baik dalam buku, kitab, lontar yang disebutVarnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan disebut Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran melaui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang diucapkan ataupun dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan keperluan, kemampuan serta motif pelaksana.

Cara mengucapkan Mantra
1. Vāikari, yaitu mengucapkan mantra dengan mengeluarka suara dan dapat didengar oleh orang lain, kekuatan mantra yang diucapkan dengan cara ini akan mampu memecah guna tāmas (kelambanan), ketakutan yang ada pada diri seseorang. Cocok dipakai bagi para sadhaka pemula dan dapat menghancurkan energi negatif yang ada di sekitar pengucapnya.

2. Upaṁsu, yaitu mantra yang diucapkan yang hanya didengar oleh orang yang mengucapkannya saja (berbisik-bisik), kekuatan mantra yang diucapkan dengan teknik ini dapat memurnikan guna rājas (nafsu). Jika mantra ini diucapkan dengan cara ini juga dapat memberikan perlindungan (kāvaca) dari berbagai gangguan (lingkungan, energi negatif, roh jahat, dan sebagainya).

3. Mānasika, yaitu mantra yang diucapkan dalam hati, bermeditasi pada jiwa dari mantra serta arti dari kata-kata suci tersebut tanpa menggerakkan lidah ataupun bibir. Kekuatan mantra ini akan dapat menumbuhkan kesadaran illahi pada diri yang mengucapkannya, sedangkan yang bermeditasi pada irama pernapasan dengan menggunakn mantra disebut Ajapajapa.

3. Kualitas Mantra
1. Sattvika mantra (Produktif); yaitu dipakai dalam rangka meningkatkan kesadaran illahi, semata-mata untuk memuliakan kebesaran Brahmandengan segala prabavaNya, sehingga muncul perasaan welas asih, cinta, dan pengabdian, terbebas dari ego kepemilikian dan nafsu, dipakai sebagai media untuk menyebrangkan sang jiwa melewati lautan samsara/penderitaan kelahiran-kematian.
2. Rajasika Mantra (Protektif); yaitu kualitas mantra yang dipakai untuk kelangsungan hidup secara duniawi, memenuhi keinginan (kama), memperoleh artha, keturunan, kemuliaan, kemewahan, kesehatan, kewibawaan, kedudukan, dan sebagainya.
3. Tamasika Mantra (Destruktif); kualitas mantra yang dipakai untuk kegiatan menundukkan lawan, menghancurkan penyakit, mencelakakan orang lain, termasuk ilmu hitam. (Sudarma, 2003: 164)

Terlepas dari hal tersebut di atas, sebuah mantra akan dapat memberikan manfaat maksimal (śākti, śiddhi, suci) baik kepada uyang mengucapkannya maupun orang lain dan lingkungan dalam bentuk vibrasi dipengaruhi oleh beberapa hal prinsip, yaitu:
1. Śraddhā; keyakinan yang mendalam terhadap sebuah mantra yang dipakai media untuk merealisasikan tujuan tersebut. Tanpa keyakinan, sama halnya ketika sakit lalu pergi ke dokter dan minta diobati tetapi kita tidak yakin terhadap resep dan anjuran dokter tersebut, tentu kita tidak akan sembuh.
2. Bhakti; perasaan hormat, rindu, cinta kasih, yang mendalam terhadap mantra tersebut, memperlakukan mantra itu seperti kita merawat diri sendiri, Dia adalah istri yang sesungguhnya yang dengan setia menyertai langkah kita. Tanpa bhakti mantra apapun akan menjadi bumerang buat kita. Kasih dan hormat pada mantra dengan keyakinan pada hasil yang dijanjikannya jauh lebih penting daripada sekedar pengulang-ulangan secara mekanis dengan pikiran ngelantur kemana-mana.
3. Sadhāna, cepat atau lambatnya sebuah mantra memberikan manfaat kepada kita adalah karena Sadhāna (disiplin spiritual), Bagaimana mungkin mantra akan menjadiŚiddhi apalagi Śākti kalau hanya diucapkan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali, sementara kita setiap saat berhubungan dengan dunia maya yang senantiasa mengkontaminasi badan, emosi, dan jiwa kita. Lukakanlah Sadhāna dengan konsisten dan berkesinambungan. Tidak perlu tahu banyak mantra tetapi kita tidak paham terhadap arti, makna yang tersirat didalamnya, cukup satu mantra tetapi kita paham dan memiliki Sadhāna . saat ini, banyak orang tahu banyak jenis mantra tersebut, hal seperti itu tak ubahnya seperti tong kosong yang bunyinya nyaring tapi tidak memiliki kekuatan.
4. Chānda; teknik pengucapan mantra sangat penting keberadaannya, karena jika sebuah mantra salah memberikan penekanan dan pemenggalan sesuai dengan Chānda atauguru laghu dan guru bhasanya, tentunya akan memiliki arti dan maksud yang berbeda. Mengenai irama itu sesuai dengan bakat suara masing-masing sadhaka.
5. Kriya; kegiatan berupa pemujaan, baik luar maupun dalam dengan pengetahuan tentang arti esoterik dan eksoteriknya, ataupun pemujaan dalam semacam pengorbanan ke-akuan atau pembakaran segala keinginan. (Sudarma, 1998: 6).

Penggunaan Mantra
Menurut waktu penggunaannya mantra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Nitya Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilaksanakan setiap hari secara rutin, misalnya seperti Puja Tri Saṇdhya, yang dilaksanakan setiap hari. Nitya Karma Puja ada dua jenis, yaitu:
a. Saṇdhyā Vandanā atau Saṇdhyŏpāsanā, yaitu pemujaan yang dilakukan pada setiap pertemuan waktu. 

Artinya doa dan pemujaan yang dipersembahkan kepada Tuhan, pada pertemuan waktu (saṇdhi) malam hari dengan pagi hari, tengah hari dan pertemuan antara sore hari dengan malam. Saṇdhyŏpāsanā harus dilakukan pada saat Saṇdhya yang tepat, agar mendapat manfaat yang sebesar-besarnya berupa Brahma Teja (Pencerahan Brahman), karena pada tiap-tiap Saṇdhya itu terdapat perwujudan kekuatan khusus yang akan lenyap apabila Saṇdhya tersebut berlalu. 

Kekuatan-kekuatan khusus tersebut dapat memotong rantai saṁsara masa lalu dan mengubah seluruh situasi masa lalu seseorang, serta memberikan kemurnian dan keberhasilan setiap usaha, dan menjadikannya penuh daya serta ketenangan. Pelaksanannya Saṇdhya mutlak diperlukan bagi seseorang yang menelusuri jalan kebenaran, karena pelaksanaan Saṇdhya merupakan kombinasi dari Japa Upāsana, Svadhyāya, Meditasi, Konsentrasi, Āsana,, Praṇāyāma, dan lain sebagainya. Pelaksanaan Saṇdhyŏpāsanā bersifat wajib, perlu dipelajari tata tertib pelaksanaannya agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; karena kalau tidak dilaksanakan akan menimbulkan Pratyavaya Doṣa atau doda karena lalai, dan jelas akan kehilangan Brahmma Teja atau kecemerlangan spiritual. Referensi bacaan: Chandogya Upaniṣad II.24, I.24, III.16, I.7; Brahma Upaniṣad; Maitreya Upaniṣad II.13-14; Jabalŏpaniṣad. 12,13, dan sebagainya.

b. Japa atau Namasmaranaṁ, yaitu pemujaan yang dilakukan untuk mengagungkan nama-nama suci Tuhan dengan cara menyebut secara berulang-ulang. Dapat pula dibantu dengan mala/rudraksa/ruas jari tangan atau menuliskannya di buku secara terus-menerus/berulang-ulang.

2. Naimitika Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilakukan secara insidential pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya: mantra yang diucapkan ketika upacara abhiseka, peletakan batu pertama, dalam berbagai saṁskāra, Purnama, Tilem, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya Naimitika Karma Puja ini ada yang berdasarkan Panca Wara, Sapta Wara, Wuku, Sasih/Bulan, Varsa/tahun, dan berbagai kejadian yang dianggap penting, seperti Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, Wabah, tempat angker, dan sebagainya.

YANTRA
Yantra adalah bentuk “niyasa” (= simbol = pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, misalnya dalam perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain.
Dalam tradisi hindu,Yantra umumnya digunakan dalam melakukan upakara puja dengan mengikut sertakan bija mantra sesuai Yantra tersebut Dengan banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra dan mantra yang berbeda, sehingga bentuk yantrapun dalam kesustraan hindu dibagi menjadi :
Bhu Pristha Yantra: yantra ini biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada suatu bahan tertentu dan yantra yang hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.
Meru Pristha Yantra : yantra ini membentuk seperti gunung atau seperti piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin mengecil misalnya seperti bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.
Meru parastar yantra : ini adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.
Ruram Pristha Yantra: yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak kura-kura.
Patala yantra: ini adalah kebalikan dari meru Pristha yantra yaitu diatasnya berbentuk besar an dibawahnya kecil.
Setipa Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda sehingga bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau seperti sebuah perhiasan yang tentunya disesuaikan dengan yantra serta kebutuhan si pemakainya.Dengan berkembangnya jaman sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil ,misalanya dalam bentuk kalung,gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu antra energi yang ada dalam yantra dan energi si pemakai menjadi saling sesuai. Yantra dapat diibaratkan polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat dirasakan manfaatnya atau hasilnya.
1. Menulis Yantra


Dalam menulis yantra,ada ketentuan yang harus diikuti agar yantra nantinya memiliki energi untuk membantu apa yang diinginkan.Apabila ketentuan penulisan yantra kurang diperhatikan bisa jadi yantra tersebut hanyalah mejadi sebuah goresan tanpa memiliki kekuatan apapun. Ada beberapa hal yang diperhatikan menulis yantra yakni: Waktu ,Tempat dan arah penulisan, setiap yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda-beda demikian juga dalam pembuatannya disesuaikan dengan waktu dan tempat dalam menulisnya.Menulis yantra di pagi hari dengan menghadap ke matahari terbit, maka yantra ditulis dari arah timur ke barat. yantra ini umumnya digunakan untuk meningkatkan daya spiritual atau untuk kesucian. Membuat yantra untuk mendamaikan biasanya ditulis pada malam hari dengan posisi menghadap ke utara.Yantra untuk mencapai kesuksesan ditulis pada siang hari dengan posisi menghadap ke Barat.Dan berbagai waktu dapat dipergunakan menulis yantra yang mana disesuaikan dengan tujuan yantra yang akan ditulis.
Alat untuk menulis Yantra, biasanya dalam memulis yantra pena yang digunakan terbuat dari bermacam-macam jenis misalnya pena terbuat tangkai melati,tangkai pohon delima,bulu burung ataupun tebuat dari dari logam.

2. Yantra & Mantra


Yantra bukanlah sesuatu yang magis atau tahayul, akan tetapi sebuah instrument rahasia yang mampu dimanfaatkan untuk mencapai tujuan atau memenuhi keinginan dan ambisi.Sebuah instrumen berbentuk diagram mistik yang sangat rumit dimana setiap goresan ataupun huruf yang tertulis mengandung makna dan kekuatan tertentu. Yantra telah dikenal sejak jaman Purba dimana oleh para Rsi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk membantu mencapai tujuan kesuciannya. Selain itu Yantra juga banyak dimanfaatkan oleh orang dijaman dulu untuk memenuhi keinginan dan tujuan yang dia ingin capai.Mereka meyakini dengan kekuatan Yantra tertentu atau yang tepat untuk dirinya maka yantra itu akan mampu menghilangkan pengaruh buruk dari zodiak atau planet yang mempengaruhi kelahiran atau kehidupan mereka.Sehingga dengan yantra mereka mampu merasakan perubahan hidupnya kearah yang lebih baik, lebih memajukan kehidupannya atau keinginannya telah terpenuhi. 
 Mantra adalah kata-kata/kalimat atau suara khusus yang mengandung kekuatan atau daya magis.Mantra berasal dari kata" Manas / manah " berarti Pikiran/hati, dan suku kata "Tra " berarti Suara. Jadi mantra dalam hal ini berarti Suara Pikiran/hati atau getaran pikiran/hati yang diprogram secara khusus untuk mendapatkan effek tertentu yang nantinya dimanfaatkan untuk keperluan tertentu pula.
Manusia pada umumnya mengekspresikan diri melalui isyarat berbentuk gerakan dan suara.Isyarat yang berbentuk gerakan yang dapat dilihat dan di cecap inilah Yantra-nya, dan yang berupa gelombang Suara yang didengar dan dirasakan inilah Mantra-nya.Antara Yantra dan Mantra merupakan sesuatu yang saling berkaitan, saling mendukung dan saling melengkapi untuk menerangkan atau menyampaikan suatu keinginan pribadi kepada Yang Maha Kuasa.
Dari sisi lain Yantra dan Mantra dapat dikatakan simbolis dari suatu bentuk dan suara yang bersisi kekuatan khusus.

 
 
TANTRA
Secara umum tantra dapat diartikan yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian.
Tantra adalah ilmu pengetahuan kerohanian yang untuk pertama kalinya diajarkan di India 7000 tahun silam. Tan barasal dari akar kata Sansekerta yang berarti “perluasan”, dan Tra berarti “pembebasan”. Dengan demikian Tantra merupakan latihan rohani yang mengangkat manusia ke dalam suatu proses yang memperluas pikirannya. Tantra menghantar manusia dari suatu keadaan tidak sempurna menjadi sempurna, dari keadaan kasar menjadi halus, dari kemelekatan menjadi terbebaskan.
Perkembangan Tantra berjalin dengan perkembangan peradaban di India kuno. Pada saat Tantra tumbuh menjadi latihan rohani yang utama, India sedang mengalami suatu masa persimpangan sejarah. Di barat laut suku-suku pengembara dari Asia tengah, yaitu Arya, mulai memasuki India yang mereka namakan Bharata Varsha(tanah yang menghidupi dan mengembangkan umat manusia). Meskipun mereka adalah bangsa pengembara dengan kebudayaan perang, di kalangan mereka ada juga para bijak yang dikenal sebagai Rishi yang mulai mengungkapkan berbagai pertanyaan mendasar tentang asal mula dan tujuan alam semesta.
Para bijak itu menyampaikan ajaran-ajarannya dari mulut ke mulut, dan belakangan mereka mengumpulkannya menjadi buku yang dikenal dengan nama Veda. Dalam ajaran-ajaran ini mereka mengemukakan pemikiran tentang Kesadaran Yang Maha Tinggi, jauh lebih maju daripada berbagai konsep yang sebelumnya ada di dunia ini mengenai para dewa yang dianggap menghidupi kekuatan alam. Mereka juga mengembangkan sistem doa dan puja agar dapat memasuki keterhubungan dengan Kesadaran Agung, namun kebanyakan bentuknya masih bersifat eksternal, ritual belaka.
Di India suku bangsa Aria berhadapan dan bertempur dengan penduduk pribumi - bangsa Austrik, bangsa Mongolia, dan bangsa Dravidia. Bangsa Aria menganggap para pribumi ini merupakan bangsa yang lebih rendah, dan dalam dongeng India seperti Ramayana, bangsa-bangsa itu dilambangkan seperti para monyet dan hantu.
Meskipun dianggap rendah, namun bangsa Arya sangat tertarik pada latihan rohani yang dipraktikkan para pribumi. Pendekatan rohani yang dianut mereka yang bukan Arya adalah Tantra, dan itu sangat berbeda dengan syariat Veda milik kaum Arya, karena Tantra pada dasarnya adalah proses introvers, masuk ke dalam, bukan sekedar upacara eksternal saja. Banyak orang Arya yang mulai mempelajari cara pengembangan rohani Tantra, dan pada masa kemudian buku-buku Veda sangat dipengaruhi oleh Tantra.
Dalam masa peperangan antara suku bangsa Arya dan non-Arya, lahirlah seorang agung. Namanya Sadashiva, artinya “dia yang selalu terserap dalam kesadaran” dan “dia yang sumpah satu-satunya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan”. Sadashiva, dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang Guru rohani yang istimewa. Meskipun Tantra sudah dipraktikkan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistematis bagi umat manusia.
Bukan saja beliau adalah seorang guru spiritual, namun beliau juga pelopor sistem musik dan tari India, dari sebab itu beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraj (Tuhan Penata Tari). Shiva juga merupakan pelopor ilmu pengobatan India, dan menurunkan suatu sistem yang terkenal dengan nama Vaedya Shastra.
Dalam bidang sosial Shiva juga memainkan peranan penting. Beliau memelopori sistem pernikahan, yaitu kedua mempelai menerima saling tanggung jawab demi keberhasilan perkawinan, tanpa memandang kasta atau suku. Shiva sendiri melakukan perkawinan campur, dan dengan mengawini seorang putri Arya beliau membantu menyatukan berbagai pihak di India yang sedang saling berperang dan memberikan bagi mereka suatu sudut pandang sosial yang lebih universal. Karena kepeloporan sosial ini Shiva dikenal juga sebagai “Bapa peradaban manusia”.
Sumbangan terbesar dari Shiva pada kelahiran peradaban yang baru adalah pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata Sansekerta yang berarti “sifat dari sananya” milik sesuatu hal. Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia? Shiva menerangkan bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan inderawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman atau binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan hidup manusia, dan ajaran rohani Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu.
Seperti halnya dengan berbagai ajaran kuno lainnya, ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke dalam buku. Isteri Shiva, Parvati, sering bertanya pada beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya jawab ini dikenal sebagai Tantra Shastra (kitab suci Tantra). Ada dua macam buku. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktik-praktiknya dalam bukuAgama.
Sebagian buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi, namun dengan demikian pemikiran-pemikiran Tantra tak pernah terungkapkan dengan jelas.
Guru dan Murid
Dalam berbagai ulasan mengenai Tantra Shastra dan dalam bukunya mengenai kehidupan dan ajaran Shiva, Shrii Shrii Anandmurti mengemukakan beberapa pemikiran dasar bersumber dari ajaran-ajaran kuno itu. Salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan antara Guru dan murid. Guru berarti “seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan” dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada seorang guru yang baik dan seorang murid yang baik.
Shiva menjelaskan bahwa ada tiga jenis Guru. Golongan pertama adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindaklanjuti pengajarannya. Jadi mereka pergi dan meninggalkan murid tanpa pengarahan. Kelompok kedua atau tingkat menengah adalah mereka yang mengajar dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan murid untuk mencapai tujuan akhirnya. Jenis guru yang paling baik menurut Tantra adalah yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar muridnya mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.
Ciri guru yang istimewa ini lebih jauh diperinci dalam Tantra Shastra. Guru adalah yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati, dan berpakaian sederhana. Dia memperoleh penghidupannya secara layak, dan berkeluarga. Dia fasih dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu teori dan praktik pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang demikian disebut Mahakoala.
Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada sesorang yang dapat menyerap pelajarannya. Tantra Shastra menguraikan tiga kelompok murid. Jenis pertama dapat dibandingkan dengan sebuah gelas yang dibenamkan ke air dengan mulut kebawah. Meskipun berada di dalam air dan tampak penuh, namun bila dikeluarkan dari air akan tetap kosong. Ini seolah seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam keseharian.
Kelompok murid kedua adalah seperti gelas yang dicelupkan miring ke dalam air. Tampaknya memang penuh saat terbenam namun ketika diangkat akan kehilangan banyak air. Murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali.
Kelompok murid yang terbaik dilambangkan dengan gelas yang dibenamkan dalam air dengan posisi tegak. Saat dalam air gelas itu penuh dan saat diangkat keluar air tetap penuh. Murid seperti ini tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus bertekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.
Hubungan guru murid sangat penting dan merupakan ciri kunci dalam Tantra. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya.
Shiva adalah Mahakala, namun sejak kematiannya tak ada guru yang sepadan lagi dengannya dan Tantra mengalami surut. Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi terpelintir. Kini Tantra terselubung misteri dan banyak sekali salah pengertian mengenainya.
Meraih pengertian tentang M
Untuk mengerti sumber salah pengertian itu, patut kita teliti mengenai 5M, yaitu beberapa latihan rohani yang dinamai dengan huruf mula M. Shiva mulai mengajarkannya sepadan dengan kemajuan murid. Beliau mengamati bahwa orang terntentu masih pada tingkat terkuasai oleh nafsu hewani dan sebagian lain sudah berkembang lebih tinggi. Beliau memberikan latihannya tergantung pada sifat muridnya.
Huruf M pertama adalah Mada. Artinya ada dua. Salah satu arti mada adalah “anggur”. Bagi mereka yang masih dikuasai oleh insting ragawi Shiva menganjurkan mereka untuk tetap minum anggur, namun beliau menunjukkan jalannya untuk mengendalikan kebiasaan itu dan akhirnya meninggalkannya. Bagi mereka pada tingkat yang lebih tinggi, mada mempunyai arti yang berbeda. Artinya bukan anggur melainkan “madu ilahi”. Sepanjang waktu kelenjar pineal mengeluarkan cairan yang disebut amrta. Seorang yogi yang telah membersihkan pikirannya dan berlatih puasa dapat mencicipi cairan ini dan mengalami kedalaman akibat cairan ini pada seluruh dirinya, yang sering disebut sebagai penuh kebahagiaan. Jadi, ada dua pengetian mada, yang kasar dan materiil, dan pengertian yang lebih halus dan rohani.
Huruf M berikutnya adalah Mamsa. Salah satu artinya adalah daging. Bagi mereka yang makan banyak daging, Shiva menganjurkan untuk meneruskannya namun dengan pemikiran rohani dan akhirnya mengendalikan serta meninggalkan kebiasaan itu. Bagi praktisi Tantra yang lebih halus, mamsa berarti lidah dan berhubungan dengan latihan rohani pengendalian ucapannya.
Matsya, huruf M yang ketiga, berarti ikan. Bagi praktisi yang masih berpikir ragawi, Shiva mengajarkan hal yang sama seperti anggur dan daging. Pada tingkat Tantra rohani atau halus, ikan berarti dua jalur halus yang menelusuri tubuh dari ujung tulang belakang yang saling menjalin dan berakhir di kedua lubang hidung. Kedua jalur ini dikenal sebagai ida dan pingala. Dengan pengetahuan pengendalian napas,Pranayama, aliran dalam kedua jalur itu dikendalikan dan pikiran menjadi tenang agar mudah meditasi. Ini adalah bentuk matsya bagi praktisi spiritual.
Huruf M berikutnya adalah Mudra. Mudra hanya mempunyai arti spiritual dan tak ada hubungannya dengan praktik yang lebih kasar. Mudra berarti memelihara hubungan dengan semua yang membantu kita memperoleh kemajuan rohani dan menghindarkan diri dari kehadiran semua hal yang dapat mengganggu kemajuan kita.
Huruf M terakhir adalah Maethuna, dan ini yang banyak menimbulkan kerancuan mengenai Tantra. Maethuna berarti persatuan. Pada pengertian yang rendahan berarti persatuan seksual. Bagi mereka yang masih dikuasai oleh insting seksual, Shiva menganjurkan bahwa seks dilakukan dengan ideasi rohani dan secara perlahan harus dikendalikan.
Bagi para praktisi yang lebih maju, yaitu mereka yang telah mempraktikkan Tantra yang lebih rohani dan lebih halus, Shiva mengajarkan praktik Maethuna yang lain. Dalam hal ini, “persatuan” berarti menyatukan kesadaran seseorang dengan Kesadaran Mahatinggi. Dalam hal ini enersi spiritual manusia, yang diam tertidur di ujung tulang belakang, dibangkitkan sampai naik mencapai pusat enersi yang paling tinggi (dekat kelenjar pineal), mengakibatkan praktisi mengalami persatuan dengan Yang Mahatinggi.
Persatuan yang halus
Salah satu ciri khas dari Tantra yang halus adalah metode meditasinya yang introvers, masuk ke dalam. Konsep mantra memiliki tempat yang penting dalam paham meditasi Tantra. “Man” berarti “pikiran” sedangkan “tra” berarti “yang membebaskan”. Maka mantraadalah getaran tertentu yang membebaskan pikiran.
Para yogi jaman dahulu bereksperimen dengan berbagai getaran suara dan mulai menggunakan suara-suara khusus yang mereka anggap berguna bagi perluasan pikiran. Mereka menemukan bahwa ada tujuh pusat enersi psycho-spiritual yang utama dalam tubuh manusia. Mereka selanjutnya menemukan bahwa ada 50 macam suara keluaran dari pusat-pusat enersi itu. Suara-suara ini terdapat dalam abjad Sansekerta, dan kombinasi dari suara-suara itu dipergunakan pada jaman dahulu dalam proses konsentrasi dan meditasi.
Selama meditasi Tantra, seorang meditator akan berkonsentrasi pada mantra dan mengupayakan satu getaran suara saja (dan ideasi yang berhubungan dengannya) dalam pikirannya. Pengulangan mantra secara menerus akan mengangkat kesadaran praktisi pada tingkat yang lebih tinggi.
“Tidak sembarang suara secara acak dapat dipergunakan untuk meditasi, namun memang ada beberapa ciri yang harus dimiliki mantra agar bermanfaat. Pertama, setiap mantra haruslah berdenyut sifatnya, yaitu mempunya dua suku kata yang dirapal ulang seiring tarikan dan hembusan napas. Selanjutnya mantra harus berkaitan dengan suatu ideasi. Paham umum yang digunakan mantra dalam meditasi adalah “Aku menunggal bersama Kesadaran Mahatinggi”. Mantra yang demikian membantu mengkaitkan kesadaran praktisi pada keseluruhan kesadaran alam semesta.
Ciri terakhir dari mantra adalah mantra harus memiliki getaran tertentu yang dapat menghubungkan getaran si meditator dengan getaran Kesadaran Agung. Karena setiap orang tidak sama, maka mantra yang digunakan juga tidaklah sama bagi setiap orang. Guru meditasi akan memilihkan mantra yang sesuai dengan getaran tertentu seseorang dan dapat menghubuingkan getarannya dengan irama semesta Kesadaran Agung.
Tantra bukan saja merupakan kumpulan teknik meditasi atau yoga belaka. Ada paham-paham mengenai dunia yang terkandung di dalamnya. Menurut Tantra, perjuangan adalah sari hidup. Upaya penuh perjuangan mengatasi berbagai kendala dan maju dari keadaan tak sempurna menuju yang sempurna adalah semangat sejati dari Tantra.
Dalam upaya maju dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, ada tiga tingkat yang harus dilalui. Tingkat pertama, seseorang masih dikuasai oleh insting hewaninya, namun pada tingkat berikutnya dia berhasil mengendalikan insting-insting itu dan mencapai tingkat perkembangan sebagai manusia sejati. Akhirnya, dengan upaya dan perjuangan yang berkelanjutan, suatu tingkat (kosa) akan tercapai saat seseorang bagaikan dewata. Tantra dengan demikian memiliki sudut pandang dunia yang sangat optimistik. Tantra menunjukkan bagaimana seseorang maju dalam lingkaran kosmik (”Brahmacakra“) dengan kesadaran yang kurang, maju menuju yang jauh sangat lebih tinggi

Mengenal Ajaran Kundalini
Pengetahuan tentang kundalini sudah berumur kurang lebih tujuh ributahun. Kundalini merupakan bagian dari ajaran Tantra yang berkembang diIndia dan Tibet. Ajaran ini tidak diajarkan secara luas, hanya terbataspada murid-murid yang terpilih. Pengetahuan ini diturunkan secaralangsung dari guru spiritual kepada muridnya untuk menghindari jatuhnyapengetahuan ini kepada orang-orang yang berkesadaran rendah dan kepadamereka yang hanya mencari kesaktian.
Karena itu selama beberapa ributahun ilmu pengetahuan kuno ini tidak pernah didokumentasikan. Setelahbeberapa ribu tahun, setahap demi setahap para guru mulai menuliskanrahasia-rahasia ini agar pengetahuan ini tidak akan hilang seluruhnya.Mereka menuliskannya dalam bahasa yang disamarkan. Dalam berbagai macamkiasan, simbol, kode sehingga tulisan tersebut tidak dapat disalahgunakan oleh para pencari yang tidak layak mempelajarinya.
Kundalini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti gulungan. Dalamkeadaan tidur (belum bangkit dan belum aktif) , kundalini berbentuk gulungan 3½ lingkaran yang terletak di sumsum tulang belakang manusia,tepatnya di bawah tulang ekor (perinum). Ketika kundalini sudah bangkitdan aktif ia akan merambat naik melalui jalur sushumna, menembus semua chakra dan akhirnya keluar dari chakra mahkota. Pada saat merambat naik, kundalini akan membersihkan semua jalur-jalur energi yang dilaluinya dan saat itu, anda akan merasakan sensasi-sensasi tertentu di tubuh anda.
Pada saat ini kundalini dapat dikatakan sebagai energi. Tujuh ributahun yang lalu kundalini tidak dapat digambarkan dalam istilah energikarena pada saat itu pengertian akan energi belum ditemukan. Kundalinijuga disebut sebagai Kundali-shakti (kekuatan Kundali).Kata Kundalini atau Kundali digunakan oleh aliran yoga dalam pengertianteknis dan dapat pula disebut sebagai kekuatan dalam bentuk spiral atauenergi.

MANFAAT KUNDALINI
* Menciptakan keseimbangan tubuh secara holistic (fisik, mental, emosional dan spiritual.
* Membantu proses percepatan penyembuhan seluruh jenis penyakit.
* Peningkatan daya imun tubuh dari penyakit dan stress.
* Melepaskan trauma masa lalu.
* Memperbaiki sikap mental yang kurang baik.
* Meningkatkan kecerdasan dan konsentrasi.
* Kemampuan untuk mengontrol pikiran dan emosi.
* Melancarkan peredaran darah.
* Memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak dan meremajakan DNA tubuh.
* Membersihkan kotoran-kotoran eterik.
* Memperbaiki system metabolisme tubuh.
* Membersihkan chakra-chakra dan jalur-jalur energi.
* Memurnikan getaran/vibrasi energi pada tubuh.
* Menyeimbangkan keaktifan semua chakra.
* Memurnikan prana/energi yang masuk ke dalam tubuh.
* Membantu bangkitnya kemampuan clairvoyance, yaitukemampuan dalam melihat dan merasakan energi yang halus (subtleenergies) seperti : melihat aura, pancaran energi, melihat chakra dll.
* Membantu bangkitnya kemampuan clairaudience, yaitu kemampuan dalam mendengar dan memahami suara gaib, mendengar pesan dari alam/dimensi lain.
* Membantu bangkitnya kemampuan psychometry, yaitu dapat mengetahui sejarah suatu benda hanya dengan sentuhan saja.
* Membantu bangkitnya kemampuan clairsentience, yaitu kemampuan merasakan suatu pikiran, emosi, aroma, dan sensasi fisik (emosi dan sakit yang diderita orang lain).
* Membantu bangkitnya kemampuan psychokinesis, yaitu kemampuan mempengaruhi sikap, pikiran dan jiwa seseorang ke arah yanglebih baik, menenangkan orang yang kalap, bingung, emosi, dan dapatmenyadarkan/menetralisir orang yang kesurupan (trance).
* Materialisasi, yaitu kemampuan untuk mewujudkan/mempercepat prosespencapaian keinginan/cita-cita, menetralisir suatu tempat / benda darienergi yang merugikan.
* Out Of Body Experience, yaitu kemampuan untuk melepastubuh eterik memasuki dimensi tingkat tinggi, bertemu dengan spiritualguide/ascended masters/guru-guru tingkat tinggi.
* Merasakan peningkatan pengalaman spiritual dalam kehidupan yanganda jalani sekarang maupun pada tingkat dimensi yang lebih subtle dantinggi.
* Lebih mudah memasuki keadaan meditatif.
* Peningkatan kesadaran yang lebih tinggi guna pencerahan/enlightment.
* Proteksi tubuh, harta benda dan objek lainnya.
* Terlindungi dari niat tidak baik orang lain.
* Menetralisir ancaman-ancaman kejahatan.
* Terbebas dari pengaruh serangan energi negatif.
* Reflek tubuh yang baik disaat bahaya mengancam, dll


 

Penyatuan Siva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali
 
Sejarah Ringkas Śiva-Buddha
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, evolusi Śiva-Buddha dibagi menjadi tiga phase, yaitu phase pertama meliputi evolusi sebelum zaman Majapahit; phase kedua pada zaman Majapahit (1292-1500); dan phase ketiga setelah zaman Majapahit terutama perkembangan kedua sistem keagamaan tersebut di Bali.
Pada phase pertama, yaitu sebelum zaman Majapahit tingkat sinkretisme antara Śivaisme dan Buddhisme belum menunjukkan gejala penyatuan yang kuat sehingga perbedaan antara Śivaisme dan Buddhisme masih dapat diperlihatkan.
Pada phase kedua, yaitu pada zaman Majapahit, sinkretisme antara kedua agama tersebut menunjukkan tingkat penyatuan yang semakin kuat karena beberapa alasan seperti peran raja yang menganut kedua agama tersebut, berkembangnya ajaran tantra yang mempengaruhi baik Śivaisme maupun Buddhisme, inter-marriage, dan persamaan-persamaan antara kedua sistem tersebut baik dalam tataran philosophy, etika maupun upacara keagamaan, disamping sosial keagamaan seperti kerjasama dalam mendirikan bangunan suci.
Sedangkan phase ketiga, yaitu evolusi Śiva-Buddha setelah Zaman Majapahit, khususnya di Bali, menunjukkan tingkat hubungan yang semakin luluh, seperti ditunjukkan oleh kenyataan dimana Śiva dan Buddha dipuja didalam Padmasana sebagai Tuhan yang satu yang disebut Sanghyang Tunggal.
Di India, percampuran Śiva-Buddha mulai menunjukkan jati dirinya bersamaan dengan berkembangnya ajaran Tantra pada dinasti Pala (dari abad 8-11 Masehi) di Bengal dan Bihar pada dinasti Bhumakaras (736-940 M) di Orissa. Tanda-tanda awal percampuran antara Śaktisme, Śivaisme dan Buddhisme bisa ditemukan di Mandir Vetal, yaitu tempat suci untuk memuja Sakti. (H.C. Das, 2003: 70). Menurut R.C. Sharma (2004: 10) percampuran antara mazab Śiva and Buddha di India merupakan hasil dari interaksi yang diinginkan (interaction of willing), sehingga unifikasi tersebut menghasilkan hubungan yang damai dan harmonis. Interaksi yang tidak diinginkan atau interaksi yang dipaksakan akan menghasilkan ketidak-harmonisan.
Dalam sejarah evolusi agama Hindu dan Buddha di India, tidak selalu terjadi hubungan yang harmonis di antara kedua agama tersebut. Ada kalanya, interaksi di antara kedua agama tersebut, justru menyebabkan agama Buddha mengalami kemerosotan (decline). Khususnya pada akhir zaman pertengahan (medieval period) kebencian kaum Brāhmaṇas terhadap pengikut Buddha dianggap salah satu faktor penyebab kemerosotan agama Buddha di India. Kurangnya perlindungan terhadap pengikut Buddha dari raja-raja Hindu juga memegang peranan penting atas kemerosotan agama Buddha di India, selain karena berkembangnya ajaran Tantra.
Di Nepal, gejala percampuran Śiva-Buddha, dapat ditelusuri melalui tempat suci Pasupathinath Mandir. Ini adalah salah satu tempat suci terbesar di Nepal, dimana Śiva dipuja sebagai pelindung semua makhluk hidup atau Pashupati. Sejarah pemujaan Pashupati di lembah Himalaya ini sudah ada sejak abad ke 3-4 M, sebagaimana dijelaskan dalam prasasti dan sumber-sumber sastra.
Pada bagian uttama mandala (sanctum sancturium) dari Pashupatinath Mandir terdapat Śivalingga. Pada setiap bulan Juli, yaitu pada Srawana Purnima, umat Buddha Newar di Lembah Kathmandhu, memuja Pashupatinath sebagai Bodhisattva avalokitesvara. Mereka memuja Śivalingga dengan menghiasi bagian kepala Śivalingga tersebut dengan mahkota. Mahkota tersebut umumnya berbentuk pendeta Buddha tantrik. Dalam Prasasti Pritivi Malla yang ditemukan di daerah Nepal bagian Barat, berangka tahun saka 1279 (1357 M), mantra Buddha “Om Mani Padme Hum” dituliskan pada bagian atas prasasti, sedangkan pada bagian bawah ditulis mantra Hindu “Om Swasti”.
Sinkretisme Śiva-Buddha bukanlah monopoli Indonesia. Selain di India dan Nepal, phenomena yang sama juga terjadi di beberapa Negara Asia dan Asia Tenggara, seperti Tibet dan Kamboja. Namun, gejala percampuran Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia tidak hanya yang terbesar dalam hal pengaruhnya yang luas terhadap kepercayaan masyarakat, melainkan juga satu-satunya contoh sinkretisme yang masih tetap bertahan hidup sampai saat sekarang.

Penyatuan Śiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali
Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu: “jalan kanan” dan “jalan kiri.” Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan kanan” (menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black magic dan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, didalam “jalan kanan”, bhakti atau penyerahan diri memegang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bhakti cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang mengganggu dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut, eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di pekuburan.
Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari praktisi tantra. Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian tantra atas tantra positif dan negative dan menekankan pada metode untuk mentransformasikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tibetan tantra, mengatakan, tantra menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun tantra mengakui bahwa khayalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh karena itu harus diatasi, namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikannya obat yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.
Dalam arti tertentu, tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisasi sang diri dengan menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain, meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan sexual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia.
Hubungan sex dalam Tantra, seperti diperkirakan oleh Dasgupta merupakan penyimpangan dari konsep awal Tantra. Konsep Tantra meliputi elemen-elemen yakni: mantra, yantra, mudra, dan yoga. Penyimpangan tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” (practical means) dalam Tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahāyāna dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi. Dengan kata lain, tujuan tertinggi baik tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek (prajñā and upāya) serta merealisasikan sifat non-dual dari Realitas Tertinggi.
H.B. Sarkar menyatakan hubungan sexual dalam Tantra lebih diarahkan untuk mengontol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai pembebasan. Ia mengatakan, secara umum, tradisi Indonesia, membagi tujuan hidup manusia menjadi dua: pragmatis and idealistis. Mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktekkan sistem Kālācakrayāna dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamian.
Di Indonesia dikenal tiga jenis tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat; Bhairava Kālācakra yang dipraktekkan oleh raja Ktanegara dari Singasari dan Ādityavarman dari Sumatra yang sezaman dengan Gajahmada di Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali. Arca Bhairava Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar, Bali. Menurut Prasasti Palembang (684 M), Tantrayana masuk ke Indonesia melalui kerajaan Śrivijaya di Sumatra pada abad ke- 7. Kālacakratantra memegang peranan penting dalam unifikasi Śivaisme dan Buddhisme, karena dalam tantra ini, Śiva and Buddha, di-unifikasi-kan menjadi Śivabuddha.
Konsep Ardhanarisvarī memegang peranan yang sangat penting dalam Kālācakratantra. Kālācakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan penyatuan Dewi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyāni Buddha, melainkan juga dengan Ādi Buddha Sendiri. Kālācakratantra mempunyai berbagai nama dalam sekta tantra yang lain, seperti Hewajra, Kālācakra, Acala, Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candamahaosana dan berbagai bentuk Heruka.
Didalam Tantrayana, ritual adalah elemen utama untuk merealisasikan Kebenaran Tertinggi. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari ide-ide yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut religious. Ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religious ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan, dimana untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan Diri Beliau Sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religious sebagai alat, pikiran ditransformasikan dan disucikan.
Mazab Śiva-Buddha dengan pengaruh khusus Kālācakratantra dapat dilihat pada tinggalan-tinggalan arkeologi, seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam Nāgarakěrtāgama Bab 56, ayat 1 dan 2, melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah candi, yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Śivaistis dan bagian atas atau atap, adalah Buddhistis, sebab didalam kamar terdapat arca Śiva dan diatasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Akobhya. Inilah alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah Kirtti.
Dalam tantra Hindu prinsip metaphisik Śiva-Śakti dimanifestasikan di dunia material ini dalam wujud laki dan perempuan; sedangkan dalam tantra Buddha pola sama diikuti, dimana prinsip-prinsip metaphisik Prajñā and Upāya termanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki. Tujuan tertinggi dari kedua mazab tantra ini adalah penyatuan sempurna, yaitu penyatuan antara dua aspek dari realitas dan realisasi dari sifat-sifat non-dual dari roh dan non-roh.
Prinsip-prinsip tantra secara fundamental sama dimana-mana. Perbedaan-perbedaan kecil yang barangkali ada, hanyalah perbedaan pada nada dan warna. Dalam tantra Hindu, nada dan warna tersebut, diisi oleh ide-ide filsafat, agama dan praktek-praktek agama Hindu; sedangkan tantra Buddha diisi oleh ajaran-ajaran agama Buddha.
Sehubungan dengan tantra Hindu dan Buddha ini, H.B. Sarkar mengatakan, mistik yang lebih tua dan ritual dengan praktek-praktek shamanisme diperlakukan dan dimodifikasi dengan perhiasan-perhiasaan baru pemujaan yang didominasi oleh mandala, mantra, mudrā, ābhiseka, dan sebagainya. Disini, baik tantra Buddha maupun tantra Hindu sebagian besar menggunakan simbul-simbul luar dan pola yang sama dalam penyelenggaraaan ritual, tetapi isi dan objek dari kedua tantra itu berbeda secara keseluruhan. Sebab, para sadhaka Buddha melalui praktek tantra menginginkan pembebasan dari ikatan dunia material dan tenggelam kedalam kebahagiaan abadi, sedangkan tantra Śaiva ingin mengontrol dunia material.
Dengan kenyataan-kenyataan tersebut tidak mengherankan apabila Śivaisme dan Buddhisme bisa mencapai penyatuan yang begitu dalam melalui medium ajaran Kālācakratantra. Alasan atas kuatnya penyatuan tersebut juga dapat ditelusuri melalui fakta sejarah bahwa awal mula kehadiran Kālācakratantra di antara pemeluk Hindu dan Buddha adalah untuk melakukan perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan Islam.
Biswanath Banerjee mengatakan, penyatuan dewa-dewa dan dewi-dewi Hindu mencapai puncaknya pada waktu berkembangnya sistem Kālācakra. Faktor utama yang mendorong berkembangnya kecendrungan berkompromi antara Buddhisme dengan berbagai sekta dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dengan kehadiran agama dan kebudayaan Islam. Ini dapat dipelajari melalui teks-teks Kālacakra bahwa Buddhisme sedang mengalami masalah sosial atas sergapan infiltrasi kebudayaan Smitic dan untuk melakukan perlawanan atas berkembangnya pengaruh kebudayaan asing tersebut, mereka melakukan kerjasama dengan umat Hindu. Maksud memperkenalkan sistem Kalacakra adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu dari konversi (pengalihan agama) ke agama Islam. Dengan maksud untuk menghentikan kerusakan akibat kebudayaan asing, para pemimpin agama Buddha melakukan inter-marriage dan inter-dining antara keluarga Buddha dan Hindu, dan akhirnya mereka tertarik untuk berlindung dibawah panji satu Tuhan Kālacakra, yang diterima di antara mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang sedang menghadapi darurat perang adalah sangat mungkin untuk menyatukan berbagai kelompok religius dan berjuang dibawah kepemimpinan Tuhan Kālacakra untuk melawan pengaruh asing. Perkembangan mazab ini dengan penyatuan dewa-dewa Hindu yang begitu kuat didalam mandala Kālācakra menyebabkan terjadinya fusi kebudayaan dan mereka akhirnya bersatu menghadapi bahaya yang segera terjadi karena infiltrasi Islam. Selanjutnya dicoba melakukan penyatuan di antara semua pengikut Brahmā, Visnu, Śiva dan termasuk orang-orang suci mereka di dalam satu keluarga Vajrakula, dengan empat inisiasi utama didalam Kālacakra, yaitu menghilangkan semua perbedaan didalam ras, kelas, syahadat dan tradisi.
Selain karena pendekatan sejarah dan teologi, banyak juga yang melihat penyatuan Śiva-Buddha karena persamaan philosophy. Ida Bagus Made Mantra mengatakan bahwa persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara Śivaisme, khususnya Śaiva Siddhānta, dan Buddha Mahāyāna bertanggung jawab atas berkembangnya mazab Śiva-Buddha. Untuk tujuan ini ia memberikan uraian yang sangat panjang.
Dalam filsafat Śaiva Siddhānta terdapat tiga tattva (realitas): Śiva-tatva, Sadāśiva-tattva, dan Mahěśa-tattva. Ketiga tattwa tersebut berturut-turut memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Niskalā, Sakalā-niskalā dan Sakalā. Ketiga tattvas dari Śaiva Siddhānta itu berkaitan dengan empat Kāya dari filsafat Buddha Mahāyāna. Ke-empat kayā itu adalah: Svabhāva-kāya, Dharma-kāya, Sambhoga-kāya dan Nirmaya-kāya.
Niskalā artinya tanpa bentuk, dan aspek ini merupakan ciri dari Śiva-tatva. Śiva dalam posisi tertinggi adalah tanpa bentuk atau tanpa atribut atau dalam suatu keadaan entitas tanpa bentuk yang tak dapat dibedakan (undifferentiated formless entity). Dalam kedudukan ini semua bentuk-bentuk yang diciptakan dari corpo-realitas menyatukan badan mereka didalam penyebab awal (Primeval Cause). Keadaan ini merupakan keadaan damai yang tidak dapat dimengerti. Dalam kedudukan ini pula, Realitas Tertinggi, dipahami tanpa awal dan akhir, meresap kedalam seluruh alam semesta, tak terpisahkan dan tidak dapat dibandingkan. Inilah keadaan yang dipahami dalam keadaan Niskalā. Svabhāvaka-kāya adalah kesadaran murni, bersih dari semua kekotoran subyektif dan obyektif, passif, tanpa aktifitas, meliputi alam semesta, penyatuan kosmis dari kebijaksanaan yang tak terbatas dan kebajikan, memiliki kasih sayang universal, prinsip-prinsip dalam (inner principle) dari semua Dharma. Sifat-sifat tersebut adalah sifat dari svabhāvaka-kāya yang diidentifikasikan dengan Buddha. Ke-empat kaya tersebut diklasifikasikan menjadi dua group. Group pertama, Svabhāvaka-kāya dan Dharma-kāya, yang bersifat kesucian sempurna, passif didalam prinsip-prinsipnya, dan group kedua, muncul di dunia ini untuk dipertunjukkan. Disini perlu digaris-bawahi bahwa Svabhāvaka-kāya kadangkala tidak dijelaskan, dan oleh karena itu, hanya Dharma-kāya mewakili prinsip murni dan passif.
Mazab Shinghong dari Buddha Mahāyāna di Jepang juga mempunyai teori manifestasi dari penyatuan alam (manifestation of the cosmic unity) yang kurang lebih memiliki persamaan dengan Śaiva Siddhānta. Menurut mazab ini, Tathāgata Mahavairocana atau Dahrma-kāya mempunyai dua perwujudan, yaitu Garba-dhātu (matrix element), dan Vajra-dhātu (thunder element). Garba-dhatu memiliki karakter: a) Meditasi Agung, b) Kebijaksanaan, c) Kasih sayang, dan masing-masing dari ketiganya diatributkan kepada Buddha, Vajra and Padma. Buddha bersesuaian dengan Tathāgata-Mahavairocana yang menandakan pengetahuan sempurna. Yang kedua bersesuaian dengan Vajra-sattva menandakan suatu kebijaksanaam, pasti dalam sifat-sifatnya dan menghancurkan semua penderitaan. Yang ketiga bersesuaian dengan Avalokitěsvara menandakan pemikiran murni dari bagian dalam makhluk hidup.
Dhātu kedua, Vajra-dhātu (elemen halilintar), mempunyai lima aspek, tiga diantaranya termasuk tiga klas sebagaimana dijelaskan didalam Garba-dhātu, dan dua lainnya adalah Ratnānubhāva dan Karmānubhāva. Sifat-sifat Ratnānubhāva mengungkapkan kebenaran dan pembebasan sempurna dari Buddha tanpa pembatasan. Yang kelima, Karmānubhāva memperlihatkan pemenuhan dari seluruh kegiatan.
Dalam perbandingan sistem cosmology antara filsafat Buddha Mahāyāna dan Śaiva Siddhānta, keduanya mempunyai basis yang sama. Ini terlihat dari tritunggal Śaiva Siddhānta seperti Paramaśiva, Sadāśiva dan Sadāśiva-Mahěsvara dengan bentuknya dalam Niskalā dan Niskalā-Śakalā, yang parallel dengan tritunggal Buddha, yakni: Buddha Vajrasattva dan Avalokitěsvara dengan bentuk mereka berturut-turut sebagai Dharmakāya, Sambogakāya dan Nirmāna-kāya.
Didalam Buddha Mahāyāna, keadaan tertinggi adalah Boddhi Citta atau pikiran yang tercerahkan. Boddhi Citta ini mempunyai dua elemen yang terdiri dari Sūnyatā, pencerahan sempurna dari sifat-sifat kesunyataan, dan kedua adalah Karunā, kasih sayang universal untuk semua makhluk hidup. Penggabungan menjadi satu dari kedua elemen tersebut (Sūnyatā and Karunā) dikenal sebagai Advaya.
Didalam ajaran Vajrayana, realisasi dari kedua elemen tersebut sangat penting. Dikatakan, keadaan Sūnyatā adalah berdasarkan pada realisasi bahwa semua benda adalah fana, tanpa roh. Mereka seperti khayalan dalam mimpi, dan tidak nyata. Sūnyatā diberkati dengan kesucian, tanpa eksistensi, tidak terlahirkan, dan kosong. Karunā, yang mewakili kasih sayang semesta dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan yang benar kepada umat manusia. Kenginan menyebabkan manusia diikat oleh kebodohan, dan tidak bisa merealisasikan hukum tumimbal lahir karena tekanan dari kegiatan mereka. Kasih sayang menyiratkan terhilangkannya ikatan, dan menuntun mereka kepada kehidupan yang percaya dengan hukum saling ketergantungan (Pratītya-samutpāda). (B. Bhattacarya, 1964: 102).
Sebagaimana dijelaskan di atas, penggabungan kedua elemen tersebut dinamakan advaya. Ini seperti bercampurnya garam didalam air, yang hasilnya berupa penghilangan dualitas sehingga memunculkan non-dualitas. Belakangan, dalam mazab Vajrayana, ide tersebut diganti dengan Ādi Buddha and Prajña. Jadi, kedua arca ini mewakili Sunyatā and Karunā. Hubungan di antara kedua arca tersebut dilukiskan dalam beberapa teks sebagai conjugal love (shajam prema) yang bersifat alami, dan Yuganaddha (conjugal relation) atau dinamakan advaya, yang tidak lain dari Boddhi-citta dan Dharma-kāya.
Konsep sakti dalam agama Buddha juga parallel dengan sakti dalam Śivisme. Konsep Yub-yam dalam Buddha diwakili oleh Śiva dan saktiNya, Parvati. Secara teknis, bentuk ini disebut Ardhanāriśvara-mūrti. (Gophinatha Rao, 1916: 160). Disini, Śiva Sendiri adalah murni dan sakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan roh-roh yang terikat dari karma mereka. Uraian-uraian diatas, menunjukkan dengan jelas bahwa kesamaan-kesamaan dalam ajaran tantra, telah menyatukan kedua agama tersebut, Hindu (Śiwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab keagamaan yang tunggal, Śivabuddha. Dalam teks sastra Jawa Kuna kenyataan itu berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Śiva”, yang artinya tidak ada perbedaan apakah anda seorang penganut Śiva atau Buddha.

Pemujaan Śiva-Buddha di Bali
Di Bali, sinkretisme ]iwa-Buddha, sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8-14 M), sebagaimana dapat dibuktikan melalui tinggalan-tinggalan arkeologi dan literatur. Pada Zaman Bali Kuna, agama Buddha mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam masyarakat di Bali. Buddha dikenal dengan berbagai nama seperti Jina, ]akyamuni, dan Sogata (Sanskrit: Sugata). Prasasti Sukavana (Sukhavana) mengandung bukti yang sangat jelas, bahwa pendeta-pendeta brahmana diberikan nama Bhiku, seperti: Bhiku Śivakansita, Bhiku Śivanirmala dan Bhiku Śivavaprajna.
Nama-nama tempat di Bali, seperti Sukawati, Suwung, Sakenan, semuanya mengingatkan kita kepada konsep-konsep penting ajaran Buddha, seperti Sukhavati, Sunya dan ]akyamuni. Pengaruh Buddha di Bali masih sangat kuat sampai pada zaman modern ini. Bahkan motto universitas negeri terbesar di Bali, Universitas Udayana, mengambil inspirasi dari kutbah pertama Sang Buddha yang disampaikan di Taman Menjangan, Benares: dharmacakraprawartana, pemutaran roda dharma. Agama Buddha adalah yang pertama kali datang ke Bali.
Sedangkan agama Hindu adalah yang pertama kali datang ke Indonesia. Dalam teks-teks lontar kita menemukan istilah-istilah kasaiwan dan kasogatan, yang semua itu memberi indikasi yang kuat tentang adanya penyatuan Śiva-Buddha di Bali. Yang sangat menarik, hampir semua arca-arca Buddha ditemukan dalam tempat suci agama Hindu. Para sarjana meyakini bahwa fakta ini bukan merupakan bukti tentang konversi agama, melainkan suatu proses penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme yang terjadi secara gradual dalam proses sejarah. Contoh-contoh seperti ini bisa diperpanjang dengan mengutip sumber-sumber yang lebih luas lagi.
Pada Zaman Majapahit, Bali merupakan perpanjangan birokrasi dari Majapahit. Suasana keagamaan di Majapahit secara otomatis mempengaruhi Bali. Karena itu, sinkretisme Śiva-Buddha di Bali menjadi semakin kuat karena pengaruh Majapahit. Pengaruh itu dicatat dalam teks-teks sastra. Kidung Pamancangah, misalnya, memberi gambaran yang jelas tentang sinkretisme Śiva-Buddha melalui pelaksanaan homa yajna. Dijelaskan, pada tahun 1578 Dalem Watur Enggong di Samprangan (Klungkung) melaksanakan upacara homa yaj〉a dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Upacara homa ini dipimpin dua orang pendeta, yaitu pendeta Buddha dan pendeta Śiva. Dari pendeta Śiva dipercayakan kepada Danghyang Nirartha, sedangkan dari pendeta Buddha diwakili oleh Danghyang Astapaka.
Pada mulanya Dalem Watur Enggong meminta Danghyang Angsoka, seorang pendeta di kerajaan Majapahit, untuk mewakili pendeta Buddha dalam memimpin upacara homa tersebut. Bahkan Dalem Watur Enggong sempat mengirim utusan ke Majapahit, Jawa Timur. Tetapi setelah bertemu dengan Danghyang Angsoka, utusan itu diberi tahu bahwa putranya, Danghyang Astapaka, yang lebih ahli dalam homa yaj〉a, sudah ada di Bali. Karena itu, beliau menyarankan supaya putranya itu diminta untuk memimpin homa yaj〉a tersebut. Akhirnya, utusan Dalem Watur Enggong balik ke Bali, dan setelah menerima laporan dari utusan tersebut, Dalem Watur Enggong memutuskan, bahwa pemimpin homa yajña dari pihak Buddha diwakili oleh Danghyang Astapaka. Jadi, homa yajña dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra di Besakih itu, dipimpin oleh Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. Dalam naskah kidung ini, juga dijelaskan riwayat pelaksanaan homa yajna itu. Dikatakan, tempat pelaksanaan homa yajna adalah didalam istana Samprangan, dan dalam proses pelaksanaannya, api homa yajna tidak dapat dikendalikan dan menjadi semakin besar sehingga membakar gedung tempat penyelenggaraan homa yajna tersebut.
Berbeda dengan di India, yang dalam periode tertentu, Buddhisme selalu mengklaim diri lebih unggul dari Hinduisme (terutama soal filsafat), dan sebaliknya Hinduisme selalu mengklain diri lebih unggul juga dari Buddhisme.
Di Bali, posisi keduanya ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Ini terbukti dari pengakuan para pendeta di Bali, bahwa para pendeta Śiva tidak akan sempurna jika tidak mengetahui ajaran agama Buddha, dan sebaliknya pendeta Buddha juga mengakui tidak akan sempurna jika tidak mengetahui ajaran Śiva.
Air suci “tirtha Buddha” dari pendeta Buddha dipakai oleh penganut Śiva untuk penyucian roh orang yang meninggal, dan sebaliknya air suci pendeta Śiva dipakai oleh penganut Buddha untuk tujuan yang sama.
Sebagaimana diketahui, masalah sinkretisme Śiva-Buddha sebagian besar diuraikan dalam teks-teks Buddha, seperti Sutasoma, Sanghyang Kamahanikan, Bubhuksah dan sebagainya. Ada kecenderungan dalam teks-teks Buddha tersebut, untuk menempatkan Buddhisme dalam posisi superior dibandingkan dengan Śivaisme. Namun, belakangan di Bali, teks-teks yang bercorak Śivaisme justru menempatkan ]iwaisme lebih unggul dibandingkan dengan Buddhisme. Salah satu contohnya adalah Tutur Candrabherawa. Pengawi dalam naskah ini menceritakan tokoh Yudisthira yang menganut ajaran Karma Sanyasa, dan Candrabherawa yang menganut ajaran Yoga Sannyasa. Dalam naskah disebutkan bahwa ajaran Karma Sanyasa berpusat pada pembangunan tempat suci, persembahyangan sesaji yang dikenal dengan Panca Yajna, dan penyembahan kepada Dewa. Sedangkan ajaran Yoga Sanyasa adalah sebaliknya, tidak ada tempat suci, tidak ada persembahan, tidak ada persembahan kepada Dewa. Yang dipuja adalah Sanghyang Adhi Buddha dengan mempelajari Bajradhara. Tidak ada Dewa diluar (tempat suci), tetapi ada dalam diri dan banyak persembahan yang mengantar ke Neraka. Maka itu, Dewa dalam badan harus dipuja, agar lepas dari sorga dan neraka, tidak terlahirkan lagi.
Ajaran yoga sanyasa yang dianut oleh Candrabherawa (tantra Buddha) seperti dijelaskan diatas, sama persis dengan ajaran tantra sebagaimana dijelaskan oleh S.B. Dasgupta, berikut ini: “Tdak ada perbedaan prinsip antara tantra Hindu dan Buddha. Lepas dari banyaknya perbedaan, secara esensial, tantrayana, baik Buddhisme maupun Hinduisme, menekankan pada suatu fostulat fundamental, bahwa kebenaran terletak didalam badan manusia; atau, dengan kata lain, badan manusia adalah medium yang paling baik untuk merealisasika kebenaran. Penekanan khusus pada pentingnya badan manusia sebagai kebenaran tertinggi, dan pada saat yang sama sebagai medium terbaik untuk merealisasikan kebenaran, merupakan pendekatan berbeda, yang membuat sadhana tantra berbeda dari semua jenis sadhana yang lain.
Namun demikian, baik tantra Hindu maupun Buddha, keduanya secara fundamental mempunyai ciri umum mengenai prinsip-prinsip teologi yang bersifat dualitas dalam non-dualitas Keduanya mengakui bahwa realitas non-dual yang tertinggi mempunyai dua aspek didalam sifatnya yang fundamental, yaitu negative (nivrti) dan positif (pravrti), atau sifat-sifat statis dan dinamis. Kedua aspek dari realitas tersebut diwakili oleh Siwa dan Sakti dalam agama Hindu, sedangkan dalam agama Buddha diwakili oleh Prajna dan Upaya (Sunyata dan Karuna)”.
Apabila ajaran dalam Tutur Candrabherawa diatas, dianalisis menurut kerangka ajaran agama Hindu dan Buddha secara keseluruhan, maka Karma Sannyasa tidak lain dari ajaran Eksoteris yang menekankan ajarannya keluar badan. Sedangkan, ajaran Yoga Sanyasa dapat disejajarkan dengan ajaran Esoteris yang memusatkan ajarannya kedalam diri, kedalam badan. Secara tidak langsung Tutur Candrabherawa menempatkan Karma Sanyasa (eksoteris) lebih superior atau lebih unggul dibandingkan dengan Yoga Sanyasa, sebagaimana tampak dalam plot keberhasilan Yudisthira menangkap roh Chandrabherawa dan membawanya kembali ke Dewantara, dan termasuk adegan yang menyusul berikutnya dimana Chandrabherawa menyembah Yudisthira. Kecendrungan ini merupakan hasil dari kuatnya pengaruh ritual dan upakara yajna dari ajaran Śiva Siddhanta di Bali.
Jadi, dalam arti khusus, agama Hindu sebagaimana yang dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah mazab Śiva-Buddha. Tetapi praktek Śiva-Buddha sebagai ajaran tantra hanya dilaksanakan oleh kalangan pendeta secara terbatas. Umat kebanyakan, tidak hanya tidak mempraktekkan (karena mereka tergantung kepada pendeta), melainkan juga sama sekali buta dan tidak mengetahui tentang ajaran-ajaran yang berkaitan dengan sinkretisme Śiva-Buddha ini. Kenyataan ini, dapat dimaklumi, karena agama Hindu dan Buddha, baik di Indonesia maupun di India, pada mulanya berkembang didalam lingkungan kerajaan. Dalam pengertian ini, raja, atas saran penasehat kerajaan (purohita) melaksanakan ajaran Śiva-Buddha, sedangkan rakyat hanya mengikuti apa yang dilaksanakan atau diperintahkan oleh raja. Kondisi ini bertahan terus ketika kita telah memasuki zaman post-modern, dimana fenomena keagamaan secara keseluruhan, termasuk agama Hindu dan Buddha, berkembang menjadi agama massa.
Memang ajaran yang dipraktekkan dalam tantra Śiva-Buddha disuplai oleh ajaran agama Buddha dan Hindu (Śivaisme) secara bersama-sama. Dalam arti ini, mazab Śiva-Buddha kadang-kadang dibedakan dari mazab tantra Śiva maupun mazab tantra Buddha. Tetapi dengan kecendrungan perkembangan terakhir di Bali, terutama setelah zaman kemerdekaan, apa yang disebut dengan Śiva-Buddha tidak lain dari sub-sistem dari agama Hindu.
Secara formal, para pendeta Śiva maupun pendeta Buddha di Bali, adalah beragama Hindu, sebagaimana tercantum dalam KTP mereka. Sejarahnya bisa ditelusuri setelah terbentuknya pemerintahan Indonesia setelah zaman kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menetapkan lima agama: Hindu, Buddha, Islam, Katolik dan Kristen. Semua penduduk Indonesia diharuskan memilih salah satu dari lima agama tersebut. Menghadapi kenyataan ini, para pendeta Buddha dan para pengikutnya di Bali tidak memilih masuk menjadi agama Buddha, melainkan mengikuti rekan mereka para pendeta Śiva menjadi pemeluk agama Hindu. Sejak itu, para pendeta Buddha dan pengikutnya menjadi pemeluk agama Hindu.
Apapun penilaian yang diberikan oleh berbagai kalangan atas sinkretisme Śiva-Buddha ini, satu hal yang pasti, mazab Śiva-Buddha ini adalah suatu mazab yang unik, karena didalamnya mengadopsi kepercayaan kuno dan kepercayaan lokal yang sangat komplek. Didalamnya termasuk elemen-elemen pemujaan kepada leluhur, ibu bhumi, pohon, roh burung, binatang, kekuatan magis, spirit dan hantu-hantu. Dalam batas-batas tertentu, beberapa dari elemen tersebut, terutama kepercayaan lokal seperti pemujaan kepada leluhur, telah dihapuskan dalam agama Buddha, seperti terjadi dalam sejarah masuknya agama Buddha ke Srilanka.